Share

skak mat

last update Last Updated: 2024-03-16 11:03:18

"Ternyata memang bener-bener sombong ya, mantunya si Aisyah. Gak punya sopan santun pula sama orang tua," cibir Bu Dewi.

"Betul itu, Bu Dewi," sahut Bu Siti. "Memangnya dia anak orang kaya, ya? Kan kalau dari kota belum tentu kaya. Saudara saya saja tinggal di kota, tapi rumahnya cuma dua meter persegi, kok."

"Jelas itu, Bu Siti. Wong nikah sama Lana aja gak pakek ngadain acara, kok. Cuma ijab qobul doang di masjid."

"Gitu aja sok banget mau beli baju sekaligus tokonya. Cih!"

Aku membuang napas kesal. Kesabaranku benar-benar jadi setipis tisu menghadapi mulut-mulut julid mereka. Ibu berulang kali mengelus lenganku, melarangku menanggapi ucapan mereka. Tapi kali ini aku benar-benar ingin membuat mereka berdua m4ti kutu.

"Ada apa sih ini? Kenapa kalian ribut-ribut di depan toko saya?" Tiba-tiba wanita bermata sipit keluar dari dalam toko dan mendelik ke arah kami. Sepertinya dia adalah pemilik toko baju tersebut.

"Mereka berdua ini yang bikin ribut, Cik. Kalau kami berdua ke sini memang mau beli baju buat arisan RT besok," jawab Bu Siti sambil menunjuk ke arahku dan Ibu.

"Kalau mau beli, kenapa tidak masuk? Pelanggan lain bisa kabur melihat keributan kalian," ucap pemilik toko itu lagi.

Bu Siti dan Bu Dewi mencebik ke arahku dan Ibu, lalu mereka berdua pun masuk ke dalam.

"Cik, bisa tolong carikan set kebaya yang cocok untuk Ibu saya?" tanyaku kemudian pada pemilik toko itu.

Wanita bermata sipit itu menurunkan sedikit kaca matanya, lalu memperhatikan Ibu dari atas sampai bawah.

"Haiya, ibumu ini sebenarnya cantik loh. Kulitnya bersih. Coba bawa ke salon. Sini, saya carikan baju yang pas." Pemilik toko itu menuntun Ibu masuk ke dalam, dan aku mengikuti mereka.

Pemilik toko itu mengambil sebuah kebaya modern berbahan bruklat dan menempelkannya ke badan Ibu. Terlihat sangat pas sekali dengan badan Ibu yang kecil. Aku membelai kainnya, dan memang bagus, meskipun tak sebagus bahan dari butik langganan keluarga kami.

"Wah, ini pas sekali, Bu," ucapku sambil tersenyum.

"Tapi ini kelihatannya mahal, Nduk," jawab Ibu dengan wajah sungkan.

"Haiya, untuk kalian owa kasih murah saja lah." Pemilik toko itu tersenyum ramah.

"Eh, Cik. Yang itu buat kami saja." Tiba-tiba Bu Dewi muncul dan menyerobot di depan kami. "Mereka berdua ini pasti cuma melihat-lihat saja, tak mungkin mampu beli!"

"Iya, benar itu, Cik." Bu Siti langsung mengambil kebaya yang ada di tangan pemilik toko. "Biar kami saja yang beli!"

"Itu kebaya cuma sisa dua saja loh," jawab pemilik toko. "Ibu ini yang duluan pesan."

"Mereka gak akan mampu bayar," ucap Bu Dewi lagi. "Kasirnya di sana, kan? Buat kami saja."

Bu Dewi dan Bu Siti lagi-lagi mencebik ke arah kami, dan berjalan menuju kasir.

"Aduh, maaf ya?" Pemilik toko memasang wajah bersalah. "Bagaimana ini, ya?"

"Biarkan saja, Cik. Apa ada model yang lain?" tanyaku kemudian, karena dalam hati aku punya rencana untuk mengerjai Bu Dewi dan Bu Siti tanpa sepengetahuan Ibu.

"Ada, tapi agak mahal, loh," jawab pemilik toko.

"Gak apa-apa, Cik. Asal pas buat Ibu, pasti kami beli," jawabku.

Pemilik toko mengambilkan model kebaya yang lain, dan memang bahannya lebih bagus dari yang tadi. Dan ternyata juga lebih pas di badan Ibu.

"Aduh, Nduk. Yang ini kelihatannya kok jauh lebih mahal." Ibu lagi-lagi memasang wajah sungkan.

"Sudah, Ibu tenang saja." Aku langsung meyakinkan Ibu. "Tolong bungkuskan ya, Cik."

Kami berdua akhirnya sampai di depan kasir, dan ternyata Bu Dewi dan Bu Siti masih ada di sana.

"Masa harganya empat ratus lima puluh ribu sih, Mbak? Tadi saya dengar cuma seratus lima puluh perasaan," ucap Bu Dewi pada kasir.

"Iya ini, Mbak. Pasti salah. Tadi saya juga dengar harganya seratus lima puluh, kok," sahut Bu Siti.

"Maaf, Bu. Harganya dari dulu memang segitu," jawab kasir itu.

Aku tersenyum geli melihat wajah mereka berdua. Tadi diam-diam aku memang sengaja menyebut harga seratus lima puluh ribu saat melewati mereka berdua, karena aku yakin mereka pasti akan menyerobot kebaya itu dari Ibu. Dan ternyata memang benar.

"Aduh, kenapa lama sekali sih, Mbak kasir?" Aku sengaja meninggikan suaraku, membuat Bu Dewi dan Bu Siti seketika salah tingkah.

"Biar saya duluan saja kalau gitu." Aku melewati Bu Siti dan Bu Dewi, lalu memberikan kebaya yang kami pilih untuk dibungkus kasir.

"Yang ini harganya enam ratus ribu, Kak," ucap kasir itu sambil membungkus kebaya milik Ibu. Kulihat kedua mata Bu Dewi dan Bu Siti mendelik, seperti mau keluar dari tempatnya.

"Oh, iya, yang ini kayaknya gak jadi kalian beli, ya?" Aku menunjuk ke arah kebaya yang tadi diserobot oleh mereka berdua. "Kalau begitu biar saya bungkus sekalian, Mbak."

Wajah Bu Dewi dan Bu Siti semakin terlihat seperti baru saja digigit vampir, sudah pasti mereka malu. Apalagi saat kasir menyebutkan total belanjaan kami.

"Totalnya satu juta lima ratus, Kak," ucap kasir sambil mengulurkan belanjaan kami.

"Saya bayar pakai debit bisa kan, Mbak?" Aku mengeluarkan kartu berwarna emas dari dalam dompet.

"Bisa, Kak." Kasir itu menerima kartu milikku dan menyerahkannya pada pemilik toko.

"Wah, rupanya tajir melintir, ye?" Pemilik toko tersenyum saat melihat kartu itu. "Terima kasih sudah belanja di toko saya, lain kali datang lagi, ya?"

Setelah pembayaran selesai, aku dan Ibu beranjak keluar dari toko. Dan saat melewati Bu Dewi dan Bu Siti, lagi-lagi aku sengaja mengeraskan suaraku waktu bicara dengan Ibu.

"Baju di sini ternyata murah-murah ya, Bu? Lain kali kita borong saja kalau ke sini lagi," ucapku.

Aku bisa membayangkan wajah mereka berdua, sehingga begitu berjalan cukup jauh dari toko, aku tak bisa menahan geli lagi. Aku tertawa cekikikan sepanjang jalan, cukup puas bisa membuat orang yang menghina Ibu malu tadi.

"Kamu ini, Nduk. Pasti tadi sengaja mengerjai Bu Dewi dan Bu Siti, kan?" Terlihat Ibu juga terlihat mengulum senyum.

"Biarin, Bu. Sekali-kali memang harus membuat mereka tidak lagi sembarangan merendahkan orang," jawabku.

"Tapi ini mahal, Nduk. Ibu gak pantas pakai baju mahal," ucap Ibu lagi.

"Ibu, ish. Lagi-lagi merendah. Besok aku ajak ibu ke salon, buat perawatan. Pokoknya saat datang ke pernikahan adiknya Mas Lana, Ibu harus cantik," sahutku.

"Aduh, Nduk. Mana mungkin Ibu ...."

"Pokoknya Ibu gak boleh menolak ucapan Dara. Titik."

"Ya Allah, Nduk." Ibu mengusap wajah dengan ujung jilbab. Pasti lagi-lagi ibu menyembunyikan rasa terharunya.

Saat kami berdua sampai di depan pekarangan rumah, kami seketika menghentikan langkah. Seorang wanita berjilbab panjang berdiri di sana, dengan rantang makanan di tangannya. Wajahnya cantik sekali, dan terlihat begitu anggun. Dia tampak tersenyum manis ketika menoleh dan melihat ke arah Ibu.

"Ibu ...." Dia mendekat ke arah Ibu, dan langsung mencium tangannya dengan takdzim. Aku hanya melongo menyaksikan semua itu.

"Mas Lana ada, Bu?" tanyanya kemudian, membuat hatiku seketika seperti teriris sesuatu.

Siapa wanita itu? Kenapa menanyakan Mas Lana?

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ella Wati
lnjt kk..penasaran kelanjutan ceritanya
goodnovel comment avatar
Ernoth
kgk update2 thor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • BUKAN MENANTU MISKIN   cemburu

    "Masyaa Allah, Nduk Syifa." Ibu terlihat tersenyum menatap wanita cantik di depannya itu.Oh, rupanya namanya adalah Syifa. Tapi siapa dia? Batinku penasaran."Sudah agak lama tidak kelihatan sama sekali. Kemana, Nduk?" tanya Ibu lagi."Biasa, Bu. Ke pesantren untuk muroja'ah," jawab Syifa."Masyaa Allah, barrakallah." Ibu tersenyum lagi, lalu menoleh padaku."Nduk Dara, perkenalkan ini Syifa, anak dari Kyai terkemuka di kampung ini," ucapnya kemudian, memperkenalkan Syifa padaku.Syifa tampak tersenyum manis, lalu mengulurkan tangannya, menjabat tanganku."Ini Nduk Dara, istrinya Lana, mantu Ibu." Giliran Ibu memperkenalkanku padanya.Namun, saat ibu menyebut kata "istri" dan "mantu", entah kenapa wajah Syifa yang tadinya penuh dengan senyuman, seketika berubah."Istri?" ucapnya lirih."Iya, Nduk. Lana sudah menikah, dan ini istrinya. Maaf, karena acaranya begitu mendadak dan sederhana, jadi kami tidak mengundang orang," ucap Ibu menjelaskan panjang lebar.Entah kenapa, seketika waja

    Last Updated : 2024-05-18
  • BUKAN MENANTU MISKIN   Identitas

    Aku mengusap air mata, lalu menatap Papa."Papa mengenal mereka?" tanyaku kemudian.Papa menarik napas panjang, lalu membalas tatapanku."Tentu saja. Perusahaan mereka bekerja sama dengan perusahaan kita. Yang jadi masalah itu keluarga yang akan menjadi besan mereka," jawab Papa.Aku sedikit membulatkan mata. Wajah Papa tampak begitu serius, artinya memang bukan orang sembarangan. Perasaanku juga mendadak menjadi tidak enak, ingin segera tahu siapa mereka."Pa, biarkan putri kita duduk dulu," sahut Mama sambil menuntunku untuk duduk di sofa panjang. Setelah kami semua duduk, Mama segera memegang kedua tanganku, dan menatapku dengan pandangan haru. "Dara, keluarga Lana memperlakukan kamu dengan baik, kan?" tanya Mama kemudian.Aku tersenyum, seraya mengangguk. "Iya, Ma," jawabku kemudian. "Terlalu baik malah.""Alhamdulillah, Dara. Mama senang melihat perubahanmu sekarang. Padahal baru beberapa hari, tapi Mama sudah melihat cahaya di matamu. Entah kapan terakhir kali Mama melihatnya

    Last Updated : 2024-05-18
  • BUKAN MENANTU MISKIN   Impian

    Impian? Apa impian Mas Lana yang berhasil aku wujudkan sehingga dia menangis seperti ini?"Mas Lana baik-baik saja?" tanyaku kemudian setelah membiarkannya cukup lama memelukku. Jantungku sudah seperti genderang perang, tak sanggup lagi kutahan."Oh, maafkan Mas, Dek." Mas Lana sepertinya baru sadar apa yang sudah dia lakukan. Cepat-cepat dia melepas pelukannya, dan seketika menjadi salah tingkah.Aku sendiri juga menjadi begitu salah tingkah, sampai tak tahu harus bagaimana. Untuk beberapa lama kami berdua sibuk menata diri kami masing-masing."Mas benar-benar minta maaf, Dek," ucap Mas Lana lagi dengan wajah penuh rasa bersalah. "Pasti Mas sudah membuat Adek takut."Aku tak langsung menanggapi ucapan Mas Lana. Memang benar, selama ini jangankan dipeluk oleh pria, disentuh saja aku pasti akan berteriak karena trauma. Bahkan jika yang melakukannya adalah Papaku sendiri. Tapi ketika merasakan ketulusan Mas Lana, aku justru seperti ingin dia memelukku lebih lama. Ah, bicara apa aku ini?

    Last Updated : 2024-05-18
  • BUKAN MENANTU MISKIN   Pesta pernikahan

    "Loh, Nduk? Ini maksudnya, Ibu mau diapakan?" tanya Ibu lagi dengan ekspresi wajah yang semakin lucu saja."Sudah, Ibu nikmati saja pokoknya," jawabku sambil tersenyum geli melihat wajah Ibu.Ibu akhirnya pasrah juga ketika para petugas salon mulai memijat pundaknya, membuatnya rileks sesaat. Aku sendiri juga akhirnya fokus memanjakan diri, hal yang sudah beberapa tahun tidak aku lakukan.Setelah melakukan berbagai perawatan diselingi celetukan lucu dari Ibu, akhirnya tiba saatnya kami berdua untuk make over. Ternyata benar ucapan pemilik toko waktu itu, kalau sebenarnya wajah Ibu itu cantik sekali. Kulitnya juga masih putih bersih, cukup mulus pada usianya. Pantas saja wajah Mas Lana juga tampan mirip aktor Korea.Dalam hati lagi-lagi aku berjanji, akan mempertahankan penampilan Ibu seperti ini mulai hari ini. Ibu tidak boleh terlihat lusuh lagi. Setidaknya para tetangga tidak akan lagi meremehkannya ketika aku sudah berhasil membersihkan namanya dari fitnah itu nanti."Masyaa Allah,

    Last Updated : 2024-05-18
  • BUKAN MENANTU MISKIN   Hak

    Aku tersenyum miris menatap pria yang berdiri di depanku itu. Pria yang sempat mengisi hatiku bertahun-tahun lamanya, selalu memujiku setinggi langit, namun juga menjatuhkannya dalam sekali waktu. Tak banyak yang berubah darinya, masih sama seperti dulu."Aku berjanji, Ra. Suatu saat nanti hubungan kita pasti akan direstui. Aku akan berjuang. Aku pasti akan menikahimu walaupun nyawa ini taruhannya," ucapnya waktu itu meyakinkanku.Malam itu seperti biasa kami berdua diam-diam berjanji untuk bertemu di pinggiran taman kota. Aku ingin memberikan kejutan kecil untuknya, karena hari itu adalah hari ulang tahunnya.Aku duduk sendirian di kursi taman yang amat sepi itu. Sudah lebih dari setengah jam aku menunggu, tapi dia tak kunjung datang. Tidak biasanya dia datang terlambat. Aku mencoba untuk menghubunginya berulang kali, namun nomornya tak kunjung aktif.Aku mulai khawatir, takut terjadi sesuatu padanya. Namun aku masih terus menunggunya, meskipun waktu sudah lewat tengah malam. Kue yan

    Last Updated : 2024-05-18
  • BUKAN MENANTU MISKIN   Pengecut

    "Dia ... benar-benar Dara Larasati Atmajaya, Ma?" Nikita menatapku dengan pandangan gusar.Bu Sarah sepertinya tidak bisa lagi berkata-kata. Wajahnya terlihat bingung, dan mungkin juga merasa malu atas sikapnya tadi. Tentu saja, itu karena map yang mereka baca berisi keputusan Papa untuk membatalkan semua kerja sama dengan perusahaan keluarga Sadewa. "Baiklah, Bu. Sepertinya sudah cukup kita menghadiri acara ini," ucapku kemudian pada Ibu. "Ayo kita pulang, Bu.""Iya, Nduk," jawab Ibu. Sepertinya memang Ibu sudah tidak tahan dengan keributan itu, karena pada dasarnya hatinya begitu lemah lembut."Ayo pulang, Mas," ajakku lagi pada Mas Lana."Iya, Dek," jawabnya.Kami bertiga hendak beranjak, tapi Pak Firman seketika menghentikan kami."Tunggu. Tunggu sebentar, Nak Dara," ucapnya padaku. "Saya benar-benar minta maaf atas sikap istri dan putri saya. Tolong, ijinkan kami bicara baik-baik.""Sejak awal kami tidak mengajak ribut loh, Om," jawabku, menatap pria di depanku dengan tajam. "Ka

    Last Updated : 2024-05-18
  • BUKAN MENANTU MISKIN   Cinta?

    Rupanya Kyai Ahmad adalah ayah dari Syifa, wanita yang datang mencari Mas Lana waktu itu. Apa Syifa tidak mengatakan pada Ayahnya jika Mas Lana sudah menikah? Bisa-bisanya datang untuk melamar suami orang.Eh, kenapa hatiku merasa begitu tak terima?"Mohon maafkan saya atas permintaan mendadak ini, Bu Aisyah," ucap Kyai Ahmad lagi. "Sebenarnya putri saya Syifa itu sudah meminta saya untuk melamarkan Nak Lana sejak Lama. Syifa sudah menyukai Lana sejak mereka masih sama-sama remaja dulu."Oh, cinta monyet yang berubah jadi gorila? Sejak tadi entah kenapa hatiku kesal sekali mendengar ucapan Pak tua itu. Sesekali kulirik ekspresi wajah Mas Lana yang masih belum hilang dari keterkejutan."Tapi tunggu sebentar, Pak Kyai," jawab Ibu. "Maulana ini sudah menikah. Ini istrinya, Nduk Dara."Ibu memegang lenganku yang sejak tadi duduk di sampingnya."Iya, saya tahu Bu Aisyah. Syifa sudah mengatakannya pada saya," jawab Kyai Ahmad lagi."Jadi ... maksud Pak Kyai ....""Syifa bersedia menjadi ist

    Last Updated : 2024-05-18
  • BUKAN MENANTU MISKIN   Perasaan yang terungkap

    "Ayo sarapan, Nduk. Ibu masak sayur asem kesukaan kamu." Ibu terlihat tersenyum ketika aku keluar dari kamar setelah selesai membersihkan diri.Aku berjalan ragu-ragu, masih menahan malu gara-gara kejadian tadi pagi. Aku lalu duduk di kursi kayu tempat biasa kami makan bersama."Lana harus berangkat pagi-pagi karena harus mengantar Papamu ke bandara," ucap Ibu lagi sambil menyendokkan nasi ke dalam piringku, lalu duduk berhadapan denganku.Aroma sayur asem dan sambal terasi yang menyeruak membuatku tak tahan lagi untuk segera memasukkannya ke dalam mulut. Aku begitu menikmati masakan ibu yang sederhana, namun nikmat luar biasa."Ibu kok gak makan? Apa ada sesuatu di wajahku?" tanyaku ketika sadar sejak tadi Ibu menatap terus ke arahku sambil senyum-senyum."Ibu cuma bahagia sekali, Nduk," jawab Ibu.Wajahku seketika memanas. Ini pasti karena tadi pagi aku mandi keramas. Astaga, memalukan sekali rasanya waktu ketahuan Ibu."Ibu senang karena belakangan Nduk Dara sudah tidak berteriak l

    Last Updated : 2024-05-18

Latest chapter

  • BUKAN MENANTU MISKIN   Akhir ( END )

    Mereka semua benar-benar terkejut, karena ternyata yang berdiri di depan mereka rupanya adalah Pak Firman. Penampilannya telah berubah 180 derajat dari sebelumnya. Dia tampak lebih kurus, dengan setelah baju koko yang dia kenakan."Aisyah ...." Kata pertama yang keluar dari bibirnya, diiringi oleh kedua matanya yang berkaca. Tampak sekali dia merindukan sosok mantan istrinya itu."Ya Allah, Mas. Mas Firman menghilang begitu saja, dan ternyata ... di sini?" ucap Bu Aisyah, belum mampu mengungkapkan perasaannya ketika akhirnya bertemu kembali dengan sang mantan suami.Pak Firman tak langsung menjawab. Dia menatap satu-persatu orang-orang yang amat dia kenal itu. Wajah mereka masih diliputi perasaan kaget, juga penuh tanda tanya. Kemudian pandangannya kembali jatuh pada mantan istrinya itu."Alhamdulillah, aku menemukan kedamaian di tempat ini, Aisyah," jawab Pak Firman kemudian seraya tersenyum simpul."Masyaa Allah, Mas." Bu Aisyah tak bisa menahan rasa haru, melihat Pak Firman yang se

  • BUKAN MENANTU MISKIN   Pada akhirnya

    "Astaghfirullah, apa yang terjadi?" Dara ikut khawatir melihat keadaan Bu Sarah."Suster! Tolong, Suster!" Lana akhirnya memanggil Suster dengan panik.Tak berapa lama kemudian, beberapa orang petugas rumah sakit akhirnya datang, dan langsung melakukan pertolongan pada Bu Sarah."Ya Allah, semoga semuanya baik-baik saja," ucap Bu Aisyah kemudian."Pasti berat bagi Bu Sarah melihat kondisi putrinya seperti itu," ucap Lana seraya mengelus pundak ibunya. "Apalagi secara tidak langsung, Bu Sarah sudah memaksakan jalan yang salah pada Nikita.""Semoga setelah ini Mbak Sarah menyadari semua kesalahannya," ucap Bu Aisyah lagi, turut membayangkan apa yang Bu Sarah rasakan."Mereka terlalu menganggap enteng keluarga Heryawan," sahut Bu Laila. "Dan rupanya mereka memang dalang di balik apa yang dialami Dara tiga tahun yang lalu. Tidak bisa dimaafkan!"Dara hanya bisa terdiam. Memang semua yang telah terjadi tidak bisa dikembalikan lagi. Namun setidaknya, Rafka sudah dengan berani membongkar kej

  • BUKAN MENANTU MISKIN   Pengorbanan

    "Siapa, Dek?" tanya Lana ketika melihat ekspresi wajah istrinya yang begitu kaget."Ini ... Rafka, Mas," jawab Dara dengan suara bergetar."Rafka?" Bu Sarah seketika menyahut dalam tangisnya. "Dia pasti tahu sesuatu! Tapi dia tidak mau mengatakannya padaku! Dia pasti bersekongkol dengan Papanya!""Tenanglah, Mbak. Nikita pasti baik-baik saja," ucap Bu Aisyah, berusaha menenangkan Bu Sarah yang dari tadi histeris."Aku tidak bisa tenang, Aisyah. Tolong, aku tidak tahu harus minta tolong pada siapa lagi." Badan Bu Aisyah ambruk, dia duduk berlutut dengan kedua tangan menangkup di dada."Jangan seperti ini, Mbak. Kita akan berusaha membantu." Bu Aisyah membantu Bu Sarah berdiri.Dara seketika mengetik balasan pada Rafka, memintanya untuk memberitahunya di mana lokasinya saat ini."Ayo, Mas, kita pergi sekarang juga," ucap Dara kemudian pada Lana."Ibu ikut ya, Nduk?" sahut Bu Aisyah."Jangan, Bu. Ibu di rumah saja bersama Bu Sarah. Tunggu saja kalau kami sudah mendapatkan kabar baik," ja

  • BUKAN MENANTU MISKIN   Lancang

    "Minumlah, Nduk."Bu Aisyah mengulurkan secangkir teh hangat untuk Dara. Sejak bertemu dengan dengan Rafka dan Nikita di rumah sakit, menantunya itu lebih banyak diam, tidak seperti biasanya. Semua itu membuatnya cemas saja."Terima kasih, Bu." Dara menerima cangkir teh itu, lalu menyeruputnya. Rasa hangat seketika mengalir ke arah tenggorokannya."Nduk Dara baik-baik saja, kan?" tanya Bu Aisyah lagi, seraya menatap menantunya itu dengan tatapan sedih."Aku baik-baik saja, Bu," jawab Dara seraya mencoba tersenyum.Memang dia tak bisa berbohong, jika hatinya tengah kalut, mungkin juga terlalu sakit hati. Bahkan mungkin dia seharusnya merutuki kebo--dohannya sendiri. Dulu dia terlalu naif, menjalin hubungan dengan pria yang jelas-jelas berasal dari keluarga yang menjadi musuh besar keluarganya. Berharap jika suatu saat mereka bisa menyatukan kedua keluarga itu."Dek ...." Lana memegang pundak Dara, membuyarkannya dari lamunan. "Apa tidak sebaiknya kita bicara pada Mama dan Papa mengenai

  • BUKAN MENANTU MISKIN   Para Penjahat

    "Katakan padaku, Rafka!" Dara mengulangi ucapannya.Rafka menatap ke arah Dara. Bibirnya bergetar, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi dia tidak punya keberanian. Dia kemudian menepis tangan Dara, kemudian membuang muka."Aku tidak tahu apapun!" ucapnya kemudian."Kejadian tiga tahun yang lalu?" Lana ikut menatap Rafka tajam. "Apa benar semua itu ulah keluarga Heriyawan?""Jangan ikut campur kamu, Lana! Sudah kubilang aku tidak tahu apapun!" jawab Rafka lagi."Sudah pasti saya harus ikut campur! Dara istri saya, dan apa yang terjadi padanya adalah tanggung jawab saya juga," sahut Lana kemudian."Keluargaku tidak ada kaitannya dengan kejadian apapun! Harus berapa kali aku menjelaskan?" Rafka tetap menyangkal.Dara menggertakkan rahang. Dia tahu Rafka berbohong. Dia pasti menyembunyikan sesuatu. Dara ingat dengan benar, malam itu Rafka yang sedang punya janji dengannya, dan dia tidak datang tanpa alasan. Tanpa kabar. Dara yang berusaha melupakan kejadian mengerikan itu, kini mulai in

  • BUKAN MENANTU MISKIN   Iman

    "Astaghfirullah, Bu. Jangan seperti ini," ucap Lana kemudian sambil membantu Hajah Saidah berdiri."Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan pada Syifa, Lana. Tolong, Lana. Cuma kamu yang bisa menolong anak saya," ucap Hajah Saidah lagi."Istighfar, Bu Hajah. Pasti ada jalan keluar yang lebih baik. Serahkan sepenuhnya pada Allah, Bu," sahut Bu Aisyah, turut merasa sedih melihat Hajah Binti.Hajah Saidah tidak mempedulikan ucapan Bu Aisyah. Dia justru beralih menatap ke arah Dara."Saya tahu kamu adalah istrinya Lana, tapi kamu juga perempuan. Anak saya sudah mencintai Lana lebih dulu. Jadi tidak bisakah kamu membagi cinta Lana dengan putri saya?" ucapnya, yang langsung membuat Dara membulatkan mata."Astaghfirullah, Bu. Tolong jangan mengajukan permintaan yang tidak mungkin pada istri saya," sahut Lana. "Saya akan bicara dengan Syifa. Saya akan menjelaskan semuanya, agar dia bisa segera melupakan perasaannya pada saya.""Itu benar, Bu Hajah." Bu Aisyah menimpali. "Pasti Syifa

  • BUKAN MENANTU MISKIN   Rahasia

    "Apa yang kamu lakukan di sini, Niki?!"Nikita seketika menoleh, dan mendapati Rafka sudah berdiri di sana dengan wajah gusar. Dia cepat-cepat menarik tangan Nikita keluar ruangan, mematikan lampu ruangan itu, lalu menutupnya kembali dengan rapat. Setelah itu, dia kembali menatap tajam ke arah istrinya itu."Kamu tidak mendapat peringatan dari Bik Rubi?" ucap Rafka kemudian."M-maaf ... Mas. Aku ... aku tadi cuma ...." Tubuh Nikita belum berhenti gemetar. Dia sungguh-sungguh ketakutan melihat apa yang ada dalam ruangan tadi.Rafka kembali menarik tangan Nikita dengan kasar, membawanya kembali masuk ke dalam kamarnya."Dengar ya, Niki! Kalau kamu masih mau bernapas besok, lebih baik diam dan bersikap tidak tahu apa-apa di rumah ini! Apalagi nanti ketika Mamamu ikut tinggal di sini! Pastikan kalian berdua tidak sedikitpun membuat keributan!" ucap Rafka lagi.Nikita mengangguk pelan, masih berusaha untuk menghilangkan rasa ketakutannya. Rafka kemudian membanting pintu, membiarkan dia sen

  • BUKAN MENANTU MISKIN   Terungkap

    "Mama!" Nikita terus menggoncang tubuh Mamanya yang tak juga sadarkan diri."Astaghfirullah, Bu Sarah baik-baik saja?" Bu Aisyah ikut berdiri, lalu mendekat ke arah mereka.Begitu pun dengan Dara dan Lana, ikut khawatir juga melihat Bu Sarah sampai pingsan seperti itu."Jangan mendekat kalian!" Teriak Nikita sambil menatap mereka tajam. "Ini pasti rencana kalian, kan? Kalian sengaja mau membuat kami malu! Sengaja menghasut Papa untuk membuat kami kehilangan semuanya!""Jangan bicara sembarangan, Niki," jawab Lana. "Kami semua benar-benar tidak tahu apa-apa tentang hal ini.""Bohong kalian! Sekarang kalian sudah puas, kan? Pergi dari tempat ini sekarang juga!" teriak Nikita lagi."Maaf, Nona Nikita," sahut Pak Notaris. "Tapi perusahaan ini sekarang susah sepenuhnya jadi milik Pak Lana. Jadi yang seharusnya meninggalkan tempat ini adalah Nona Nikita dan Bu Sarah."Wajah Nikita seketika merah padam mendengar ucapan Notaris itu. Dia kemudian mengambil ponselnya, lalu menghubungi Rafka sua

  • BUKAN MENANTU MISKIN   Wasiat

    "Sekarang katakan, di mana suami saya, Aisyah!" ucap Bu Sarah lagi."Dia tidak ada di sini, Bu! Lagipula Bu Sarah kan istrinya. Masa suaminya pergi ke mana tidak tahu, sih?" jawab Dara."Sudah jelas dia datang ke sini beberapa hari yang lalu, kan? Pasti kamu menghasutnya untuk kembali padamu kan, Aisyah!""Astaghfirullah, Bu. Istighfar," sahut Bu Aisyah. "Kalau saya mau melakukan hal itu, pasti sudah sejak dulu saya lakukan.""Halah, kamu tidak pernah berubah, Aisyah! Tetap sok suci seperti dulu!" Bu Sarah semakin menggebu-gebu."Sudahlah, Bu Sarah. Kami sudah bilang Pak Firman tidak ada di sini. Sebaiknya Bu Sarah pulang saja. Jangan membuat keributan di rumah kami," ucap Dara kemudian."Punya hak apa kamu mengusir saya? Dengar, ya? Kalau bukan karena kebaikan hati saya, rumah ini tidak akan pernah menjadi milik kalian!" Bu Sarah menunjuk ke arah Dara."Rumah ini adalah hak Mas Lana sebagai pewaris sah keluarga Sadewa. Jadi Bu Sarah juga tidak punya hak untuk mengungkit masalah itu l

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status