"Morsil... Morsil buka pintunya! Morsil cepat!" Shela menggebraki pintu toko hingga pintu di depannya terbuka lebar. Tangisan Tiana bahkan tidak berhenti sama sekali. "Ya ampun Shela, ini kenapa?!" pekik Morsil menatap Tiana yang menangis dan dua anak kembar laki-lakinya yang nampak sedih. Shela buru-buru masuk ke dalam sana, ia membawa ketiga anaknya ke dalam sebuah kamar yang berada di belakang. Di sana Shela memeluk Tiana dan menenangkannya. "Aaa... Bonekanya Tiana! Mau boneka!" Tiana terus berteriak keras-keras dan anak itu menginginkan boneka miliknya. Morsil menatap mereka bingung, sedangkan Tino dan Tiano diam di dekat ranjang memegangi tiang kanopi. "A-ada apa, Shela? Kenapa kembali ke sini lagi? Jangan bilang kau ribut dengan Sebastian, hah?!" Morsil menatap Shela dengan tatapan bingung. "Morsil... Aku numpang di sini sementara ya, di rumah ada calon istrinya Sebastian dengan Mamanya, aku... Aku tidak mau mereka tahu keberadaanku, apalagi anak-anak. Ini mainan Tiana t
"Papi, peluk..." Sebastian membuka kedua matanya pelan, ia tersenyum tipis begitu terbangun Tino, Tiano dan Tiana satu ranjang dengannya. Anak-anak itu ada yang tidur memeluknya, menumpu di atas tubuhnya, satunya lagi, Tino malah memunggungi Sebastian. "Anak Papi," lirih Sebastian mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala Tino dengan gemas. Tino menoleh, ternyata dia tidak tidur, anak itu diam saja terlihat anteng karena dia sedang bermain game di ponsel Shela. "Loh, kok tidak tidur? Sini peluk Papi," bujuk Sebastian pada Tino. Anak itu menggelengkan kepalanya. Tino masih diam dengan muka bantalnya menatap Sebastian yang hanya diam ditatap sedemikian rupa oleh anak itu. "Kenapa, Sayang?" Sebastian memperhatikan Tino. "Paman kok kenal sama Tante Bella? Yang semalam marah-marah di rumahku, itu Tante yang dompetnya Tino temuin di mall. Dia bilang wajahnya Tino itu sama seperti suaminya, memangnya suaminya Tante Bella siapa?" tanya Tino, pertanyaan yang membuat anak itu penasaran
"Sebastian, Mama ingin bertemu dengan kembarannya Tino, please..." Monica memohon pada Sebastian yang kini tengah bersiap pergi dengan si kembar. Laki-laki itu tidak terlalu merespon Mamanya, Sebastian tidak mau sang Mama akan berniat macam-macam, karena dia tahu Mamanya begitu respect pada Bella. "Buat apa, Ma?" tanya Sebastian tanpa menatapnya. "Buat apa, katamu?! Mereka ini Cucu Mama! Ya jelas saja Mama mau bertemu dengan mereka!" pekik wanita itu kesal."Tidak perlu!" Sebastian membalikkan badannya dan ia hendak meraih Tino dari gendongan sang Mama, namun wanita itu membawa Tino mundur. Ditatap oleh Sebastian, rupanya Tino mau ikut dengan Monica karena anak itu kini menggenggam beberapa lembar uang, percayalah meskipun kecil dia sangat materialistis. "Sayang, ayo ikut Papi," ajak Sebastian. "Iya Papi!" Tino langsung mengulurkan tangannya pada Sebastian. Monica menahan lengan Sebastian pelan, wanita itu menatapnya dengan ekspresi sedih. "Sebastian...." Helaan napas berat t
'Seharian ini dia membuatku salah tingkah!' Shela berucap dalam batin, gadis itu kini berada di dalam sebuah restoran mahal bersama Sebastian dan juga si kembar yang tidak akan mungkin ketinggalan bersamanya. Sebastian mengajak Shela makan bersama, seharian ini ia benar-benar disenangkan oleh Sebastian, diajak ke sana dan kemari, dibelikan banyak barang sekalipun Shela tidak mau, laki-laki itu tetap kukuh memaksanya. "Kenapa menatapku begitu, hem?" Sebastian menaikkan salah satu alisnya. Shela tersentak seketika, gadis itu langsung memalingkan wajahnya. "Tidak, tidak papa..." "Mami, jangan malu-malu sama Papi sendiri!" sahut Tiana yang duduk di samping Shela. "Apa sih, Sayang..." Shela menarik gemas pipi Tiana, dan ia tersenyum. Dua anak kembarnya lagi, tidak bersuara. Kalau sudah dihadapkan dengan spaghetti, mereka berdua akan anteng dan tidak bersuara sama sekali. Sebastian melirik mereka berdua, laki-laki itu tersenyum mengusap pucuk kepala anak-anak itu satu persatu. "En
"Jadi ini rumah baru kita ya, Mi? Bagus... Tiano suka!" "Iya bagus kayak istananya peri-peri di TV!" "Dasar Tiana, selalu saja kayak bocah," cibir Tino pada adik kembarannya. Shela hanya terkikik geli dengan mereka semua. Mereka berempat kini berada di dalam sebuah kamar luas dan besar di mana ada dua ranjang yang berjajar milik Tiano dan Tino. "Bagus ya, kamar kita, Tiano... Wahh, ada Thomas!" seru Tiano mengusap dinding kamar bergambar kereta berwarna biru, kartun favoritnya. "Punyaku dong, Tayo!" seru Tino dengan berkacak pinggang dan tersenyum lebar. "Sudah, sudah... Sekarang kan kalian punya kamar yang bagus, ada meja belajarnya, jadi kalian jangan sering ribut lagi, paham?!" seru Shela pada mereka berdua. "Siap Boss!" Keduanya menjawab kompak. Shela terkekeh geli, ia senang sekali melihat dua anaknya bahagia dengan rumah baru mereka."Ayo Sayang," ajak Shela meraih tangan mungil Tiana. Mereka berdua keluar dari dalam kamar. Shela mengajak Tiana ke sebuah kamar, dan ia
"Hari ini ke toko? Aku antarkan ya? Sekalian pulang ambil mainan anak-anak di rumah lama." Sebastian masuk ke dalam kamar Shela, laki-laki itu mendekati Tiana yang baru saja mandi. Dikecupi pipi gembil anak perempuan yang tengah asik memakan kue kering kesukaannya. "Iya boleh, nanti aku mau tinggal anak-anak di toko, Om," ujar Shela, masih bercermin dan mengikat rambut panjangnya. "Ditinggal ke mana? Kalau ada apa-apa dengan mereka bagaimana, hah? Jangan aneh-aneh," omel laki-laki itu. Shela menatapnya dari cermin. "Ada pesanan kue yang harus aku buat, di toko Morsil harus membuat croissant lebih banyak lagi untuk pesanan besok." "Di antar ke mana, hem?" Kali ini Sebastian bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Shela. Kegiatan Shela memakai lipstik mendadak terhenti, ia menatap Sebastian yang berdiri di sampingnya. Laki-laki itu berkacak pinggang di hadapan Shela dengan alis terangkat."Mau di antarkan ke mana, Shela? Ke tempat apa? Banyak laki-lakinya, tidak?" Sebastian
"Ini Nenek beri uang jajan pada kalian, makan yang enak-enak ya Sayang..." Monica memberikan uang di dalam angpao merah pada si kembar, wanita itu tidak mau menunjukkan nominalnya, yang jelas yang itu cukup untuk mereka membeli makanan satu hingga dua bulan. "Wahhh... Bisa beli pizza sekalian sama penjualnya," kekeh Tiano kesenangan, Monica hanya tersenyum. "Iya, Tiana mau beli banyak sekali marshmellow! Mau beli permen kapas, mau beli cokelat dan-""Jangan makan cokelat, kalau kau kambuh ngerepotin orang saja," sahut Tino menatap kembarannya dan cemberut. Monica berganti menatap Tiana yang sedang cemberut memukuli pundak Tino dan beralih memeluk Tiana. Ditatap wajah cantik bocah itu. "Anak manis, Tiana sakit apa, Sayang?" Monica mengusap lembut pipi Tiana. "Itu Nek, kata Om Dokter Adam, Tiana sakit leu... Leu apa, Tiano?" "Leukimia." Tino menoleh dan menatap Monica. Wanita itu terkejut dan terdiam seketika, ingatannya kembali pada mending putri bungsunya yang sudah meningga
Shela menangis duduk di sofa memeluk kedua lututnya, Sebastian masih setia memeluknya dengan hangat dan erat setelah laki-laki itu marah pada Shela, benar-benar marah karena semua yang Shela sembunyikan padanya akhirnya terbongkar. Tatapan mata Shela tertuju pada sebuah kertas hasil test DNA yang kapan hari dia sembunyikan, kini berada di tangan Sebastian. Semua fakta yang dia sembunyikan, telah terbongkar. "Kau menyesal aku menemukan ini?" tanya Sebastian meraih kertas itu dan menunjukkan pada Shela. Shela meraihnya dan menggeleng pelan. "Cepat jemput anak-anak," ujar Shela mendorong pelan pundak Sebastian. "Tunggu sebentar," sela Sebastian, ia semakin mendekatkan wajahnya dan mengusap air mata Shela. "Aku menunggumu selesai menangis, setelah selesai kau tidak menjelaskan apapun? Baik sekali..." "A-apa yang perlu aku jelaskan!" Shela menatap takut pada Sebastian. "Alasan kenapa kau tidak meminta tanggung jawab padaku!" seru Sebastian lagi, kali ini lebih tajam. "Karena aku ada
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut