"Mami bangun, Mami. Tiana perutnya sakit, mau muntah..."
Suara Tiana yang merengek membuat Shela terjingkat dari tidurnya. Di sampingnya, Tiana duduk dengan wajah pucat dan membekam mulutnya.Telapak tangan mungilnya sudah dipenuhi darah yang menetes."Astaga, Tiana!" Shela memekik hebat, ia langsung bangun dan menggendong putrinya. "Tiana kenapa tidak bangunin Mami, Sayang?"Anak itu menggelengkan kepalanya saja, tetes demi tetes darah jatuh di piyama yang Shela pakai. Shela segera membawa putrinya turun ke lantai satu, ia mengambil air hangat dalam baskom kecil dan mengelapnya."Tiana tadi makan apa? Kenapa bisa muntah darah lagi, Sayang?" Shela berkaca-kaca, wajah putrinya benar-benar pucat. "Minuman punya Kakak," cicitnya sedih.Shela meghela napasnya pelan, ia mengelap wajah Tiana dan membersihkannya. Setiap bulannya, Tiana selalu berobat, Shela juga berjuang untuk kesembuhan putrinya."Duduk sebentar ya Sayang, masih mau muntah?""Tidak Mami," jawab anak itu tersenyum.Hati Shela seperti tersayat, anaknya masih bisa tersenyum saat dia kesakitan. Shela melepaskan kardigan yang ia pakai dan menutupkan pada tubuh kecil Tiana.Dari lantai dua, terdengar suara-suara Tiano dan Tino mencari Mama, juga adiknya."Mami, Adik, sedang apa?" tanya Tiano berdiri di ujung atas anak tangga."Sayang, tolong ambilkan baju buat adik ya, Mami minta tolong sama Kakak," pinta Shela pada mereka berdua. "Tino ambilkan kotak obatnya adik ya, Sayang,""Siap Mi!" pekik Tiano langsung berlari masuk ke dalam kamar.Sedangkan Tino, tanpa berkata apapun dia langsung bergegas.Mereka berempat diam di ruang tengah, Shela memakaikan minyak bayi yang hangat pada tubuh Tiana sebelum ia memakaikan baju hangat pada putri kecilnya.Sedangkan dua Kakak kembarannya hanya diam memperhatikan dengan wajah mengantuk."Mi, Tiana ngerepotin lagi ya?" tanya Tino memeluk bantalan sofa.Shela menggeleng. "Tidak Sayang, Adik tidak pernah merepotkan Mami, kok.""Jangan sakit ya, Tiana. Kita ini sudah tidak ditemani Papi, kalau Tiana sakit namti Mami repot," tutur Tiano.Tiana nampak lemas, anak itu menyandarkan kepalanya di dada Shela. Dia memakan roti isi yang Shela berikan sebelum meminum obat yang selalu dia minum setiap harinya."Tiana tidak sakit kok, Tiana cuma pusing," ujar anak empat tahun itu.Sungguh situasi ini begitu mencekik Shela, ia menggendong Tiana sembari mengusap punggungnya dengan pelan.Hingga berjam-jam lamanya Shela mondar-mandir di ruang tamu sampai si kembar Tiano dan Tino tertidur di sofa, dan Tiana tertidur dalam gendongan Shela.Langkah Shela terhenti di depan lemari kaca di bawah anak tangga, ia menatap pantulan dirinya sendiri. Shela ingin menangis setiap kali merasakan kondisi ini."Cepat sembuh ya Sayang, Mami akan berjuang keras demi Tiana. Nanti kalau kalian sembuh, kita jalan-jalan yang jauh sama Kakak. Maafkan Mami," bisik Shela menyeka air matanya.Dalam benak Shela, ia sangat sedih merawat anak sakit tanpa ada yang membantunya. Andainya Sebastian mengetahui semua ini, apa yang akan laki-laki itu lakukan? Shela tak pernah melupakan laki-laki itu, dan mengakui segala kekeliruan mereka malam itu.**"Tiana duduk di sini, jangan ikut main sama Kakak. Kalau Tiana tidak nangis, Papi pasti cepat pulang!"Shela tersenyum manis menenangkan Tiana yang baru saja menangis. Seperti biasa, karena dua Kakaknya merebut maianannya."Iya Mami..."Kambali Shela menatap dua kembar yang bermain bola di dalam ruang tamu. Mereka dilarang keluar dari dalam rumah oleh Shela, karena Tiana yang sakit tidak mau ditinggal oleh siapapun."Tino sama Tiano jangan keluar rumah ya, jagain adik! Mami mau masak dulu, okay?!" Shela mendekati dua anaknya."Iya Mi, masak yang enak." Tiano memeluk Shela dan mengecup pipinya."Tino mau telur kecap! Nanti putihnya dibuang," pinta Tino tak mau kalah dia mengecupi pipi kiri Shela.Wanita itu terkikik geli, ia pun melepaskan pelukannya kedua anaknya dan mengangguk antusias."Ya sudah, Mami ke belakang ya...""Iya Mam!"Shela berjalan ke belakang, hari ini Bibi sedang libur dan pulang ke rumahnya, Shela sementara libur bekerja dan menyerahkan pekerjaannya pada Morsil, tangan kanannya.Wanita itu mulai memasak di dapur dan tak khawatir dengan buah hatinya di ruang tamu, Tiana menonton kartun, dan dua kembar Tino dan Tiano bermain lempar-lemparan bola.Semantara di luar rumah mereka, sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan teras.Seorang laki-laki tampan dengan stelan sweeter hitam yang dibalut mantel cokelat gelap, dengan kaca mata hitam yang dilepaskan, ia baru saja keluar dari dalam mobilnya.Sebastian tersenyum tipis mendongak menatap rumah keluarga Morgan yang lama tidak pernah dia kunjungi."Rumah ini tidak berubah," gumam Sebastian."Iya Tuan," jawab Josh yang berdiri di belakang membawa koper milik Sebastian.Sebastian hendak melangkah membuka pintu, perhatiannya tertuju pada tumpukan maianan di dalam kotak besar.Keningnya mengerut melirik Josh. "Mainan?" Sebastian bertanya-tanya.Tanpa pikir panjang, laki-laki itu membuka pintu rumah yang ternyata benar-benar tidak terkunci, karena setahunya rumah itu ada yang menjaganya."Lempar ke sini, Tiano!" teriak seorang anak laki-laki.Sebastian tepat membuka pintu kayu berwarna putih di depannya, dan sial! Sebuah bola mendarat di kepalanya dengan cukup kuat. Langkah laki-laki itu langsung terhenti di tempat."Sialan!" umpat Sebastian tanpa sadar dan spontan.Tiga anak kecil di depan sana tersentak dan mereka bertiga berkumpul menjadi satu.Mereka bertiga mengerjapkan kedua matanya menatap sosok laki-laki tampan yang masuk ke dalam rumahnya, dan membawa sebuah koper! Jangan-jangan...Tiana, anak itu mengerjapkan kedua matanya polos. Ia teringat apa yang Mamanya katakan tadi, kalau Tiana tidak menangis, maka Papinya akan pulang.Senyuman anak itu langsung merekah bersamaan ia berlari ke arah Sebastian dengan kedua tangan yang terlentang."Papi..!" teriak Tiana kesenangan.Sebastian mengerutkan keningnya, ia menatap anak kecil yang berdiri di depannya dan mengulurkan kedua tangannya dengan tatapan penuh kerinduan.Dua anak lainnya berdiri di dekat sofa menatap Sebastian dengan tatapan takut."Papi... Papi, Tiana kangen! Tiana mau gendong Papi!" pekik Tiana lompat-lompat kecil dengan kedua tangan terulur.Sebastian mengerjapkan kedua matanya, sesuatu yang hebat membuatnya tercengang. Wajah anak perempuan ini sangat ia kenali.Sebastian menekuk lututnya di hadapan Tiana sebelum anak perempuan itu berhambur memeluknya."Tiana kangen Papi!" seru anak itu mencari posisi nyaman dalam pelukan Sebastian.Sebastian melepaskan pelukan Tiana sebelum dua anak kembar lainnya berjalan menjauh. Sebastian tidak bisa berkata-kata, ia masih terkejut dengan ketiga anak ini."Kakak sini, ini Papi kita pulang!" pekik Tiana melambaikan tanganya pada dua kembarannya.Dua kembarannya menggeleng dan berlari ke belakang. Sedangkan Tiana masih memeluk Sebastian, anak itu tidak sungkan mengecupi wajah Sebastian dan tersenyum manis.Detak jantung Sebastian berpacu setelah wajah cantik anak dalam pelukannya itu mengingatkannya pada seseorang gadis yang telah lama hilang.'Wajah anak ini, dia begitu mirip dengan...'Sebastian terpana mengingatnya. "Shela!"Sedangkan Tino dan Tiano berlari ke dapur, kedua anak laki-laki itu mendekati Maminya yang tengah memasak di dapur. "Mami..." "Mam, di depan ada yang datang! Papi pulang!" pekik Tiano menarik lengan Shela. Shela yang kaget dengan kedua putranya, segera ia mematikan kompornya dan menatap mereka bingung."Papi? Papi siapa, Sayang? Adik di mana?" Shela mencari-cari. "Adik di depan, adik dipeluk Papi!" jawab Tino heboh.Pikiran Shela sudah ke mana-mana, ia berlari cepat menuju ruang tamu. Bayangan kalau orang yang si kembar maksud adalah orang jahat! Sedangkan di depan, Tiana bersama Sebastian, anak itu masih enggan melepaskan pelukannya. "Papi kok tidak pulang-pulang? Tidak kangen Tiana, Kakak, sama Mami, ya?" tanya anak itu memeluk leher laki-laki yang dia anggap Papinya. Sebastian mengerjap menatap anak ini, ia masih tak paham. "Hei, anak manis... Kau ini sebenarnya siapa?" tanya Sebastian, ia malah mengalihkan pertanyaan Tiana. Bocah itu terdiam sesaat. Tiana memasang wajah s
Si kembar tertidur di kamar tamu yang berada di lantai satu, dan kamar itu milik Sebastian. Sedangkan Shela duduk diam di ruang keluarga, pikirannya sangat cemas. Malam ini terasa amat sepi menyekat pikiran Shela."Shela," sapa Sebastian muncul tiba-tiba. Sontak Shela menoleh dengan ekspresi kagetnya. "Om... Si kembar tidur di man-""Mereka tidur di kamarku," jawab Sebastian duduk di hadapan Shela dengan tatapan penuh intimidasi. Apa yang harus Shela lakukan saat ini? Bagaimana kalau Sebastian bertanya yang aneh-aneh lagi? Tatapannya membuat Shela tertunduk diam. "Jadi selama ini kau tinggal di sini? Kak Ferdi yang menyembunyikanmu di sini?" tanya Sebastian dengan nada dingin dan penuh ingin tahu. "Ya Om," jawab Shela singkat. "Lalu, di mana suamimu? Maksudku... Papa si kembar?" Sesuai dengan apa yang Shela duga kalau Sebastian pasti menanyakan hal ini. Lantas Shela menatapnya dan tersenyum tipis. "Itu... Papa mereka, emm... Dia-""Papa mereka benar-benar pergi atau kau memb
"Kakak kenapa tidak pernah bilang padaku kalau ternyata Shela ada di sini, Kak?!" Seruan itu terucap dari bibir Sebastian saat ia menghubungi Ferdi dari sambungan telepon. Ia tengah duduk di kursi agungnya yang berada di ruang kerja. Sebastian sengaja menghubungi Ferdi hanya untuk bertanya hal ini. "Itu sudah lama sekali Bas, biarkan Shela di sana tanpa diketahui oleh siapapun. Aku titip Shela dan ketiga Cucuku," ujar Ferdi berpesan."Hem, tapi Kak... Kalau aku boleh tahu, di mana suaminya Shela?" tanya Sebastian bertanya-tanya. "Itu rahasia, tolong jangan membahasnya, jaga perasaan Shela!" seru Ferdi sedikit membentak. Decakan lidah sebal terdengar dari Sebastian. Panggilan mereka pun tidak sampai lama, sebelum Ferdi memutuskan panggilan teleponnya yang sudah hampir satu jam. Sebastian diam menatap langit-langit, ia teringat kejadian lima tahun saat dirinya meniduri seorang gadis, lalu saat Sebastian bertanya pada temannya, apa temannya mengirimkan seorang wanita di kamar Sebas
"Astaga, pergi ke mana Tiano... Jangan-jangan dia ada di dalam sama Om Bastian..." Shela menggigit ujung ibu jarinya dengan melangkah mondar-mandir di depan kamar Sebastian. Sejak tadi ia mencari anaknya, petang tadi saat Shela bangun ia tidak menemukan satu putranya. "Tiano, ya ampun..." Ditengah kegundahan Shela, tiba-tiba saja pintu kamar Sebastian terbuka. Laki-laki itu berdiri tegap tepat di hadapan Shela. Iris hitamnya begitu menusuk, wajah dingin tanpa ekspresi, laki-laki itu mendekati Shela tanpa berkata-kata, hingga refleks Shela melangkah mundur. "Om... I-itu, aku mencari Tiano, apa dia-""Dia ada di kamarku, dia tidur denganku semalam," jawab Sebastian pelan. Shela mengangguk, laki-laki itu menarik pelan lengan Shela hingga jarak mereka nyaris terpangkas, dan Shela menubruk tubuh kekarnya. Tatapan mata Sebastian begitu dingin, bibir Shela bergetar menatap wajah tampannya. "Siapa Papa dari anakmu, Shela?" tanya Sebastian berbisik. Iris cokelat mata Shela bergetar m
"Tino dan Tiano diam bersama Tante Morsil ya, Mami mau bawa adik ke rumah sakit. Kalian jangan nakal!" Shela menatap satu persatu wajah dua putranya yang kini menangis. Seperti biasa, drama pagi hari mereka mulai, kedua anak laki-laki itu ingin ikut Shela pergi ke rumah sakit."Pokoknya Tiano mau ikut, Mami!" pekik Tiano memeluk kaki Shela. "Tino juga! Kita berdua itu mau jagain Mami. Kita mau ikut," pekik keduanya.Shela menghela napasnya panjang. "Jangan Sayang, Mami tidak pergi jalan-jalan, tapi Mami mau pergi mengobatkan adik kalian!""Ya kan menemani Mami! Nanti kalau ada penjahat bagaimana? Siapa yang nolongin Mami?!" pekik Tiano dengan ekspresi wajah marah, persis sekali dengan Sebastian. Shela berdecak pelan, ia mengusap wajahnya gusar, sebelum Morsil muncul seraya menyerahkan Tiana pada Shela. "Sudah Shel, tinggal saja mereka berdua denganku," ujar Morsil. "Aaaaa... Mau ikut!" teriak Tiano dan Tino bersamaan. Morsil langsung menatap mereka dengan tatapan sengit. "Kalau
Tiga jam berlalu, Shela duduk di depan ruangan Tiana dirawat karena belum diizinkan masuk. Setelah melakukan pemeriksaan, dokter menyarankan Tiana dirawat beberapa hari saja di rumah sakit. Waktu berlalu degan cepat dan Shela tidak sendirian melainkan ditemani oleh Sebastian. Meskipun Shela awalnya merasa cemas dan takut, tapi kini ia menekan dirinya untuk terbiasa dengan pria ini. "Huuhh..." Shela hampir saja terjerembab di lantai andai Sebastian tidak reflek merangkulnya."Kau mengantuk?" tanya Sebastian menengok wajah gadis dalam rangkulannya. Shela menggeleng, tentu ia mengelak. Namun Sebastian tetap merangkulnya seolah memberikan ruang bagi Shela sekaligus menawarkan pundak sebagai sandaran. Di tengah kesunyian yang melanda, tiba-tiba ponsel milik Sebastian bergetar. Laki-laki itu mengambil ponselnya, dan jelas Shela melirik nama Bella di layar ponsel itu, namun Sebastian malah memutuskan panggilannya. "Kenapa tidak diangkat, istri Om pasti khawatir kalau tidak dijawab," uja
"Kalian ikut Paman bertemu teman-teman Paman dulu ya, masih ada yang perlu Paman bahas. Baru nanti kalau sudah, kita jalan-jalan beli mainan!" Sebastian membujuk Tino dan Tiano untuk ikut dengannya bertemu beberapa temannya. "Iya Paman, boleh kok," jawab Tiano. "Tino?" Sebastian menatap Tino yang kini menggandeng tangan Tiano"Iya pasrah... Daripada ditinggal di parkiran!" Tino menjawabnya cemberut. Sebastian terkekeh gemas mengusak pucuk kepala Tino. Gegas ia mengajak kedua bocah itu masuk ke dalam sebuah cafe elite. Di sana, Tino dan Tiano masuk lebih dulu. Mereka menatap sekitar, tempat itu sangat bagus, banyak lampu menggantung dan akuarium diisi banyak ikan hias. "Ayo ke sana, itu teman-teman Paman," ujar Sebastian menggiring si kembar. Mereka mendekati keempat orang laki-laki berpakaian formal yang tengah duduk di sebuah sofa cafe. Si kembar tiba-tiba berdiri di samping Vir. Laki-laki berambut cokelat itu langsung menoleh dan terjingkat. "Sorry terlambat," sahut Sebasti
"Om Sebastian tidak pulang? Ini kan sudah malam, besok Om juga harus ke kantor, kan?" Shela berdiri di hadapan Sebastian yang duduk di sofa merangkul Tino dan Tiano yang tengah tertidur di atas sofa besar di dalam kamar inap VIP di mana Tiana dirawat. Iris mata hitam laki-laki itu pun terangkat menatap Shela. "Kau mengusirku?" "Emm, tidak, bukan begitu. Tapi kan-""Kalau aku pulang kau di sini sendirian hanya bertiga menjaga Tiana, kau yakin?" Sebastian kali ini berdiri tegap di hadapan Shela. Tatapan Sebastian kali ini tidak Shela hindari."Ke-kenapa harus tidak yakin? Aku terbiasa sendiri.""Kau memperlakukan aku seperti orang asing, Shela. Aku ini Om-mu! Aku adik Papamu, meskipun bukan Papa kandungmu, tapi Kak Ferdi tetaplah Papamu! Dan aku sangat peduli padamu seperti keponakanku sendiri!" Keponakan sendiri. Kata itu berkeliaran di benak Shela, gadis itu pun menganggukkan kepalanya dan tersenyum tipis. "Om kan orang yang sibuk, aku hanya tidak mau-""Apa kau pikir aku seteg
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut