"Shela hanya kelelahan saja, tidak papa kok. Sekarang juga memasuki pergantian musim, biasanya memang banyak orang yang demam." Penjelasan dokter perempuan itu membuat Shela mengangguk, ia memegangi kepalanya yang sudah tidak terlalu pusing seperti selama. Di sampingnya ada Sebastian dan dua anak kembarnya. "Terima kasih dok, tapi apa sakit kepalanya bisa segera reda, dok?" tanya Sebastian cemas. Wanita dengan balutan jas putih itu mengangguk. "Iya Tuan, jangan khawatir. Kalau Shela istirahat dengan cukup, demam dan pusingnya akan segera sembuh." Barulah Sebastian bernapas lega, laki-laki itu mengangguk paham. "Baiklah, terima kasih dok..." "Sama-sama Tuan, kalau begitu saya permisi." Dokter Yasha keluar dari dalam kamar dan diikuti oleh Josh yang tadinya membawa dokter itu datang pagi ini untuk memeriksa Shela. Baru kali ini Shela sakit sampai tidak berdaya, mungkin ia lelah, syok, dan banyak pikiran. "Papi apain Mamiku kok sampai sakit begini?!" pekik Tino berdiri di hadap
"Aku berangkat dulu ya, kalau ada apa-apa hubungi aku saja. Kau mau titip sesuatu kalau aku pulang kerja nanti?" Sebastian menatap Shela yang baru saja turun dari dalam mobil. Mereka berada di depan toko roti, laki-laki tampan itu dengan stelan formalnya, ia mengusap pipi Shela dengan mesra. Dan Shela menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak Om, aku tidak titip apapun. Nanti aku bisa beli sendiri." "Jangan pergi ke mana-mana, diam saja di sini jaga anak-anak, jangan terlalu lelah," tutur Sebastian masih mencekal lembut pergelangan tangan Shela. Gadis itu mengangguk saja mendengarkan tuturan laki-laki posesif ini, Sebastian tersenyum manis dan mendekati Shela meninggalkan satu kecupan di sudut bibir Shela. Tubuh Shela mematung di tempat atas apa yang Sebastian lakukan. Laki-laki itu menepuk pipinya gemas. "Aku pergi dulu," pamitnya. Shela tersentak dan mengangguk cepat menyembunyikan wajahnya yang memerah. "Iya, hati-hati." Sebastian hendak keluar, ia menoleh ke arah Morsil yang
Sebastian kembali ke toko, ia menemui Shela dan anak-anak seraya membawa beberapa makanan dan puding leci seperti yang Tiana mau. Benar saja, setibanya di sana Tiana masih belum berhenti menangis. Sebastian tahu kalau putri kecilnya itu masih dalam masa tantrum, apapun keinginannya kalau tidak dituruti, dia akan mengamuk. Dan kini Tiana sangat menikmati makanan itu. "Enak, Sayang? Mau lagi?" tawar Shela menambahkan puding leci itu ke dalam mangkuk. "Iya, mau lagi Mami," jawab Tiana tersenyum manis. "Anak pintar..." Sebastian berbaring di belakang Tiana yang sedang duduk dan memeluk punggung mungil putri kesayangannya. Sementara dua anak kembar laki-lakinya tengah belajar menggambar di sampingnya, namun juga dengan menonton TV tayangan kartun kesukaannya.Shela berada di antara mereka berempat, ia menatap Sebastian yang nampak memejamkan kedua matanya seraya memeluk Tiana, mereka asik berbaringan di lantai beralaskan karpet tebal bulu-bulu di dalam sebuah ruangan. "Om tidak kemba
"Papi ngapain kok bobo sama Mamiku! Ihhh Papi! Kesel deh, minggir Papi... Minggiran sini!" Amukan Tino dan Tiano membuat Sebastian, Shela, juga kembaran kedua anak itu tertawa. Pasalnya, saat pagi mereka bangun, kedua anak itu melihat ada Sebastian yang tengah tidur bersama Shela dan Tiana. Selain kesal karena tidak diajak gabung, keduanya juga kesal ternyata Papinya tidak tidur bersama mereka. "Papi mau tidur sama Mami kok," sahut Sebastian, laki-laki itu menarik lengan Shela dan memeluk Shela. Sedangkan Shela hanya terkekeh, seolah larut dalam candaan yang mereka ciptakan, Shela balik memeluk Sebastian. Ketiga bocah itu terdiam dengan wajah kikuk mereka. Tapi ekspresi mereka mendadak menjadi sangat berseri-seri. "Gini dong! Kalau gini Tiano suka," kekeh Tiano. "Iya! Kayak gitu terus ya Pi!" Tino langsung menarik lengan Tiana dan diajaknya turun juga dari atas ranjang. "Ayo... Ayo Tiana, ayo tinggalin Papi sama Mami pergi!" Ketiga anak itu berlari keluar dari dalam kamar. Mer
"Besok kita mau sekolah, Tiana... Tiana tidak sekolah!""Iya, iya, nanti di sekolah kita punya banyak teman. Main sama teman-teman, Tiana di rumah sama Mami! Kasihan deh loh...!" Tino dan Tiano mengejek kembarannya seraya menata semua peralatan sekolah mereka. Kedua anak itu asik sendiri, dan menertawakan Tiana yang tidak akan sekolah bersama-sama. Ejekan mereka membuat Tiana kesal, anak itu hendak menangis. "Mami... Kakak nakal!" teriak Tiana dari sana, ia meraih mainan Lego miliknya dan melemparkan ke arah Tino dan Tiano. "Hayoo! Tino, Tiano! Buat adikmu nangis lagi!" sentak Morsil muncul dari arah dapur toko. Kedua anak kembar laki-laki itu kembali diam dan Tiana berhenti menangis, meskipun masih kesal. Setelah Morsil kembali masuk ke dalam, Tino dan Tiano kembali lagi pula membuat adiknya menangis. "Tiana... Besok kita pakai seragam baru, pakai sepatu baru, tas baru, emm..." "Tiana juga punya kok!" seru Tiana melawan dua kembarannya. "Iya punya, tapi kan tidak sekolah!" T
Hari sudah malam, Shela sudah ada di rumah. Ia berada di ruang makan bersama Tiana, setelah Tino dan Tiano selesai makan malam. Dua anaknya sibuk bersiap-siap, besok akan datang ke sekolah baru mereka. Untuk pertama kalinya mereka bersekolah, jelas saja kedua anak kembar laki-laki itu memiliki antusias yang tinggi. "Mom, besok Tino mau pakai kaus kaki yang merah ya," pinta Tino seraya memakan potongan buah semangka. "Oh iya, aku lupa, kaus kaki..!" Tiano sontak langsung lompat dari kursinya dan berlari ke lantai dua di kamarnya. Shela terkekeh, ia menatap Tino dan mengangguk. "Iya Sayang," jawabnya. Mendengar obrolan Mami dan Kakak kembarannya, Tiana yang duduk di atas tepi meja makan, anak itu menatap sang Mama seraya membawa potongan jagung manis rebus yang ya makan. "Tiana juga! Mami... Tiana pakai yang warna pink," seru anak itu tersenyum manis. "Iya dong, besok kita ikut ke sekolah Tino dan Tiano, okay?!" Shela mengecup pipi Tiana. "Huum, mau sekali!" Ekspresi wajah puc
"Akhirnya kita sekolah juga! Asik, asik..! Tiana tidak sekolah, kita berdua sekolah!" Ejekan itu membuat Tiana yang berjalan digandeng Shela langsung menoleh pada Tiano yang terkikik ke arahnya. Sejak di rumah tadi hingga kini mereka berada di area sekolah taman kanak-kanak, Tiana sudah muram dan marah. Melihat dua kembarannya memakai seragam sekolah, sedangkan dirinya tidak. Meskipun Sebastian dan Shela juga sama-sama membelikan sepatu, tas, dan berbagai alat tulis lainnya. "Jangan buat Tiana nangis, mau ribut di sini, hah?!" Tino langsung memukul lengan Tiano dengan tatapan kesal. "Sudah, sudah jangan ribut!" Shela menjewer telinga mereka berdua pelan. Kedua anaknya itu memang beberapa hari sungguh-sungguh menguji kesabaran Shela, selain tingkah mereka yang nakal, keduanya juga selalu membuat Tiana berteriak dan marah. Muncul Sebastian dari dalam area sekolah, laki-laki itu melambaikan tangannya pada kedua anaknya, dan Shela bersama Tiana mengikuti mereka. "Ini sekolah baru
"Mami, Tiana tidak papa, kan?" Dalam gendongan Shela, anak itu bertanya. Tiana duduk di pangkuan Shela di dalam mobil menuju pulang dari rumah sakit. Shela tersenyum manis dan menggeleng pelan. "Tidak papa kok, kata Dokter Marisa sebentar lagi Tiana mau sembuh," jawab Shela mengecup manis pipi Tiana. Anak itu terkikik geli, dia mengangguk gemas. "Kalau Tiana sembuh, Mami dan Papi sama-sama terus ya," pinta anak itu menyandarkan kepalanya di dada Shela. Sebastian menoleh sejenak, dia tersenyum mengelus pucuk kepala Tiana dengan satu tangannya. "Tentu saja, memangnya Mami sama Papi mau ke mana? Selalu sama-sama terus kok, kita berdua akan selalu menjaga Tiana," jelas Sebastian. "Iya. Bagus..." Tiana kembali diam memeluk tubuh Shela, memegangi jaket yang Shela pakai dan memandangi punggung tangannya bekas tusukan jarum infus yang terpasang plaster. Shela merenung mengusap punggung kecil Tiana, kata-kata Dokter Marisa masih terus terngiang dalam kepalanya. Shela benar-benar sedih
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut