Adam terus memainkan laptopnya dan mengacuhkan Alma yang duduk di hadapannya di meja makan. Alma yang tadi berkilah bertemu teman lamanya yang tidak Audy kenali dipercaya Adam begitu saja. Masalah selesai setidaknya untuk hari ini. Tapi untuk urusan mendapatkan alamat Tiara tentu saja gagal total.
Mario mendadak tidak mengangkat telponnya. Tidak biasanya. Sekalipun dulu mereka tengah bertengkar, dan puluhan chat tidak dibalas, telpon Alma pasti akan selalu diangkat. “Kamu tau sekarang ada pak Dani?” pertanyaan Adam mengagetkan Alma yang sedang melamun mengatur strategi. “Hm?” Adam menggeser laptopnya agar bisa melihat istrinya, “Kamu tau sekarang ada pak Dani?” tanyanya mengulang. “Tau.” “Terus kenapa pulang naek taksi?” “Mas, tadi kan aku udah bilang, tadi aku lupa udah punya supir pribadi.” “Kasian loh pak Dani sampe ikut khawatirin kamu. Di sangkanya dia yang gak bagus kerjanya jadi kamu harus naek taTiga puluh menit setelah Adam pergi, Alma langsung mandi dan siap-siap pergi menemui Mario. Ia tak memiliki waktu untuk bekerja sama dengan suster Ruth. Apalagi sebenarnya yang ia pahami sekarang suster Ruth bekerja untuk papa, bukan untuk Adam, sehingga ia tidak boleh gegabah percaya padanya begitu saja.Alma mengintip pak Dani yang sedang menggunting cemara udang sambil bersenandung menyanyikan lagu Cucak Rowo di halaman rumah. Ia sudah tahu bagaimana caranya bisa pergi, yakni ketika pak Dani ke belakang untuk mengambil selang untuk menyerimi tanaman, ia bisa lari agar tidak ketahuan.“Ayo pak Dani cepetan ke belakang rumah.”Alma juga sudah mengatur strategi bagaimana ia bisa keluar dari rumah tanpa ketahuan. Ia tahu rutinitas suster Ruth. Ketika sudah beres memandikan Belle, maka ia akan membersihkan dirinya dengan memberikan mainan pada Belle dan mengunci pintu kamar. Maka dari itu ia siap kabur beberapa menit lagi ketika momen itu datang.“Sus cepetan dong kunci pintu kamarn
Mario menyerahkan kertas kecil berisi alamat Tiara, “Ini alamat butik Tiara. Kadang dia tinggal disana."Alma kaget karena Mario benar memberikannya alamat Tiara. Ia pikir hari ini Mario akan tetap mempermainkannya.“Kenapa? Kamu kaget ya aku kasih alamat Tiara?”“Hah? Eum... enggak. Aku tau kamu pasti bakal kasih alamat Tiara. aku terima ya.” Alma mengambil kertas itu dan membaca alamatnya baik-baik. Oke, ia tahu alamat ini.“Sebenernya urusan kamu sama Tiara apa?”Alma melipat kertas kecil dan memasukkannya ke dalam tas tangannya, “Kan aku udah bilang aku mau bikin baju sama dia.”Mario mengangguk-angguk.“Kamu deket banget sama dia?”“Enggak begitu sih, paling cuma ngobrol ala kadarnya.”Alma mengangguk, “Oh gitu.”“Soalnya usia kita beda jauh, jadi gak terlalu nyambung.”“Iya sih bener juga.”Mario mencondongkan badannya ke arah meja, “Karena aku udah kasih ala
“Makan, Ma.” Tiara mempersilakan Alma untuk makan Sirloin Steak yang baru saja diantarkan pramusaji ke meja mereka. Alma mengangguk. Ia mengambil garpu dan pisau untuk mulai memotong steik. Ia tidak berhenti memuji tempat ini. Lounge Resto ini adalah tempat yang sangat ingin ia datangi tapi belum sempat karena ia tidak punya kenalan orang yang bekerja disini. Hanya anak-anak orang kaya atau dia sendiri seorang pengusaha untuk bisa makan disini. Ketika ia melihat harga menu, harganya memang mahal tapi masih bisa ia jangkau meski selanjutnya harus libur nongkrong. Ia hanya tidak punya akses untuk bisa datang kesini. “Kamu pernah kesini sama Mario?” tanya Tiara ketika Alma melirik sekeliling meja di sela-sela makannya. Di ruangan ini hanya ada mereka berdua, karena Tiara sengaja memesan private place. Alma menggeleng, “Kita gak punya akses buat kesini.” Tiara mengangguk, “Aku denger dari Mona, setiap ke kafe fancy, Mario harus manfaatin kamu. Karena biasanya kamu yang punya akses bu
Alma masih tidak bisa mencerna ucapan Tiara yang mengatakan Adam membunuh Dara karena Arden. Ucapan orang mabuk bukannya selalu jujur? Tadi saja ketika menceritakan rahasianya sebelumnya, Tiara begitu terbuka padanya. Dalam keadaan sadar belum tentu ia mau melakukan itu.Setelah mengantar Tiara ke butik menaiki taksi, dan terpaksa menyimpan mobilnya di depan Resto, Alma langsung pulang. Taksinya baru sampai di halaman depan rumahnya.“Kak, kakak dari mana aja? Bapak khawatir kakak pergi.” Pak Dani yang sedang duduk saja di pos satpam menghampiri Alma yang baru membuka pintu gerbang.“Tadi... aku beli pulsanya jauh, pak.”“Sampe naik taksi?”Alma mengangguk.“Ya udah, kakak masuk ya, istirahat.” tuturnya seperti seorang bapak pada anaknya.Alma mengangguk lagi. Ia berjalan amat lunglai memasuki teras rumah. Ucapan Tiara tidak bisa ia percaya, tapi sangat mungkin terjadi jika Adam dan Arden memperebutkan Dara, mama Belle. Dara yang ia lihat di foto begitu cantik. Wajar jika ia d
Alma berjalan melewati Adam lalu berhenti ketika suaminya itu masih berdiri mematung dibelakang tubuhnya. Alma membalikkan badannya dan membuka tas tangannya. Adam hanya diam tak banyak bicara. Matanya terus mengikuti kemana tangan itu bergerak.“Ini, mas.” Alma memberikan satu buah kartu debit dan kartu kredit.Adam tak bergerak sama sekali.Alma menyimpan dua kartu tersebut diatas meja ruang tamu, “Aku pergi.” Adam benar-benar tidak mengatakan apapun ketika Alma pergi. Ia hanya menunduk dan mengusap wajahnya dengan lemas.Alma membawa koper, pak Dani yang baru selesai merapikan pohon Asoka menghampirinya, “Kakak mau kemana?”“Aku mau pergi, pak.”“Kemana?”“Eum... ke rumah mama.”“Sendirian?”“Iya.”Pak Dani menatap Adam yang berdiri melihat obrolan mereka dengan wajah datar. Beliau tahu mereka sedang bertengkar, “Ya sudah bapak bantu ya. Bapak juga anterin ke rumah mamanya.”Alma menggeleng, “Aku naik taksi aja, pak. Ini tolong bawain aja sampe depan.”Pak Dani mengan
Alma menggeleng kencang-kencang, “Amih sama Apih itu lebih kolot dari nyokap lo. Yang ada mereka kirim gue pulang ke rumah si duda tua atau ke rumah mama. Gak!”“Ma, terus gimana coba? Elo sih, sok-soan gak butuh duit duda. Udah tau lo sendiri gak punya duit.”“Jadi gimana? Lo mau minjemin duit gak?”“Iya-iya gue pinjemin. Tapi cuma tiga juta. Kalo kurang lo minta aja sisanya sama si Sezan.”“Gak ah.”“Kenapa? Dia banyak duitnya tau.”“Gak aja. Ya udah tiga juta gak papa.”“Iya nanti gue transfer ke elo, gue mau ke toilet dulu.”Alma mengangguk.Audy bangkit dari duduknya dan berjalan cepat ke arah toilet. Alma yang kelaparan kembali memesan nasi goreng Kambing dan jus Nanas.Drrrrt~ Drrrrt~Ponsel Audy bergetar.“Si Audy lama banget sih di toiletnya.”Drrrrrt~ Drrrrrt~Alma mengambil ponsel Audy. Telpon dari Adam?Alma menahan nafasnya. Kenapa Adam menelpon Audy? Ada apa ya? Untungnya telponnya mati, dan tidak lama ada pesan masuk. Alma menahan nafasnya lagi ketika me
Alma mengacuhkan panggilan telepon dari Adam dan semua orang yang menelponnya. Ia hanya duduk termenung di pojok kasur berselimutkan kain tipis bawaan kost. Ia tak menyangka tinggal sendiri di kost akan membuatnya sesedih ini.Drrrrrt~ Drrrrrt~Alma melongokkan kepalanya ke layar ponsel yang menyala, “Mama? Ah, gue pasti kena omel. Udah biarin aja.”Mama menatap layar ponsel karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari Alma. Adam yang sedang duduk di sofa hadapannya hanya mengacak-acak rambutnya yang sudah berantakkan.“Nak Adam, Alma pasti baik-baik aja. Dia paling lagi nginep di hotel.”“Alma simpen kartu debit dan kredit yang saya kasih, ma. Saya tahu Alma gak pegang uang banyak.” jawab Adam dengan nada frustasi.Papa yang berdiri menghela nafas beberapa kali, “Papa kan udah bilang berkali-kali, kalo mama atau nak Adam berantem sama Alma, bilang sama papa, biar kejadian seperti ini gak terjadi.”“Pa, mama kan lagi gak berantem sama Alma.” mama membela dirinya.“Alma tau perangai mam
Pov Adam Adam membanting pintu mobil ketika ia melihat Armand tengah mengelap motor Trailnya di depan garasi yang terbuka dirumahnya. “Dam? Gimana? Alma udah ketemu?” BUG! Adam memukul pelipis Armand. “Dam! Apaan sih! Kenapa lo pukul gue?” “Kenapa lo suka sama istri gue?” “Suka istri lo? Lo ngira gue suka sama Alma?” BUG! Satu pukulan mendarat di pelipis Armand yang lainnya. “Argh, Dam!” Armand mundur dan meminta Adam untuk tenang. “Dimana Alma? Lo pasti tau.” “Kalo gue tau ngapain gue ikut bantu cari?” Virza yang baru sampai menahan tubuh Adam untuk tidak memukul Armand lagi. Ia tahu betul perangai Adam, “Dam-Dam, sabar ya, gak kayak gini caranya.” “Dia pasti tau Alma dimana, Za!” Virza menatap Armand. “Apa? Lo juga mau ngira gue tau dimana Alma?” Virza mengusap-usap bahu Adam, “Dam, Armand gak tau dimana Alma. Jadi lo tenang ya.” “Tapi dia suka sama Alma.” “Dam, yang bener aja gue suka sama Alma.” “Kenapa? Alma cantik ‘kan, Mand?” “Iya, Alma emang cantik. Tap