Setelah Sebastian mengajak Shela menikah, semalaman Shela terjaga karena memikirkan hal tersebut. Bahkan pagi ini saat ia berada di toko, gadis itu tidak fokus dan terus menerus memikirkan jawaban apa yang tepat. "Mami, ini sudah..." Suara Tiana membuyarkan lamunan Shela, anak itu menyerahkan botol susu cokelatnya pada Shela. "Oh, sudah Sayang?" "Iya, sudah. Tiana mau main lagi," jawab anak itu tersenyum manis.Shela mengangguk, ia mengikuti Tiana yang duduk di sebuah sofa dan bermain dengan beberapa boneka yang ia tata di atas meja kecil. Tiba-tiba pintu toko terbuka, nampak sosok Adam yang datang membawa sebuah boneka Teddy bear putih besar. "Om Adam!" Tiana langsung turun dari atas sofa, anak itu berdiri di hadapan Adam menatap berbinar-binar pada boneka yang Adam bawakan. "Ini buat Tiana," ujar Adam memberikan boneka itu. "Waahh... Tiana suka sekali! Terima kasih!" pekik bocah cantik itu lompat-lompat kesenangan. Shela tersenyum tipis menatap Tiana yang kini memeluk bonek
Keributan semalam yang diketahui oleh Tiano membuat bocah itu pagi ini sudah lengket dengan Shela dan Tiana, Tiano tidak sedikitpun menyapa Papinya. Padahal antara ia dan Tino, biasanya Tiano yang lebih dekat dan manja pada Sebastian. Sedangkan Tino biasa saja, karena anak itu menganggap dirinya yang paling sulung, Tino beranggapan dialah anak yang paling dewasa, meskipun usia mereka sama rata. "Sarapan dulu, Sayang... Makan yang banyak supaya sekolahnya nanti tambah pintar," ujar Shela menyiapkan sarapan untuk ketiga anaknya. "Tiana tidak mau itu, Mami... Mau buah pisang!" Tiana menunjuk ke dalam keranjang buah. Shela memberikannya, Tino dan Tiano tidak banyak cakap. Anak itu langsung memakan apa yang Maminya siapkan. Hingga muncul Sebastian, laki-laki itu berjalan ke arah dapur dan tidak menyapa Shela sama sekali. "Papi tidak sarapan?" tanya Tino menatap Sebastian. "Kalian sarapan saja dulu," jawab laki-laki itu mengecup pipi Tino, Tiana, dan giliran ia mendekati Tiano, anak
Sebastian memandangi wajah Shela yang kini tertidur dengan nyenyak. Memeluk Tiana yang sudah bangun sejak beberapa menit yang lalu, namun putri kecilnya itu masih enggan melakukan apapun. "Tidur lagi, Sayang," bisik Sebastian mengecup pipi Tiana. Anak itu bergerak cepat meringkuk memeluk leher Shela dan mulai merengek-rengek seperti biasa. "Mami bangun," bisik anak itu di telinga Shela. Entah saking lelahnya, atau memang Shela mengabaikan putrinya. Gadis itu tidak membuka kedua matanya sama sekali. "Mami... Ih Mami tidak sayang Tiana lagi," cicit Tiana cemberut memainkan kancing piyama yang Shela pakai. Tingkah lucu Tiana membuat Sebastian terkekeh pelan, laki-laki itu langsung beringsut bangun. Ia turun dari atas ranjang dan mengulurkan kedua tangannya pada Tiana. Anak itu tidak mau digendong, Tiana turun sendiri dan ia berjalan dua langkah sebelum bocah itu nyaris saja terjungkal hingga Sebastian langsung menahannya. "Sayang, tidak papa?!" pekik Sebastian, ia langsung membun
"Tiana akan aku ajak jalan-jalan! Kau jangan melarangku!" Monica, wanita itu langsung merebut Tiana dari gendongan Shela saat itu juga. Semudah itu Monica mengambil Tiana dari gendongan Shela dan mendorong pundak Shela hingga terjatuh di sofa. Putri kecilnya berada dalam gendongan sang Nenek, menatap Maminya dengan tatapan sedih meronta. "Ma... Jangan, Tiana masih sakit! Ma!" Shela langsung mengejar Monica yang gegas melangkah keluar. "Ma, tunggu dulu... Ma!" Langkah kaki Monica begitu tergesa-gesa, entah kenapa Tiana pun juga tidak menangis seperti biasanya. Padahal dia melihat Shela mengejarnya. Anak itu hanya menatapi Shela dan melambaikan tangannya begitu Tiana lebih dulu Monica masukkan ke dalam mobil. "Ma tunggu!" Shela menarik lengan Monica. "Apa sih, Shela!" Monica menyentak tangan Shela dengan kuat. "Aku ini Neneknya! Aku berhak membawa Cucuku pergi jalan-jalan, makan enak, dan memanjakan dia! Aku tidak menjamin selama ini Tiana bahagia tinggal denganmu yang hidup serb
Sebastian dan Shela berlari masuk ke dalam rumah sakit, setengah jam yang lalu Monica menghubunginya dan mengatakan kalau Tiana kambuh dan dilarikan ke rumah sakit. Di lorong rumah sakit Sebastian melihat Mamanya dan Bella di sana. Shela berjalan cepat, ia menatap marah Monica dan Bella. "Di mana anakku?!" pekik Shela menatap mereka. "Shela tenang..." Sebastian merangkulnya erat dan memeluknya. Di depannya, Bella terpaku, ia terkejut bukan main. Jadi, wanita yang Sebastian sayangi, Ibu dari ketiga anaknya adalah Shela, keponakan Sebastian! "Tiana..." Shela menangis mendorong Sebastian, ia menatap ke dalam sebuah ruangan, di mana anaknya dirawat di dalam sana. "Apa yang kalian lakukan pada anakku... Kenapa kalian selalu mengusik hidupku, KENAPA?!" Shela menoleh ke arah Monica dan Bella. Ia terduduk di lantai dan menangis, lagi-lagi Sebastian memeluknya dan menenangkan Shela meskipun gadis itu mendorongnya berkali-kali. "Jangan menyentuhku lagi! Pergi kau... Ajak Mamamu pergi,
Hampir dua jam lamanya Shela berdiri di depan dinding kaca menatap putrinya yang terbaring lemah di dalam sebuah ruangan. Shela merasa hidupnya benar-benar hampa, meskipun ada dua anak lagi yang harus ia perhatikan, tapi Shela berjuang mati-matian enggan untuk mengabaikan Tiana barang satu detik pun. "Aku terlalu terlena, harusnya semua itu tetap menjadi rahasia," lirih Shela tertunduk, kakinya begitu gemetar berdiri cukup lama. "Andai semuanya masih tersembunyi, Tiana tidak akan seperti ini..." Shela terduduk di lantai yang dingin, ia menundukkan kepalanya dan kepalanya begitu sakit. Kali ini Shela merasakan sebuah rasa lelah yang luar biasa. Gadis itu mengambil ponselnya, bagaimanapun juga ia harus bercerita pada kedua orang tuanya, menceritakan segalanya tentang lima tahun ini, dan kondisi Tiana sekarang. Shela diam menunggu panggilan itu dijawab. "Halo... Halo Sayang, ada apa nak? Kenapa telfon Mama malam-malam, Sayang?" Stevani membuka suara. "Mama..." Shela benar-benar me
Keesokan harinya, Sebastian menyusul Tino dan Tiano yang ia ajak ke rumah untuk menemui Tiana. Semalaman Tiana terus menerus menyebut-nyebut nama kembarannya, mungkin dia sangat rindu. Kedatangan Tino dan Tiano membuat Tiana tersenyum, meskipun dia sedikit irit bicara, setidaknya kembarannya mau menghiburnya. "Mam, kita semalam demam. Mungkin karena kangen Tiana ya," ujar Tino sambil memeluk sang kembaran. "Iya, kita berdua kangen banget sama Tiana." Tiano menatap lekat dan dekat wajah adik kembarannya. "Tiana, kangen aku tidak?"Tiana hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum, tangan mungilnya memeluk Tiano. "Cepat sembuh ya Sayang, biar bisa main lagi," ujar Shela merapikan dan mengepang dua rambut Tiana. "Mami, nanti pulang, tidak? Kita juga kangen sama Mami." Tino mendekati Shela dan memeluknya. Shela mendekap hangat tubuh Tino. "Mami juga kangen, Sayang. Tapi adik kan masih sakit, besok kalau adik sudah sembuh Mami pasti temani kalian tidur." "Tidak usah Mi, Mami temani
Dua hari Shela di rumah sakit ditemani oleh Mamanya, mereka berdua menjaga Tiana dan juga dua anak kembarnya yang lain. Dengan adanya sang Stevani, Shela benar-benar sangat tertolong. Apalagi mengasuh Tino dan Tiano bukanlah perkara yang sangat mudah. "Ihhh... Kalah! Tidak suka!" pekik Tiana melemparkan ponsel milik Shela ke atas kasur di sampingnya. "Ehh, kenapa? Apanya yang kalah, Sayang?" Stevani mendekati Cucunya. "Biasa Oma, Adik Tiana selalu marah kalau kalah main game, sudah Tino bilangan tidak usah main, masih aja main!" Tino mengomel seraya menatap kembaran perempuannya itu. Tiana malah menatap sang Kakak dengan tatapan kesal. "Tino nakal!" teriak Tiana marah-marah. Muncul Shela masuk ke dalam ruangan itu bersama dengan Tiano. Mereka baru saja mencari makan, sekalian meminta Dokter Marisa memeriksa Tiana lagi. "Loh, kenapa marah-marah, Sayang?" Shela mendekati sang putri. Di sana, Stevani menggendong Tiana lagi. Anak itu menyandarkan kepalanya di pundak sang Oma. "T
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut