Aku biarkan pesan Evan hingga pagi hari. Aku tidak ingin masalah sepele mengganggu waktu bulan maduku bersama mas Calvin dan Shasha. Setelah sarapan dan jalan-jalan ke pantai, mas Calvin membantu Shasha membuat rumah-rumahan dari pasir. Aku sendiri mengabadikan momen kebersamaan mereka dalam foto candid.Pesan notifikasi yang sempat aku abaikan, aku buka, “Mba Alea! Sorry ganggu malam-malam, pas lagi bulan madu lagi. Tadi di restoran ada yang cari mbak Alea, namanya chef Hengki. Mba Alea kenal? Dia tanya-tanya soal mbak Alea dan gak percaya kalau mba Alea sudah nikah. Hm, sebenarnya memang acara nikah mbak Alea ini hanya undangan terbatas jadi banyak yang gak tahu. Apalagi ini kan pernikahan yang kedua. Aku cuma pengen tahu, apakah chef Hengki boleh minta nomor mbak Alea?” tanyanya.“Chef Hengki?” Aku mengingat-ingat apakah dia kakak kelas waktu aku belajar di Paris? Memang sih kenalnya gak terlalu lama karena hanya beberapa bulan. Dia harus ke Jepang karena ingin
Aku menatap Amanda yang begitu antusias. Dulu, mungkin aku akan bersikap sama sepertinya—penasaran, tertarik, membiarkan rasa suka mengalir begitu saja. Tapi melihat Hengki sekarang, aku justru merasa ragu. “Dia orangnya ramah, menyenangkan. Dulu kami sama-sama belajar di Paris sebelum dia ke Jepang,” jawabku. Amanda mendekat, menatapku penuh harap. “Terus? Dia udah punya seseorang?” Aku mengangkat bahu. “Aku tidak tahu.” Ekspresi Amanda langsung berubah kecewa. “Yah… tapi dia kayaknya masih jomblo, ya?” Aku tidak bisa menahan senyum. “Kenapa? Mau coba mendekatinya?” Amanda langsung tersipu. “Mbak Alea yakin dia masih single?” Aku hendak menjawab, tapi terdiam. Aku memang tidak tahu apakah Hengki memiliki seseorang atau tidak. Aku bahkan tidak tahu apa yang dia pikirkan tentangku selama ini. Tapi satu hal yang pasti, caranya bertanya tentang per
"Dia tidur nyenyak sekali."Aku menoleh ke belakang, melihat Shasha yang tertidur dengan tenang di kursi mobil. Boneka Winny the Pooh-nya dipeluk erat di dadanya, napasnya teratur, dan wajahnya begitu damai.Mas Calvin mengulurkan tangan, membelai lembut pipi putrinya. Aku bisa melihat kasih sayang di matanya. "Aku suka melihat kalian bersama," katanya, suaranya pelan namun dalam. "Rasanya seperti keluarga yang selalu aku impikan."Aku tersenyum, merasakan kehangatan menjalar di dadaku. "Aku juga," bisikku.Tiba-tiba, mas Calvin menggenggam tanganku, membawanya ke bibirnya dan mengecupnya ringan. "Pernah berpikir untuk menambah satu lagi?"Aku terpaku sejenak.Pertanyaan itu sederhana, tapi rasanya menusuk ke dalam kenangan lama. Aku pernah hamil dulu, saat masih bersama mas Farhan. Tapi kehamilan itu berakhir dengan kehilangan yang begitu menyakitkan. Sejak itu, ada ruang kosong di hatiku yang tak pernah benar-benar terisi.
Mobil mas Calvin tiba di rumah sakit dan dengan tergesa-gesa, kami ke bagian informasi untuk mencari tahu keberadaan Putri. Setelah mendapatkan ruang rawat Putri, mas Calvin meminta izin untuk menemui dokter yang merawat Putri.Langkah-langkah Calvin terdengar menjauh, meninggalkanku berdua dengan Putri di ruang rumah sakit yang sunyi. Aroma antiseptik yang tajam bercampur dengan samar bau obat-obatan. Aku berdiri diam, mencoba mengabaikan ketidaknyamanan yang merayap di dadaku.Putri terbaring di ranjang dengan wajah penuh luka lebam, bibirnya sedikit pecah, dan ada perban melilit pergelangan tangannya. Tapi, meskipun tubuhnya terlihat rapuh, sorot matanya tetap tajam saat menatapku.“Jadi sekarang kamu sudah resmi jadi istri Calvin?” suaranya pelan, tapi menusuk.Aku tidak langsung menjawab. Aku tidak mau terpancing.“Berarti… kamu juga sudah jadi ibu baru untuk Shasha?” lanjutnya. Kali ini, ada senyum samar di bibirnya—bukan senyum ram
Putri mendengus, wajahnya masam. “Kalian ini romantis sekali, ya. Sampai lupa kalau di sini ada orang sakit.”Calvin tidak menggubrisnya. Dia menggenggam tanganku dan menuntun ke pintu mobil. “Ayo pulang.”Putri tidak terima. Dia berdeham keras, berusaha menarik perhatian. “Jadi gitu aja? Kamu nggak mau tahu bagaimana aku bisa sampai di sini?”Mas Calvin menoleh sekilas. “Dokter bilang kamu nggak apa-apa.”“Apa menurutmu dokter selalu benar?” Nada suara Putri berubah lembut, nyaris mendayu. “Kamu tahu, Mas, aku datang ke Jakarta hanya untukmu.”Aku bisa merasakan genggaman tangan mas Calvin mengeras. Dia juga merasakan ketegangan yang muncul di antara mereka.Putri tersenyum tipis, matanya berkilat puas karena berhasil mendapatkan perhatian mas Calvin. “Aku meninggalkan semua demi Bayu, dan lihat apa yang terjadi? Dia menghancurkanku.” Suaranya terdengar bergetar, tapi tatapan matanya menusuk ke arah Alea. “Aku nggak punya siapa-
Pagi ini, aroma roti yang baru matang menyambutku begitu aku memasuki area dapur Homy Private Dining. Suasana restoran mulai ramai dengan persiapan makan siang, dan aku tengah mengecek stok bahan saat Evan muncul di pintu dapur dengan senyum penuh arti."Ada tamu spesial buatmu hari ini," katanya, bersandar santai di kusen pintu.Aku mendesah pelan. "Siapa?"Evan menaikkan alisnya. "Siapa lagi kalau bukan Chef Hengki?"Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya melepas celemekku dan berjalan keluar.Di salah satu meja dekat jendela, Chef Hengki sudah duduk, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung rapi dan apron hitam bertuliskan logo restorannya yang baru. Dia tampak santai, dengan senyum tipis yang mengingatkanku pada masa-masa di Paris dulu."Chef Hengki," sapaku ketika sampai di hadapannya.Dia menatapku sejenak sebelum tersenyum kecil. "Alea, boleh nggak kamu panggil aku Hengki saja?"Aku sedikit terkejut
Chef Hengki mendatangiku ke tempat aku dan Evan berbicara. "Alea, aku harus pergi. Ada banyak yang harus aku urus sebelum restoran dibuka."Aku mengangguk. "Semoga lancar, Chef Hengki."Dia tersenyum kecil. "Hengki saja."Aku terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah, Hengki."Sorot matanya berubah sedikit lebih lembut sebelum dia berkata, "Sebelum grand opening, aku ingin kamu datang lebih dulu. Aku ingin tahu pendapatmu tentang restoran dan menunya."Sebelum aku sempat menjawab, Amanda tiba-tiba dengan ekspresi penuh antusiasme. "Aku juga boleh ikut, kan, Chef Hengki?"Aku bisa melihat bagaimana Hengki sedikit menegang, meski dia tetap tersenyum sopan. "Tentu saja, Amanda."Amanda bertepuk tangan kecil. "Yeay! Aku pasti datang! Aku suka banget makanan Jepang!"Aku melirik Hengki yang hanya mengangguk singkat. Aku tahu pasti, dia tidak benar-benar ingin Amanda ikut, tapi dia tidak punya pilihan.Hengk
Beberapa hari kemudian. Ponselku bergetar di meja. Aku meraihnya dan melihat sebuah pesan masuk dari Chef Hengki. Hengki: Besok siang, kau harus datang ke restoranku. Aku ingin kau mencicipi hidangan sebelum grand opening. Aku menggigit bibir, lalu mengetik balasan. Alea: Boleh aku membawa teman? Hengki: Tentu saja. Aku akan menyiapkan sesuatu yang spesial. Aku menatap layar beberapa detik sebelum meletakkan ponsel kembali ke meja. Saat aku mengangkat kepala, Amanda dan Evan sudah menatapku penuh selidik. "Chef Hengki mengundang kita ke restorannya besok," kataku sambil menyandarkan diri ke kursi. Amanda langsung berseru, matanya berbinar. "Serius? Aku pasti ikut!" Evan, yang duduk di sebelahnya, hanya mendesah pelan. "Aku ada banyak pekerjaan besok." Amanda melipat tangan di dada. "Oh, ayolah. Kau butuh istirahat. Lagipula, kita bisa
Tanganku gemetar saat mengetik balasan. Aku tahu, kalau aku diam saja, maka Putri akan memutarbalikkan segalanya.“Aku di kafe, barusan bertemu Chef Hengki. Dia pamit mau pindah ke Jepang.”Tidak sampai satu menit, mas Calvin langsung membalas.“Kenapa nggak kasih tahu aku dari awal? Kenapa kamu nggak bilang mau ketemu dia?”Aku menggigit bibir. Memang aku salah karena tidak bilang sebelumnya. Tapi aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu Chef Hengki hari ini.“Aku juga nggak rencana ketemu, dia tiba-tiba hubungi aku dan ingin pamit…”Pesan mas Calvin tidak langsung dibalas. Hatiku semakin gelisah. Aku menatap layar, menunggu hingga akhirnya ponselku bergetar.“Oke, aku percaya kamu. Pulang sekarang, jangan berlama-lama di luar.”Aku menarik napas lega.Ya Tuhan... aku bersyukur Calvin masih mempercayaiku.Aku berusaha menenangkan diriku setelah membalas pesan Calvin. Baru saja aku hendak berdir
Setelah beberapa detik hening, Evan akhirnya berkata, "Kalau itu keputusanmu, semoga beruntung."Nada suaranya datar. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang ditahannya, tapi Amanda terlalu tenggelam dalam obsesinya untuk menyadarinya."Terima kasih, Evan! Aku janji akan menghubungi kalian setelah sampai di sana!" katanya dengan senyum lebar, lalu melambaikan tangan dan keluar ruangan.Aku hanya bisa membalas senyumnya samar. Di dalam hatiku, aku tahu ini bukan keputusan yang baik. Tapi ini hidup Amanda, dan aku tidak bisa menghentikannya.Aku baru saja selesai berbincang dengan Evan ketika ponselku bergetar di dalam saku. Aku mengambilnya dan melihat nama yang muncul di layar—Chef Hengki.Alisku berkerut. Kenapa dia menghubungiku? Dengan ragu, aku membuka pesan darinya.“Alea, aku ingin bertemu. Bisa kita bicara berdua?”Aku menelan ludah. Setelah semua yang terjadi, aku tidak menyangka dia masih ingin bertemu denganku.
Evan menarik napas dalam, lalu berkata, "Restoran baru Chef Hengki yang rencananya akan buka sebentar lagi… tiba-tiba akan dijual.”Aku mengerutkan kening mendengar ucapan Evan."Restoran Chef Hengki akan dijual?" tanyaku, berusaha memastikan aku tidak salah dengar.Evan mengangguk. "Iya, padahal restorannya belum sempat dibuka."Aku menarik napas dalam. Aku tidak ingin lagi ada urusan dengan Chef Hengki, terutama setelah masalah Amanda. Aku sudah bertekad untuk menjauh darinya."Kenapa kamu memberitahuku soal ini?" tanyaku akhirnya.Evan menatapku sejenak sebelum menjawab. "Karena ini kesempatan besar, mbak Alea. Restoran itu lokasinya strategis, dan konsepnya sudah matang. Aku tahu kamu dan mas Calvin punya visi besar untuk bisnis kuliner kalian."Aku menggeleng cepat. "Aku tidak tertarik. Aku tidak ingin terlibat dalam urusan Chef Hengki lagi."Evan tampak terkejut dengan reaksiku. "Tapi ini soal bisnis, buka
Shasha berdiri di ambang pintu dengan boneka favoritnya di tangan, matanya berbinar penuh semangat."Sayang, sudah larut malam. Kenapa tiba-tiba mau tidur di sini?" tanyaku, mencoba menenangkan diri."Shasha mau tidur sama adik! Kan adik masih di perut Mama, jadi Shasha harus jagain adik dari sekarang!" katanya polos.Aku dan Calvin saling berpandangan. Aku melihat Calvin berusaha menahan senyum geli."Tapi, sayang, adik masih kecil sekali di dalam perut Mama. Dia belum bisa merasakan kalau kamu tidur di sini," ucap mas Calvin lembut, membujuknya."Tapi Shasha mau nemenin! Kalau nggak, adik kesepian," protesnya, mengerucutkan bibirnya.Aku tertawa kecil dan mengusap rambutnya dengan lembut. "Baiklah, kalau begitu, malam ini kamu bisa tidur di sini."Shasha langsung tersenyum lebar, lalu berbaring di tengah-tengah kami sambil memeluk bonekanya erat-erat. Tapi sebelum dia memejamkan mata,
Aku bisa merasakan detak jantungku semakin cepat. Mas Calvin menggenggam tanganku dan tersenyum, lalu berkata dengan suara mantap, “Mama, Alea hamil.” Sejenak, tidak ada suara di seberang sana. Lalu, terdengar helaan napas kaget, disusul suara penuh kebahagiaan. “Benarkah? Ya Tuhan, Calvin! Mama senang sekali!” Aku bisa mendengar suara Mama Calvin yang jelas-jelas penuh dengan emosi bahagia. “Alea sayang, selamat ya, Nak! Kamu baik-baik saja? Kamu sehat?” tanyanya padaku. Aku tersenyum dan menjawab, “Iya, Ma. Aku baik-baik saja, hanya sedikit mual-mual.” “Itu wajar, Sayang. Mama senang sekali akhirnya keluarga kecil kalian bertambah. Mama harus segera ke sana! Aku ingin melihat kalian!” Aku melirik mas Calvin, meminta pendapatnya. Dia hanya mengangkat bahu dan tersenyum. “Tentu, Ma. Kami juga ingin Mama di sini.” “Kalau begitu, Mama akan segera mengatur jadwal. Kalian jaga diri baik-baik, terut
Tak lama kemudian, mas Calvin kembali dengan sebuah kantong plastik kecil di tangannya. Ia tampak sedikit kehabisan napas, seolah berlari agar bisa cepat kembali ke sisiku. "Aku sudah beli," katanya, menyerahkan test pack kepadaku. Aku mengambilnya dengan tangan sedikit gemetar. Mas Calvin langsung duduk di sampingku, menggenggam jemariku erat. "Aku temani, ya?" tanyanya lembut. Aku mengangguk pelan. "Oke." Dengan langkah hati-hati, aku menuju kamar mandi. Mas Calvin menunggu di depan pintu, sesekali mengetuk pelan untuk memastikan aku baik-baik saja. Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, aku keluar dengan test pack di tanganku. Kami duduk di tepi ranjang bersama, menunggu hasilnya. Calvin menggenggam tanganku erat, jempolnya mengusap punggung tanganku dengan lembut. "Apa pun hasilnya, aku ada di sini," bisiknya. Hatiku berdebar kencang. Aku menatap test pack itu
Saat mobil mas Calvin berhenti di depan restoran, aku menghembuskan napas lega. Aku terlalu lelah untuk berdiri, jadi aku hanya menunggu di bangku lobi sampai mas Calvin turun dan menghampiriku.Begitu melihatku, ekspresi mas Calvin langsung berubah. Matanya menatapku penuh kecemasan, lalu dia berjongkok di hadapanku. “Sayang, kamu kenapa? Mukamu pucat.”Aku mencoba tersenyum tipis. “Aku nggak enak badan, kepala pusing, terus mual.”Mas Calvin langsung menggenggam tanganku, hangat dan menenangkan. “Ayo kita pulang. Kamu harus istirahat.” Dia membantu aku berdiri, tangannya melingkari pinggangku untuk memastikan aku tidak jatuh.Aku bersandar padanya, membiarkan mas Calvin membimbingku menuju mobil. Aku bisa merasakan betapa khawatirnya dia, apalagi saat aku sempat terhuyung sedikit sebelum masuk ke dalam mobil.Begitu kami duduk di dalam, mas Calvin menatapku serius. “Kita ke dokter dulu, ya?”Aku menggeleng lemah. “Nggak usah, a
"Tapi sebelum kau melakukannya, pikirkan baik-baik. Aku bisa membongkar semua kelakuan kotormu. Termasuk hubunganmu dengan Amanda."Sekilas, aku melihat ekspresi chef Hengki berubah. Sesaat dia tampak terkejut, tapi dengan cepat dia kembali tersenyum licik. "Amanda? Kenapa kau membawa-bawa dia? Itu urusan pribadiku."Mas Calvin tersenyum miring. "Urusan pribadimu? Seorang pria dewasa meniduri wanita yang masih muda, lalu membiarkannya berpikir bahwa itu cinta? Kau yakin ingin membawa ini ke ranah hukum?"“Hei! Kita melakukannya atas dasar suka sama suka! Tidak ada paksaan! Kita sudah sama-sama dewasa!” Aku melihat chef Calvin menggertakkan giginya. Dia jelas tidak menyangka chef Hengki akan membalas seperti itu.Mas Calvin tidak menanggapi lagi. Dia hanya menarik tanganku dan membukakan pintu mobil untukku. "Ayo pulang," bisiknya lembut.Aku menurut, masuk ke dalam mobil dengan perasaan campur aduk. Saat mas Calvin menyalakan mesin dan mu
“Baiklah,” katanya tegas. “Aku akan menemuimu di restoran setelah jam operasional selesai. Kita hadapi dia bersama.”Aku menutup mata, merasa lega karena mas Calvin mau menemani. “Terima kasih, Mas. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu.”“Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian, Alea,” katanya lembut. “Kita akan menyelesaikan ini bersama.”Aku tersenyum tipis meskipun perasaan gelisah masih menggelayut di hatiku.***Saat jam operasional restoran berakhir, aku masih berdiri di dapur, menatap kosong ke arah meja stainless steel di depanku. Tanganku menggenggam erat kain lap yang sedari tadi kugunakan untuk menyibukkan diri, tetapi pikiranku melayang entah ke mana.Perasaanku tidak tenang. Rasa gelisah semakin kuat seiring waktu berjalan. Bahkan saat restoran mulai sepi dan para staf mulai pulang satu per satu, aku tetap merasa ada sesuatu yang tidak beres.“Mbak Alea, aku pulang dulu, ya,” suara Eva