“Shasha demam, dan dia memanggil-manggil namamu terus. Biar aku menemui suamimu agar aku bisa meminta izin kepadanya.”“Suamiku sedang tidak ada dirumah,” ucapku perlahan.“Kalau begitu, apakah kamu bisa ikut dulu sebentar ke rumahku? Nanti akan aku ceritakan di jalan.” Pak Calvin menawariku mobil yang terparkir di pinggir jalan.“Haruskah aku ikut? Sebenarnya ini bukan tanggung jawabku untuk menemani Shasha,” gumamku dalam hati. Sedangkan pak Calvin tampak cemas menunggu jawabanku.“Baiklah, aku akan ikut.” Kututup pintu dan kukunci pintu rumah. Aku naik ke mobil pak Calvin dan duduk di depan. Rasanya canggung duduk di mobil berdua dengan pak Calvin. Entah kenapa sering banget bertemu dengan tidak sengaja. Sekarang malah rumah kami bertetangga. Ingin aku menanyakan tentang Shasha, tapi aku urungkan karena rumahnya dekat hanya hitungan beberapa menit saja sampai.“Sudah sampai,” ucap pak Calvin membuka pintu mobilnya. Aku pun segera turun
Mas Farhan menyeret lenganku hingga nyaris aku terjatuh karena kaget. Pak Calvin pun menyadari kedatangan mas Farhan langsung segera turun. Mungkin ingin menjelaskan apa yang terjadi padaku hingga aku pulang pagi. Namun yang terjadi, diluar perkiraanku. Mas Farhan langsung melayangkan pukulannya ke muka pak Calvin.“Mas Farhan!”Aku berteriak karena mas Farhan nyaris menghantam muka pak Calvin dengan pukulannya, untung saja pak Calvin reflek menghindar. Menyadari pak Calvin bisa menghindari pukulannya, mas Farhan semakin emosi. Dia kembali menyeret tanganku.“Ingat, Dek! Kamu itu masih sah istri aku! Apa kata orang kalau istri aku pulang pagi diantar oleh pria yang bukan suaminya!” Bentak mas Farhan dengan suara kerasnya sambil menunjuk-nunjuk mukaku.“Maaf, mas, boleh saya jelaskan kenapa Alea bisa pulang pagi?” sela pak Calvin.Mas Farhan menatap pak Calvin dengan rasa tidak nyaman. Secara dari postur tubuh saja berbeda jauh. Pak C
“Kenapa Mama tinggalin Shasha? Shasha takut, Mah!” jeritnya sambil memeluk kakiku. Aku menjadi serba salah disini, bagaimana bisa anak sekecil itu memintaku menjadi ibunya? Aku menggendong Shasha dan membawanya masuk ke dalam rumah. Aku harus memberikan pemahaman mengenai statusku kepadanya.Kutaruh anak kecil itu pada sofa ruang keluargaku dan aku duduk disampingnya, sedangkan Yuli duduk agak menjauh, “Shasha …,” ucapku perlahan.“Ya, Ma?”“Mama Alea mau bicara hal yang serius sama Shasha, karena Shasha sudah besar, betul?”“Iya, Ma. Kata papa, tahun depan Alea sudah bisa masuk sekolah TK,” jawabnya.“Bagus. Artinya Shasha sudah semakin besar dan mama Alea mau berbicara untuk anak yang sudah besar ini.”“Mama mau bicara apa?” tanya Shasha dengan raut muka yang serius.“Shasha ada di dunia ini, karena ada papa, ada mama. Kalau papa dan mama gak ada, maka Shasha juga gak akan lahir ….” Aku memperhatikan rau
“Apa? Erika pindah kemari? Hah! Jangan mimpi mas! Biar Erika pindah ke tempat ibumu saja! Jadi mas gak perlu repot-repot masak. Biar ibu yang masakin buat kalian berdua!” Aku geram seenaknya saja menyuruh pindah. Dulu aku mengikuti mas Farhan karena niatnya ingin kita bisa menabung. Ternyata, mas Farhan malah menabung benih di perutnya Erika dan sekarang dengan seenaknya saja ingin menumpang tinggal di rumahku.“Loh, Dek? Rumah ini juga kan mas yang bakal bayar kontrakannya. Lagi pula, kalau kalian tinggal dalam satu rumah, itu bisa mengirit ongkos mas juga loh.” Mas Farhan berdiri dan melihat sekeliling. “Nah kamar kamu kan disana, gak apa-apa, nanti kamar Erika sebelah sini. Nanti tiap hari Senin sampai Kamis, mas tidur di kamar kamu, Jumat sampai Minggu tidur di kamar Erika. Adil bukan?” ucap mas Farhan seolah-olah seperti sebuah solusi buatnya.“Enak saja. Mas Farhan memang bayar kontrakannya tapi hanya separo, kan? Aku hanya dikasih jatah hidup sebul
Aku membahas program yang menjadi ideku ini dengan Evan. Aku membuat daftar menu yang dimulai dari menu pembuka, menu utama dan menu penutup. Masing-masing aku buat 3 pilihan. Sedangkan Evan mendesain promo yang akan dipakai di semua media iklan, baik di media sosial, maupun di luar media sosial, seperti banner, flyer, dll.Sampai sore, pekerjaan selesai. Mulai besok, promo akan diujicobakan untuk acara Jumat Sabtu dan Minggu. Evan menunjuk salah satu tim untuk menjadi admin booking, Amanda, gadis magang yang ditarik oleh Evan karena diantara semuanya, Amanda ini gadis yang sudah mengerti konsep dari Restoran Homy Private Dining. Ditambah, karena aku tidak selalu berada di restoran, jadi Evan meminta bantuannya.“Baik mbak! Besok Amanda juga mulai share promo-promo secara online biar banyak yang lihat,” ucapnya semangat.“Oke! Sekarang mbak pulang dulu ya!” Aku harus membeli beberapa perlengkapan dapur yang pecah karena dilempar mas Farhan.
“Ting tong! Ting tong!” Bel rumah kembali berbunyi.“Oh Tuhan, mau apa lelaki itu?” Aku tidak mampu menggerakkan tubuhku. Rasanya seperti terikat. Hingga akhirnya suara ponselku berbunyi dengan nyaring. Aku terbangun dari tidurku dan mengambil ponsel disamping.“Ha … halo?”“Alea! Kenapa pintu gak dibukakan? Kita nungguin dari tadi nih!”“Kak Leo?”“Ya iyalah! Siapa lagi! Cepat bukain!”Kulihat jam ternyata sudah jam 5 subuh. Aku tertidur dan terbawa mimpi buruk, sampai-sampai aku keringat dingin dan terasa sangat haus. Aku mengambil mantel tidur, lalu keluar untuk membukakan pintu untuk kak Leo dan pak Daman.“Kamu tidurnya ngebo yah?” sindir kak Leo ketika pintu dibukakan.“Assalamualaikum,” sapa pak Daman.“Kakak nih! Waalaikum salam pak Daman!” Rasa takutku semalam langsung hilang ketika mereka berdua ada di rumah ini.“Aku gak tahu kak Leo datang subuh.”“Ibu yang nyuruh kaka
“Apa yang kalian inginkan?” tanyaku acuh untuk tetap bersikap profesional. Memegang notes dan mulai mencatat.“Kulihat restoran ini penuh dan ternyata untuk masuk sini saja harus booking dulu. Beruntung aku dan mas Farhan lihat spanduk dan mencoba untuk mencicipi makanan disini. Aku ingin tahu, apa rekomendasi makanan untukku dan suamiku ini,” tanya Erika sambil melihat menu yang cuma ada selembar.“Kami menyediakan makanan dari menu pembuka, menu utama dan menu dessert. Menu pembuka bisa kalian pilih, soup atau salad. Sedangkan di menu utama steak dengan berbagai saus. Sedangkan dessert kami sediakan puding, creme brulee dan waffle ice cream.” Aku yang membuat menu, tentu saja aku tahu dan bisa menjelaskan pada makhluk yang sedang duduk dengan sombongnya di hadapanku ini.“Sayang, kamu mau makan apa?” tanya Erika pada mas Farhan dengan manjanya. Sedangkan mas Farhan sedari tadi hanya menatapku. Entahlah apa yang sedang dipikirkann
“Jadi maksud ibu, pelayan kami yang ceroboh hingga harus dipecat?” tanya Evan kepada Erika.“Tentu saja! Bukankah kalau ada yang merugikan harus segera disingkirkan?” Erika balik bertanya.“Maksud kamu apa? Apa perlu kita buka CCTV disini?” tanyaku langsung kepada Erika. Pertanyaanku membuat Erika tertawa.“Hahaha, lihat, pelayanmu ini! Bahkan tidak ada sopan santunnya kepada pelanggan. Kenapa sih tidak dipecat saja? tanya Erika ngotot.“Tentu saja saya tidak bisa memecatnya,” ucap Evan.“Kenapa? Emangnya dia yang punya restoran ini?” ejek Erika.“Tentu saja!” jawab Evan kemudian melipat tangan di depan dadanya.“Cih! Mana ada tukang cuci piring pemilik restoran ini?” Kembali Erika menyerang.“Kata siapa mbak Alea ini tukang cuci piring? Dia penanggung jawab dan pemilik restoran ini!” jawab Evan dengan tegas.Seketika itu pula, para pengunjung mulai berbisik-bisik, ada yang mulai merekam kejadian ini de
Tanganku gemetar saat mengetik balasan. Aku tahu, kalau aku diam saja, maka Putri akan memutarbalikkan segalanya.“Aku di kafe, barusan bertemu Chef Hengki. Dia pamit mau pindah ke Jepang.”Tidak sampai satu menit, mas Calvin langsung membalas.“Kenapa nggak kasih tahu aku dari awal? Kenapa kamu nggak bilang mau ketemu dia?”Aku menggigit bibir. Memang aku salah karena tidak bilang sebelumnya. Tapi aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu Chef Hengki hari ini.“Aku juga nggak rencana ketemu, dia tiba-tiba hubungi aku dan ingin pamit…”Pesan mas Calvin tidak langsung dibalas. Hatiku semakin gelisah. Aku menatap layar, menunggu hingga akhirnya ponselku bergetar.“Oke, aku percaya kamu. Pulang sekarang, jangan berlama-lama di luar.”Aku menarik napas lega.Ya Tuhan... aku bersyukur Calvin masih mempercayaiku.Aku berusaha menenangkan diriku setelah membalas pesan Calvin. Baru saja aku hendak berdir
Setelah beberapa detik hening, Evan akhirnya berkata, "Kalau itu keputusanmu, semoga beruntung."Nada suaranya datar. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang ditahannya, tapi Amanda terlalu tenggelam dalam obsesinya untuk menyadarinya."Terima kasih, Evan! Aku janji akan menghubungi kalian setelah sampai di sana!" katanya dengan senyum lebar, lalu melambaikan tangan dan keluar ruangan.Aku hanya bisa membalas senyumnya samar. Di dalam hatiku, aku tahu ini bukan keputusan yang baik. Tapi ini hidup Amanda, dan aku tidak bisa menghentikannya.Aku baru saja selesai berbincang dengan Evan ketika ponselku bergetar di dalam saku. Aku mengambilnya dan melihat nama yang muncul di layar—Chef Hengki.Alisku berkerut. Kenapa dia menghubungiku? Dengan ragu, aku membuka pesan darinya.“Alea, aku ingin bertemu. Bisa kita bicara berdua?”Aku menelan ludah. Setelah semua yang terjadi, aku tidak menyangka dia masih ingin bertemu denganku.
Evan menarik napas dalam, lalu berkata, "Restoran baru Chef Hengki yang rencananya akan buka sebentar lagi… tiba-tiba akan dijual.”Aku mengerutkan kening mendengar ucapan Evan."Restoran Chef Hengki akan dijual?" tanyaku, berusaha memastikan aku tidak salah dengar.Evan mengangguk. "Iya, padahal restorannya belum sempat dibuka."Aku menarik napas dalam. Aku tidak ingin lagi ada urusan dengan Chef Hengki, terutama setelah masalah Amanda. Aku sudah bertekad untuk menjauh darinya."Kenapa kamu memberitahuku soal ini?" tanyaku akhirnya.Evan menatapku sejenak sebelum menjawab. "Karena ini kesempatan besar, mbak Alea. Restoran itu lokasinya strategis, dan konsepnya sudah matang. Aku tahu kamu dan mas Calvin punya visi besar untuk bisnis kuliner kalian."Aku menggeleng cepat. "Aku tidak tertarik. Aku tidak ingin terlibat dalam urusan Chef Hengki lagi."Evan tampak terkejut dengan reaksiku. "Tapi ini soal bisnis, buka
Shasha berdiri di ambang pintu dengan boneka favoritnya di tangan, matanya berbinar penuh semangat."Sayang, sudah larut malam. Kenapa tiba-tiba mau tidur di sini?" tanyaku, mencoba menenangkan diri."Shasha mau tidur sama adik! Kan adik masih di perut Mama, jadi Shasha harus jagain adik dari sekarang!" katanya polos.Aku dan Calvin saling berpandangan. Aku melihat Calvin berusaha menahan senyum geli."Tapi, sayang, adik masih kecil sekali di dalam perut Mama. Dia belum bisa merasakan kalau kamu tidur di sini," ucap mas Calvin lembut, membujuknya."Tapi Shasha mau nemenin! Kalau nggak, adik kesepian," protesnya, mengerucutkan bibirnya.Aku tertawa kecil dan mengusap rambutnya dengan lembut. "Baiklah, kalau begitu, malam ini kamu bisa tidur di sini."Shasha langsung tersenyum lebar, lalu berbaring di tengah-tengah kami sambil memeluk bonekanya erat-erat. Tapi sebelum dia memejamkan mata,
Aku bisa merasakan detak jantungku semakin cepat. Mas Calvin menggenggam tanganku dan tersenyum, lalu berkata dengan suara mantap, “Mama, Alea hamil.” Sejenak, tidak ada suara di seberang sana. Lalu, terdengar helaan napas kaget, disusul suara penuh kebahagiaan. “Benarkah? Ya Tuhan, Calvin! Mama senang sekali!” Aku bisa mendengar suara Mama Calvin yang jelas-jelas penuh dengan emosi bahagia. “Alea sayang, selamat ya, Nak! Kamu baik-baik saja? Kamu sehat?” tanyanya padaku. Aku tersenyum dan menjawab, “Iya, Ma. Aku baik-baik saja, hanya sedikit mual-mual.” “Itu wajar, Sayang. Mama senang sekali akhirnya keluarga kecil kalian bertambah. Mama harus segera ke sana! Aku ingin melihat kalian!” Aku melirik mas Calvin, meminta pendapatnya. Dia hanya mengangkat bahu dan tersenyum. “Tentu, Ma. Kami juga ingin Mama di sini.” “Kalau begitu, Mama akan segera mengatur jadwal. Kalian jaga diri baik-baik, terut
Tak lama kemudian, mas Calvin kembali dengan sebuah kantong plastik kecil di tangannya. Ia tampak sedikit kehabisan napas, seolah berlari agar bisa cepat kembali ke sisiku. "Aku sudah beli," katanya, menyerahkan test pack kepadaku. Aku mengambilnya dengan tangan sedikit gemetar. Mas Calvin langsung duduk di sampingku, menggenggam jemariku erat. "Aku temani, ya?" tanyanya lembut. Aku mengangguk pelan. "Oke." Dengan langkah hati-hati, aku menuju kamar mandi. Mas Calvin menunggu di depan pintu, sesekali mengetuk pelan untuk memastikan aku baik-baik saja. Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, aku keluar dengan test pack di tanganku. Kami duduk di tepi ranjang bersama, menunggu hasilnya. Calvin menggenggam tanganku erat, jempolnya mengusap punggung tanganku dengan lembut. "Apa pun hasilnya, aku ada di sini," bisiknya. Hatiku berdebar kencang. Aku menatap test pack itu
Saat mobil mas Calvin berhenti di depan restoran, aku menghembuskan napas lega. Aku terlalu lelah untuk berdiri, jadi aku hanya menunggu di bangku lobi sampai mas Calvin turun dan menghampiriku.Begitu melihatku, ekspresi mas Calvin langsung berubah. Matanya menatapku penuh kecemasan, lalu dia berjongkok di hadapanku. “Sayang, kamu kenapa? Mukamu pucat.”Aku mencoba tersenyum tipis. “Aku nggak enak badan, kepala pusing, terus mual.”Mas Calvin langsung menggenggam tanganku, hangat dan menenangkan. “Ayo kita pulang. Kamu harus istirahat.” Dia membantu aku berdiri, tangannya melingkari pinggangku untuk memastikan aku tidak jatuh.Aku bersandar padanya, membiarkan mas Calvin membimbingku menuju mobil. Aku bisa merasakan betapa khawatirnya dia, apalagi saat aku sempat terhuyung sedikit sebelum masuk ke dalam mobil.Begitu kami duduk di dalam, mas Calvin menatapku serius. “Kita ke dokter dulu, ya?”Aku menggeleng lemah. “Nggak usah, a
"Tapi sebelum kau melakukannya, pikirkan baik-baik. Aku bisa membongkar semua kelakuan kotormu. Termasuk hubunganmu dengan Amanda."Sekilas, aku melihat ekspresi chef Hengki berubah. Sesaat dia tampak terkejut, tapi dengan cepat dia kembali tersenyum licik. "Amanda? Kenapa kau membawa-bawa dia? Itu urusan pribadiku."Mas Calvin tersenyum miring. "Urusan pribadimu? Seorang pria dewasa meniduri wanita yang masih muda, lalu membiarkannya berpikir bahwa itu cinta? Kau yakin ingin membawa ini ke ranah hukum?"“Hei! Kita melakukannya atas dasar suka sama suka! Tidak ada paksaan! Kita sudah sama-sama dewasa!” Aku melihat chef Calvin menggertakkan giginya. Dia jelas tidak menyangka chef Hengki akan membalas seperti itu.Mas Calvin tidak menanggapi lagi. Dia hanya menarik tanganku dan membukakan pintu mobil untukku. "Ayo pulang," bisiknya lembut.Aku menurut, masuk ke dalam mobil dengan perasaan campur aduk. Saat mas Calvin menyalakan mesin dan mu
“Baiklah,” katanya tegas. “Aku akan menemuimu di restoran setelah jam operasional selesai. Kita hadapi dia bersama.”Aku menutup mata, merasa lega karena mas Calvin mau menemani. “Terima kasih, Mas. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu.”“Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian, Alea,” katanya lembut. “Kita akan menyelesaikan ini bersama.”Aku tersenyum tipis meskipun perasaan gelisah masih menggelayut di hatiku.***Saat jam operasional restoran berakhir, aku masih berdiri di dapur, menatap kosong ke arah meja stainless steel di depanku. Tanganku menggenggam erat kain lap yang sedari tadi kugunakan untuk menyibukkan diri, tetapi pikiranku melayang entah ke mana.Perasaanku tidak tenang. Rasa gelisah semakin kuat seiring waktu berjalan. Bahkan saat restoran mulai sepi dan para staf mulai pulang satu per satu, aku tetap merasa ada sesuatu yang tidak beres.“Mbak Alea, aku pulang dulu, ya,” suara Eva