"Hati-hati ya Sayang, jangan khawatir tentang apapun. Jangan pindah rumah, kalau Shela tidak mau pulang, janji sama Mama andai terjadi sesuatu hubungi Mama dan Papa!" Stevani menepuk kedua pundak Shela, gadis itu mengangguk dan tersenyum manis. "Iya Ma, Shela janji." "Oma sama Opa hati-hati ya, besok-besok kalau ke sini yang lama," sahut Tiana yang tengah berdiri di samping Shela dengan dua kembarannya. "Iya anak baik..." Ferdi terkekeh menatap kedua bocah tersebut. "Janji sama Opa ya, kalian harus bisa menjaga Mami, paham?!" "Pasti! Dari dulu kita bertiga kok yang jagain Mami, Opa!" seru Tino menyahuti. "Jangan khawatir!" Diikuti oleh Tiano yang langsung mengacungkan jempolnya. Kedua orang tua Shela tersenyum, bergantian mereka memeluk si kembar sampai akhirnya Stevani menatap Shela lagi. Wanita itu merasa begitu berat, amat sangat berat meninggalkan putri kesayangannya. "Mama pulang ya, nak... Shela hati-hati di sini," tutur Stevani. "Iya Ma..." "Jangan sungkan meminta ap
Satu Minggu Kemudian..."Huhh... Lelahnya! Aku sangat merindukan si kembar dan Shela..." Sebastian mengemudikan mobilnya seraya mengendurkan dasi merah yang ia pakai. Tujuh hari penuh ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya, Sebastian selalu pulang malam, pergi pagi, hingga tidak ada waktu untuk berbincang dengan Shela, apalagi menemani si kembar. Semakin hari, ia semakin nyaman bersama Shela. Sebastian berusaha mengesampingkan hal lain, ia mencoba melupakan Bella, Sebastian benar-benar ingin membubarkan pertunangannya. Di tengah fokusnya mengemudi, tiba-tiba saja ponsel Sebastian berdenting. Laki-laki itu meraihnya dan membaca sebuah pesan dari Shela. "Shela, tumben sekali..." Sebastian mengerutkan keningnya. 'Om, pulang ya, aku kangen ingin bertemu...'Senyuman Sebastian mengembang, ia berdehem beberapa kali untuk menetralkan rasa bahagia di dadanya. Jarang sekali gadis itu, dia benar-benar membuat Sebastian menjadi semakin merindukannya. Beberapa menit berlalu, mobil Sebastia
"Dia ingin melamar Shela... Sudah kuduga hal ini akan terjadi, sial!" Sebastian memijit pelipisnya kesal dan marah. Kabar yang si kembar sampaikan padanya sukses membuat Sebastian semalam tidak bisa tidur sama sekali. Bahkan pagi ini, ia yang tengah duduk di kursi agung di ruangan kerjanya tidak bisa berfokus memikirkan pekerjaannya, fokusnya terus terbagi begitu saja. "Om Dokter... Kok pagi-pagi sudah di rumahku sih?" "Om nyari Mamiku ya? Mamiku ada di belakang, masih masak!""Mau Tiana panggilin Mami, Om?!" Suara anak-anak membuat Sebastian mengerutkan keningnya, laki-laki itu beranjak dari duduknya, tidak ada orang lain yang mereka panggil Om Dokter selain Adam. Sebastian langsung membuka pintu ruangan kerjanya dan laki-laki itu berjalan ke depan, benar sekali di kembar berdiri di teras bersama Adam. "Oh, ternyata kau," sapa Sebastian melihat Adam. Dokter muda itu tersenyum tipis. "Apa aku bisa bertemu dengan Shela?" "Ada urusan apa bertemu dengan Shela?" Sebastian kali in
Shela mengajak ketiga anaknya sore ini ke sebuah pusat perbelanjaan, tapi kali ini mereka pergi tanpa Sebastian karena laki-laki itu sedang sibuk dengan urusan kantornya. Di tempat yang sangat ramai, Shela harus pandai-pandai menjaga ketiga buah hatinya, meskipun ia sangat kuwalahan. "Mam... Mau sepatu yang ini, kalau sekolah nanti mau pakai ini, belikan ya Mam... Tino mau yang ini!" Tino menarik-narik lengan Shela. "Iya Sayang, kalian pilih saja mana yang bagus dan yang kalian sukai," jawab Shela tersenyum manis. Tiana dan Tiano memilih sepatu dengan warna yang mereka sukai. Begitu pula dengan Tino yang serba bingung. Niat hati Shela menyenangkan anak-anaknya saat ini karena bulan depan mereka akan bersekolah, Shela akan mencarikan sekolah yang bagus untuk si kembar. Segala macam kebutuhan anak-anak, Shela sudah menabung dari jauh-jauh hari. "Tiana, aku yang warna biru, Tiana yang warna merah muda, itu... Punya Tino warna merah," seru Tiano menatap sepatu yang Tino bawa. "Iya,
"Papi mau ke mana? Tiana ikut... Tiana tidak mau ditinggal Papi!" Tiana menangis merengek-rengek saat Sebastian hendak pergi, laki-laki itu nampak sangat terburu-buru pagi ini. "Sayang, Tiana di rumah sama Kakak dan Mami ya, Papi cuma sebentar saja, Tiana..." Sebastian menggendongnya dan membawa anak itu ke belakang. Di mana Shela yang tengah sibuk membuat sesuatu untuk kebutuhan toko rotinya. Mendengar suara tangisan Tiana, jelas Shela langsung menoleh cepat. Anak itu menangis dalam gendongan Sebastian. "Ya ampun, kenapa lagi, Tiana..." Shela mendekatinya dan Sebastian menyerahkan anak itu padanya. "Mau ikut Papi... Ikut Papi!" teriak Tiana masih mengulurkan tangannya pada Sebastian. Shela mengusap air mata Tiana. "Main sama Mami yuk, kita ke toko, bagaimana?" tawar Shela mencoba menghentikan tangisan Tiana. "Tidak mau! Mau sama Papi, ikut Papi!" amuk anak itu heboh menangis keras-keras. "Tiana... Jangan begini dong, kita ke toko saja yuk, jalan-jalan nanti sama Mami sama Ti
"Morsil... Morsil buka pintunya! Morsil cepat!" Shela menggebraki pintu toko hingga pintu di depannya terbuka lebar. Tangisan Tiana bahkan tidak berhenti sama sekali. "Ya ampun Shela, ini kenapa?!" pekik Morsil menatap Tiana yang menangis dan dua anak kembar laki-lakinya yang nampak sedih. Shela buru-buru masuk ke dalam sana, ia membawa ketiga anaknya ke dalam sebuah kamar yang berada di belakang. Di sana Shela memeluk Tiana dan menenangkannya. "Aaa... Bonekanya Tiana! Mau boneka!" Tiana terus berteriak keras-keras dan anak itu menginginkan boneka miliknya. Morsil menatap mereka bingung, sedangkan Tino dan Tiano diam di dekat ranjang memegangi tiang kanopi. "A-ada apa, Shela? Kenapa kembali ke sini lagi? Jangan bilang kau ribut dengan Sebastian, hah?!" Morsil menatap Shela dengan tatapan bingung. "Morsil... Aku numpang di sini sementara ya, di rumah ada calon istrinya Sebastian dengan Mamanya, aku... Aku tidak mau mereka tahu keberadaanku, apalagi anak-anak. Ini mainan Tiana t
"Papi, peluk..." Sebastian membuka kedua matanya pelan, ia tersenyum tipis begitu terbangun Tino, Tiano dan Tiana satu ranjang dengannya. Anak-anak itu ada yang tidur memeluknya, menumpu di atas tubuhnya, satunya lagi, Tino malah memunggungi Sebastian. "Anak Papi," lirih Sebastian mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala Tino dengan gemas. Tino menoleh, ternyata dia tidak tidur, anak itu diam saja terlihat anteng karena dia sedang bermain game di ponsel Shela. "Loh, kok tidak tidur? Sini peluk Papi," bujuk Sebastian pada Tino. Anak itu menggelengkan kepalanya. Tino masih diam dengan muka bantalnya menatap Sebastian yang hanya diam ditatap sedemikian rupa oleh anak itu. "Kenapa, Sayang?" Sebastian memperhatikan Tino. "Paman kok kenal sama Tante Bella? Yang semalam marah-marah di rumahku, itu Tante yang dompetnya Tino temuin di mall. Dia bilang wajahnya Tino itu sama seperti suaminya, memangnya suaminya Tante Bella siapa?" tanya Tino, pertanyaan yang membuat anak itu penasaran
"Sebastian, Mama ingin bertemu dengan kembarannya Tino, please..." Monica memohon pada Sebastian yang kini tengah bersiap pergi dengan si kembar. Laki-laki itu tidak terlalu merespon Mamanya, Sebastian tidak mau sang Mama akan berniat macam-macam, karena dia tahu Mamanya begitu respect pada Bella. "Buat apa, Ma?" tanya Sebastian tanpa menatapnya. "Buat apa, katamu?! Mereka ini Cucu Mama! Ya jelas saja Mama mau bertemu dengan mereka!" pekik wanita itu kesal."Tidak perlu!" Sebastian membalikkan badannya dan ia hendak meraih Tino dari gendongan sang Mama, namun wanita itu membawa Tino mundur. Ditatap oleh Sebastian, rupanya Tino mau ikut dengan Monica karena anak itu kini menggenggam beberapa lembar uang, percayalah meskipun kecil dia sangat materialistis. "Sayang, ayo ikut Papi," ajak Sebastian. "Iya Papi!" Tino langsung mengulurkan tangannya pada Sebastian. Monica menahan lengan Sebastian pelan, wanita itu menatapnya dengan ekspresi sedih. "Sebastian...." Helaan napas berat t
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut