Saat pagi tiba, Sebastian terbangun lebih dulu. Di luar masih gelap, kamarnya pun masih gelap pula. Lengannya sangat kebas karena Shela yang memeluknya semalaman penuh dan menjadikan lengan kiri laki-laki itu sebagai bantalnya. Kini pun gadis itu masih lelap meringkuk memelukmu dengan erat. "Ya ampun," lirih Sebastian mengusap wajahnya pelan dan menghela napas panjang. Pelan ia melepaskan pelukannya pada Shela, ditatap wajah cantik itu beberapa detik sampai Sebastian tersenyum manis. "Lanjutkan tidurmu, Sayang," bisik Sebastian mengecup kening Shela. Barulah laki-laki itu bangkit dari duduknya. Sebastian melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar mandi, membersihkan tubuhnya dan bersiap. Ia harus menyiapkan sarapan untuk si kembar, dan Sebastian juga sudah meminta Josh mencarikan pembantu juga, agar semua pekerjaan Shela tidak terlalu berat. Begitu Sebastian membuka pintu kamar, ia cukup terkejut saat melihat dua putranya berdiri tepat di depan pintu kamarnya. "Pagi Sayang," sapa
Sebuah cincin pernikahan bermata bening yang cantik dan indah, berjajar dengan berbagai model di hadapan Shela di dalam kotak beludru merah dan biru tua. Seumur hidup, Shela tidak pernah membayangkan kalau jarinya akan diselipi oleh cincin secantik itu. "Pilih yang mana, Shela?" Sebastian hanya berdiri di samping Shela dan menatapi wajah gadisnya. Diam dan tidak menjawab, mungkin Shela menyukai semuanya. "Sebentar, biarkan Istriku memilih," ujar Sebastian tiba-tiba pada pelayan toko itu. "Iya Tuan." Ucapan mereka membuat Shela kembali menoleh pada Sebastian. Laki-laki itu merangkul pundaknya dan menatap tiga pilihan cincin di hadapan mereka."Aku bingung," lirih Shela menggembungkan kedua pipinya. "Bagus semua. Tapi, kau benar-benar membelikan ini untukku? Kau tidak akan melamar wanita lain, kan?" Pertanyaan Shela membuat beberapa perempuan di sampingnya menoleh, bahkan karyawan toko pun menatap ke arah Sebastian juga. Sebastian berdehem, ia menundukkan kepalanya dan menggaruk
"Rupanya kau datang ke sini juga, ingin membela Sebastian dan anak tirimu yang tidak tahu diri itu, hah?!" Monica berucap dengan sangat angkuh pada Ferdi, di sana bahkan ada Stevani dan Sebastian. Mereka sengaja meninggalkan Shela di rumah bersama Bibi dan kedua anaknya. Tidak disangka-sangka, kalau Graham mengikuti mereka datang ke Birmingham pula dan kembali menempati rumah yang seharusnya milik Ferdi untuk Shela. "Ma, Pa, aku datang ke sini ingin mengatakan sesuatu yang penting," ujar Ferdi dengan tatapannya yang begitu lekat. "Apa? Jangan bilang kau ingin keluar dari dalam keluarga Morgan hanya karena anak tirimu itu!" seru Graham marah. Stevani benar-benar kesal, namun ia harus menekannya dalam-dalam. "Pa-""Sebastian..." Ferdi menatap adiknya. Monica pun sudah berapi-api, wanita licik itu benar-benar tidak menyukai Stevani. Sejak awal, bahkan di pernikahan Stevani dan Ferdi pun dia dulu juga tidak datang. "Semua ini salah Shela! Aku yakin kalau dia menjebak Sebastian, di
"Jelaskan semuanya, jangan membuatku bingung. Sayang..." Shela melembut, hanya cara itu agar Sebastian tidak terpancing emosinya. Kedua telapak tangan Shela menangkup rahang tegas laki-laki itu. Iris hitam Sebastian begitu menyorot tajam, sepertinya dia baru saja marah dan kesal. "Tidak perlu menutupi apapun, aku kan milikmu," ujar Shela mengusap pipi Sebastian dengan ibu jarinya. Shela masih mendongak dan kali ini tersenyum. Selembut mungkin, sesabar mungkin sampai laki-laki itu mengaku apa yang terjadi antara ia dan keluarganya. "Kita akan menikah, itulah yang aku putuskan," jawab Sebastian beralih menarik pinggang kecil Shela."Sebastian, aku tidak tahu kenapa ka-"Ucapan Shela terhenti begitu saja saat Sebastian tiba-tiba mengecupnya, laki-laki itu merengkuh erat tubuh Shela dan pelan membimbingnya ke arah ranjang. Shela mendorong pelan pundak laki-laki itu, namun Sebastian semakin melumat bibirnya. Jangan ditanya setakut apa Shela saat ini. "Se-sebastian... Tidak, jangan d
"Asik, jalan-jalan sama Papi! Kita mau ke mana, Papi? Tiana nanti belikan es krim, ya?!" Tiana, anak itu sudah cantik dengan pakaian hangatnya dalam gendongan Sebastian. Di sampingnya ada Tiano yang berjalan dengan tangan digandeng oleh sang Papi. Mereka terlihat begitu bahagia dan ceria seperti tak ada masalah apa-apa. "Iya, kita akan jalan-jalan. Ke manapun kalian pergi, Papi akan turuti," ujar Sebastian tersenyum manis. "Wah, keren! Tino tidak ikut, Pi?" tanya Tiano, anak itu menatap kembarannya yang kini berdiri di balik pintu ruang keluarga menatap ke arah mereka. Sebastian menatapnya hangat. Anak itu merajuk pula pada Sebastian setelah dia tahu Sebastian tidak semesra biasanya pada Maminya. Tino menatap kesal pada Papinya, dia bahkan enggan bermain dengan dua kembarannya. "Tino, mau ikut Papi?" tawar Sebastian pada putranya. Tino menggeleng. "Tidak mau, kalau Tino ikut pergi, nanti Mami kesepian. Kasihan Mami..." Anak itu menjawab dengan wajah sedih. Sebastian menghela
Shela melihat Sebastian masuk ke dalam rumah bersama dengan Tiano dan Tiana, kedua anak itu berjalan lebih dulu darinya. Mereka mendatangi Shela yang berdiri di ujung bawah anak tangga. "Mami..." Tiana berjinjit mengulurkan kedua tangannya. Shela pun tersenyum. "Kalian dari mana, Sayang? Jalan-jalan sama Papi ke mana, coba?" "Ke tempat temannya Papi, Mi," jawab Tiano yang kini berjalan di depan Shela menaiki anak tangga. "Mami pikir jalan-jalan ke mana," kekeh Shela, ia kini menatap Tiana dan mengecup pipi putri kecilnya tersebut. Tiana terlihat tidak bersemangat, entah kenapa dia diam saja memeluk Shela. Langkah Shela pun seketika terhenti. Ia mengusap pipi Tiana yang memerah. "Kenapa, Sayang? Tiana sakit?" tanya Shela. Anak itu menggeleng. "Mau makan sama sayur," pintanya. "Makan? Hem... Baiklah, ayo kita turun ke lantai bawah. Tadi Mami sudah masak sup yang enak sekali! Tino juga suka, pasti Adik Tiana juga suka," seru Shela. Wanita itu pun memutar badannya, mereka kini
"Shela itu punya laki-laki lain di belakangmu! Buka matamu, Sebastian! Masih banyak wanita lain yang jauh lebih baik daripada dia!" Teriakan itu menggema di ruangan kerja Sebastian. Monica dan Bella datang ke kantor hanya untuk mengadukan Shela dan Adam padanya. Sebastian diam tak menjawab, Mamanya hanya akan menambah rasa pusingnya saja. "Mamamu benar, kau tahu... Laki-laki itu mengatakan kalau dia tidak akan membiarkan siapapun mengganggu ketenangan Shela. Aku yakin, mereka pasti menyembunyikan sesuatu di belakangmu!" Bella mengimbuhi. "Itu urusanku dan Shela, kalian jangan ikut campur!" Sebastian beranjak dari duduknya. "Sebastian tunggu..." Monica mencekal lengan sang putra. Iris hitam laki-laki itu terus memperhatikan Mamanya, Sebastian tidak tahu rencana apa lagi yang akan dilakukan dua wanita itu padanya. "Apa lagi, Ma?! Aku pusing, kalian jangan menggangguku!" "Kembalilah dengan Bella, biar Mama yang mengurus Shela dan akan mengambil anakmu. Jangan khawatir, kau akan m
"Sebastian! Akhh lepaskan, jangan begini..." Shela memejamkan kedua matanya erat, terasa begitu aneh sensasi apa yang Sebastian lakukan padanya. Membuat jejak di sepanjang leher Shela. Dalam hati Shela bertanya, apa begini juga dia lima tahun yang lalu?"Sebastian, apa yang kau lakukan! Sebastian..." Shela menendang-nendang dan terus memarahinya. "Kenapa, hem? Aku hanya ingin menandai milikku!" bisik laki-laki itu di hadapan wajah Shela dengan tatapan nyalang, marah. Benar-benar marah."Tidak, kau menyakitiku. Sebastian menyingkirlah!" Shela memekik keras. Nyatanya Sebastian malah melepaskan kencing blouse yang Shela pakai, lagi-lagi dia menjejakkan bibirnya pada manapun yang dia mau pada tubuh Shela. Shela menggigit bibir bawahnya, kemarahan Sebastian sangat mengerikan. "Akhh Sebastian cukup," lirih Shela tak didengar. Laki-laki itu semakin berkabut, Sebastian marah saat Shela dipeluk oleh Adam, sangat marah saat seseorang menyentuh wanitanya. "Mami... Mami di dalam? Mami, Ad