Hampir dua jam lamanya Shela berdiri di depan dinding kaca menatap putrinya yang terbaring lemah di dalam sebuah ruangan. Shela merasa hidupnya benar-benar hampa, meskipun ada dua anak lagi yang harus ia perhatikan, tapi Shela berjuang mati-matian enggan untuk mengabaikan Tiana barang satu detik pun. "Aku terlalu terlena, harusnya semua itu tetap menjadi rahasia," lirih Shela tertunduk, kakinya begitu gemetar berdiri cukup lama. "Andai semuanya masih tersembunyi, Tiana tidak akan seperti ini..." Shela terduduk di lantai yang dingin, ia menundukkan kepalanya dan kepalanya begitu sakit. Kali ini Shela merasakan sebuah rasa lelah yang luar biasa. Gadis itu mengambil ponselnya, bagaimanapun juga ia harus bercerita pada kedua orang tuanya, menceritakan segalanya tentang lima tahun ini, dan kondisi Tiana sekarang. Shela diam menunggu panggilan itu dijawab. "Halo... Halo Sayang, ada apa nak? Kenapa telfon Mama malam-malam, Sayang?" Stevani membuka suara. "Mama..." Shela benar-benar me
Keesokan harinya, Sebastian menyusul Tino dan Tiano yang ia ajak ke rumah untuk menemui Tiana. Semalaman Tiana terus menerus menyebut-nyebut nama kembarannya, mungkin dia sangat rindu. Kedatangan Tino dan Tiano membuat Tiana tersenyum, meskipun dia sedikit irit bicara, setidaknya kembarannya mau menghiburnya. "Mam, kita semalam demam. Mungkin karena kangen Tiana ya," ujar Tino sambil memeluk sang kembaran. "Iya, kita berdua kangen banget sama Tiana." Tiano menatap lekat dan dekat wajah adik kembarannya. "Tiana, kangen aku tidak?"Tiana hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum, tangan mungilnya memeluk Tiano. "Cepat sembuh ya Sayang, biar bisa main lagi," ujar Shela merapikan dan mengepang dua rambut Tiana. "Mami, nanti pulang, tidak? Kita juga kangen sama Mami." Tino mendekati Shela dan memeluknya. Shela mendekap hangat tubuh Tino. "Mami juga kangen, Sayang. Tapi adik kan masih sakit, besok kalau adik sudah sembuh Mami pasti temani kalian tidur." "Tidak usah Mi, Mami temani
Dua hari Shela di rumah sakit ditemani oleh Mamanya, mereka berdua menjaga Tiana dan juga dua anak kembarnya yang lain. Dengan adanya sang Stevani, Shela benar-benar sangat tertolong. Apalagi mengasuh Tino dan Tiano bukanlah perkara yang sangat mudah. "Ihhh... Kalah! Tidak suka!" pekik Tiana melemparkan ponsel milik Shela ke atas kasur di sampingnya. "Ehh, kenapa? Apanya yang kalah, Sayang?" Stevani mendekati Cucunya. "Biasa Oma, Adik Tiana selalu marah kalau kalah main game, sudah Tino bilangan tidak usah main, masih aja main!" Tino mengomel seraya menatap kembaran perempuannya itu. Tiana malah menatap sang Kakak dengan tatapan kesal. "Tino nakal!" teriak Tiana marah-marah. Muncul Shela masuk ke dalam ruangan itu bersama dengan Tiano. Mereka baru saja mencari makan, sekalian meminta Dokter Marisa memeriksa Tiana lagi. "Loh, kenapa marah-marah, Sayang?" Shela mendekati sang putri. Di sana, Stevani menggendong Tiana lagi. Anak itu menyandarkan kepalanya di pundak sang Oma. "T
Saat pagi tiba, Sebastian terbangun lebih dulu. Di luar masih gelap, kamarnya pun masih gelap pula. Lengannya sangat kebas karena Shela yang memeluknya semalaman penuh dan menjadikan lengan kiri laki-laki itu sebagai bantalnya. Kini pun gadis itu masih lelap meringkuk memelukmu dengan erat. "Ya ampun," lirih Sebastian mengusap wajahnya pelan dan menghela napas panjang. Pelan ia melepaskan pelukannya pada Shela, ditatap wajah cantik itu beberapa detik sampai Sebastian tersenyum manis. "Lanjutkan tidurmu, Sayang," bisik Sebastian mengecup kening Shela. Barulah laki-laki itu bangkit dari duduknya. Sebastian melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar mandi, membersihkan tubuhnya dan bersiap. Ia harus menyiapkan sarapan untuk si kembar, dan Sebastian juga sudah meminta Josh mencarikan pembantu juga, agar semua pekerjaan Shela tidak terlalu berat. Begitu Sebastian membuka pintu kamar, ia cukup terkejut saat melihat dua putranya berdiri tepat di depan pintu kamarnya. "Pagi Sayang," sapa
Sebuah cincin pernikahan bermata bening yang cantik dan indah, berjajar dengan berbagai model di hadapan Shela di dalam kotak beludru merah dan biru tua. Seumur hidup, Shela tidak pernah membayangkan kalau jarinya akan diselipi oleh cincin secantik itu. "Pilih yang mana, Shela?" Sebastian hanya berdiri di samping Shela dan menatapi wajah gadisnya. Diam dan tidak menjawab, mungkin Shela menyukai semuanya. "Sebentar, biarkan Istriku memilih," ujar Sebastian tiba-tiba pada pelayan toko itu. "Iya Tuan." Ucapan mereka membuat Shela kembali menoleh pada Sebastian. Laki-laki itu merangkul pundaknya dan menatap tiga pilihan cincin di hadapan mereka."Aku bingung," lirih Shela menggembungkan kedua pipinya. "Bagus semua. Tapi, kau benar-benar membelikan ini untukku? Kau tidak akan melamar wanita lain, kan?" Pertanyaan Shela membuat beberapa perempuan di sampingnya menoleh, bahkan karyawan toko pun menatap ke arah Sebastian juga. Sebastian berdehem, ia menundukkan kepalanya dan menggaruk
"Rupanya kau datang ke sini juga, ingin membela Sebastian dan anak tirimu yang tidak tahu diri itu, hah?!" Monica berucap dengan sangat angkuh pada Ferdi, di sana bahkan ada Stevani dan Sebastian. Mereka sengaja meninggalkan Shela di rumah bersama Bibi dan kedua anaknya. Tidak disangka-sangka, kalau Graham mengikuti mereka datang ke Birmingham pula dan kembali menempati rumah yang seharusnya milik Ferdi untuk Shela. "Ma, Pa, aku datang ke sini ingin mengatakan sesuatu yang penting," ujar Ferdi dengan tatapannya yang begitu lekat. "Apa? Jangan bilang kau ingin keluar dari dalam keluarga Morgan hanya karena anak tirimu itu!" seru Graham marah. Stevani benar-benar kesal, namun ia harus menekannya dalam-dalam. "Pa-""Sebastian..." Ferdi menatap adiknya. Monica pun sudah berapi-api, wanita licik itu benar-benar tidak menyukai Stevani. Sejak awal, bahkan di pernikahan Stevani dan Ferdi pun dia dulu juga tidak datang. "Semua ini salah Shela! Aku yakin kalau dia menjebak Sebastian, di
"Jelaskan semuanya, jangan membuatku bingung. Sayang..." Shela melembut, hanya cara itu agar Sebastian tidak terpancing emosinya. Kedua telapak tangan Shela menangkup rahang tegas laki-laki itu. Iris hitam Sebastian begitu menyorot tajam, sepertinya dia baru saja marah dan kesal. "Tidak perlu menutupi apapun, aku kan milikmu," ujar Shela mengusap pipi Sebastian dengan ibu jarinya. Shela masih mendongak dan kali ini tersenyum. Selembut mungkin, sesabar mungkin sampai laki-laki itu mengaku apa yang terjadi antara ia dan keluarganya. "Kita akan menikah, itulah yang aku putuskan," jawab Sebastian beralih menarik pinggang kecil Shela."Sebastian, aku tidak tahu kenapa ka-"Ucapan Shela terhenti begitu saja saat Sebastian tiba-tiba mengecupnya, laki-laki itu merengkuh erat tubuh Shela dan pelan membimbingnya ke arah ranjang. Shela mendorong pelan pundak laki-laki itu, namun Sebastian semakin melumat bibirnya. Jangan ditanya setakut apa Shela saat ini. "Se-sebastian... Tidak, jangan d
"Asik, jalan-jalan sama Papi! Kita mau ke mana, Papi? Tiana nanti belikan es krim, ya?!" Tiana, anak itu sudah cantik dengan pakaian hangatnya dalam gendongan Sebastian. Di sampingnya ada Tiano yang berjalan dengan tangan digandeng oleh sang Papi. Mereka terlihat begitu bahagia dan ceria seperti tak ada masalah apa-apa. "Iya, kita akan jalan-jalan. Ke manapun kalian pergi, Papi akan turuti," ujar Sebastian tersenyum manis. "Wah, keren! Tino tidak ikut, Pi?" tanya Tiano, anak itu menatap kembarannya yang kini berdiri di balik pintu ruang keluarga menatap ke arah mereka. Sebastian menatapnya hangat. Anak itu merajuk pula pada Sebastian setelah dia tahu Sebastian tidak semesra biasanya pada Maminya. Tino menatap kesal pada Papinya, dia bahkan enggan bermain dengan dua kembarannya. "Tino, mau ikut Papi?" tawar Sebastian pada putranya. Tino menggeleng. "Tidak mau, kalau Tino ikut pergi, nanti Mami kesepian. Kasihan Mami..." Anak itu menjawab dengan wajah sedih. Sebastian menghela
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut