"Jelaskan semuanya, jangan membuatku bingung. Sayang..." Shela melembut, hanya cara itu agar Sebastian tidak terpancing emosinya. Kedua telapak tangan Shela menangkup rahang tegas laki-laki itu. Iris hitam Sebastian begitu menyorot tajam, sepertinya dia baru saja marah dan kesal. "Tidak perlu menutupi apapun, aku kan milikmu," ujar Shela mengusap pipi Sebastian dengan ibu jarinya. Shela masih mendongak dan kali ini tersenyum. Selembut mungkin, sesabar mungkin sampai laki-laki itu mengaku apa yang terjadi antara ia dan keluarganya. "Kita akan menikah, itulah yang aku putuskan," jawab Sebastian beralih menarik pinggang kecil Shela."Sebastian, aku tidak tahu kenapa ka-"Ucapan Shela terhenti begitu saja saat Sebastian tiba-tiba mengecupnya, laki-laki itu merengkuh erat tubuh Shela dan pelan membimbingnya ke arah ranjang. Shela mendorong pelan pundak laki-laki itu, namun Sebastian semakin melumat bibirnya. Jangan ditanya setakut apa Shela saat ini. "Se-sebastian... Tidak, jangan d
"Asik, jalan-jalan sama Papi! Kita mau ke mana, Papi? Tiana nanti belikan es krim, ya?!" Tiana, anak itu sudah cantik dengan pakaian hangatnya dalam gendongan Sebastian. Di sampingnya ada Tiano yang berjalan dengan tangan digandeng oleh sang Papi. Mereka terlihat begitu bahagia dan ceria seperti tak ada masalah apa-apa. "Iya, kita akan jalan-jalan. Ke manapun kalian pergi, Papi akan turuti," ujar Sebastian tersenyum manis. "Wah, keren! Tino tidak ikut, Pi?" tanya Tiano, anak itu menatap kembarannya yang kini berdiri di balik pintu ruang keluarga menatap ke arah mereka. Sebastian menatapnya hangat. Anak itu merajuk pula pada Sebastian setelah dia tahu Sebastian tidak semesra biasanya pada Maminya. Tino menatap kesal pada Papinya, dia bahkan enggan bermain dengan dua kembarannya. "Tino, mau ikut Papi?" tawar Sebastian pada putranya. Tino menggeleng. "Tidak mau, kalau Tino ikut pergi, nanti Mami kesepian. Kasihan Mami..." Anak itu menjawab dengan wajah sedih. Sebastian menghela
Shela melihat Sebastian masuk ke dalam rumah bersama dengan Tiano dan Tiana, kedua anak itu berjalan lebih dulu darinya. Mereka mendatangi Shela yang berdiri di ujung bawah anak tangga. "Mami..." Tiana berjinjit mengulurkan kedua tangannya. Shela pun tersenyum. "Kalian dari mana, Sayang? Jalan-jalan sama Papi ke mana, coba?" "Ke tempat temannya Papi, Mi," jawab Tiano yang kini berjalan di depan Shela menaiki anak tangga. "Mami pikir jalan-jalan ke mana," kekeh Shela, ia kini menatap Tiana dan mengecup pipi putri kecilnya tersebut. Tiana terlihat tidak bersemangat, entah kenapa dia diam saja memeluk Shela. Langkah Shela pun seketika terhenti. Ia mengusap pipi Tiana yang memerah. "Kenapa, Sayang? Tiana sakit?" tanya Shela. Anak itu menggeleng. "Mau makan sama sayur," pintanya. "Makan? Hem... Baiklah, ayo kita turun ke lantai bawah. Tadi Mami sudah masak sup yang enak sekali! Tino juga suka, pasti Adik Tiana juga suka," seru Shela. Wanita itu pun memutar badannya, mereka kini
"Shela itu punya laki-laki lain di belakangmu! Buka matamu, Sebastian! Masih banyak wanita lain yang jauh lebih baik daripada dia!" Teriakan itu menggema di ruangan kerja Sebastian. Monica dan Bella datang ke kantor hanya untuk mengadukan Shela dan Adam padanya. Sebastian diam tak menjawab, Mamanya hanya akan menambah rasa pusingnya saja. "Mamamu benar, kau tahu... Laki-laki itu mengatakan kalau dia tidak akan membiarkan siapapun mengganggu ketenangan Shela. Aku yakin, mereka pasti menyembunyikan sesuatu di belakangmu!" Bella mengimbuhi. "Itu urusanku dan Shela, kalian jangan ikut campur!" Sebastian beranjak dari duduknya. "Sebastian tunggu..." Monica mencekal lengan sang putra. Iris hitam laki-laki itu terus memperhatikan Mamanya, Sebastian tidak tahu rencana apa lagi yang akan dilakukan dua wanita itu padanya. "Apa lagi, Ma?! Aku pusing, kalian jangan menggangguku!" "Kembalilah dengan Bella, biar Mama yang mengurus Shela dan akan mengambil anakmu. Jangan khawatir, kau akan m
"Sebastian! Akhh lepaskan, jangan begini..." Shela memejamkan kedua matanya erat, terasa begitu aneh sensasi apa yang Sebastian lakukan padanya. Membuat jejak di sepanjang leher Shela. Dalam hati Shela bertanya, apa begini juga dia lima tahun yang lalu?"Sebastian, apa yang kau lakukan! Sebastian..." Shela menendang-nendang dan terus memarahinya. "Kenapa, hem? Aku hanya ingin menandai milikku!" bisik laki-laki itu di hadapan wajah Shela dengan tatapan nyalang, marah. Benar-benar marah."Tidak, kau menyakitiku. Sebastian menyingkirlah!" Shela memekik keras. Nyatanya Sebastian malah melepaskan kencing blouse yang Shela pakai, lagi-lagi dia menjejakkan bibirnya pada manapun yang dia mau pada tubuh Shela. Shela menggigit bibir bawahnya, kemarahan Sebastian sangat mengerikan. "Akhh Sebastian cukup," lirih Shela tak didengar. Laki-laki itu semakin berkabut, Sebastian marah saat Shela dipeluk oleh Adam, sangat marah saat seseorang menyentuh wanitanya. "Mami... Mami di dalam? Mami, Ad
"Shela, kau baik-baik saja? Sepertinya beberapa hari ini kau dan Sebastian sedang tidak baik-baik saja ya?" Morsil menarik kursi dan duduk di samping Shela yang tengah diam melamun. Tidak ada jawaban apapun dari Shela, ia hanya diam dan menyandarkan punggungnya. Sekalipun ia datang di toko, Shela sama sekali tidak menyentuh pekerjaannya, ia hanya diam dan mengawasi si kembar yang sedang terlelap. "Ck! Aku benci sekali kalau kau sedang mode tuli seperti ini," omel Morsil seraya menatap Shela yang masih diam. "Aku pusing, Morsil," jawab Shela tertunduk. "Aku bingung ke mana lagi aku kabur dari Sebastian." "Hah?!" Morsil langsung menoleh cepat, ia menarik pelan pundak Shela agar menatapnya. "Apa katamu barusan? Kabur dari Sebastian, bagaimana?! Bukannya kalian baik-baik saja?" Shela menyeka air matanya. "Tidak..." Kali ini dia tidak tahan diam, Shela pun menangis menumpahkan kekesalan di dalam hatinya. "Aku takut dengannya, Morsil. Harusnya aku tidak mengenalkan identitas anak-anak
Setelah ribut dengan urusan kantornya, Sebastian masih di tempat bersama dengan dua temannya, Vir dan Gavin yang ikut pusing dengan berkas yang hilang. Tiga laki-laki itu kini masih berkutat pada laptopnya masing-masing. "Ck! Jam berapa ini?" gumam Sebastian, untuk kesekian kalinya dia berdecak. Vir pun menoleh, ia melirik arloji gold yang melingkar di pergelangan tangannya. "Setengah dua belas," jawab laki-laki itu. "Panik sekali, biasanya juga pulang pagi kalau di Paris dulu," sahut Gavin masih menatap layar laptopnya. "Shela sendirian, anakku sakit. Aku tidak bisa meninggalkan mereka sendirian," jelas Sebastian dengan nada sebal, ia harus mengulangi membuat berkas penting untuk materi meeting besok pagi. Vir dan Gavin pun sama-sama terkekeh. Lucu saja di telinga mereka saat Sebastian mengatakan dia punya anak, memang semua temannya tahu, tapi sangat lucu dan tidak biasa bagi dua pria itu. "Aku tidak yakin kau jadi Papa yang baik, Bastian," sahut Vir dengan wajah cengengesan
"Papi tidak boleh kerja, temani Tiana main! Tidak boleh pergi ke mana-mana pokoknya!" Teriakan anak kecil itu sangat keras, diiringi dengan rengekan dan tangisnya, Tiana mengejar Sebastian yang bersiap hendak ke kantor pagi ini. Sebastian yang mulanya berjalan di depan Tiana, ia berbalik dan menggendong putri kecilnya. "Papi sibuk, Sayang. Papi harus kerja, ada meeting pagi ini," jelas Sebastian, kini dia merasakan rumit juga punya anak yang masih kecil-kecil, apalagi ada tiga!"Apa itu meeting, Papi?" tanya Tiana, dia menggigit jari telunjuknya. "Meeting itu sangat penting. Papi harus kerja, nanti kalau sudah pulang kerja, nanti Papi main sama Tiana sama Kakak juga, bagaimana?" "Tetap tidak boleh." Sebastian menyergah napasnya kasar, ia berjalan ke lantai satu menatap Tino dan Tiano yang sudah bosan menunggu Papinya, mereka akan pergi ke sekolah bersama Sebastian. "Jadi sekolah, tidak sih?" gumam Tiano malas. "Bolos saja, enak. Nonton Tayo di rumah sambil buat Tiana nangis,"
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut