"Mami sama Paman kok lama sekali, kita kan nungguin terus. Ternyata Mami sama Paman ajak Tiana jalan-jalan! Kita berdua malah ditinggal!" Tino dan Tiano marah pada Shela dan Sebastian. Kedua anak itu awalnya memang dititipkan pada Morsil di toko, dan kini mereka protes pada Shela. "Mami cuma pergi sebentar kok, besok juga tidak lagi." Shela mengusap pucuk kepala mereka berdua. "Kita tadi ke kantornya Paman, Tino," sahut Tiana, anak itu asik berguling-guling di tengah ranjang. "Waahhh... Asik sekali, aku tidak pernah diajak ke sana. Tiano, Tiana, sama Mami sudah, tapi Paman tidak mengajakku! Paman memang bad!" Tino cemberut. Shela terkikik geli seraya mengancingkan piyama kecil berwarna cokelat yang Tino pakai. Dihadapan Tino yang sangat lucu saat marah, Shela begitu gemas dengan si buah hatinya ini. "Lain waktu, Tino bisa ikut Paman ke kantor, deh..." Shela menangkup kedua pipi anak itu. "Tidak mau! Tidak suka pokoknya." Tino langsung turun dari atas ranjang dan berjalan kelua
Malam ini Shela tidak bisa tidur, ia menyendiri di dalam kamarnya. Shela meminta tiga buah hatinya tidur bersama, ia menangis mengingat apa yang tadi Sebastian katakan padanya. "Apa yang harus aku lakukan?" gumam Shela menggigit ujung ibu jarinya. Shela menyeka air matanya, ia berjalan membuka pintu balkon kamar dan duduk di sebuah sofa. Di sana, Shela mencoba menghubungi Mamanya. Entah kenapa ia ingin sekali saat-saat seperti ini memeluk sang Mama. Dan seketika, panggilan Shela langsung dijawab oleh Stevani. "Halo Sayang, Shela... Kenapa nak? Kenapa malam-malam telfon Mama, Sayang? Shela tidak tidur?" tanya wanita itu penuh kecemasan di balik panggilan tersebut. Air mata Shela menggenang tak tahan. "Ma, Shela... Shela ingin bicara serius dengan Mama," ujar gadis itu sekuat tenaga ia menahan air matanya. "Bicara apa nak? Shela kenapa menangis? Ada apa, cerita sama Mama, Sayang?" Stevani benar-benar cemas tak tertahan. Dari nada bicaranya, wanita itu sungguh tidak lagi tenang.
"Wahh... Jadi mereka benar-benar kembar tiga ya? Lucu-lucu sekali..." "Wajahnya benar-benar mirip Pak Sebastian."" Apa anak-anak ini anak hasil dari huhungan gelap?"Suara-suara bisikan para karyawan perempuan di dalam kantor itu menyambut kedatangan Sebastian bersama dengan si kembar. Sedangkan tiga anak manis yang berjalan di depannya, mereka tidak mungkin menggubris ucapan semua orang karena mereka terlalu kecil itu hal itu. "Selamat datang, adik manis..." Lina, salah satu asisten Sebastian menyambut kedatangan mereka bertiga. Dihadang oleh perempuan itu, sontak saja Tiana langsung membalikkan badannya dan mengulurkan kedua tangannya pada Sebastian. "Tidak papa, Sayang. Itu Tante Lina," ujar Sebastian pada di kecil kesayangannya. "Mau sama Papi," bisik Tiana memeluk leher Sebastian. Lina hanya tersenyum saja. Meskipun hati semua orang di sana diliputi tanda tanya tentang asal-usul para bocah ini, tapi Lina adalah asisten yang profesional. "Maaf Pak, setengah jam lagi akan
"Kalian benar-benar Cucuku, anak-anak manis? Astaga... Ya Tuhan, kalian anak Sebastian?!"Graham menggendong Tino dan ia beralih memeluk Tiano juga. Di depan banyak karyawan kantor milik Sebastian, laki-laki itu menunjukkan ekspresi terkejut, bahagia, dan sulit untuk dijelaskan. Tino dan Tiano hanya bergeming tak mengerti. Ia menatap laki-laki berambut putih di hadapannya yang tersenyum lebar-lebar. "Kakek siapa, kok kenal dengan Papi kami?" tanya Tino memiringkan kepalanya manis. "Kakek, adalah Kakekmu, nak... Kalian adalah Cucuku!" seru Graham benar-benar terharu. "Demi Tuhan, Sebastian kecil sudah tumbuh sebesar ini, ke mana saja selama ini kalian, nak? Kenapa tidak datang pada Kakek?"Graham memeluk kedua bocah itu, hingga Tino menoleh ke belakang di mana Vir berada. "Om, Kakek ini siapa sih? Kok sok kenal sok dekat sama kita? Bukan orang jahat kan, Om? Kok ngaku-ngaku jadi Kakeknya kembar sih? Jadi curiga..." Tino dengan polosnya bertanya pada Vir. Kedua mata Vir melebar, b
"Jelaskan!" Suara dingin Graham membentak Sebastian di dalam rumah megahnya. Rumah yang Lima tahun ini ditempati Shela dan ketiga anaknya. Bukan hanya Sebastian, di sana juga ada Shela. Anak-anaknya sudah tidur di lantai dua sejak tadi, dan Tiana juga tidak dirawat di rumah sakit. "Pa, si kembar anaknya Shela, memangnya kenapa sih Pa?! Apa lagi yang Papa mau, hah?! Aku sudah mengatakan semuanya pada Papa, kan!" "Aku ingin bicara dengan Shela, Sebastian!" kini Graham menatap Shela. "Ferdi yang menyuruhmu tinggal di sini, Shela?!" tanya Graham dengan nada dingin. Shela tertunduk mengangguk pasrah. "Iya, Tuan." Graham berdecak kesal. "Lancang sekali dia! Berani-beraninya menyembunyikan anak tirinya di sini! Membawa aib, pula!" sentak Graham dengan wajah marah. Mendengar kata-kata menyakitkan itu, lantas Shela mengangkat wajahnya. Kedua matanya berkaca-kaca tak terima. "Anak-anakku bukan aib," ujar Shela lirih. "Jangan mengatakan mereka adalah aib, karena Tuan... Tuan bukan siapa-
Di apartemen Josh kini Shela dan ketiga anaknya berada. seolah kepergian Shela tidak akan dibebaskan oleh Sebastian, hingga gadis itu ia putuskan tinggal di apartemen milik Josh. Si kembar nampak sangat canggung berada di tempat yang baru. Namun karena sudah tengah malam, mereka mencari tempat tidur untuk istirahat. Sedangkan Shela, ia duduk di tepian ranjang. Gadis itu menundukkan kepalanya dan masih terngiang kata-kata Graham kepadanya tadi. "Sementara di sini saja, aku akan membelikan apartemen untukmu," ujar Sebastian, tiba-tiba ia meraih kedua tangan Shela dan menggenggamnya. "Jangan diingat apa yang dikatakan Papaku, Shela." Shela melepaskan tangan Sebastian. "Harusnya Om tidak perlu seperhatian ini padaku, anak-anakku juga bukan anakmu, aku juga bukan siapa-siapamu, kita tidak ada hubungan apapun." "Tapi aku sayang pada anak-anak, Shela... Aku nyaman dan sayang padamu," ungkap Sebastian. Namun tidak bisa berdusta akan seberapa sedihnya ia saat ini, Shela meneteskan air ma
Sebastian menjemput Shela dan kembali mengajaknya pulang ke rumah yang Shela telah tempati sejak lima tahun lalu. Ketiga anaknya begitu antusias saat keluar dari dalam mobil. Namun hal yang mengejutkan membuat Shela bertanya-tanya. Ada dua mobil di depan rumahnya. Siapa? "Om..." "Sudahlah, ayo ajak anak-anak masuk," ajak Sebastian. Si kembar berlari lebih dulu masuk ke dalam rumah bersama Shela, kalau biasanya ketiganya heboh, kali ini mereka takut dan bersembunyi di balik Shela dan Sebastian saat melihat ada Graham di sana. Kedua mata Shela jatuh pada dua orang yang kini langsung berdiri dari duduknya saat melihat kedatangan gadis itu. "Shela..." Stevani menutup mulutnya dan wanita itu menangis. "Mama!" Shela langsung berlari memeluk wanita itu dengan erat. Mereka berpelukan erat, menangis, disusul Ferdi yang juga memeluk Shela dengan sama eratnya."Papa," lirih Shela memeluk Ferdi dengan sangat kuat. "Sayang... Nak, kau tidak papa, Sayang? Shela baik-baik saja kan, nak?" S
"Hati-hati ya Sayang, jangan khawatir tentang apapun. Jangan pindah rumah, kalau Shela tidak mau pulang, janji sama Mama andai terjadi sesuatu hubungi Mama dan Papa!" Stevani menepuk kedua pundak Shela, gadis itu mengangguk dan tersenyum manis. "Iya Ma, Shela janji." "Oma sama Opa hati-hati ya, besok-besok kalau ke sini yang lama," sahut Tiana yang tengah berdiri di samping Shela dengan dua kembarannya. "Iya anak baik..." Ferdi terkekeh menatap kedua bocah tersebut. "Janji sama Opa ya, kalian harus bisa menjaga Mami, paham?!" "Pasti! Dari dulu kita bertiga kok yang jagain Mami, Opa!" seru Tino menyahuti. "Jangan khawatir!" Diikuti oleh Tiano yang langsung mengacungkan jempolnya. Kedua orang tua Shela tersenyum, bergantian mereka memeluk si kembar sampai akhirnya Stevani menatap Shela lagi. Wanita itu merasa begitu berat, amat sangat berat meninggalkan putri kesayangannya. "Mama pulang ya, nak... Shela hati-hati di sini," tutur Stevani. "Iya Ma..." "Jangan sungkan meminta ap
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut