"Siapa, Dek?" tanya Lana ketika melihat ekspresi wajah istrinya yang begitu kaget."Ini ... Rafka, Mas," jawab Dara dengan suara bergetar."Rafka?" Bu Sarah seketika menyahut dalam tangisnya. "Dia pasti tahu sesuatu! Tapi dia tidak mau mengatakannya padaku! Dia pasti bersekongkol dengan Papanya!""Tenanglah, Mbak. Nikita pasti baik-baik saja," ucap Bu Aisyah, berusaha menenangkan Bu Sarah yang dari tadi histeris."Aku tidak bisa tenang, Aisyah. Tolong, aku tidak tahu harus minta tolong pada siapa lagi." Badan Bu Aisyah ambruk, dia duduk berlutut dengan kedua tangan menangkup di dada."Jangan seperti ini, Mbak. Kita akan berusaha membantu." Bu Aisyah membantu Bu Sarah berdiri.Dara seketika mengetik balasan pada Rafka, memintanya untuk memberitahunya di mana lokasinya saat ini."Ayo, Mas, kita pergi sekarang juga," ucap Dara kemudian pada Lana."Ibu ikut ya, Nduk?" sahut Bu Aisyah."Jangan, Bu. Ibu di rumah saja bersama Bu Sarah. Tunggu saja kalau kami sudah mendapatkan kabar baik," ja
"Astaghfirullah, apa yang terjadi?" Dara ikut khawatir melihat keadaan Bu Sarah."Suster! Tolong, Suster!" Lana akhirnya memanggil Suster dengan panik.Tak berapa lama kemudian, beberapa orang petugas rumah sakit akhirnya datang, dan langsung melakukan pertolongan pada Bu Sarah."Ya Allah, semoga semuanya baik-baik saja," ucap Bu Aisyah kemudian."Pasti berat bagi Bu Sarah melihat kondisi putrinya seperti itu," ucap Lana seraya mengelus pundak ibunya. "Apalagi secara tidak langsung, Bu Sarah sudah memaksakan jalan yang salah pada Nikita.""Semoga setelah ini Mbak Sarah menyadari semua kesalahannya," ucap Bu Aisyah lagi, turut membayangkan apa yang Bu Sarah rasakan."Mereka terlalu menganggap enteng keluarga Heryawan," sahut Bu Laila. "Dan rupanya mereka memang dalang di balik apa yang dialami Dara tiga tahun yang lalu. Tidak bisa dimaafkan!"Dara hanya bisa terdiam. Memang semua yang telah terjadi tidak bisa dikembalikan lagi. Namun setidaknya, Rafka sudah dengan berani membongkar kej
Mereka semua benar-benar terkejut, karena ternyata yang berdiri di depan mereka rupanya adalah Pak Firman. Penampilannya telah berubah 180 derajat dari sebelumnya. Dia tampak lebih kurus, dengan setelah baju koko yang dia kenakan."Aisyah ...." Kata pertama yang keluar dari bibirnya, diiringi oleh kedua matanya yang berkaca. Tampak sekali dia merindukan sosok mantan istrinya itu."Ya Allah, Mas. Mas Firman menghilang begitu saja, dan ternyata ... di sini?" ucap Bu Aisyah, belum mampu mengungkapkan perasaannya ketika akhirnya bertemu kembali dengan sang mantan suami.Pak Firman tak langsung menjawab. Dia menatap satu-persatu orang-orang yang amat dia kenal itu. Wajah mereka masih diliputi perasaan kaget, juga penuh tanda tanya. Kemudian pandangannya kembali jatuh pada mantan istrinya itu."Alhamdulillah, aku menemukan kedamaian di tempat ini, Aisyah," jawab Pak Firman kemudian seraya tersenyum simpul."Masyaa Allah, Mas." Bu Aisyah tak bisa menahan rasa haru, melihat Pak Firman yang se
"Demi Allah, saya tidak ikhlas dengan tuduhan kalian! Jika memang benar saya yang mengambil uang itu, silakan po--tong kedua tangan saya! Tapi jika ini fitnah, semoga Allah akan mengangkat derajat saya lebih tinggi dari kalian semua!"Aku mengerjapkan mata berulang kali ketika mendengar suara Bu Aisyah, ibu mertuaku, dari luar sana. Aku yang memang tadinya masih terlelap, akhirnya bangkit dan duduk. Kepala masih terasa pusing karena semalam hampir tak bisa tidur. Ini memang baru pertama kalinya aku tidur di rumah mertua, setelah resmi menikah beberapa waktu yang lalu, dan belum terbiasa dengan suasana kampung.Aku meraih ponsel dari samping bantal. Masih jam tujuh pagi. Kenapa ada ribut-ribut di luar sana sepagi ini? Apa ini kebiasaan orang-orang kampung?"Halah! Ngaku saja kamu, Aisyah! Jangankan uang, suami orang saja berani kau curi!" Terdengar suara seorang wanita yang sepertinya sedang memaki ibu.Aku seketika bangun dan berjalan keluar, memastikan apa yang sebenarnya terjadi. T
Aku ... Dara Larasati Atmajaya, putri dan pewaris tunggal dari pemilik perusahaan dengan brand yang menguasai hampir seperempat perekonomian di negeri ini. Nyatanya ... lahir dalam keluarga yang bergelimpang harta tak selalu bisa membuat seseorang bahagia ...."Dara, Papa membawakan calon suami untukmu."Aku memutar kepala perlahan, menatap ke arah pria yang merupakan cinta pertamaku itu. Di sampingnya, terlihat Mama menatap ke arahku dengan pandangan sendu. Pandangan yang setiap hari kulihat sejak kejadian laknat beberapa tahun yang lalu.Persaingan bisnis. Sungguh alasan yang tidak masuk akal seseorang membayar para preman untuk menghancurkan masa depan penerus bisnis saingannya tersebut. Tapi mereka berhasil. Mereka berhasil membuatku hancur dengan merenggut kehormatanku.Bahkan ketika para preman itu tertangkap, para polisi tidak membuat mereka mengakui siapa yang telah membayar mereka. Sedangkan aku yang jadi korban, tak bisa berbuat apa-apa. Kenapa mereka tidak membu--nuhku saja
"Astaghfirullah, Mbak. Tolong jangan mengatakan hal yang tidak benar di depan menantu saya," jawab ibu ketika mendengar ucapan Bu Sarah."Mas Firman memang hanya menikahi saya secara siri, tapi kami menikah lebih dulu dibandingkan dengan kalian," lanjut Ibu lagi. "Lagipula bukannya saya sudah dengan ikhlas meminta talak darinya, meskipun saat itu saya sedang hamil? Kenapa ucapan Mbak Sarah masih seperti itu?""Halah, sok suci kamu, Aisyah. Di mana-mana yang namanya istri siri itu ya pelakor!" sahut Bu Sarah lagi."Ilmu dari mana itu, Bu?" Aku akhirnya menyahut. "Pernikahan siri tetap sah di mata agama.""Kamu masih ingusan, gak usah ikut-ikutan!" Bu Sarah menatapku sengit. "Saya dan Mas Firman sudah lebih dulu dijodohkan. Jadi tetap saja si Aisyah ini pelakor. Sudah cerai pun masih mengemis uang untuk biaya melahirkan. Kamu gak tahu itu, kan?""Mbak, saya sudah berjanji akan menggantinya, dan melunasinya secepatnya," jawab Ibu lagi. "Jadi tolong, jangan bicara lagi tentang masalah kit
"Assalamualaikum."Aku dan Ibu yang masih saling berpelukan dan larut dalam perasaan kami masing-masing, saling tersentak ketika tiba-tiba ada yang mengucap salam."Waalaikumsalam." Kami berdua menjawab hampir bersamaan.Kami seketika menoleh ke arah pintu depan, dan terlihat Mas Lana berdiri di sana, menatap kami dengan pandangan heran."Loh, Lana? Kok kamu jam segini sudah pulang, Nak?" Ibu cepat-cepat mengusap wajahnya, mungkin agar putranya tidak menyadari jika dia baru saja menangis."Apa yang terjadi, Bu?" Mas Lana masih memperhatikan ibunya, lalu beralih menatapku."Ada apa ini, Dek? Mas lihat kalian berdua baru berpelukan, dan Ibu sepertinya menangis?" tanyanya lagi padaku."Gak ada apa-apa, Lana," sahut Ibu cepat. "Kamu sudah makan? Ibu sedang sarapan sama Nduk Dara."Mas Lana terlihat membuang napas, lalu menatap ibunya lagi lebih lekat. Sepertinya dia tak menghiraukan Ibu yang berusaha mengalihkan pembicaraan."Para tetangga mengganggu Ibu lagi?""Ah, nggak kok, Lana. Ibu t
"Nikmati saja, Cantik! Berteriak pun percuma. Tidak akan ada seorangpun yang akan menolong mu!"Suara tawa para ba--jingan itu menggelegar ke seluruh ruangan. Aku mencoba meronta, namun tak bisa. Kedua tangan dan kakiku terikat erat. Mereka juga bahkan menyumpal mulutku agar tidak bisa berteriak. Dan ketika satu-persatu mereka mulai menja--mah tubuh ini, aku hanya bisa menjerit dalam hati. Mengutuk para ba--jingan yang tega melakukan semua ini.Tolong aku, Tuhan! Aku kotor! Aku kotor!..."Dek ... Dek!"Aku tersentak bangun ketika seseorang mengguncang tubuhku. Kurasakan keringat dingin membasahi pelipis dan sekujur tubuuh, napasku memburu. Ternyata lagi-lagi mimpi dari masa lalu. Hampir setiap malam aku seperti ini, hal yang membuatku begitu tersiksa hingga berulang kali mencoba bu--nuh diri."Adek mimpi buruk lagi?" Mas Lana menatap ke arahku dengan pandangan khawatir.Pria bermata teduh itu mengambilkanku segelas air putih, memintaku untuk minum. Aku meneguknya dengan bibir gemetar
Mereka semua benar-benar terkejut, karena ternyata yang berdiri di depan mereka rupanya adalah Pak Firman. Penampilannya telah berubah 180 derajat dari sebelumnya. Dia tampak lebih kurus, dengan setelah baju koko yang dia kenakan."Aisyah ...." Kata pertama yang keluar dari bibirnya, diiringi oleh kedua matanya yang berkaca. Tampak sekali dia merindukan sosok mantan istrinya itu."Ya Allah, Mas. Mas Firman menghilang begitu saja, dan ternyata ... di sini?" ucap Bu Aisyah, belum mampu mengungkapkan perasaannya ketika akhirnya bertemu kembali dengan sang mantan suami.Pak Firman tak langsung menjawab. Dia menatap satu-persatu orang-orang yang amat dia kenal itu. Wajah mereka masih diliputi perasaan kaget, juga penuh tanda tanya. Kemudian pandangannya kembali jatuh pada mantan istrinya itu."Alhamdulillah, aku menemukan kedamaian di tempat ini, Aisyah," jawab Pak Firman kemudian seraya tersenyum simpul."Masyaa Allah, Mas." Bu Aisyah tak bisa menahan rasa haru, melihat Pak Firman yang se
"Astaghfirullah, apa yang terjadi?" Dara ikut khawatir melihat keadaan Bu Sarah."Suster! Tolong, Suster!" Lana akhirnya memanggil Suster dengan panik.Tak berapa lama kemudian, beberapa orang petugas rumah sakit akhirnya datang, dan langsung melakukan pertolongan pada Bu Sarah."Ya Allah, semoga semuanya baik-baik saja," ucap Bu Aisyah kemudian."Pasti berat bagi Bu Sarah melihat kondisi putrinya seperti itu," ucap Lana seraya mengelus pundak ibunya. "Apalagi secara tidak langsung, Bu Sarah sudah memaksakan jalan yang salah pada Nikita.""Semoga setelah ini Mbak Sarah menyadari semua kesalahannya," ucap Bu Aisyah lagi, turut membayangkan apa yang Bu Sarah rasakan."Mereka terlalu menganggap enteng keluarga Heryawan," sahut Bu Laila. "Dan rupanya mereka memang dalang di balik apa yang dialami Dara tiga tahun yang lalu. Tidak bisa dimaafkan!"Dara hanya bisa terdiam. Memang semua yang telah terjadi tidak bisa dikembalikan lagi. Namun setidaknya, Rafka sudah dengan berani membongkar kej
"Siapa, Dek?" tanya Lana ketika melihat ekspresi wajah istrinya yang begitu kaget."Ini ... Rafka, Mas," jawab Dara dengan suara bergetar."Rafka?" Bu Sarah seketika menyahut dalam tangisnya. "Dia pasti tahu sesuatu! Tapi dia tidak mau mengatakannya padaku! Dia pasti bersekongkol dengan Papanya!""Tenanglah, Mbak. Nikita pasti baik-baik saja," ucap Bu Aisyah, berusaha menenangkan Bu Sarah yang dari tadi histeris."Aku tidak bisa tenang, Aisyah. Tolong, aku tidak tahu harus minta tolong pada siapa lagi." Badan Bu Aisyah ambruk, dia duduk berlutut dengan kedua tangan menangkup di dada."Jangan seperti ini, Mbak. Kita akan berusaha membantu." Bu Aisyah membantu Bu Sarah berdiri.Dara seketika mengetik balasan pada Rafka, memintanya untuk memberitahunya di mana lokasinya saat ini."Ayo, Mas, kita pergi sekarang juga," ucap Dara kemudian pada Lana."Ibu ikut ya, Nduk?" sahut Bu Aisyah."Jangan, Bu. Ibu di rumah saja bersama Bu Sarah. Tunggu saja kalau kami sudah mendapatkan kabar baik," ja
"Minumlah, Nduk."Bu Aisyah mengulurkan secangkir teh hangat untuk Dara. Sejak bertemu dengan dengan Rafka dan Nikita di rumah sakit, menantunya itu lebih banyak diam, tidak seperti biasanya. Semua itu membuatnya cemas saja."Terima kasih, Bu." Dara menerima cangkir teh itu, lalu menyeruputnya. Rasa hangat seketika mengalir ke arah tenggorokannya."Nduk Dara baik-baik saja, kan?" tanya Bu Aisyah lagi, seraya menatap menantunya itu dengan tatapan sedih."Aku baik-baik saja, Bu," jawab Dara seraya mencoba tersenyum.Memang dia tak bisa berbohong, jika hatinya tengah kalut, mungkin juga terlalu sakit hati. Bahkan mungkin dia seharusnya merutuki kebo--dohannya sendiri. Dulu dia terlalu naif, menjalin hubungan dengan pria yang jelas-jelas berasal dari keluarga yang menjadi musuh besar keluarganya. Berharap jika suatu saat mereka bisa menyatukan kedua keluarga itu."Dek ...." Lana memegang pundak Dara, membuyarkannya dari lamunan. "Apa tidak sebaiknya kita bicara pada Mama dan Papa mengenai
"Katakan padaku, Rafka!" Dara mengulangi ucapannya.Rafka menatap ke arah Dara. Bibirnya bergetar, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi dia tidak punya keberanian. Dia kemudian menepis tangan Dara, kemudian membuang muka."Aku tidak tahu apapun!" ucapnya kemudian."Kejadian tiga tahun yang lalu?" Lana ikut menatap Rafka tajam. "Apa benar semua itu ulah keluarga Heriyawan?""Jangan ikut campur kamu, Lana! Sudah kubilang aku tidak tahu apapun!" jawab Rafka lagi."Sudah pasti saya harus ikut campur! Dara istri saya, dan apa yang terjadi padanya adalah tanggung jawab saya juga," sahut Lana kemudian."Keluargaku tidak ada kaitannya dengan kejadian apapun! Harus berapa kali aku menjelaskan?" Rafka tetap menyangkal.Dara menggertakkan rahang. Dia tahu Rafka berbohong. Dia pasti menyembunyikan sesuatu. Dara ingat dengan benar, malam itu Rafka yang sedang punya janji dengannya, dan dia tidak datang tanpa alasan. Tanpa kabar. Dara yang berusaha melupakan kejadian mengerikan itu, kini mulai in
"Astaghfirullah, Bu. Jangan seperti ini," ucap Lana kemudian sambil membantu Hajah Saidah berdiri."Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan pada Syifa, Lana. Tolong, Lana. Cuma kamu yang bisa menolong anak saya," ucap Hajah Saidah lagi."Istighfar, Bu Hajah. Pasti ada jalan keluar yang lebih baik. Serahkan sepenuhnya pada Allah, Bu," sahut Bu Aisyah, turut merasa sedih melihat Hajah Binti.Hajah Saidah tidak mempedulikan ucapan Bu Aisyah. Dia justru beralih menatap ke arah Dara."Saya tahu kamu adalah istrinya Lana, tapi kamu juga perempuan. Anak saya sudah mencintai Lana lebih dulu. Jadi tidak bisakah kamu membagi cinta Lana dengan putri saya?" ucapnya, yang langsung membuat Dara membulatkan mata."Astaghfirullah, Bu. Tolong jangan mengajukan permintaan yang tidak mungkin pada istri saya," sahut Lana. "Saya akan bicara dengan Syifa. Saya akan menjelaskan semuanya, agar dia bisa segera melupakan perasaannya pada saya.""Itu benar, Bu Hajah." Bu Aisyah menimpali. "Pasti Syifa
"Apa yang kamu lakukan di sini, Niki?!"Nikita seketika menoleh, dan mendapati Rafka sudah berdiri di sana dengan wajah gusar. Dia cepat-cepat menarik tangan Nikita keluar ruangan, mematikan lampu ruangan itu, lalu menutupnya kembali dengan rapat. Setelah itu, dia kembali menatap tajam ke arah istrinya itu."Kamu tidak mendapat peringatan dari Bik Rubi?" ucap Rafka kemudian."M-maaf ... Mas. Aku ... aku tadi cuma ...." Tubuh Nikita belum berhenti gemetar. Dia sungguh-sungguh ketakutan melihat apa yang ada dalam ruangan tadi.Rafka kembali menarik tangan Nikita dengan kasar, membawanya kembali masuk ke dalam kamarnya."Dengar ya, Niki! Kalau kamu masih mau bernapas besok, lebih baik diam dan bersikap tidak tahu apa-apa di rumah ini! Apalagi nanti ketika Mamamu ikut tinggal di sini! Pastikan kalian berdua tidak sedikitpun membuat keributan!" ucap Rafka lagi.Nikita mengangguk pelan, masih berusaha untuk menghilangkan rasa ketakutannya. Rafka kemudian membanting pintu, membiarkan dia sen
"Mama!" Nikita terus menggoncang tubuh Mamanya yang tak juga sadarkan diri."Astaghfirullah, Bu Sarah baik-baik saja?" Bu Aisyah ikut berdiri, lalu mendekat ke arah mereka.Begitu pun dengan Dara dan Lana, ikut khawatir juga melihat Bu Sarah sampai pingsan seperti itu."Jangan mendekat kalian!" Teriak Nikita sambil menatap mereka tajam. "Ini pasti rencana kalian, kan? Kalian sengaja mau membuat kami malu! Sengaja menghasut Papa untuk membuat kami kehilangan semuanya!""Jangan bicara sembarangan, Niki," jawab Lana. "Kami semua benar-benar tidak tahu apa-apa tentang hal ini.""Bohong kalian! Sekarang kalian sudah puas, kan? Pergi dari tempat ini sekarang juga!" teriak Nikita lagi."Maaf, Nona Nikita," sahut Pak Notaris. "Tapi perusahaan ini sekarang susah sepenuhnya jadi milik Pak Lana. Jadi yang seharusnya meninggalkan tempat ini adalah Nona Nikita dan Bu Sarah."Wajah Nikita seketika merah padam mendengar ucapan Notaris itu. Dia kemudian mengambil ponselnya, lalu menghubungi Rafka sua
"Sekarang katakan, di mana suami saya, Aisyah!" ucap Bu Sarah lagi."Dia tidak ada di sini, Bu! Lagipula Bu Sarah kan istrinya. Masa suaminya pergi ke mana tidak tahu, sih?" jawab Dara."Sudah jelas dia datang ke sini beberapa hari yang lalu, kan? Pasti kamu menghasutnya untuk kembali padamu kan, Aisyah!""Astaghfirullah, Bu. Istighfar," sahut Bu Aisyah. "Kalau saya mau melakukan hal itu, pasti sudah sejak dulu saya lakukan.""Halah, kamu tidak pernah berubah, Aisyah! Tetap sok suci seperti dulu!" Bu Sarah semakin menggebu-gebu."Sudahlah, Bu Sarah. Kami sudah bilang Pak Firman tidak ada di sini. Sebaiknya Bu Sarah pulang saja. Jangan membuat keributan di rumah kami," ucap Dara kemudian."Punya hak apa kamu mengusir saya? Dengar, ya? Kalau bukan karena kebaikan hati saya, rumah ini tidak akan pernah menjadi milik kalian!" Bu Sarah menunjuk ke arah Dara."Rumah ini adalah hak Mas Lana sebagai pewaris sah keluarga Sadewa. Jadi Bu Sarah juga tidak punya hak untuk mengungkit masalah itu l