“Kamu sudah mau menjadi milikku, Sayang,” kembali pak Calvin berbisik sambil tersenyum.“Astaga, pak, baru calon,” ucapku terkekeh.“Aku sudah nunggu cukup lama loh, dan kita berdua disini, apa kamu gak mau manggil aku dengan ucapan Sayang?” pancing pak Calvin.Sontak wajahku memerah, pak Calvin hanya tersenyum tertawa. “Panggil mas saja kalau masih terasa berat. Aku gak ingin jalan dengan sekretaris atau seorang murid,” ucapnya lirih.“Baiklah. Aku panggil mas Calvin ….”“Terima kasih, Sayang.” Kembali tanganku digenggamnya dan dilepaskan ketika menerima salam dari orang-orang yang memberikan ucapan selamat.“Ayah, ibu, kalian menginap di rumahku kan?” tanyaku ketika ayah dan ibu menyalamiku dan hendak berpamitan untuk pulang.“Rumahmu tidak cukup sayang. Leo sudah memesankan hotel yang cukup dekat dari rumahmu, jadi tenang saja. Yang terpenting, ibu sudah melihat kamu dilamar, buat ibu senang banget. Besok kita ke
“Sepertinya itu mobil mas Farhan, mas. Aku gak tahu kenapa dia selalu menggangguku. Padahal aku dan dia sudah resmi bercerai,” keluhku pada mas Calvin.“Biar Mas yang hadapi ya?” ucap mas Farhan padaku memberikan solusi.“Ya, Mas.”Mobil mas Calvin parkir di belakang mobil mas Farhan. Aku dan mas Calvin keluar dari mobil untuk menemui mas Farhan.“Dek?” sapa mas Farhan sambil tersenyum, tapi raut wajahnya berubah ketika mas Calvin berada di dekatku dan menggandeng tanganku.“Ada apa mas Farhan kemari?”“Dek? Kamu sudah melupakan aku?” tanyanya lirih.“Kita sudah bercerai, bukan? Tidak ada lagi yang harus aku ingat dari mas Farhan,” jawabku dengan heran.“Kamu sudah mempunyai kekasih yang lain?” tanyanya kembali seolah-olah menginterogasiku dengan pertanyaannya. Sedangkan jawabanku tidak dia hiraukan.“Aku bukan kekasihnya, tapi aku calon suaminya,” ucap mas Calvin dengan tegas.Raut muka m
Aku dan Mas Calvin kembali duduk saling berhadapan. Mas Calvin mulai bercerita mengapa dia bercerai dengan Putri, ibu dari Shasha. “Aku dan Putri menikah 4 tahun yang lalu. Awalnya, pernikahan kami bahagia, hingga Putri berubah sejak bertemu kembali dengan mantan kekasihnya. Selama hamil Shasha, dia tidak mau disentuh. Semula aku anggap wajar karena kehamilannya, membuat dia sensitif. Namun, setelah 3 bulan Shasha lahir, dia pergi begitu saja meninggalkan aku dan Shasha tanpa pemberitahuan apapun. Hingga aku mengetahui, Putri berada di luar negeri bersama mantan kekasihnya itu, Bayu, yang kemudian baru aku ketahui, mereka menjalin hubungan kembali.” “Kepulangannya ke Indonesia, Putri menginginkan perceraian. Tentu saja tidak aku biarkan. Bagaimanapun juga Shasha butuh seorang ibu. Namun Putri tetap bersikeras untuk bercerai, meminta harta Gono gini dan meninggalkan Shasha untuk tetap diasuh padaku. Setahun berlangsung, dia menginginkan Shasha
Musik romantis mengalun merdu dari seorang penyanyi terkenal Ressa dipanggung kecil dengan diiringi gitar. Aku dan mas Calvin duduk di pelaminan sesekali ditemani oleh Shasha yang ikut bahagia aku bisa menjadi mamanya. Sejak selesai di rias Madam Gun, tak henti-hentinya dia memanggilku dengan sebutan mama, dan sekarang aku mulai terbiasa dengan panggilan itu. Tamu yang datang hanya orang-orang yang terdekat saja seperti dari keluarga, saudara, dan sahabat. Keluarga Evan pun datang karena dia salah satu sepupuku yang paling dekat. Leo memboyong keluarga dan ayah ibu, serta mbok Surti untuk menghadiri pernikahanku. Aku bahagia mereka hadir di moment-moment indah ini. Aku dan mas Calvin sepakat untuk tidak membuat resepsi pernikahan. Setelah ijab kabul, kami langsung melanjutkannya dengan makan siang bersama, Wedding Intimate. Hampir semua yang hadir memakai dresscode putih-putih. Sehingga membuat baju pernikahan kami yang bersentuhan warna silver menjadi
“Ma, Shasha pengen lihat ma!” ujar Shasha ketika mas Calvin berbisik padaku. “Shasha sudah makannya? Yuk kita tidur?” ajak mas Calvin. “Shasha pengen lihat, pah! Shasha gak mau tidur!” teriak Shasha dengan lantang. “Tapi itu bukan buat Shasha. Itu buat mama Alea,” ucap mas Calvin. “Kita bobo aja yuk?” ajak mas Calvin kembali. “Shasha mau bobo sama mama Alea! Gak mau sama papa!” “Ya sudah nanti kita bobo bertiga yuk? Kan mama Alea udah jadi mama buat Shasha sama buat papa juga,” bujuk mas Calvin sambil menggendong Shasha menuju ranjang yang besar. Aku mengikuti mas Calvin dan naik di atas ranjangnya yang besar. Duduk bersandar dengan menaruh bantal di belakang punggung. Shasha jangankan tidur, yang ada loncat-loncat kegirangan di atas ranjang yang empuk. Diajak tidur pun susah. Energinya seperti baru terkumpul. Mungkin karena sepanjang perjalanan tidur, jadi jam segini masih segar.
Pintu terbuka dan Shasha sambil cemberut berdiri didepan pintu. “Mama sama papa ngapain di dalam? Mama mandi lagi?” tanyanya penasaran karena aku memakai bathrobe. “Aduh! Kenapa harus pakai bathrobe? Shasha jadi curiga. Kenapa gak pake kaos aja lagi?” gumamku, bingung menjawab pertanyaan Shasha. “Shasha ngantuk? Papa gendong ke kasur yuk? Tadi papa bantu mama Alea pijat, kasihan kecapekan. Belum biasa gendong Shasha terus. Shasha sudah besar jangan sering-sering minta gendong mama Alea ya?” “Shasha berat ya, Ma?” Shasha balik bertanya, aku hanya mengangguk dan tersenyum. “Nanti Shasha jalan sendiri ya ma?” “Makasih, Sayang,” ucapku senang. “Dah yuk bobo. Matiin tv-nya yah!” Mas Calvin meletakkan Shasha dan mencari remote untuk mematikan televisinya. “Pap
Aku biarkan pesan Evan hingga pagi hari. Aku tidak ingin masalah sepele mengganggu waktu bulan maduku bersama mas Calvin dan Shasha. Setelah sarapan dan jalan-jalan ke pantai, mas Calvin membantu Shasha membuat rumah-rumahan dari pasir. Aku sendiri mengabadikan momen kebersamaan mereka dalam foto candid.Pesan notifikasi yang sempat aku abaikan, aku buka, “Mba Alea! Sorry ganggu malam-malam, pas lagi bulan madu lagi. Tadi di restoran ada yang cari mbak Alea, namanya chef Hengki. Mba Alea kenal? Dia tanya-tanya soal mbak Alea dan gak percaya kalau mba Alea sudah nikah. Hm, sebenarnya memang acara nikah mbak Alea ini hanya undangan terbatas jadi banyak yang gak tahu. Apalagi ini kan pernikahan yang kedua. Aku cuma pengen tahu, apakah chef Hengki boleh minta nomor mbak Alea?” tanyanya.“Chef Hengki?” Aku mengingat-ingat apakah dia kakak kelas waktu aku belajar di Paris? Memang sih kenalnya gak terlalu lama karena hanya beberapa bulan. Dia harus ke Jepang karena ingin
Aku menatap Amanda yang begitu antusias. Dulu, mungkin aku akan bersikap sama sepertinya—penasaran, tertarik, membiarkan rasa suka mengalir begitu saja. Tapi melihat Hengki sekarang, aku justru merasa ragu. “Dia orangnya ramah, menyenangkan. Dulu kami sama-sama belajar di Paris sebelum dia ke Jepang,” jawabku. Amanda mendekat, menatapku penuh harap. “Terus? Dia udah punya seseorang?” Aku mengangkat bahu. “Aku tidak tahu.” Ekspresi Amanda langsung berubah kecewa. “Yah… tapi dia kayaknya masih jomblo, ya?” Aku tidak bisa menahan senyum. “Kenapa? Mau coba mendekatinya?” Amanda langsung tersipu. “Mbak Alea yakin dia masih single?” Aku hendak menjawab, tapi terdiam. Aku memang tidak tahu apakah Hengki memiliki seseorang atau tidak. Aku bahkan tidak tahu apa yang dia pikirkan tentangku selama ini. Tapi satu hal yang pasti, caranya bertanya tentang per
Tanganku gemetar saat mengetik balasan. Aku tahu, kalau aku diam saja, maka Putri akan memutarbalikkan segalanya.“Aku di kafe, barusan bertemu Chef Hengki. Dia pamit mau pindah ke Jepang.”Tidak sampai satu menit, mas Calvin langsung membalas.“Kenapa nggak kasih tahu aku dari awal? Kenapa kamu nggak bilang mau ketemu dia?”Aku menggigit bibir. Memang aku salah karena tidak bilang sebelumnya. Tapi aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu Chef Hengki hari ini.“Aku juga nggak rencana ketemu, dia tiba-tiba hubungi aku dan ingin pamit…”Pesan mas Calvin tidak langsung dibalas. Hatiku semakin gelisah. Aku menatap layar, menunggu hingga akhirnya ponselku bergetar.“Oke, aku percaya kamu. Pulang sekarang, jangan berlama-lama di luar.”Aku menarik napas lega.Ya Tuhan... aku bersyukur Calvin masih mempercayaiku.Aku berusaha menenangkan diriku setelah membalas pesan Calvin. Baru saja aku hendak berdir
Setelah beberapa detik hening, Evan akhirnya berkata, "Kalau itu keputusanmu, semoga beruntung."Nada suaranya datar. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang ditahannya, tapi Amanda terlalu tenggelam dalam obsesinya untuk menyadarinya."Terima kasih, Evan! Aku janji akan menghubungi kalian setelah sampai di sana!" katanya dengan senyum lebar, lalu melambaikan tangan dan keluar ruangan.Aku hanya bisa membalas senyumnya samar. Di dalam hatiku, aku tahu ini bukan keputusan yang baik. Tapi ini hidup Amanda, dan aku tidak bisa menghentikannya.Aku baru saja selesai berbincang dengan Evan ketika ponselku bergetar di dalam saku. Aku mengambilnya dan melihat nama yang muncul di layar—Chef Hengki.Alisku berkerut. Kenapa dia menghubungiku? Dengan ragu, aku membuka pesan darinya.“Alea, aku ingin bertemu. Bisa kita bicara berdua?”Aku menelan ludah. Setelah semua yang terjadi, aku tidak menyangka dia masih ingin bertemu denganku.
Evan menarik napas dalam, lalu berkata, "Restoran baru Chef Hengki yang rencananya akan buka sebentar lagi… tiba-tiba akan dijual.”Aku mengerutkan kening mendengar ucapan Evan."Restoran Chef Hengki akan dijual?" tanyaku, berusaha memastikan aku tidak salah dengar.Evan mengangguk. "Iya, padahal restorannya belum sempat dibuka."Aku menarik napas dalam. Aku tidak ingin lagi ada urusan dengan Chef Hengki, terutama setelah masalah Amanda. Aku sudah bertekad untuk menjauh darinya."Kenapa kamu memberitahuku soal ini?" tanyaku akhirnya.Evan menatapku sejenak sebelum menjawab. "Karena ini kesempatan besar, mbak Alea. Restoran itu lokasinya strategis, dan konsepnya sudah matang. Aku tahu kamu dan mas Calvin punya visi besar untuk bisnis kuliner kalian."Aku menggeleng cepat. "Aku tidak tertarik. Aku tidak ingin terlibat dalam urusan Chef Hengki lagi."Evan tampak terkejut dengan reaksiku. "Tapi ini soal bisnis, buka
Shasha berdiri di ambang pintu dengan boneka favoritnya di tangan, matanya berbinar penuh semangat."Sayang, sudah larut malam. Kenapa tiba-tiba mau tidur di sini?" tanyaku, mencoba menenangkan diri."Shasha mau tidur sama adik! Kan adik masih di perut Mama, jadi Shasha harus jagain adik dari sekarang!" katanya polos.Aku dan Calvin saling berpandangan. Aku melihat Calvin berusaha menahan senyum geli."Tapi, sayang, adik masih kecil sekali di dalam perut Mama. Dia belum bisa merasakan kalau kamu tidur di sini," ucap mas Calvin lembut, membujuknya."Tapi Shasha mau nemenin! Kalau nggak, adik kesepian," protesnya, mengerucutkan bibirnya.Aku tertawa kecil dan mengusap rambutnya dengan lembut. "Baiklah, kalau begitu, malam ini kamu bisa tidur di sini."Shasha langsung tersenyum lebar, lalu berbaring di tengah-tengah kami sambil memeluk bonekanya erat-erat. Tapi sebelum dia memejamkan mata,
Aku bisa merasakan detak jantungku semakin cepat. Mas Calvin menggenggam tanganku dan tersenyum, lalu berkata dengan suara mantap, “Mama, Alea hamil.” Sejenak, tidak ada suara di seberang sana. Lalu, terdengar helaan napas kaget, disusul suara penuh kebahagiaan. “Benarkah? Ya Tuhan, Calvin! Mama senang sekali!” Aku bisa mendengar suara Mama Calvin yang jelas-jelas penuh dengan emosi bahagia. “Alea sayang, selamat ya, Nak! Kamu baik-baik saja? Kamu sehat?” tanyanya padaku. Aku tersenyum dan menjawab, “Iya, Ma. Aku baik-baik saja, hanya sedikit mual-mual.” “Itu wajar, Sayang. Mama senang sekali akhirnya keluarga kecil kalian bertambah. Mama harus segera ke sana! Aku ingin melihat kalian!” Aku melirik mas Calvin, meminta pendapatnya. Dia hanya mengangkat bahu dan tersenyum. “Tentu, Ma. Kami juga ingin Mama di sini.” “Kalau begitu, Mama akan segera mengatur jadwal. Kalian jaga diri baik-baik, terut
Tak lama kemudian, mas Calvin kembali dengan sebuah kantong plastik kecil di tangannya. Ia tampak sedikit kehabisan napas, seolah berlari agar bisa cepat kembali ke sisiku. "Aku sudah beli," katanya, menyerahkan test pack kepadaku. Aku mengambilnya dengan tangan sedikit gemetar. Mas Calvin langsung duduk di sampingku, menggenggam jemariku erat. "Aku temani, ya?" tanyanya lembut. Aku mengangguk pelan. "Oke." Dengan langkah hati-hati, aku menuju kamar mandi. Mas Calvin menunggu di depan pintu, sesekali mengetuk pelan untuk memastikan aku baik-baik saja. Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, aku keluar dengan test pack di tanganku. Kami duduk di tepi ranjang bersama, menunggu hasilnya. Calvin menggenggam tanganku erat, jempolnya mengusap punggung tanganku dengan lembut. "Apa pun hasilnya, aku ada di sini," bisiknya. Hatiku berdebar kencang. Aku menatap test pack itu
Saat mobil mas Calvin berhenti di depan restoran, aku menghembuskan napas lega. Aku terlalu lelah untuk berdiri, jadi aku hanya menunggu di bangku lobi sampai mas Calvin turun dan menghampiriku.Begitu melihatku, ekspresi mas Calvin langsung berubah. Matanya menatapku penuh kecemasan, lalu dia berjongkok di hadapanku. “Sayang, kamu kenapa? Mukamu pucat.”Aku mencoba tersenyum tipis. “Aku nggak enak badan, kepala pusing, terus mual.”Mas Calvin langsung menggenggam tanganku, hangat dan menenangkan. “Ayo kita pulang. Kamu harus istirahat.” Dia membantu aku berdiri, tangannya melingkari pinggangku untuk memastikan aku tidak jatuh.Aku bersandar padanya, membiarkan mas Calvin membimbingku menuju mobil. Aku bisa merasakan betapa khawatirnya dia, apalagi saat aku sempat terhuyung sedikit sebelum masuk ke dalam mobil.Begitu kami duduk di dalam, mas Calvin menatapku serius. “Kita ke dokter dulu, ya?”Aku menggeleng lemah. “Nggak usah, a
"Tapi sebelum kau melakukannya, pikirkan baik-baik. Aku bisa membongkar semua kelakuan kotormu. Termasuk hubunganmu dengan Amanda."Sekilas, aku melihat ekspresi chef Hengki berubah. Sesaat dia tampak terkejut, tapi dengan cepat dia kembali tersenyum licik. "Amanda? Kenapa kau membawa-bawa dia? Itu urusan pribadiku."Mas Calvin tersenyum miring. "Urusan pribadimu? Seorang pria dewasa meniduri wanita yang masih muda, lalu membiarkannya berpikir bahwa itu cinta? Kau yakin ingin membawa ini ke ranah hukum?"“Hei! Kita melakukannya atas dasar suka sama suka! Tidak ada paksaan! Kita sudah sama-sama dewasa!” Aku melihat chef Calvin menggertakkan giginya. Dia jelas tidak menyangka chef Hengki akan membalas seperti itu.Mas Calvin tidak menanggapi lagi. Dia hanya menarik tanganku dan membukakan pintu mobil untukku. "Ayo pulang," bisiknya lembut.Aku menurut, masuk ke dalam mobil dengan perasaan campur aduk. Saat mas Calvin menyalakan mesin dan mu
“Baiklah,” katanya tegas. “Aku akan menemuimu di restoran setelah jam operasional selesai. Kita hadapi dia bersama.”Aku menutup mata, merasa lega karena mas Calvin mau menemani. “Terima kasih, Mas. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu.”“Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian, Alea,” katanya lembut. “Kita akan menyelesaikan ini bersama.”Aku tersenyum tipis meskipun perasaan gelisah masih menggelayut di hatiku.***Saat jam operasional restoran berakhir, aku masih berdiri di dapur, menatap kosong ke arah meja stainless steel di depanku. Tanganku menggenggam erat kain lap yang sedari tadi kugunakan untuk menyibukkan diri, tetapi pikiranku melayang entah ke mana.Perasaanku tidak tenang. Rasa gelisah semakin kuat seiring waktu berjalan. Bahkan saat restoran mulai sepi dan para staf mulai pulang satu per satu, aku tetap merasa ada sesuatu yang tidak beres.“Mbak Alea, aku pulang dulu, ya,” suara Eva