"Astaghfirullah, Mbak. Tolong jangan mengatakan hal yang tidak benar di depan menantu saya," jawab ibu ketika mendengar ucapan Bu Sarah.
"Mas Firman memang hanya menikahi saya secara siri, tapi kami menikah lebih dulu dibandingkan dengan kalian," lanjut Ibu lagi. "Lagipula bukannya saya sudah dengan ikhlas meminta talak darinya, meskipun saat itu saya sedang hamil? Kenapa ucapan Mbak Sarah masih seperti itu?""Halah, sok suci kamu, Aisyah. Di mana-mana yang namanya istri siri itu ya pelakor!" sahut Bu Sarah lagi."Ilmu dari mana itu, Bu?" Aku akhirnya menyahut. "Pernikahan siri tetap sah di mata agama.""Kamu masih ingusan, gak usah ikut-ikutan!" Bu Sarah menatapku sengit. "Saya dan Mas Firman sudah lebih dulu dijodohkan. Jadi tetap saja si Aisyah ini pelakor. Sudah cerai pun masih mengemis uang untuk biaya melahirkan. Kamu gak tahu itu, kan?""Mbak, saya sudah berjanji akan menggantinya, dan melunasinya secepatnya," jawab Ibu lagi. "Jadi tolong, jangan bicara lagi tentang masalah kita di depan menantu saya."Bu Sarah terlihat mendecih. Dengan angkuhnya dia kembali menatap Ibu."Minggu depan anak saya Nikita akan menikah," ucapnya kemudian. "Pastikan kamu dan Lana akan datang, Aisyah. Ini permintaan Mas Firman."Ibu terlihat terdiam cukup lama, dan setengah menunduk."Tapi, Mbak, saya merasa tidak pantas untuk datang," jawab Ibu kemudian."Kenapa? Malu?" Bu Sarah tampak tersenyum mengejek. "Sebenarnya kalau bukan Mas Firman yang minta, saya juga tidak sudi mengundang kalian. Tapi apa boleh buat, kami juga tidak mungkin menyembunyikan aib keluarga di depan calon besan selamanya."Aku ingin membuka mulut lagi, ingin membalas ucapan Bu Sarah yang benar-benar keterlaluan itu. Tapi Ibu memegang tanganku erat, menatapku sedih dan menggeleng pelan. Memintaku untuk tidak melawan wanita itu lagi."Jangan khawatir, Aisyah. Saya tahu apa yang kamu pikirkan." Bu Sarah mengulurkan tas besar yang dia bawa tadi pada Ibu. "Ini ada baju bekas yang masih layak pakai. Pakai saja ini untuk datang. Jadi kamu tidak perlu susah-susah memikirkan jika penampilanmu akan memalukan."Aku benar-benar tidak tahan lagi dengan penghinaan itu. Jadi meskipun Ibu masih memintaku untuk tak membalas, aku mengabaikannya."Tidak perlu, Bu. Bawa kembali. Kalau hanya baju, saya mampu membelikan untuk ibu mertua saya!" ucapku kemudian."Wah, sombong juga menantumu ini, Aisyah. Baguslah kalau begitu. Saya tunggu kedatangan kalian," jawab Bu Sarah lagi sambil melenggang pergi.Aku masih berdiri di tempatku bersama Ibu, sampai suara mobil wanita itu terdengar pergi meninggalkan rumah kami. Setelahnya, aku membuang napas kesal, merasa belum puas membalas ucapan Bu Sarah tadi."Maafkan Ibu ya, Nduk," ucap Ibu sambil menatapku sendu. "Baru sehari kamu tinggal di rumah Ibu, tapi sudah terlibat banyak sekali masalah."Aku menarik napas panjang, lalu membalas tatapan ibu mertuaku itu."Bu, kenapa Ibu selalu mengalah jika dihina orang? Dengan para tetangga juga. Kalau Ibu tetap mengalah seperti itu, mereka jadi makin suka menginjak-injak Ibu. Padahal Ibu tidak melakukan kesalahan apapun," ucapku kemudian padanya."Menjelaskan pun percuma, Nduk. Bagi mereka, ucapan orang seperti Ibu ini hanya angin belaka," jawab Ibu."Orang seperti Ibu?" Aku menutup kedua mataku, miris.Apakah benar di dunia ini hanya orang kaya saja yang dihargai? Apakah selamanya orang miskin hanya akan dipandang sebelah mata saja? Aku sempat menyesal karena terlahir kaya, hal yang membuatku kehilangan sesuatu yang paling berarti dalam hidupku. Tapi kali ini, aku seketika sadar akan aku gunakan untuk apa semua kekayaan yang aku miliki."Berapa jumlah utang Ibu pada Bu Sarah?" tanyaku kemudian, kembali menatap Ibu dengan pandangan serius.Ibu terlihat sedikit terkejut mendengar ucapanku, tak langsung menjawab. Aku segera sadar jika pertanyaanku sedikit sensitif, jadi segera kuraih kedua tangan ibu mertuaku itu, menggenggamnya erat."Sekarang aku ini adalah mantu Ibu, artinya anak Ibu juga. Jadi semua masalah Ibu sudah menjadi tanggung jawabku," ucapku kemudian meyakinkan. "Ceritakan semuanya padaku, Bu.""Tapi, Nduk, Ibu gak mau merepotkan kamu. Ibu juga malu kamu jadi tahu tentang masalah ini," jawab Ibu dengan wajah seperti menahan tangis."Ibu percaya padaku, kan?" Aku menatap Ibu lebih lekat.Ibu membalas tatapanku, lalu mengangguk pelan. Akhirnya dia mau menceritakan semuanya. Rupanya dulunya Ibu bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah keluarga Pak Firman. Saat itu mereka masih sama-sama lajang. Entah bagaimana awalnya mereka saling jatuh cinta. Tapi tentu saja, hubungan mereka berdua ditentang keras oleh orang tua Pak Firman. Alasannya klasik, karena kasta mereka berbeda.Saat mengetahui hubungan itu, keluarga Pak Firman akhirnya memecat Ibu, dan menjodohkan Pak Firman dengan Bu Sarah. Namun Pak Firman diam-diam menikahi Ibu, dan membelikan Ibu rumah untuk ditinggali. Bagaimanapun, hubungan keduanya akhirnya ketahuan juga. Pak Firman akhirnya menjatuhkan talak pada Ibu saat sedang mengandung Mas Lana."Saat itu Ibu sudah tidak punya apa-apa lagi untuk biaya melahirkan. Jadi Ibu terpaksa meminta bantuan pada mereka, dengan syarat akan mengembalikan semuanya, termasuk rumah yang Mas Firman belikan untuk Ibu. Jadi sampai sekarang kami belum sanggup melunasi." Ibu terisak di akhir ceritanya.Aku menarik napas panjang, lalu merangkul wanita berjilbab lusuh di depanku itu. Sungguh kehidupan yang tidak adil untuk Ibu. Ibu hanya korban, namun harus menerima tuduhan dan penghinaan. Malang sekali nasibmu, Bu."Kita tidak perlu datang, Nduk. Ibu tahu mereka mengundang kita hanya untuk mempermalukan kita. Ibu gak mau kamu dan Lana malu gara-gara ibu," ucap Ibu lagi, sambil terus terisak."Tidak, Bu. Kita harus datang. Justru ini kesempatan bagus untuk membersihkan nama ibu di depan orang-orang sombong itu," jawabku."Tapi, Nduk ....""Ibu tenang saja. Serahkan semuanya padaku." Aku meyakinkan Ibu lagi.Benar, akan kubuat orang-orang itu menyesal karena sudah membuat wanita berhati malaikat seperti Ibu menderita. Akan aku pastikan itu!"Assalamualaikum."Aku dan Ibu yang masih saling berpelukan dan larut dalam perasaan kami masing-masing, saling tersentak ketika tiba-tiba ada yang mengucap salam."Waalaikumsalam." Kami berdua menjawab hampir bersamaan.Kami seketika menoleh ke arah pintu depan, dan terlihat Mas Lana berdiri di sana, menatap kami dengan pandangan heran."Loh, Lana? Kok kamu jam segini sudah pulang, Nak?" Ibu cepat-cepat mengusap wajahnya, mungkin agar putranya tidak menyadari jika dia baru saja menangis."Apa yang terjadi, Bu?" Mas Lana masih memperhatikan ibunya, lalu beralih menatapku."Ada apa ini, Dek? Mas lihat kalian berdua baru berpelukan, dan Ibu sepertinya menangis?" tanyanya lagi padaku."Gak ada apa-apa, Lana," sahut Ibu cepat. "Kamu sudah makan? Ibu sedang sarapan sama Nduk Dara."Mas Lana terlihat membuang napas, lalu menatap ibunya lagi lebih lekat. Sepertinya dia tak menghiraukan Ibu yang berusaha mengalihkan pembicaraan."Para tetangga mengganggu Ibu lagi?""Ah, nggak kok, Lana. Ibu t
"Nikmati saja, Cantik! Berteriak pun percuma. Tidak akan ada seorangpun yang akan menolong mu!"Suara tawa para ba--jingan itu menggelegar ke seluruh ruangan. Aku mencoba meronta, namun tak bisa. Kedua tangan dan kakiku terikat erat. Mereka juga bahkan menyumpal mulutku agar tidak bisa berteriak. Dan ketika satu-persatu mereka mulai menja--mah tubuh ini, aku hanya bisa menjerit dalam hati. Mengutuk para ba--jingan yang tega melakukan semua ini.Tolong aku, Tuhan! Aku kotor! Aku kotor!..."Dek ... Dek!"Aku tersentak bangun ketika seseorang mengguncang tubuhku. Kurasakan keringat dingin membasahi pelipis dan sekujur tubuuh, napasku memburu. Ternyata lagi-lagi mimpi dari masa lalu. Hampir setiap malam aku seperti ini, hal yang membuatku begitu tersiksa hingga berulang kali mencoba bu--nuh diri."Adek mimpi buruk lagi?" Mas Lana menatap ke arahku dengan pandangan khawatir.Pria bermata teduh itu mengambilkanku segelas air putih, memintaku untuk minum. Aku meneguknya dengan bibir gemetar
"Ternyata memang bener-bener sombong ya, mantunya si Aisyah. Gak punya sopan santun pula sama orang tua," cibir Bu Dewi."Betul itu, Bu Dewi," sahut Bu Siti. "Memangnya dia anak orang kaya, ya? Kan kalau dari kota belum tentu kaya. Saudara saya saja tinggal di kota, tapi rumahnya cuma dua meter persegi, kok.""Jelas itu, Bu Siti. Wong nikah sama Lana aja gak pakek ngadain acara, kok. Cuma ijab qobul doang di masjid.""Gitu aja sok banget mau beli baju sekaligus tokonya. Cih!"Aku membuang napas kesal. Kesabaranku benar-benar jadi setipis tisu menghadapi mulut-mulut julid mereka. Ibu berulang kali mengelus lenganku, melarangku menanggapi ucapan mereka. Tapi kali ini aku benar-benar ingin membuat mereka berdua m4ti kutu."Ada apa sih ini? Kenapa kalian ribut-ribut di depan toko saya?" Tiba-tiba wanita bermata sipit keluar dari dalam toko dan mendelik ke arah kami. Sepertinya dia adalah pemilik toko baju tersebut."Mereka berdua ini yang bikin ribut, Cik. Kalau kami berdua ke sini memang
"Masyaa Allah, Nduk Syifa." Ibu terlihat tersenyum menatap wanita cantik di depannya itu.Oh, rupanya namanya adalah Syifa. Tapi siapa dia? Batinku penasaran."Sudah agak lama tidak kelihatan sama sekali. Kemana, Nduk?" tanya Ibu lagi."Biasa, Bu. Ke pesantren untuk muroja'ah," jawab Syifa."Masyaa Allah, barrakallah." Ibu tersenyum lagi, lalu menoleh padaku."Nduk Dara, perkenalkan ini Syifa, anak dari Kyai terkemuka di kampung ini," ucapnya kemudian, memperkenalkan Syifa padaku.Syifa tampak tersenyum manis, lalu mengulurkan tangannya, menjabat tanganku."Ini Nduk Dara, istrinya Lana, mantu Ibu." Giliran Ibu memperkenalkanku padanya.Namun, saat ibu menyebut kata "istri" dan "mantu", entah kenapa wajah Syifa yang tadinya penuh dengan senyuman, seketika berubah."Istri?" ucapnya lirih."Iya, Nduk. Lana sudah menikah, dan ini istrinya. Maaf, karena acaranya begitu mendadak dan sederhana, jadi kami tidak mengundang orang," ucap Ibu menjelaskan panjang lebar.Entah kenapa, seketika waja
Aku mengusap air mata, lalu menatap Papa."Papa mengenal mereka?" tanyaku kemudian.Papa menarik napas panjang, lalu membalas tatapanku."Tentu saja. Perusahaan mereka bekerja sama dengan perusahaan kita. Yang jadi masalah itu keluarga yang akan menjadi besan mereka," jawab Papa.Aku sedikit membulatkan mata. Wajah Papa tampak begitu serius, artinya memang bukan orang sembarangan. Perasaanku juga mendadak menjadi tidak enak, ingin segera tahu siapa mereka."Pa, biarkan putri kita duduk dulu," sahut Mama sambil menuntunku untuk duduk di sofa panjang. Setelah kami semua duduk, Mama segera memegang kedua tanganku, dan menatapku dengan pandangan haru. "Dara, keluarga Lana memperlakukan kamu dengan baik, kan?" tanya Mama kemudian.Aku tersenyum, seraya mengangguk. "Iya, Ma," jawabku kemudian. "Terlalu baik malah.""Alhamdulillah, Dara. Mama senang melihat perubahanmu sekarang. Padahal baru beberapa hari, tapi Mama sudah melihat cahaya di matamu. Entah kapan terakhir kali Mama melihatnya
Impian? Apa impian Mas Lana yang berhasil aku wujudkan sehingga dia menangis seperti ini?"Mas Lana baik-baik saja?" tanyaku kemudian setelah membiarkannya cukup lama memelukku. Jantungku sudah seperti genderang perang, tak sanggup lagi kutahan."Oh, maafkan Mas, Dek." Mas Lana sepertinya baru sadar apa yang sudah dia lakukan. Cepat-cepat dia melepas pelukannya, dan seketika menjadi salah tingkah.Aku sendiri juga menjadi begitu salah tingkah, sampai tak tahu harus bagaimana. Untuk beberapa lama kami berdua sibuk menata diri kami masing-masing."Mas benar-benar minta maaf, Dek," ucap Mas Lana lagi dengan wajah penuh rasa bersalah. "Pasti Mas sudah membuat Adek takut."Aku tak langsung menanggapi ucapan Mas Lana. Memang benar, selama ini jangankan dipeluk oleh pria, disentuh saja aku pasti akan berteriak karena trauma. Bahkan jika yang melakukannya adalah Papaku sendiri. Tapi ketika merasakan ketulusan Mas Lana, aku justru seperti ingin dia memelukku lebih lama. Ah, bicara apa aku ini?
"Loh, Nduk? Ini maksudnya, Ibu mau diapakan?" tanya Ibu lagi dengan ekspresi wajah yang semakin lucu saja."Sudah, Ibu nikmati saja pokoknya," jawabku sambil tersenyum geli melihat wajah Ibu.Ibu akhirnya pasrah juga ketika para petugas salon mulai memijat pundaknya, membuatnya rileks sesaat. Aku sendiri juga akhirnya fokus memanjakan diri, hal yang sudah beberapa tahun tidak aku lakukan.Setelah melakukan berbagai perawatan diselingi celetukan lucu dari Ibu, akhirnya tiba saatnya kami berdua untuk make over. Ternyata benar ucapan pemilik toko waktu itu, kalau sebenarnya wajah Ibu itu cantik sekali. Kulitnya juga masih putih bersih, cukup mulus pada usianya. Pantas saja wajah Mas Lana juga tampan mirip aktor Korea.Dalam hati lagi-lagi aku berjanji, akan mempertahankan penampilan Ibu seperti ini mulai hari ini. Ibu tidak boleh terlihat lusuh lagi. Setidaknya para tetangga tidak akan lagi meremehkannya ketika aku sudah berhasil membersihkan namanya dari fitnah itu nanti."Masyaa Allah,
Aku tersenyum miris menatap pria yang berdiri di depanku itu. Pria yang sempat mengisi hatiku bertahun-tahun lamanya, selalu memujiku setinggi langit, namun juga menjatuhkannya dalam sekali waktu. Tak banyak yang berubah darinya, masih sama seperti dulu."Aku berjanji, Ra. Suatu saat nanti hubungan kita pasti akan direstui. Aku akan berjuang. Aku pasti akan menikahimu walaupun nyawa ini taruhannya," ucapnya waktu itu meyakinkanku.Malam itu seperti biasa kami berdua diam-diam berjanji untuk bertemu di pinggiran taman kota. Aku ingin memberikan kejutan kecil untuknya, karena hari itu adalah hari ulang tahunnya.Aku duduk sendirian di kursi taman yang amat sepi itu. Sudah lebih dari setengah jam aku menunggu, tapi dia tak kunjung datang. Tidak biasanya dia datang terlambat. Aku mencoba untuk menghubunginya berulang kali, namun nomornya tak kunjung aktif.Aku mulai khawatir, takut terjadi sesuatu padanya. Namun aku masih terus menunggunya, meskipun waktu sudah lewat tengah malam. Kue yan
Mereka semua benar-benar terkejut, karena ternyata yang berdiri di depan mereka rupanya adalah Pak Firman. Penampilannya telah berubah 180 derajat dari sebelumnya. Dia tampak lebih kurus, dengan setelah baju koko yang dia kenakan."Aisyah ...." Kata pertama yang keluar dari bibirnya, diiringi oleh kedua matanya yang berkaca. Tampak sekali dia merindukan sosok mantan istrinya itu."Ya Allah, Mas. Mas Firman menghilang begitu saja, dan ternyata ... di sini?" ucap Bu Aisyah, belum mampu mengungkapkan perasaannya ketika akhirnya bertemu kembali dengan sang mantan suami.Pak Firman tak langsung menjawab. Dia menatap satu-persatu orang-orang yang amat dia kenal itu. Wajah mereka masih diliputi perasaan kaget, juga penuh tanda tanya. Kemudian pandangannya kembali jatuh pada mantan istrinya itu."Alhamdulillah, aku menemukan kedamaian di tempat ini, Aisyah," jawab Pak Firman kemudian seraya tersenyum simpul."Masyaa Allah, Mas." Bu Aisyah tak bisa menahan rasa haru, melihat Pak Firman yang se
"Astaghfirullah, apa yang terjadi?" Dara ikut khawatir melihat keadaan Bu Sarah."Suster! Tolong, Suster!" Lana akhirnya memanggil Suster dengan panik.Tak berapa lama kemudian, beberapa orang petugas rumah sakit akhirnya datang, dan langsung melakukan pertolongan pada Bu Sarah."Ya Allah, semoga semuanya baik-baik saja," ucap Bu Aisyah kemudian."Pasti berat bagi Bu Sarah melihat kondisi putrinya seperti itu," ucap Lana seraya mengelus pundak ibunya. "Apalagi secara tidak langsung, Bu Sarah sudah memaksakan jalan yang salah pada Nikita.""Semoga setelah ini Mbak Sarah menyadari semua kesalahannya," ucap Bu Aisyah lagi, turut membayangkan apa yang Bu Sarah rasakan."Mereka terlalu menganggap enteng keluarga Heryawan," sahut Bu Laila. "Dan rupanya mereka memang dalang di balik apa yang dialami Dara tiga tahun yang lalu. Tidak bisa dimaafkan!"Dara hanya bisa terdiam. Memang semua yang telah terjadi tidak bisa dikembalikan lagi. Namun setidaknya, Rafka sudah dengan berani membongkar kej
"Siapa, Dek?" tanya Lana ketika melihat ekspresi wajah istrinya yang begitu kaget."Ini ... Rafka, Mas," jawab Dara dengan suara bergetar."Rafka?" Bu Sarah seketika menyahut dalam tangisnya. "Dia pasti tahu sesuatu! Tapi dia tidak mau mengatakannya padaku! Dia pasti bersekongkol dengan Papanya!""Tenanglah, Mbak. Nikita pasti baik-baik saja," ucap Bu Aisyah, berusaha menenangkan Bu Sarah yang dari tadi histeris."Aku tidak bisa tenang, Aisyah. Tolong, aku tidak tahu harus minta tolong pada siapa lagi." Badan Bu Aisyah ambruk, dia duduk berlutut dengan kedua tangan menangkup di dada."Jangan seperti ini, Mbak. Kita akan berusaha membantu." Bu Aisyah membantu Bu Sarah berdiri.Dara seketika mengetik balasan pada Rafka, memintanya untuk memberitahunya di mana lokasinya saat ini."Ayo, Mas, kita pergi sekarang juga," ucap Dara kemudian pada Lana."Ibu ikut ya, Nduk?" sahut Bu Aisyah."Jangan, Bu. Ibu di rumah saja bersama Bu Sarah. Tunggu saja kalau kami sudah mendapatkan kabar baik," ja
"Minumlah, Nduk."Bu Aisyah mengulurkan secangkir teh hangat untuk Dara. Sejak bertemu dengan dengan Rafka dan Nikita di rumah sakit, menantunya itu lebih banyak diam, tidak seperti biasanya. Semua itu membuatnya cemas saja."Terima kasih, Bu." Dara menerima cangkir teh itu, lalu menyeruputnya. Rasa hangat seketika mengalir ke arah tenggorokannya."Nduk Dara baik-baik saja, kan?" tanya Bu Aisyah lagi, seraya menatap menantunya itu dengan tatapan sedih."Aku baik-baik saja, Bu," jawab Dara seraya mencoba tersenyum.Memang dia tak bisa berbohong, jika hatinya tengah kalut, mungkin juga terlalu sakit hati. Bahkan mungkin dia seharusnya merutuki kebo--dohannya sendiri. Dulu dia terlalu naif, menjalin hubungan dengan pria yang jelas-jelas berasal dari keluarga yang menjadi musuh besar keluarganya. Berharap jika suatu saat mereka bisa menyatukan kedua keluarga itu."Dek ...." Lana memegang pundak Dara, membuyarkannya dari lamunan. "Apa tidak sebaiknya kita bicara pada Mama dan Papa mengenai
"Katakan padaku, Rafka!" Dara mengulangi ucapannya.Rafka menatap ke arah Dara. Bibirnya bergetar, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi dia tidak punya keberanian. Dia kemudian menepis tangan Dara, kemudian membuang muka."Aku tidak tahu apapun!" ucapnya kemudian."Kejadian tiga tahun yang lalu?" Lana ikut menatap Rafka tajam. "Apa benar semua itu ulah keluarga Heriyawan?""Jangan ikut campur kamu, Lana! Sudah kubilang aku tidak tahu apapun!" jawab Rafka lagi."Sudah pasti saya harus ikut campur! Dara istri saya, dan apa yang terjadi padanya adalah tanggung jawab saya juga," sahut Lana kemudian."Keluargaku tidak ada kaitannya dengan kejadian apapun! Harus berapa kali aku menjelaskan?" Rafka tetap menyangkal.Dara menggertakkan rahang. Dia tahu Rafka berbohong. Dia pasti menyembunyikan sesuatu. Dara ingat dengan benar, malam itu Rafka yang sedang punya janji dengannya, dan dia tidak datang tanpa alasan. Tanpa kabar. Dara yang berusaha melupakan kejadian mengerikan itu, kini mulai in
"Astaghfirullah, Bu. Jangan seperti ini," ucap Lana kemudian sambil membantu Hajah Saidah berdiri."Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan pada Syifa, Lana. Tolong, Lana. Cuma kamu yang bisa menolong anak saya," ucap Hajah Saidah lagi."Istighfar, Bu Hajah. Pasti ada jalan keluar yang lebih baik. Serahkan sepenuhnya pada Allah, Bu," sahut Bu Aisyah, turut merasa sedih melihat Hajah Binti.Hajah Saidah tidak mempedulikan ucapan Bu Aisyah. Dia justru beralih menatap ke arah Dara."Saya tahu kamu adalah istrinya Lana, tapi kamu juga perempuan. Anak saya sudah mencintai Lana lebih dulu. Jadi tidak bisakah kamu membagi cinta Lana dengan putri saya?" ucapnya, yang langsung membuat Dara membulatkan mata."Astaghfirullah, Bu. Tolong jangan mengajukan permintaan yang tidak mungkin pada istri saya," sahut Lana. "Saya akan bicara dengan Syifa. Saya akan menjelaskan semuanya, agar dia bisa segera melupakan perasaannya pada saya.""Itu benar, Bu Hajah." Bu Aisyah menimpali. "Pasti Syifa
"Apa yang kamu lakukan di sini, Niki?!"Nikita seketika menoleh, dan mendapati Rafka sudah berdiri di sana dengan wajah gusar. Dia cepat-cepat menarik tangan Nikita keluar ruangan, mematikan lampu ruangan itu, lalu menutupnya kembali dengan rapat. Setelah itu, dia kembali menatap tajam ke arah istrinya itu."Kamu tidak mendapat peringatan dari Bik Rubi?" ucap Rafka kemudian."M-maaf ... Mas. Aku ... aku tadi cuma ...." Tubuh Nikita belum berhenti gemetar. Dia sungguh-sungguh ketakutan melihat apa yang ada dalam ruangan tadi.Rafka kembali menarik tangan Nikita dengan kasar, membawanya kembali masuk ke dalam kamarnya."Dengar ya, Niki! Kalau kamu masih mau bernapas besok, lebih baik diam dan bersikap tidak tahu apa-apa di rumah ini! Apalagi nanti ketika Mamamu ikut tinggal di sini! Pastikan kalian berdua tidak sedikitpun membuat keributan!" ucap Rafka lagi.Nikita mengangguk pelan, masih berusaha untuk menghilangkan rasa ketakutannya. Rafka kemudian membanting pintu, membiarkan dia sen
"Mama!" Nikita terus menggoncang tubuh Mamanya yang tak juga sadarkan diri."Astaghfirullah, Bu Sarah baik-baik saja?" Bu Aisyah ikut berdiri, lalu mendekat ke arah mereka.Begitu pun dengan Dara dan Lana, ikut khawatir juga melihat Bu Sarah sampai pingsan seperti itu."Jangan mendekat kalian!" Teriak Nikita sambil menatap mereka tajam. "Ini pasti rencana kalian, kan? Kalian sengaja mau membuat kami malu! Sengaja menghasut Papa untuk membuat kami kehilangan semuanya!""Jangan bicara sembarangan, Niki," jawab Lana. "Kami semua benar-benar tidak tahu apa-apa tentang hal ini.""Bohong kalian! Sekarang kalian sudah puas, kan? Pergi dari tempat ini sekarang juga!" teriak Nikita lagi."Maaf, Nona Nikita," sahut Pak Notaris. "Tapi perusahaan ini sekarang susah sepenuhnya jadi milik Pak Lana. Jadi yang seharusnya meninggalkan tempat ini adalah Nona Nikita dan Bu Sarah."Wajah Nikita seketika merah padam mendengar ucapan Notaris itu. Dia kemudian mengambil ponselnya, lalu menghubungi Rafka sua
"Sekarang katakan, di mana suami saya, Aisyah!" ucap Bu Sarah lagi."Dia tidak ada di sini, Bu! Lagipula Bu Sarah kan istrinya. Masa suaminya pergi ke mana tidak tahu, sih?" jawab Dara."Sudah jelas dia datang ke sini beberapa hari yang lalu, kan? Pasti kamu menghasutnya untuk kembali padamu kan, Aisyah!""Astaghfirullah, Bu. Istighfar," sahut Bu Aisyah. "Kalau saya mau melakukan hal itu, pasti sudah sejak dulu saya lakukan.""Halah, kamu tidak pernah berubah, Aisyah! Tetap sok suci seperti dulu!" Bu Sarah semakin menggebu-gebu."Sudahlah, Bu Sarah. Kami sudah bilang Pak Firman tidak ada di sini. Sebaiknya Bu Sarah pulang saja. Jangan membuat keributan di rumah kami," ucap Dara kemudian."Punya hak apa kamu mengusir saya? Dengar, ya? Kalau bukan karena kebaikan hati saya, rumah ini tidak akan pernah menjadi milik kalian!" Bu Sarah menunjuk ke arah Dara."Rumah ini adalah hak Mas Lana sebagai pewaris sah keluarga Sadewa. Jadi Bu Sarah juga tidak punya hak untuk mengungkit masalah itu l