Musik romantis mengalun merdu dari seorang penyanyi terkenal Ressa dipanggung kecil dengan diiringi gitar. Aku dan mas Calvin duduk di pelaminan sesekali ditemani oleh Shasha yang ikut bahagia aku bisa menjadi mamanya. Sejak selesai di rias Madam Gun, tak henti-hentinya dia memanggilku dengan sebutan mama, dan sekarang aku mulai terbiasa dengan panggilan itu.
Tamu yang datang hanya orang-orang yang terdekat saja seperti dari keluarga, saudara, dan sahabat. Keluarga Evan pun datang karena dia salah satu sepupuku yang paling dekat. Leo memboyong keluarga dan ayah ibu, serta mbok Surti untuk menghadiri pernikahanku. Aku bahagia mereka hadir di moment-moment indah ini. Aku dan mas Calvin sepakat untuk tidak membuat resepsi pernikahan. Setelah ijab kabul, kami langsung melanjutkannya dengan makan siang bersama, Wedding Intimate. Hampir semua yang hadir memakai dresscode putih-putih. Sehingga membuat baju pernikahan kami yang bersentuhan warna silver menjadi“Ma, Shasha pengen lihat ma!” ujar Shasha ketika mas Calvin berbisik padaku. “Shasha sudah makannya? Yuk kita tidur?” ajak mas Calvin. “Shasha pengen lihat, pah! Shasha gak mau tidur!” teriak Shasha dengan lantang. “Tapi itu bukan buat Shasha. Itu buat mama Alea,” ucap mas Calvin. “Kita bobo aja yuk?” ajak mas Calvin kembali. “Shasha mau bobo sama mama Alea! Gak mau sama papa!” “Ya sudah nanti kita bobo bertiga yuk? Kan mama Alea udah jadi mama buat Shasha sama buat papa juga,” bujuk mas Calvin sambil menggendong Shasha menuju ranjang yang besar. Aku mengikuti mas Calvin dan naik di atas ranjangnya yang besar. Duduk bersandar dengan menaruh bantal di belakang punggung. Shasha jangankan tidur, yang ada loncat-loncat kegirangan di atas ranjang yang empuk. Diajak tidur pun susah. Energinya seperti baru terkumpul. Mungkin karena sepanjang perjalanan tidur, jadi jam segini masih segar.
Pintu terbuka dan Shasha sambil cemberut berdiri didepan pintu. “Mama sama papa ngapain di dalam? Mama mandi lagi?” tanyanya penasaran karena aku memakai bathrobe. “Aduh! Kenapa harus pakai bathrobe? Shasha jadi curiga. Kenapa gak pake kaos aja lagi?” gumamku, bingung menjawab pertanyaan Shasha. “Shasha ngantuk? Papa gendong ke kasur yuk? Tadi papa bantu mama Alea pijat, kasihan kecapekan. Belum biasa gendong Shasha terus. Shasha sudah besar jangan sering-sering minta gendong mama Alea ya?” “Shasha berat ya, Ma?” Shasha balik bertanya, aku hanya mengangguk dan tersenyum. “Nanti Shasha jalan sendiri ya ma?” “Makasih, Sayang,” ucapku senang. “Dah yuk bobo. Matiin tv-nya yah!” Mas Calvin meletakkan Shasha dan mencari remote untuk mematikan televisinya. “Pap
Aku biarkan pesan Evan hingga pagi hari. Aku tidak ingin masalah sepele mengganggu waktu bulan maduku bersama mas Calvin dan Shasha. Setelah sarapan dan jalan-jalan ke pantai, mas Calvin membantu Shasha membuat rumah-rumahan dari pasir. Aku sendiri mengabadikan momen kebersamaan mereka dalam foto candid.Pesan notifikasi yang sempat aku abaikan, aku buka, “Mba Alea! Sorry ganggu malam-malam, pas lagi bulan madu lagi. Tadi di restoran ada yang cari mbak Alea, namanya chef Hengki. Mba Alea kenal? Dia tanya-tanya soal mbak Alea dan gak percaya kalau mba Alea sudah nikah. Hm, sebenarnya memang acara nikah mbak Alea ini hanya undangan terbatas jadi banyak yang gak tahu. Apalagi ini kan pernikahan yang kedua. Aku cuma pengen tahu, apakah chef Hengki boleh minta nomor mbak Alea?” tanyanya.“Chef Hengki?” Aku mengingat-ingat apakah dia kakak kelas waktu aku belajar di Paris? Memang sih kenalnya gak terlalu lama karena hanya beberapa bulan. Dia harus ke Jepang karena ingin
Aku menatap Amanda yang begitu antusias. Dulu, mungkin aku akan bersikap sama sepertinya—penasaran, tertarik, membiarkan rasa suka mengalir begitu saja. Tapi melihat Hengki sekarang, aku justru merasa ragu. “Dia orangnya ramah, menyenangkan. Dulu kami sama-sama belajar di Paris sebelum dia ke Jepang,” jawabku. Amanda mendekat, menatapku penuh harap. “Terus? Dia udah punya seseorang?” Aku mengangkat bahu. “Aku tidak tahu.” Ekspresi Amanda langsung berubah kecewa. “Yah… tapi dia kayaknya masih jomblo, ya?” Aku tidak bisa menahan senyum. “Kenapa? Mau coba mendekatinya?” Amanda langsung tersipu. “Mbak Alea yakin dia masih single?” Aku hendak menjawab, tapi terdiam. Aku memang tidak tahu apakah Hengki memiliki seseorang atau tidak. Aku bahkan tidak tahu apa yang dia pikirkan tentangku selama ini. Tapi satu hal yang pasti, caranya bertanya tentang per
"Dia tidur nyenyak sekali."Aku menoleh ke belakang, melihat Shasha yang tertidur dengan tenang di kursi mobil. Boneka Winny the Pooh-nya dipeluk erat di dadanya, napasnya teratur, dan wajahnya begitu damai.Mas Calvin mengulurkan tangan, membelai lembut pipi putrinya. Aku bisa melihat kasih sayang di matanya. "Aku suka melihat kalian bersama," katanya, suaranya pelan namun dalam. "Rasanya seperti keluarga yang selalu aku impikan."Aku tersenyum, merasakan kehangatan menjalar di dadaku. "Aku juga," bisikku.Tiba-tiba, mas Calvin menggenggam tanganku, membawanya ke bibirnya dan mengecupnya ringan. "Pernah berpikir untuk menambah satu lagi?"Aku terpaku sejenak.Pertanyaan itu sederhana, tapi rasanya menusuk ke dalam kenangan lama. Aku pernah hamil dulu, saat masih bersama mas Farhan. Tapi kehamilan itu berakhir dengan kehilangan yang begitu menyakitkan. Sejak itu, ada ruang kosong di hatiku yang tak pernah benar-benar terisi.
Mobil mas Calvin tiba di rumah sakit dan dengan tergesa-gesa, kami ke bagian informasi untuk mencari tahu keberadaan Putri. Setelah mendapatkan ruang rawat Putri, mas Calvin meminta izin untuk menemui dokter yang merawat Putri.Langkah-langkah Calvin terdengar menjauh, meninggalkanku berdua dengan Putri di ruang rumah sakit yang sunyi. Aroma antiseptik yang tajam bercampur dengan samar bau obat-obatan. Aku berdiri diam, mencoba mengabaikan ketidaknyamanan yang merayap di dadaku.Putri terbaring di ranjang dengan wajah penuh luka lebam, bibirnya sedikit pecah, dan ada perban melilit pergelangan tangannya. Tapi, meskipun tubuhnya terlihat rapuh, sorot matanya tetap tajam saat menatapku.“Jadi sekarang kamu sudah resmi jadi istri Calvin?” suaranya pelan, tapi menusuk.Aku tidak langsung menjawab. Aku tidak mau terpancing.“Berarti… kamu juga sudah jadi ibu baru untuk Shasha?” lanjutnya. Kali ini, ada senyum samar di bibirnya—bukan senyum ram
Putri mendengus, wajahnya masam. “Kalian ini romantis sekali, ya. Sampai lupa kalau di sini ada orang sakit.”Calvin tidak menggubrisnya. Dia menggenggam tanganku dan menuntun ke pintu mobil. “Ayo pulang.”Putri tidak terima. Dia berdeham keras, berusaha menarik perhatian. “Jadi gitu aja? Kamu nggak mau tahu bagaimana aku bisa sampai di sini?”Mas Calvin menoleh sekilas. “Dokter bilang kamu nggak apa-apa.”“Apa menurutmu dokter selalu benar?” Nada suara Putri berubah lembut, nyaris mendayu. “Kamu tahu, Mas, aku datang ke Jakarta hanya untukmu.”Aku bisa merasakan genggaman tangan mas Calvin mengeras. Dia juga merasakan ketegangan yang muncul di antara mereka.Putri tersenyum tipis, matanya berkilat puas karena berhasil mendapatkan perhatian mas Calvin. “Aku meninggalkan semua demi Bayu, dan lihat apa yang terjadi? Dia menghancurkanku.” Suaranya terdengar bergetar, tapi tatapan matanya menusuk ke arah Alea. “Aku nggak punya siapa-
Pagi ini, aroma roti yang baru matang menyambutku begitu aku memasuki area dapur Homy Private Dining. Suasana restoran mulai ramai dengan persiapan makan siang, dan aku tengah mengecek stok bahan saat Evan muncul di pintu dapur dengan senyum penuh arti."Ada tamu spesial buatmu hari ini," katanya, bersandar santai di kusen pintu.Aku mendesah pelan. "Siapa?"Evan menaikkan alisnya. "Siapa lagi kalau bukan Chef Hengki?"Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya melepas celemekku dan berjalan keluar.Di salah satu meja dekat jendela, Chef Hengki sudah duduk, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung rapi dan apron hitam bertuliskan logo restorannya yang baru. Dia tampak santai, dengan senyum tipis yang mengingatkanku pada masa-masa di Paris dulu."Chef Hengki," sapaku ketika sampai di hadapannya.Dia menatapku sejenak sebelum tersenyum kecil. "Alea, boleh nggak kamu panggil aku Hengki saja?"Aku sedikit terkejut
Aku duduk di ruanganku di restoran sambil menggulir layar ponsel. Berita tentang penangkapan Joko Supriono terus muncul di berbagai platform berita online. Ini menjadi pembicaraan hangat di media sosial, dan aku bisa membayangkan betapa kacaunya situasi di pihak Erika dan keluarganya saat ini. Evan baru saja kembali dari honeymoon-nya di Bali. Begitu masuk ke restoran, dia tampak lebih segar dengan senyum santainya yang khas. Aku melihatnya melangkah ke arahku sambil melepaskan kacamata hitam yang masih menggantung di wajahnya. "Hei, bos! Aku kembali," katanya dengan nada riang. "Kau merindukanku?" Aku tersenyum kecil dan mengangkat alis. "Kau hanya pergi seminggu, Evan." "Tapi tetap saja, restoran tanpa aku pasti terasa sepi, kan?" Dia tertawa, lalu menarik kursi di depanku. Namun, senyumnya sedikit memudar saat melihat aku masih sibuk menatap layar ponsel. "Kau kenapa sih? Dari tadi main ponsel terus," tany
Aku menggeleng, mencoba tetap tenang. “Tunggu sebentar, Ratih. Maksudmu, Mas Calvin sudah tahu semua ini sejak awal?” Ratih menatapku dengan ekspresi datar, tapi aku bisa melihat ada sedikit ketegangan di sana. “Aku tidak tahu sejak kapan tepatnya. Tapi beberapa waktu lalu, suamimu menemui Mas Farhan dan menunjukkan bukti bahwa perusahaan yang dikelola mbak Erika sebenarnya mendapat suntikan dana dari seseorang yang mencurigakan. Mas Farhan tidak percaya pada awalnya, tapi setelah diselidiki lebih jauh, ternyata perusahaan Erika hampir bangkrut dan di saat itulah nama mas Joko muncul.” Aku menahan napas. “Jadi, Joko yang menyelamatkan perusahaan Erika?” Ratih mengangguk. “Iya. Dan Mbak tahu sendiri siapa mas Joko, bukan?” Tubuhku membeku. Joko bukan orang baik. Aku tahu itu. Tapi yang lebih mengejutkan adalah keterlibatan Mas Calvin dalam semua ini. Kenapa dia menyelidikinya? “Mbak Alea,” panggil Ratih pelan,
Aku menghela napas sebelum mengangkatnya."Ada apa?" tanyaku datar."Apa yang kamu lakukan kepada Erika, Alea?!" suara Farhan terdengar penuh amarah di seberang sana.Aku mengernyit. "Apa maksud Mas Farhan?""Erika masuk rumah sakit! Dia tiba-tiba stres dan pingsan! Dia bilang ini semua gara-gara kamu!"Aku menggeleng tak percaya. "Dengar, Mas. Aku bahkan tidak bertemu Erika hari ini. Kalau dia merasa bersalah atau tertekan, itu urusannya, bukan salahku.""Jangan pura-pura tidak tahu! Kamu selalu iri dengan kebahagiaan kami, kan?! Makanya kamu sengaja membuat kekacauan!"Aku tertawa sinis. "Kebahagiaan? Mas serius? Dari awal, aku tidak pernah peduli dengan hubungan kalian. Aku sudah lama melupakan semuanya. Jadi kalau Erika merasa bersalah atau takut rahasianya terbongkar, itu bukan urusanku!""Kamu keterlaluan, Alea!" bentaknya lagi.Aku mendengus. "Mas, aku sudah cukup lelah dengan drama kalian. Kalau
Setelah pertemuan tak terduga dengan Ibu Aminah, aku menghela napas panjang, mencoba mengabaikan semua yang baru saja terjadi. Aku tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang tidak penting bagiku lagi. Fokus utamaku saat ini adalah restoran. Aku segera melanjutkan keperluanku di pasar, bertemu dengan beberapa supplier yang selama ini bekerja sama dengan restoranku. Karena Evan sedang cuti menikah, akulah yang harus memastikan semua bahan baku tetap tersedia dengan kualitas terbaik. “Bu Ningsih, seperti biasa, saya pesan ayam fillet dan daging sapi kualitas premium, ya. Kirim ke restoran sore ini.” Bu Ningsih, seorang pemasok daging yang sudah lama bekerja sama denganku, mengangguk sambil mencatat pesananku. “Siap, Mbak Alea. Stok lagi bagus, jadi tenang saja.” Aku melanjutkan ke lapak sayuran, memastikan semua bahan segar yang aku butuhkan tersedia. Setelah semua pesanan sudah diatur, aku mengec
Aku mengerutkan kening dan menatap karyawan yang berbisik padaku. “Tamu?” tanyaku, memastikan aku tidak salah dengar.Karyawan itu mengangguk. “Ya, seorang pria bernama Joko Supriono. Dia bilang ingin bertemu dengan Mbak Alea secara langsung.”Jantungku berdegup lebih cepat. Nama itu bukanlah nama yang ingin kudengar di malam spesial ini. Dengan perasaan waspada, aku melangkah ke arah pintu masuk restoran.Begitu aku keluar, di sana dia berdiri. Joko Supriono, pria paruh baya dengan perut buncit dan senyum yang selalu terasa menjijikkan di mataku. Dia mengenakan kemeja mewah yang sedikit terbuka di bagian atas, seolah ingin menunjukkan kepercayaan dirinya yang berlebihan.“Lama tidak bertemu, Alea,” ucapnya dengan nada yang terdengar akrab, seolah kami adalah teman lama.Aku mengatur napas dan berusaha tetap tenang. “Pak Joko, ada keperluan apa malam-malam begini?” tanyaku dengan nada datar.Dia terkekeh kecil, melirik ke sekelil
Semua orang masih larut dalam kebahagiaan setelah Nadine menerima lamaran Evan. Aku tersenyum puas melihat mereka saling menggenggam tangan dengan mata berbinar. Tapi, kejutan sesungguhnya baru akan dimulai.Aku melirik ke arah mas Calvin yang duduk di sebelahku sambil memangku Shasha. Dia mengangguk kecil, tanda bahwa semuanya sudah siap. Aku pun berdiri dan mengambil mikrofon.“Terima kasih untuk semua yang sudah datang dan menyaksikan lamaran Evan dan Nadine malam ini,” ujarku dengan suara mantap. “Tapi, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan.”Semua mata kini tertuju padaku, termasuk Evan yang menatapku dengan alis berkerut. Aku menarik napas dan melanjutkan, “Setelah berdiskusi dengan keluarga Nadine dan Evan, kami memutuskan untuk mengubah acara malam ini… dari sekadar lamaran menjadi akad nikah.”Ruangan mendadak hening. Aku bisa melihat wajah Evan langsung menegang, matanya melebar karena terkejut. Sementara Nadine, meski tampak terkejut, ti
Aku duduk merenung di dalam ruanganku sendiri. Bagaimana bisa Erika bersama dengan si Joko? Apa yang terjadi dengan mas Farhan? Kenapa sampai Erika mengancam untuk tidak memberitahukan kepada mas Farhan? Apakah itu artinya Erika ada main dengan si Joko? Lalu bagaimana nasib dengan Ratih? Ah… semakin dipikir membuatku semakin penasaran, tapi aku tidak ingin terlibat langsung dalam urusan rumah tangga mereka. Bukankah aku harus fokus dengan kehamilanku? Aku tidak ingin kejadian yang sama terulang kembali. Rasanya menyakitkan jika aku harus mengalami keguguran lagi karena terlibat urusan dengan keluarga mas Farhan. “Ya! Masa bodoh dengan keluarga orang lain! Masih banyak hal yang aku harus pikirkan!” Aku mensugesti diri sendiri untuk tidak lagi terlibat dalam urusan orang lain. *** Beberapa hari berlalu, dan pikiranku tentang Erika serta si Joko perlahan mulai terkubur oleh kesibukan sehari-hari. Aku menyibukkan diri dengan pekerjaanku di re
Aku berdiri kaku, menatap Erika yang jelas sama terkejutnya denganku. Namun, tatapan Erika tetap dingin seperti biasanya. Wanita itu berdiri dengan perut besarnya, tetap angkuh seolah tidak ada yang perlu dijelaskan. Tapi yang membuatku jauh lebih terkejut adalah sosok pria yang berdiri di sampingnya. Joko Supriono. Pria yang selama ini ingin aku hindari... mimpi buruk di masa laluku. Mas Calvin melangkah setengah langkah ke depan, berdiri di depanku seolah menjadi pelindung. Aku bisa merasakan ketegangan di tubuhnya, apalagi saat si Joko menyunggingkan senyum licik yang sangat aku kenal. "Alea... lama tidak bertemu." Suaranya membuat bulu kudukku meremang. Aku menguatkan diri, menatap tajam tanpa menunjukkan sedikit pun rasa takut. "Kamu... kenapa ada di sini?" suaraku terdengar bergetar, tapi aku berusaha tetap tegar. Joko melirik Erika dengan senyum samar. "Aku
"Mas, Evan minta kita bantu buat nyiapin lamarannya, kamu ada ide?" tanyaku sambil melirik mas Calvin yang fokus menyetir.Suamiku menoleh sekilas, bibirnya melengkung tipis."Evan minta bantuan kamu... atau kita?" godanya.Aku mendengus pelan, melipat tangan di dada pura-pura kesal."Ya jelas kita lah, Mas! Masa aku sendiri? Kamu kan jago soal beginian."Mas Calvin terkekeh, tapi aku tahu dia memang senang jika dilibatkan."Hmm..." gumamnya sambil mengetuk-ngetuk setir, seolah berpikir."Kita bisa buat acara kecil di restoran kamu. Gak usah mewah, yang penting intimate dan berkesan."Mataku langsung berbinar, ide itu terdengar sempurna."Kayaknya Nadine tipe yang gak suka hal-hal berlebihan, ya?"Mas Calvin mengangguk kecil."Iya... dan Evan pasti pengen suasana yang sederhana tapi bermakna."Aku tersenyum, membayangkan wajah Evan yang pasti akan gugup di hari lamarannya.