"Papi, peluk..." Sebastian membuka kedua matanya pelan, ia tersenyum tipis begitu terbangun Tino, Tiano dan Tiana satu ranjang dengannya. Anak-anak itu ada yang tidur memeluknya, menumpu di atas tubuhnya, satunya lagi, Tino malah memunggungi Sebastian. "Anak Papi," lirih Sebastian mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala Tino dengan gemas. Tino menoleh, ternyata dia tidak tidur, anak itu diam saja terlihat anteng karena dia sedang bermain game di ponsel Shela. "Loh, kok tidak tidur? Sini peluk Papi," bujuk Sebastian pada Tino. Anak itu menggelengkan kepalanya. Tino masih diam dengan muka bantalnya menatap Sebastian yang hanya diam ditatap sedemikian rupa oleh anak itu. "Kenapa, Sayang?" Sebastian memperhatikan Tino. "Paman kok kenal sama Tante Bella? Yang semalam marah-marah di rumahku, itu Tante yang dompetnya Tino temuin di mall. Dia bilang wajahnya Tino itu sama seperti suaminya, memangnya suaminya Tante Bella siapa?" tanya Tino, pertanyaan yang membuat anak itu penasaran
"Sebastian, Mama ingin bertemu dengan kembarannya Tino, please..." Monica memohon pada Sebastian yang kini tengah bersiap pergi dengan si kembar. Laki-laki itu tidak terlalu merespon Mamanya, Sebastian tidak mau sang Mama akan berniat macam-macam, karena dia tahu Mamanya begitu respect pada Bella. "Buat apa, Ma?" tanya Sebastian tanpa menatapnya. "Buat apa, katamu?! Mereka ini Cucu Mama! Ya jelas saja Mama mau bertemu dengan mereka!" pekik wanita itu kesal."Tidak perlu!" Sebastian membalikkan badannya dan ia hendak meraih Tino dari gendongan sang Mama, namun wanita itu membawa Tino mundur. Ditatap oleh Sebastian, rupanya Tino mau ikut dengan Monica karena anak itu kini menggenggam beberapa lembar uang, percayalah meskipun kecil dia sangat materialistis. "Sayang, ayo ikut Papi," ajak Sebastian. "Iya Papi!" Tino langsung mengulurkan tangannya pada Sebastian. Monica menahan lengan Sebastian pelan, wanita itu menatapnya dengan ekspresi sedih. "Sebastian...." Helaan napas berat t
'Seharian ini dia membuatku salah tingkah!' Shela berucap dalam batin, gadis itu kini berada di dalam sebuah restoran mahal bersama Sebastian dan juga si kembar yang tidak akan mungkin ketinggalan bersamanya. Sebastian mengajak Shela makan bersama, seharian ini ia benar-benar disenangkan oleh Sebastian, diajak ke sana dan kemari, dibelikan banyak barang sekalipun Shela tidak mau, laki-laki itu tetap kukuh memaksanya. "Kenapa menatapku begitu, hem?" Sebastian menaikkan salah satu alisnya. Shela tersentak seketika, gadis itu langsung memalingkan wajahnya. "Tidak, tidak papa..." "Mami, jangan malu-malu sama Papi sendiri!" sahut Tiana yang duduk di samping Shela. "Apa sih, Sayang..." Shela menarik gemas pipi Tiana, dan ia tersenyum. Dua anak kembarnya lagi, tidak bersuara. Kalau sudah dihadapkan dengan spaghetti, mereka berdua akan anteng dan tidak bersuara sama sekali. Sebastian melirik mereka berdua, laki-laki itu tersenyum mengusap pucuk kepala anak-anak itu satu persatu. "En
"Jadi ini rumah baru kita ya, Mi? Bagus... Tiano suka!" "Iya bagus kayak istananya peri-peri di TV!" "Dasar Tiana, selalu saja kayak bocah," cibir Tino pada adik kembarannya. Shela hanya terkikik geli dengan mereka semua. Mereka berempat kini berada di dalam sebuah kamar luas dan besar di mana ada dua ranjang yang berjajar milik Tiano dan Tino. "Bagus ya, kamar kita, Tiano... Wahh, ada Thomas!" seru Tiano mengusap dinding kamar bergambar kereta berwarna biru, kartun favoritnya. "Punyaku dong, Tayo!" seru Tino dengan berkacak pinggang dan tersenyum lebar. "Sudah, sudah... Sekarang kan kalian punya kamar yang bagus, ada meja belajarnya, jadi kalian jangan sering ribut lagi, paham?!" seru Shela pada mereka berdua. "Siap Boss!" Keduanya menjawab kompak. Shela terkekeh geli, ia senang sekali melihat dua anaknya bahagia dengan rumah baru mereka."Ayo Sayang," ajak Shela meraih tangan mungil Tiana. Mereka berdua keluar dari dalam kamar. Shela mengajak Tiana ke sebuah kamar, dan ia
"Hari ini ke toko? Aku antarkan ya? Sekalian pulang ambil mainan anak-anak di rumah lama." Sebastian masuk ke dalam kamar Shela, laki-laki itu mendekati Tiana yang baru saja mandi. Dikecupi pipi gembil anak perempuan yang tengah asik memakan kue kering kesukaannya. "Iya boleh, nanti aku mau tinggal anak-anak di toko, Om," ujar Shela, masih bercermin dan mengikat rambut panjangnya. "Ditinggal ke mana? Kalau ada apa-apa dengan mereka bagaimana, hah? Jangan aneh-aneh," omel laki-laki itu. Shela menatapnya dari cermin. "Ada pesanan kue yang harus aku buat, di toko Morsil harus membuat croissant lebih banyak lagi untuk pesanan besok." "Di antar ke mana, hem?" Kali ini Sebastian bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Shela. Kegiatan Shela memakai lipstik mendadak terhenti, ia menatap Sebastian yang berdiri di sampingnya. Laki-laki itu berkacak pinggang di hadapan Shela dengan alis terangkat."Mau di antarkan ke mana, Shela? Ke tempat apa? Banyak laki-lakinya, tidak?" Sebastian
"Ini Nenek beri uang jajan pada kalian, makan yang enak-enak ya Sayang..." Monica memberikan uang di dalam angpao merah pada si kembar, wanita itu tidak mau menunjukkan nominalnya, yang jelas yang itu cukup untuk mereka membeli makanan satu hingga dua bulan. "Wahhh... Bisa beli pizza sekalian sama penjualnya," kekeh Tiano kesenangan, Monica hanya tersenyum. "Iya, Tiana mau beli banyak sekali marshmellow! Mau beli permen kapas, mau beli cokelat dan-""Jangan makan cokelat, kalau kau kambuh ngerepotin orang saja," sahut Tino menatap kembarannya dan cemberut. Monica berganti menatap Tiana yang sedang cemberut memukuli pundak Tino dan beralih memeluk Tiana. Ditatap wajah cantik bocah itu. "Anak manis, Tiana sakit apa, Sayang?" Monica mengusap lembut pipi Tiana. "Itu Nek, kata Om Dokter Adam, Tiana sakit leu... Leu apa, Tiano?" "Leukimia." Tino menoleh dan menatap Monica. Wanita itu terkejut dan terdiam seketika, ingatannya kembali pada mending putri bungsunya yang sudah meningga
Shela menangis duduk di sofa memeluk kedua lututnya, Sebastian masih setia memeluknya dengan hangat dan erat setelah laki-laki itu marah pada Shela, benar-benar marah karena semua yang Shela sembunyikan padanya akhirnya terbongkar. Tatapan mata Shela tertuju pada sebuah kertas hasil test DNA yang kapan hari dia sembunyikan, kini berada di tangan Sebastian. Semua fakta yang dia sembunyikan, telah terbongkar. "Kau menyesal aku menemukan ini?" tanya Sebastian meraih kertas itu dan menunjukkan pada Shela. Shela meraihnya dan menggeleng pelan. "Cepat jemput anak-anak," ujar Shela mendorong pelan pundak Sebastian. "Tunggu sebentar," sela Sebastian, ia semakin mendekatkan wajahnya dan mengusap air mata Shela. "Aku menunggumu selesai menangis, setelah selesai kau tidak menjelaskan apapun? Baik sekali..." "A-apa yang perlu aku jelaskan!" Shela menatap takut pada Sebastian. "Alasan kenapa kau tidak meminta tanggung jawab padaku!" seru Sebastian lagi, kali ini lebih tajam. "Karena aku ada
"Shela hanya kelelahan saja, tidak papa kok. Sekarang juga memasuki pergantian musim, biasanya memang banyak orang yang demam." Penjelasan dokter perempuan itu membuat Shela mengangguk, ia memegangi kepalanya yang sudah tidak terlalu pusing seperti selama. Di sampingnya ada Sebastian dan dua anak kembarnya. "Terima kasih dok, tapi apa sakit kepalanya bisa segera reda, dok?" tanya Sebastian cemas. Wanita dengan balutan jas putih itu mengangguk. "Iya Tuan, jangan khawatir. Kalau Shela istirahat dengan cukup, demam dan pusingnya akan segera sembuh." Barulah Sebastian bernapas lega, laki-laki itu mengangguk paham. "Baiklah, terima kasih dok..." "Sama-sama Tuan, kalau begitu saya permisi." Dokter Yasha keluar dari dalam kamar dan diikuti oleh Josh yang tadinya membawa dokter itu datang pagi ini untuk memeriksa Shela. Baru kali ini Shela sakit sampai tidak berdaya, mungkin ia lelah, syok, dan banyak pikiran. "Papi apain Mamiku kok sampai sakit begini?!" pekik Tino berdiri di hadap