"Mami, tadi yang sama Papi itu siapa ya?" Tiana menepuk-nepuk pipi Shela, putri cantiknya itu padahal sudah mengantuk berat, tapi dia masih sempat-sempatnya bertanya. "Teman kerjanya Papi, Sayang. Kenapa memangnya?" Shela mengusap punggung kecil Tiana. Bibir tipis Tiana cemberut. Jemarinya memainkan kancing blouse yang Shela pakai, dia menggeleng-geleng kepala. "Tiana tidak suka, Papi nolak makan sama kita," cicit anak itu manyun. "Hei Cantikku, dengar... Papi kan kerja buat kita semua. Kita tidak boleh berprasangka buruk. Papinya Tiana itu orang yang sangat sibuk, Sayang." Shela mengusap pucuk kepala Tiana dan mendekapnya. "Nanti bagaimana kalau Papi bentak-bentak Mami lagi?" Anak itu mendongak dengan ekspresi melas. "Mami bentak balik dong!" "Beneran ya, Mami... Janji dulu sama Tiana!" Jari kelingking mungilnya diangkat. Shela langsung menautkan jarinya tanpa ragu, kedua terkikik geli dan mereka memutuskan untuk tidur. Si kembar laki-laki menolak ditidurkan oleh Shela, ked
Sebastian sungguh ingin menyenangkan anak dan istrinya. Dia mengajak si kembar juga Shela pergi makan bersama di tempat yang tidak biasa. Sebuah restoran mewah yang berada di atas kapal mewah, pemandangan laut yang indah, dan suasana yang menyenangkan. "Bagus sekali ya... Nanti ke sana ya Pi, kita cari tempat nahkoda, Tiano mau foto!" seru Tiano yang berjalan digandeng Sebastian. "Iya Sayang." "Kita duduk di sana Pi, di dekat tiang itu! Biar bisa lihat air lautnya!" seru Tino menarik-narik tangan Sebastian dengan tak sabaran. Sebastian berjalan lebih dulu karena Tino dan Tiano menarik-narik tangannya dengan tidak sabar dan juga sangat kesenangan. Tapi tidak dengan Tiana, anak itu malah takut untuk naik ke atas kapal. Tiana mencengkeram erat pundak Shela dan menangis. "Kakak sudah naik di atas Sayang, ayo ke sana," bujuk Shela pada putri kecilnya. "Tiana tidak mau! Nanti kapalnya jalan, Mami... Tiana takut!" teriak anak itu dengan tegas menolaknya. "Ya ampun Sayang. Kapalnya a
"Mama sakit apa, Sayang?" Shela menatap wajah Sebastian, dia turun dari pangkuan suaminya dengan cepat. "Aku tidak tahu, Papa juga tidak tahu. Baru saja Mama dibawa ke rumah sakit." Sebastian menjelaskan. Sorot mata Sebastian memperhatikan ekspresi wajah Shela yang kini nampak cemas, dia yang selalu dijahati oleh Monica, apakah Shela masih punya maaf untuk Monica?"Aku akan ke Pranciss," ujar Sebastian."Aku ikut!" seru Shela bersikeras. "Kenapa mau ikut, hem? Mama padahal orang yang selalu jahat padamu. Apa kau peduli dengan wanita jahat sepertinya yang sedang sakit?" Harusnya Shela mengatakan tidak. Tidak peduli sama sekali!Tapi Shela Morine bukanlah seorang pendendam, dia selalu diajarkan hal-hal yang baik oleh Mamanya.Tanpa ragu dia menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku tidak punya rasa dendam apapun pada Mamamu. Seperti yang kau bilang... Kalau kita mencintai anaknya, kita harus sayang pada Ibunya." Senyuman manis terukir di bibir Sebastian. Dia beranjak dari duduknya ber
"Wahh Oma kok punya kamar pink? Iki kamarnya siapa, Oma?" Tiana menatap seisi kamar yang didominasi warna pink. Ruangan yang sangat luas, berbagai boneka ada di sana, semua posisinya masih sama seperti saat Shela pergi, masih rapi dan wangi. "Ini kamar Mami dulu," jawab Shela pada mereka bertiga. "Ya ampun, Mami pernah alay juga ya," sahut Tino terkikik geli."Pink itu cantik, bukan alay!" sahut Tiana tidak terima. Stavani dan Shela tertawa dengan tingkah mereka. Tino pun langsung melenggang keluar dari dalam kamar Shela, anak itu paling anti dengan yang pink-pink. Sedangkan Tiana, dia tentu saja menyukai kamar itu. Tiana bermain dengan boneka-boneka milik Shela, memakai bando, jepit yang Shela simpan. "Tiana persis sepertimu, Sayang," ujar Stevani menatap Cucu perempuannya. Shela tersenyum. "Shela dulu seperti dia, Ma?" "Iya. Tapi kalau Shela sedikit gemuk, kalau Tiana kan kurus." Stevani terkekeh lagi. Di dalam kamar itu, Tiana tidak akan peduli lagi dengan jalan-jalan, per
"Kau tidak marah padaku, aku memarahi Mamamu tadi." Shela menoleh pada sang suami, mereka berdua tengah duduk di atas ranjang kamar Shela. Padahal Shela was-was kalau Sebastian akan memakinya saat Shela melawan Monica. "Tidak. Aku kan sudah bilang padamu, aku menyukai Istriku yang bisa menjaga dirinya sendiri, karena aku tidak setiap waktu ada di sisimu." Sebastian berbaring di atas ranjang kamar Shela. Shela terkikik geli mendengarnya. "Sebenarnya aku juga tidak mau menjadi menantu yang buruk untuknya. Tapi..." "Cukup jadi istri yang baik untukku," sahut Sebastian meraih tangan Shela dan mengecupnya."Tentu saja!" Wanita itu menjawab dengan ria. Shela berbaring, ia menjadikan dada bidang Sebastian sebagai bantalnya. Kedua tangannya memeluk manja dengan mata mengerjap. "Apa kau punya cara supaya Mama tidak membenciku? Sebenarnya apa sih salahku pada keluargamu?" tanya Shela dengan bibir manyun. "Kau tidak salah. Sama sekali tidak bersalah apapun, hanya saja bisnis orang tua d
"Kau memanfaatkanku, menindasku karena aku sakit?" Monica memicingkan matanya pada Shela. Namun menantunya itu tetap menggelengkan kepalanya dan tidak membenarkan apa yang Mama mertuanya katakan. "Tidak Ma, bukan begitu," jawab Shela tersenyum manis. "Aku hanya ingin kita bisa saling mengasihi dan tidak ada yang terpecah antara Mama dan Shela. Mama sebagai mertua dan Shela sebagai menantu." "Apa kau tuli hah?! Berapa kali aku bilang padamu kalau aku tidak ingin dan aku tidak sudi punya menantu sepertimu, Shela!" sentak wanita itu dengan napas naik turun. Shela terdiam sejak, dia mengangguk. "Kalau begitu, Mama siap kehilangan Sebastian." Sungguh sosok Shela yang kini Monica hadapi adalah sosok wanita yang tidak bisa dia ajak main-main, Shela yang terus mengejar apa yang dikatakan oleh Monica. Mengancamnya, menghalang-halangi apa yang Monica serang padanya. Sungguh Shela tidak main-main juga dengan Mama mertuanya ini. "Semakin Mama membenci Shela, semakin Sebastian sayang pada S
Setelah kemarin Monica meminta Shela menjaganya, hari ini Shela sungguh-sungguh datang membawa si kembar. Bagaimanapun juga, dia tahu kalau Monica pasti merindukan Cucunya. Tino, Tiano dan Tiana kini duduk di atas brankar mengelilingi sang Nenek dengan tatapan kasihan. "Oma sakit apa sih, kok ngerepotin Mami dan Papi jauh-jauh dari Birmingham ke sini!" Tiano menatap Monica yang tengah mengelus-elus lembut rambut Tiana. Monica pun tersenyum senang dengan kehadiran mereka. "Tidak papa Tiano, Oma hanya pusing sedikit." "Itu karena Oma terlalu benci sama Mami kami, jadi Tuhan buat Oma pusing!" Tino menyahutinya dengan pedas. Shela senyam-senyum mendengar apa yang kembar katakan pada Monica. Mereka terlalu jujur dengan apa yang mereka ucapkan. Sedangkan sang Oma hanya tersenyum dan mengangguk-angguk saja. Meskipun kadang Monica menunjukkan sisi bengisnya di hadapan si kembar, tak jarang pula baginya menunjukkan sisi hangat saat ada Cucunya. Apalagi Monica yang sangat menyayangi Tian
Acara makan malam di kediaman keluarga Morgan tidak pernah terbayangkan di benak Shela. Berkumpul dengan kedua orang tua Sebastian dalam satu meja makan mewah di rumah megahnya. Shela duduk di samping Sebastian berhadapan dengan Monica. "Shela, jangan sedikit makannya. Pelayan di sini sudah memasak banyak," ujar Graham pada sang menantu. "Iya Pa, Shela kalau makan tidak terlalu banyak." "Nanti kau sakit seperti Mama," sahut Monica. Ucapan Monica membuat semua orang menatapnya, termasuk si kembar yang asik dengan piringnya masing-masing. Anak-anak itu terkekeh geli begitu mendengar Oma-nya tidak lagi teriak-teriak seperti dulu pada Shela. Tino berdehem pelan, dia mungkin ingin sedikit bermain-main dengan Oma-nya yang galak ini. "Jadi ini ceritanya makan malam bersama dalam acara Oma meminta maaf sama Mami karena sudah tidak marah-marah lagi?" tanya Tino menatap ke arah Monica. "Oma tidak marah kok, sama Mami kalian." Monica menjawab santai. "Iya sekarang. Dulu kalau lihat Mami
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut