"Masyaa Allah, Nduk Syifa." Ibu terlihat tersenyum menatap wanita cantik di depannya itu.
Oh, rupanya namanya adalah Syifa. Tapi siapa dia? Batinku penasaran. "Sudah agak lama tidak kelihatan sama sekali. Kemana, Nduk?" tanya Ibu lagi. "Biasa, Bu. Ke pesantren untuk muroja'ah," jawab Syifa. "Masyaa Allah, barrakallah." Ibu tersenyum lagi, lalu menoleh padaku. "Nduk Dara, perkenalkan ini Syifa, anak dari Kyai terkemuka di kampung ini," ucapnya kemudian, memperkenalkan Syifa padaku. Syifa tampak tersenyum manis, lalu mengulurkan tangannya, menjabat tanganku. "Ini Nduk Dara, istrinya Lana, mantu Ibu." Giliran Ibu memperkenalkanku padanya. Namun, saat ibu menyebut kata "istri" dan "mantu", entah kenapa wajah Syifa yang tadinya penuh dengan senyuman, seketika berubah. "Istri?" ucapnya lirih. "Iya, Nduk. Lana sudah menikah, dan ini istrinya. Maaf, karena acaranya begitu mendadak dan sederhana, jadi kami tidak mengundang orang," ucap Ibu menjelaskan panjang lebar. Entah kenapa, seketika wajah Syifa memerah, seperti menahan tangis. Dia seperti berusaha bersikap biasa saja, tapi tak bisa menutupi ekspresi wajahnya. "Oh iya, Bu. Syifa masak rendang untuk Ibu. Dimakan ya, Bu?" Wanita cantik itu mengulurkan rantang yang dibawanya pada Ibu. "Kalau begitu saya pulang dulu ya, Bu?" "Loh, kok buru-buru, Nduk? Gak masuk dulu?" Ibu menatap Syifa dengan pandangan heran. "Lain kali saja, Bu. Hari ini saya harus ke pesantren lagi dengan ayah." Syifa mencium tangan Ibu, lalu cepat-cepat membalikkan badan. "Terima kasih, Nduk Syifa. Hati-hati." Aku dan Ibu masih menatap punggung Syifa yang menjauh. Masih bisa kulihat berulang kali wanita itu mengusap wajahnya, meskipun hanya terlihat sekilas dari belakang. Apa dia menangis? Pikirku. "Nduk Syifa itu gadis yang baik," ucap Ibu setelah Syifa sudah tidak kelihatan lagi. "Ketika para warga di sini sibuk menjelekkan Ibu, hanya dia dan keluarganya yang begitu baik sama Ibu. Dia sering mengantar makanan ke sini untuk Ibu." "Berarti Syifa dekat juga dengan Mas Lana, Bu?" tanyaku kemudian, yang entah kenapa seperti tercekat di tenggorokan. "Nggak kok, Nduk. Memang sering bertemu, tapi Lana memang tidak bisa akrab dengan wanita. Ibu bahkan ragu jika Lana itu suatu saat mau jika disuruh menikah," jawab Ibu sambil tersenyum, lalu memegang lenganku. "Alhamdulillah, kamu bisa menaklukkan hati Lana, Nduk." Aku mengatupkan bibir. Entah kenapa dadaku terasa sesak mendengar itu, meskipun Ibu bilang mereka tidak akrab. Tapi jelas sekali Syifa begitu sedih saat mendengar Mas Lana sudah menikah. Jika dilihat, Mas Lana yang begitu baik hati dan soleh, pasti jauh lebih cocok dengan Syifa yang cantik dan solehah. Hatiku seperti teriris saat membayangkannya. Ah, apakah aku cemburu? Pernikahanku dengan Mas Lana tentu tanpa didasari oleh cinta. Meskipun selama ini Mas Lana begitu baik padaku, aku tidak yakin dia mencintaiku. Apalagi sampai sekarang aku masih belum bisa memberikan haknya sebagai suami. Sepertinya aku terlalu percaya diri menyebut diri sendiri istri dari Mas Lana, dan menantu dari Bu Aisyah. "Nduk, kok malah melamun?" Ibu menepuk pundakku lembut, membuatku tersentak dari lamunan. "Ah, maaf, Bu." Aku tergagap, menyembunyikan wajahku yang mungkin berubah kusut. "Nduk Dara marah karena ada wanita yang mencari Lana?" Ibu menatapku dengan pandangan khawatir. "Seharusnya tadi Ibu bilang padanya kalau tidak perlu datang lagi mulai sekarang." "Nggak kok, Bu." Aku menjawab cepat. "Mana mungkin aku menghalangi orang yang mau berbuat baik sama Ibu. Aku justru senang karena ternyata masih ada orang baik di kampung ini. "Syukurlah kalau begitu, Nduk." Ibu terlihat tersenyum lega. "Ayo masuk." Aku mengangguk. Ibu menggandeng tanganku masuk ke dalam rumah. Saat kami baru sampai di depan pintu, ponselku tiba-tiba berdering. Rupanya pesan masuk dari Papa. [ Papa sudah mendapatkan informasi yang kamu inginkan. Kamu mau Papa meminta Lana menjemputmu? ] Aku seketika mengetik balasan. [ Nggak perlu, Pa. Aku akan pulang naik taksi saja. ] Terkirim. Aku kemudian menatap ke arah Ibu yang juga menatapku sejak tadi. "Hari ini aku ijin keluar sebentar ya, Bu?" pamitku kemudian. "Sendirian, Nduk?" Ibu lagi-lagi memasang wajah khawatir. "Iya, Bu. Gak apa-apa, aku pergi dengan taksi. Nanti mungkin akan pulang dengan Mas Lana," jawabku. "Syukurlah kalau nanti pulang sama Lana. Kamu mau makan apa, Nduk? Biar ibu masak sebelum kamu pulang," ucap Ibu lagi. "Gak usah, Bu. Nanti biar aku bawakan makanan untuk Ibu," jawabku lagi. "Ya sudah, Ibu masuk dulu, ya?" Aku mengangguk, lalu menatap punggung kurus wanita yang diam-diam sudah mengajarkan banyak hal padaku itu. Tidak ada alasan bagiku untuk cemburu pada orang lain, karena aku harus fokus pada tujuan awalku. Aku ingin membuat Ibu bahagia. Itu saja. . . . Taksi yang membawaku pulang berhenti tepat di depan pintu gerbang tinggi yang membentengi rumahku. Aku turun setelah membayar, lalu menatap bangunan di depanku. Sejenak aku termenung. Betapa jauh kehidupan yang aku jalani selama ini dengan kehidupan Bu Aisyah dan Mas Lana. Namun justru saat berada di rumah kayu sederhana mereka, aku menemukan arti hidup yang sesungguhnya. Aku yang merasa hidupku sudah tidak berarti lagi, seperti menemukan semangat baru berkat mereka. Tuhan memang maha adil. Saat aku masih sibuk dengan lamunan, tiba-tiba gerbang tinggi itu terbuka. Satpam rumah kami sudah berdiri di sana, tersenyum segan. "Neng Dara kok berdiri saja di sana? Untung saya melihat dari layar CCTV," ucapnya. "Silakan masuk, Neng." Aku tersenyum tipis, lalu melangkah masuk ke dalam. Berjalan di sepanjang jalan taman yang diam-diam aku rindukan. Entah kapan terakhir kali aku bisa berjalan dengan perasaan bebas seperti ini, setelah hampir tiga tahun mengurung diri dan hanya berharap m4ti. "Neng Dara." Seorang asisten rumah kami segera membukakan pintu begitu melihatku. "Tuan dan Nyonya besar sudah menunggu Neng Dara sejak tadi." "Terima kasih, Bik," jawabku sambil melangkah masuk ke dalam rumah. "Dara, ya Allah!" Mama dan Papa seketika berdiri dari duduknya ketika melihatku. Mereka pasti juga kaget dengan penampilanku yang sekarang. Aku yang dulunya selalu berpakaian seksi, kini tertutup gamis dan jilbab, yang baru hari ini aku pakai, namun berhasil membuatku nyaman. "Ma ... Pa ...." Aku menatap ke arah Mama dan Papa dengan hati yang tiba-tiba terasa sesak. Aku baru sadar betapa jahatnya aku selama beberapa tahun ini. Aku yang selalu berteriak ingin m4ti di depan mereka berdua, pasti amat sangat melukai hati mereka. Aku anak satu-satunya yang mereka besarkan dengan penuh kasih sayang, justru jadi satu-satunya yang menghancurkan perasaan mereka. Jahat sekali aku. "Dara ...." Ketika Mama memanggil namaku sekali lagi, aku seketika berlari dan berhambur ke pelukannya. Aku menangis sekencang mungkin, meluahkan segala penyesalan. "Maafkan Dara, Ma ... Pa ....!" raungku. "Kamu baik-baik saja kan, Nak?" Mama memelukku erat sekali, begitupun dengan Papa yang tangannya terasa mengusap punggungku. "Apa Lana menyakitimu?" Aku menggeleng, masih dalam pelukan Mama. "Jangan-jangan ini karena keluarga Sadewa yang kemarin kamu minta informasinya?" tanya Papa kemudian. Aku perlahan melepas pelukanku dari Mama, lalu menatap kedua orang tuaku lagi. Wajah mereka masih keliatan bingung dengan sikapku. Dan sepertinya, Papa sudah tidak sabar lagi ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Sekarang katakan pada Papa, apa yang keluarga Sadewa itu lakukan padamu?!" tanyanya lantang.Aku mengusap air mata, lalu menatap Papa."Papa mengenal mereka?" tanyaku kemudian.Papa menarik napas panjang, lalu membalas tatapanku."Tentu saja. Perusahaan mereka bekerja sama dengan perusahaan kita. Yang jadi masalah itu keluarga yang akan menjadi besan mereka," jawab Papa.Aku sedikit membulatkan mata. Wajah Papa tampak begitu serius, artinya memang bukan orang sembarangan. Perasaanku juga mendadak menjadi tidak enak, ingin segera tahu siapa mereka."Pa, biarkan putri kita duduk dulu," sahut Mama sambil menuntunku untuk duduk di sofa panjang. Setelah kami semua duduk, Mama segera memegang kedua tanganku, dan menatapku dengan pandangan haru. "Dara, keluarga Lana memperlakukan kamu dengan baik, kan?" tanya Mama kemudian.Aku tersenyum, seraya mengangguk. "Iya, Ma," jawabku kemudian. "Terlalu baik malah.""Alhamdulillah, Dara. Mama senang melihat perubahanmu sekarang. Padahal baru beberapa hari, tapi Mama sudah melihat cahaya di matamu. Entah kapan terakhir kali Mama melihatnya
Impian? Apa impian Mas Lana yang berhasil aku wujudkan sehingga dia menangis seperti ini?"Mas Lana baik-baik saja?" tanyaku kemudian setelah membiarkannya cukup lama memelukku. Jantungku sudah seperti genderang perang, tak sanggup lagi kutahan."Oh, maafkan Mas, Dek." Mas Lana sepertinya baru sadar apa yang sudah dia lakukan. Cepat-cepat dia melepas pelukannya, dan seketika menjadi salah tingkah.Aku sendiri juga menjadi begitu salah tingkah, sampai tak tahu harus bagaimana. Untuk beberapa lama kami berdua sibuk menata diri kami masing-masing."Mas benar-benar minta maaf, Dek," ucap Mas Lana lagi dengan wajah penuh rasa bersalah. "Pasti Mas sudah membuat Adek takut."Aku tak langsung menanggapi ucapan Mas Lana. Memang benar, selama ini jangankan dipeluk oleh pria, disentuh saja aku pasti akan berteriak karena trauma. Bahkan jika yang melakukannya adalah Papaku sendiri. Tapi ketika merasakan ketulusan Mas Lana, aku justru seperti ingin dia memelukku lebih lama. Ah, bicara apa aku ini?
"Loh, Nduk? Ini maksudnya, Ibu mau diapakan?" tanya Ibu lagi dengan ekspresi wajah yang semakin lucu saja."Sudah, Ibu nikmati saja pokoknya," jawabku sambil tersenyum geli melihat wajah Ibu.Ibu akhirnya pasrah juga ketika para petugas salon mulai memijat pundaknya, membuatnya rileks sesaat. Aku sendiri juga akhirnya fokus memanjakan diri, hal yang sudah beberapa tahun tidak aku lakukan.Setelah melakukan berbagai perawatan diselingi celetukan lucu dari Ibu, akhirnya tiba saatnya kami berdua untuk make over. Ternyata benar ucapan pemilik toko waktu itu, kalau sebenarnya wajah Ibu itu cantik sekali. Kulitnya juga masih putih bersih, cukup mulus pada usianya. Pantas saja wajah Mas Lana juga tampan mirip aktor Korea.Dalam hati lagi-lagi aku berjanji, akan mempertahankan penampilan Ibu seperti ini mulai hari ini. Ibu tidak boleh terlihat lusuh lagi. Setidaknya para tetangga tidak akan lagi meremehkannya ketika aku sudah berhasil membersihkan namanya dari fitnah itu nanti."Masyaa Allah,
Aku tersenyum miris menatap pria yang berdiri di depanku itu. Pria yang sempat mengisi hatiku bertahun-tahun lamanya, selalu memujiku setinggi langit, namun juga menjatuhkannya dalam sekali waktu. Tak banyak yang berubah darinya, masih sama seperti dulu."Aku berjanji, Ra. Suatu saat nanti hubungan kita pasti akan direstui. Aku akan berjuang. Aku pasti akan menikahimu walaupun nyawa ini taruhannya," ucapnya waktu itu meyakinkanku.Malam itu seperti biasa kami berdua diam-diam berjanji untuk bertemu di pinggiran taman kota. Aku ingin memberikan kejutan kecil untuknya, karena hari itu adalah hari ulang tahunnya.Aku duduk sendirian di kursi taman yang amat sepi itu. Sudah lebih dari setengah jam aku menunggu, tapi dia tak kunjung datang. Tidak biasanya dia datang terlambat. Aku mencoba untuk menghubunginya berulang kali, namun nomornya tak kunjung aktif.Aku mulai khawatir, takut terjadi sesuatu padanya. Namun aku masih terus menunggunya, meskipun waktu sudah lewat tengah malam. Kue yan
"Dia ... benar-benar Dara Larasati Atmajaya, Ma?" Nikita menatapku dengan pandangan gusar.Bu Sarah sepertinya tidak bisa lagi berkata-kata. Wajahnya terlihat bingung, dan mungkin juga merasa malu atas sikapnya tadi. Tentu saja, itu karena map yang mereka baca berisi keputusan Papa untuk membatalkan semua kerja sama dengan perusahaan keluarga Sadewa. "Baiklah, Bu. Sepertinya sudah cukup kita menghadiri acara ini," ucapku kemudian pada Ibu. "Ayo kita pulang, Bu.""Iya, Nduk," jawab Ibu. Sepertinya memang Ibu sudah tidak tahan dengan keributan itu, karena pada dasarnya hatinya begitu lemah lembut."Ayo pulang, Mas," ajakku lagi pada Mas Lana."Iya, Dek," jawabnya.Kami bertiga hendak beranjak, tapi Pak Firman seketika menghentikan kami."Tunggu. Tunggu sebentar, Nak Dara," ucapnya padaku. "Saya benar-benar minta maaf atas sikap istri dan putri saya. Tolong, ijinkan kami bicara baik-baik.""Sejak awal kami tidak mengajak ribut loh, Om," jawabku, menatap pria di depanku dengan tajam. "Ka
Rupanya Kyai Ahmad adalah ayah dari Syifa, wanita yang datang mencari Mas Lana waktu itu. Apa Syifa tidak mengatakan pada Ayahnya jika Mas Lana sudah menikah? Bisa-bisanya datang untuk melamar suami orang.Eh, kenapa hatiku merasa begitu tak terima?"Mohon maafkan saya atas permintaan mendadak ini, Bu Aisyah," ucap Kyai Ahmad lagi. "Sebenarnya putri saya Syifa itu sudah meminta saya untuk melamarkan Nak Lana sejak Lama. Syifa sudah menyukai Lana sejak mereka masih sama-sama remaja dulu."Oh, cinta monyet yang berubah jadi gorila? Sejak tadi entah kenapa hatiku kesal sekali mendengar ucapan Pak tua itu. Sesekali kulirik ekspresi wajah Mas Lana yang masih belum hilang dari keterkejutan."Tapi tunggu sebentar, Pak Kyai," jawab Ibu. "Maulana ini sudah menikah. Ini istrinya, Nduk Dara."Ibu memegang lenganku yang sejak tadi duduk di sampingnya."Iya, saya tahu Bu Aisyah. Syifa sudah mengatakannya pada saya," jawab Kyai Ahmad lagi."Jadi ... maksud Pak Kyai ....""Syifa bersedia menjadi ist
"Ayo sarapan, Nduk. Ibu masak sayur asem kesukaan kamu." Ibu terlihat tersenyum ketika aku keluar dari kamar setelah selesai membersihkan diri.Aku berjalan ragu-ragu, masih menahan malu gara-gara kejadian tadi pagi. Aku lalu duduk di kursi kayu tempat biasa kami makan bersama."Lana harus berangkat pagi-pagi karena harus mengantar Papamu ke bandara," ucap Ibu lagi sambil menyendokkan nasi ke dalam piringku, lalu duduk berhadapan denganku.Aroma sayur asem dan sambal terasi yang menyeruak membuatku tak tahan lagi untuk segera memasukkannya ke dalam mulut. Aku begitu menikmati masakan ibu yang sederhana, namun nikmat luar biasa."Ibu kok gak makan? Apa ada sesuatu di wajahku?" tanyaku ketika sadar sejak tadi Ibu menatap terus ke arahku sambil senyum-senyum."Ibu cuma bahagia sekali, Nduk," jawab Ibu.Wajahku seketika memanas. Ini pasti karena tadi pagi aku mandi keramas. Astaga, memalukan sekali rasanya waktu ketahuan Ibu."Ibu senang karena belakangan Nduk Dara sudah tidak berteriak l
"Jadi kalian ini orang suruhan Bu Sarah?" Emosiku memuncak."Benar! Kalian tidak bisa membayar utang kalian pada Bu Sarah, jadi dia meminta kami untuk mengambil kembali rumah ini!" jawab pria bertampang garang itu.Kedua tanganku seketika mengepal. Bu Sarah pasti melakukan ini sebagai balas dendam karena sudah membuatnya malu kemarin. Dan juga karena kami memutuskan kerja sama dengan perusahaan suaminya."Bu Sarah itu bukannya istri sah dari pria yang digoda Aisyah, ya?" Tiba-tiba terdengar suara Bu Dewi menyeletuk."Sepertinya betul, Bu. Wajar kalau dia dendam sekali dengan Aisyah. Wong suaminya digoda wanita lain kok," sahut Bu Siti."Haduh, kalau kayak gini kan kita sebagai warga juga tidak bisa membantu. Wong sudah jelas siapa yang salah."Aku seketika menatap ke arah para tetangga yang ada di sana."Kalau tidak bisa membantu, setidaknya kalian diam!" teriakku.Mereka semua seketika menutup mulut. Aku kembali menatap ke arah para orang suruhan Bu Sarah itu."Lebih baik kalian semu
Mereka semua benar-benar terkejut, karena ternyata yang berdiri di depan mereka rupanya adalah Pak Firman. Penampilannya telah berubah 180 derajat dari sebelumnya. Dia tampak lebih kurus, dengan setelah baju koko yang dia kenakan."Aisyah ...." Kata pertama yang keluar dari bibirnya, diiringi oleh kedua matanya yang berkaca. Tampak sekali dia merindukan sosok mantan istrinya itu."Ya Allah, Mas. Mas Firman menghilang begitu saja, dan ternyata ... di sini?" ucap Bu Aisyah, belum mampu mengungkapkan perasaannya ketika akhirnya bertemu kembali dengan sang mantan suami.Pak Firman tak langsung menjawab. Dia menatap satu-persatu orang-orang yang amat dia kenal itu. Wajah mereka masih diliputi perasaan kaget, juga penuh tanda tanya. Kemudian pandangannya kembali jatuh pada mantan istrinya itu."Alhamdulillah, aku menemukan kedamaian di tempat ini, Aisyah," jawab Pak Firman kemudian seraya tersenyum simpul."Masyaa Allah, Mas." Bu Aisyah tak bisa menahan rasa haru, melihat Pak Firman yang se
"Astaghfirullah, apa yang terjadi?" Dara ikut khawatir melihat keadaan Bu Sarah."Suster! Tolong, Suster!" Lana akhirnya memanggil Suster dengan panik.Tak berapa lama kemudian, beberapa orang petugas rumah sakit akhirnya datang, dan langsung melakukan pertolongan pada Bu Sarah."Ya Allah, semoga semuanya baik-baik saja," ucap Bu Aisyah kemudian."Pasti berat bagi Bu Sarah melihat kondisi putrinya seperti itu," ucap Lana seraya mengelus pundak ibunya. "Apalagi secara tidak langsung, Bu Sarah sudah memaksakan jalan yang salah pada Nikita.""Semoga setelah ini Mbak Sarah menyadari semua kesalahannya," ucap Bu Aisyah lagi, turut membayangkan apa yang Bu Sarah rasakan."Mereka terlalu menganggap enteng keluarga Heryawan," sahut Bu Laila. "Dan rupanya mereka memang dalang di balik apa yang dialami Dara tiga tahun yang lalu. Tidak bisa dimaafkan!"Dara hanya bisa terdiam. Memang semua yang telah terjadi tidak bisa dikembalikan lagi. Namun setidaknya, Rafka sudah dengan berani membongkar kej
"Siapa, Dek?" tanya Lana ketika melihat ekspresi wajah istrinya yang begitu kaget."Ini ... Rafka, Mas," jawab Dara dengan suara bergetar."Rafka?" Bu Sarah seketika menyahut dalam tangisnya. "Dia pasti tahu sesuatu! Tapi dia tidak mau mengatakannya padaku! Dia pasti bersekongkol dengan Papanya!""Tenanglah, Mbak. Nikita pasti baik-baik saja," ucap Bu Aisyah, berusaha menenangkan Bu Sarah yang dari tadi histeris."Aku tidak bisa tenang, Aisyah. Tolong, aku tidak tahu harus minta tolong pada siapa lagi." Badan Bu Aisyah ambruk, dia duduk berlutut dengan kedua tangan menangkup di dada."Jangan seperti ini, Mbak. Kita akan berusaha membantu." Bu Aisyah membantu Bu Sarah berdiri.Dara seketika mengetik balasan pada Rafka, memintanya untuk memberitahunya di mana lokasinya saat ini."Ayo, Mas, kita pergi sekarang juga," ucap Dara kemudian pada Lana."Ibu ikut ya, Nduk?" sahut Bu Aisyah."Jangan, Bu. Ibu di rumah saja bersama Bu Sarah. Tunggu saja kalau kami sudah mendapatkan kabar baik," ja
"Minumlah, Nduk."Bu Aisyah mengulurkan secangkir teh hangat untuk Dara. Sejak bertemu dengan dengan Rafka dan Nikita di rumah sakit, menantunya itu lebih banyak diam, tidak seperti biasanya. Semua itu membuatnya cemas saja."Terima kasih, Bu." Dara menerima cangkir teh itu, lalu menyeruputnya. Rasa hangat seketika mengalir ke arah tenggorokannya."Nduk Dara baik-baik saja, kan?" tanya Bu Aisyah lagi, seraya menatap menantunya itu dengan tatapan sedih."Aku baik-baik saja, Bu," jawab Dara seraya mencoba tersenyum.Memang dia tak bisa berbohong, jika hatinya tengah kalut, mungkin juga terlalu sakit hati. Bahkan mungkin dia seharusnya merutuki kebo--dohannya sendiri. Dulu dia terlalu naif, menjalin hubungan dengan pria yang jelas-jelas berasal dari keluarga yang menjadi musuh besar keluarganya. Berharap jika suatu saat mereka bisa menyatukan kedua keluarga itu."Dek ...." Lana memegang pundak Dara, membuyarkannya dari lamunan. "Apa tidak sebaiknya kita bicara pada Mama dan Papa mengenai
"Katakan padaku, Rafka!" Dara mengulangi ucapannya.Rafka menatap ke arah Dara. Bibirnya bergetar, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi dia tidak punya keberanian. Dia kemudian menepis tangan Dara, kemudian membuang muka."Aku tidak tahu apapun!" ucapnya kemudian."Kejadian tiga tahun yang lalu?" Lana ikut menatap Rafka tajam. "Apa benar semua itu ulah keluarga Heriyawan?""Jangan ikut campur kamu, Lana! Sudah kubilang aku tidak tahu apapun!" jawab Rafka lagi."Sudah pasti saya harus ikut campur! Dara istri saya, dan apa yang terjadi padanya adalah tanggung jawab saya juga," sahut Lana kemudian."Keluargaku tidak ada kaitannya dengan kejadian apapun! Harus berapa kali aku menjelaskan?" Rafka tetap menyangkal.Dara menggertakkan rahang. Dia tahu Rafka berbohong. Dia pasti menyembunyikan sesuatu. Dara ingat dengan benar, malam itu Rafka yang sedang punya janji dengannya, dan dia tidak datang tanpa alasan. Tanpa kabar. Dara yang berusaha melupakan kejadian mengerikan itu, kini mulai in
"Astaghfirullah, Bu. Jangan seperti ini," ucap Lana kemudian sambil membantu Hajah Saidah berdiri."Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan pada Syifa, Lana. Tolong, Lana. Cuma kamu yang bisa menolong anak saya," ucap Hajah Saidah lagi."Istighfar, Bu Hajah. Pasti ada jalan keluar yang lebih baik. Serahkan sepenuhnya pada Allah, Bu," sahut Bu Aisyah, turut merasa sedih melihat Hajah Binti.Hajah Saidah tidak mempedulikan ucapan Bu Aisyah. Dia justru beralih menatap ke arah Dara."Saya tahu kamu adalah istrinya Lana, tapi kamu juga perempuan. Anak saya sudah mencintai Lana lebih dulu. Jadi tidak bisakah kamu membagi cinta Lana dengan putri saya?" ucapnya, yang langsung membuat Dara membulatkan mata."Astaghfirullah, Bu. Tolong jangan mengajukan permintaan yang tidak mungkin pada istri saya," sahut Lana. "Saya akan bicara dengan Syifa. Saya akan menjelaskan semuanya, agar dia bisa segera melupakan perasaannya pada saya.""Itu benar, Bu Hajah." Bu Aisyah menimpali. "Pasti Syifa
"Apa yang kamu lakukan di sini, Niki?!"Nikita seketika menoleh, dan mendapati Rafka sudah berdiri di sana dengan wajah gusar. Dia cepat-cepat menarik tangan Nikita keluar ruangan, mematikan lampu ruangan itu, lalu menutupnya kembali dengan rapat. Setelah itu, dia kembali menatap tajam ke arah istrinya itu."Kamu tidak mendapat peringatan dari Bik Rubi?" ucap Rafka kemudian."M-maaf ... Mas. Aku ... aku tadi cuma ...." Tubuh Nikita belum berhenti gemetar. Dia sungguh-sungguh ketakutan melihat apa yang ada dalam ruangan tadi.Rafka kembali menarik tangan Nikita dengan kasar, membawanya kembali masuk ke dalam kamarnya."Dengar ya, Niki! Kalau kamu masih mau bernapas besok, lebih baik diam dan bersikap tidak tahu apa-apa di rumah ini! Apalagi nanti ketika Mamamu ikut tinggal di sini! Pastikan kalian berdua tidak sedikitpun membuat keributan!" ucap Rafka lagi.Nikita mengangguk pelan, masih berusaha untuk menghilangkan rasa ketakutannya. Rafka kemudian membanting pintu, membiarkan dia sen
"Mama!" Nikita terus menggoncang tubuh Mamanya yang tak juga sadarkan diri."Astaghfirullah, Bu Sarah baik-baik saja?" Bu Aisyah ikut berdiri, lalu mendekat ke arah mereka.Begitu pun dengan Dara dan Lana, ikut khawatir juga melihat Bu Sarah sampai pingsan seperti itu."Jangan mendekat kalian!" Teriak Nikita sambil menatap mereka tajam. "Ini pasti rencana kalian, kan? Kalian sengaja mau membuat kami malu! Sengaja menghasut Papa untuk membuat kami kehilangan semuanya!""Jangan bicara sembarangan, Niki," jawab Lana. "Kami semua benar-benar tidak tahu apa-apa tentang hal ini.""Bohong kalian! Sekarang kalian sudah puas, kan? Pergi dari tempat ini sekarang juga!" teriak Nikita lagi."Maaf, Nona Nikita," sahut Pak Notaris. "Tapi perusahaan ini sekarang susah sepenuhnya jadi milik Pak Lana. Jadi yang seharusnya meninggalkan tempat ini adalah Nona Nikita dan Bu Sarah."Wajah Nikita seketika merah padam mendengar ucapan Notaris itu. Dia kemudian mengambil ponselnya, lalu menghubungi Rafka sua
"Sekarang katakan, di mana suami saya, Aisyah!" ucap Bu Sarah lagi."Dia tidak ada di sini, Bu! Lagipula Bu Sarah kan istrinya. Masa suaminya pergi ke mana tidak tahu, sih?" jawab Dara."Sudah jelas dia datang ke sini beberapa hari yang lalu, kan? Pasti kamu menghasutnya untuk kembali padamu kan, Aisyah!""Astaghfirullah, Bu. Istighfar," sahut Bu Aisyah. "Kalau saya mau melakukan hal itu, pasti sudah sejak dulu saya lakukan.""Halah, kamu tidak pernah berubah, Aisyah! Tetap sok suci seperti dulu!" Bu Sarah semakin menggebu-gebu."Sudahlah, Bu Sarah. Kami sudah bilang Pak Firman tidak ada di sini. Sebaiknya Bu Sarah pulang saja. Jangan membuat keributan di rumah kami," ucap Dara kemudian."Punya hak apa kamu mengusir saya? Dengar, ya? Kalau bukan karena kebaikan hati saya, rumah ini tidak akan pernah menjadi milik kalian!" Bu Sarah menunjuk ke arah Dara."Rumah ini adalah hak Mas Lana sebagai pewaris sah keluarga Sadewa. Jadi Bu Sarah juga tidak punya hak untuk mengungkit masalah itu l