Setelah melempar Adam dengan bantal, Alma di minta untuk diam di ruangan bertiga dengan Virza dan suster yang akan menemaninya konseling. Papa-mama dan Adam diminta keluar.
“Dokter, saya kan mamanya, saya tetap tunggu disini ya?” mama memohon. Virza melirik Adam sebentar, “Tidak bisa, bu, sudah begitu prosedurnya. Ibu tunggu di luar, jika saya butuhkan keterangannya nanti ibu dan bapak akan suster panggil.” “Udah lah, ma, kita ikut prosedur saja. Itu Alma keliatan udah baik-baik aja kok, jadi gak perlu di temani.” Papa mengelus bahu mama dan memberikannya pengertian. Papa menatap Virza, “Kami akan menunggu di luar.” Virza mengangguk, “Silakan, pak.” Papa menarik lengan mama. Adam juga berjalan membuntut dibelakang mama dan papa. Mereka akan menunggu di luar. “Nak Adam tidak ada jadwal dinas?” tanya papa ketika mereka sudah berada di luar ruangan. “Ada, pa, saya udah izin sampe tahu penjelasan dari psikiater menge“Ma, pa, saya izin tinggal dulu.”“Oh iya, nak Adam, silakan.” Papa mempersilakan Adam bertugas.Adam berlari ke UGD untuk bertemu dengan pasien yang ngamuk yang katanya meminta untuk bertemu dengannya. Siapakah gerangan manusia yang sempat-sempatnya ngamuk di saat genting begini.Dokter yang berjaga di UGD menunjuk seorang perempuan jangkung berwajah blaseteran yang tengah di tahan oleh dua perawat karena ngamuk ingin mencari Adam.“Tiara?”“Adam? Kamu dateng juga akhirnya.”Adam meminta dua perawat yang menahan perempuan bernama Tiara itu untuk pergi.“Adam, aku kangen sama kamu.” Tiara memeluk Adam.“Ti, lepas.” Adam berusaha keras melepas Tiara dari badannya.“Kamu kenapa? Kok gini sama aku?”Adam tak menggubris pertanyaan Tiara, “Kamu kenapa bisa masuk UGD?”Tiara menunjuk kakinya yang baret penuh luka, dan salah satu pergelangan kakinya sudah di perban karena mengeluarkan darah cuku
“Virza? Adam?”Adam keluar dari pintu lift buru-buru. Ia sangat menghindari kejaran dan bertemu Tiara yang akan memperkeruh hubungan suami istrinya dengan Alma. Tiara yang masih terobsesi dengan Adam pasti akan melakukan banyak hal untuk memenuhi egonya.“Adam! Tunggu, aku mau ngomong sama kamu.” Tiara menarik lengan Adam.Dengan cepat Adam melepaskan cengkraman Tiara di lengannya, “Jangan pernah deketin aku lagi, Ra.”“Dam, aku masih sayang sama kamu.”“Tapi bukan berarti kita harus ketemu lagi ‘kan? Kita udah selesai, jauh sebelum aku menikahi Dara. Jadi dengan sangat, aku memohon sama kamu untuk pergi tinggalin aku.”“Tapi kan Dara udah gak ada, Dam, jadi kita bisa mulai kisah kita yang terhenti sementara.” Tiara memasang wajah memelas untuk merayu Adam.“Ra, aku udah menikah lagi minggu lalu.”Tiara tertawa, “Kamu bohong.”“Kamu gak percaya?” Adam memamerkan cincin nikahnya, “Kamu percaya sekarang?”“Dam, kamu.... nikah sama siapa?”“Ada satu perempuan yang sangat aku
Ketika Adam berlari akan menghampiri Alma yang sudah tergeletak duduk setelah jadi korban tabrak lari, ada orang lain yang berteriak tertabrak mobil. Ya, Tiara.“Adam!” pekik Tiara kencang dari arah berlawanan dengan Alma.Adam menatapnya dan kini bingung harus menolong siapa. Tiara yang terduduk di dekatnya, atau Alma istrinya yang kini sudah di bantu orang sekitar untuk bangkit dan berjalan ke arahnya.“Adam, sakit.” ringis Tiara manja.Adam masih berdiri kebingungan. Ia mengusap kepalanya dan berlari menghampiri Tiara yang sudah di bantu driver ojek online yang kebetulan sedang lewat, “Ayo, Ra.”Tiara yang senang masih mendapatkan perhatian Adam tersenyum amat puas. Tak sia-sia aksi menabrakkan diri ke jalanan untuk mendapatkan simpati mantan kekasihnya itu. Meski tidak percaya bahwa Adam sudah jadi milik orang lain, milik Alma seorang anak ingusan baru gede.Virza yang ada tidak jauh dari sana menghampiri Tiara, “Dam, udah Tiara biar sama gue aja. Lo samperin Alma sana.”Ad
Virza membuka pintu ruangan Adam dan membawakan kopi hitam seperti biasa untuk di taruh di mejanya. Sebuah kebiasaan rutin yang mereka lakukan silih berganti agar bisa mengawali hari dengan melek sempurna. Ia yang biasa melihat ruangan sahabatnya kosong melompong tak ada orang, atau melihat Adam tengah mempersiapkan diri menuju waktu konslutasi, kini melihat Adam dan Alma yang saling berpelukkan di atas sofa.“Wadaw, pantes dari luar ada bau aroma melati. Ternyata ada yang lagi bulan madu disini. Aw, aw, aw, gue gak boleh liat ini karena masih dibawah umur.” Virza menutup matanya sebagian sambil berjalan dan duduk di kursi kerja Adam.Adam mengerjap-ngerjap. Ia yang sadar ada Virza yang masuk tanpa malu membawakan kopi pahit wajibnya, hanya membuang nafas kesal karena sahabatnya itu tidak mengerti situasi dan kondisi. Seharusnya disaat seperti ini Virza menutup pintu kembali dan pergi kemana saja sembari menunggu ia dan Alma bangun.“Lo kok tidur disini?”Adam mengusap wajahnya
Saat Alma meminta Adam diam dan melakukan aktivitas makannya, Mario berjalan melewati meja yang di dudukki Adam yang berada dekat dengan pintu. Ia berjalan beriringan dengan seorang perempuan seusianya. Ketika Mario lewat, ia sempat melihat ponsel Alma yang tergeletak di atas meja. Posisi ponsel yang menampilkan casenya membuatnya tahu itu milik siapa. Ia terus memperhatikan ponsel itu hingga membuatnya melirik Adam yang tengah menyedot jus stroberi.“Rio, kok diem? Cepetan, nanti jam makan siangnya keburu abis.” dorong seorang perempuan yang Alma intip adalah orang yang sempat di posting mantan pacarnya di story whatsapp.“Oh, iya, sori-sori.” Mario kembali berjalan meski sesekali ia terus melirik ke arah Adam yang kembali menatap istrinya yang masih bersembunyi di bawah kakinya.“Sayang, orangnya udah masuk.”“Udah duduk?”Adam melihat ke arah depan untuk mencari tahu apa yang sedang di lakukan Mario. Ia mengangguk lalu menatap Alma, “Udah. Ayo bangun.” Ia menarik lengan istr
“Alma, kamu tuh. Anak bayi aja kamu musuhin.” cerocos mama.“Dia bukan sekedar bayi, ma, dia tuh pengacau di hidup aku yang selama ini tenang. Dia orang ketiga di hubungan aku sama mas Adam.”Mama melirik Adam yang hanya membuang nafas pelan.“Ma, ini ada nasi goreng Kambing dari kafe Sezan. Saya izin makan duluan karena harus langsung ke rumah sakit lagi setelah ini.”“Oh iya nak Adam, nanti bibi siapin dulu piringnya. Sebentar ya.” mama berlalu ke dapur.Adam berjalan pelan menuju ruang makan. Ia mengacuhkan ucapan Alma. Ini bukan saatnya bertengkar. Akan sangat beresiko jika ia meladeni ucapan Alma yang menyakitkan.“Alma.” Suster Ruth menghampiri Alma sambil menggendong Belle yang tengah anteng bicara sendiri.“Stop! Jaga jarak aman! Aku gak mau deket-deket sama Belle.” Alma menahan suster Ruth yang akan berjalan menghampirinya.Suster Ruth menatap Belle lalu menatap Alma, “Akhirnya kamu pulang juga. Aku khawatir banget waktu kamu pingsan.”Alma membuka sedikit kacamatan
Dengan wajah super panik Adam turun tangga dan kembali menghampiri mama dan papa yang untungnya masih berada di belakang rumah.“Ma, pa, Alma gak ada di kamarnya.” Adam mengadu membuat dahi papa dan mama mengkerut bingung.“Dia mungkin di kamar mandi, nak Adam."“Gak ada, pa. Kopernya juga ilang, beberapa bajunya juga gak ada,”Mama berdiri. Meskipun sering ribut dengan anak semata wayangnya tapi tentu mama sangat khawatir kalau Alma benar-benar pergi dari rumah ini karena menghadapi masalah Belle. Mama masuk ke dalam rumah dan menaiki tangga untuk membuktikan sendiri ucapan Adam.“Almaaaa, kamu kemanaaa.” Mama menangis mendapati pintu lemari Alma terbuka berantakkan.Papa yang berjalan membuntut memeluk dan menenangkan mama, “Kita cari Alma sama-sama ya, ma.”“Pa, gimana kalo Alma beneran kabur?”“Dia mau kabur kemana, ma? Paling dia ke rumah Audy atau Sezan.”“Heu heu, Almaaaa.”Adam dengan sibuk mencari Alma ke seluruh penjuru rumah. Ia yang belum tahu betul area disini h
Pagi ini, sebelum Alma bangun, Adam sudah sibuk membereskan baju-baju Alma. Ia menaruh koper di atas kasur. Alma yang merasa dari tadi mendengar suara grasak-grusuk membuka matanya dan melirik Adam yang menatapnya dengan tatapan marah.“Mandi, makan, terus kita pulang.”“Gak mau.”“Aku gak lagi kasih kamu pilihan. Ini perintah.”Alma membalikkan badannya. Ia memunggungi Adam sebagai bentuk protesnya.“Aku gak punya waktu banyak. Aku harus udah di rumah sakit jam delapan.”“Ya udah sana. Kamu kan emang sangat memprioritaskan pasien kamu dari pada istrinya.”Adam tak menjawab sindiran Alma. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih menahan emosi agar tidak terpancing dengan ucapan Alma yang berupa sindiran dan ancaman.Alma membalikkan badan, “Kamu dokter hebat, tapi suami yang payah. Karena kamu cuma mikirin diri kamu dan Belle aja.”Adam berdiri tegak setelah berhasil menutup koper.“Kamu ngapain nikahin aku sih kalo isi pikiran kamu penuh sama Belle?”“Berhenti ko