Nick meremas daun pintu demi menghindari api yang berkobar di bola mata Jess. Pria itu merasa harga diri dan reputasinya sedang diinjak-injak. Selama bertahun-tahun, tidak ada yang berani menentang kehendaknya. Dia menoleh sekilas ke sosok perempuan yang dipunggunginya, api yang berkilat-kilat di sana telah bercampur dengan lelehan air mata. Ruang hati lelaki berkulit terang itu mendingin, sepasang netra cekungnya berubah sendu. Dengan kaki jenjang, ia berjalan gontai menuju perempuan yang berhasil menjerat hati.
“Maafkan aku, Jess!” Nick merengkuh tubuh mungil yang hanya setinggi dada itu. Perempuan itu membiarkan suaminya, tetapi juga tidak membalasnya.“Jess, aku harus pergi. Kau harus mengerti.”“Bagaimana kalau kau gagal? Apa kau akan tetap mengutamakan misi konyolmu itu? Aku tidak mau kau terus-terusan meninggalkanku.” Jess menjauhkan diri satu langkah dari lelaki berdarah Turki itu, pandangannya penuh tuntutan.“Apa kau pernah mendengar kegagalanku?” tanya Nick, hening menjeda perdebatan mereka untuk sesaat.“Tapi, Nick .…”“Bukankah awalnya kau dan Jacob yang memberi informasi itu? Apa artinya jika bukan untuk merekomendasikan?”“Aku hanya bercerita saja, kenapa kau jadikan misi? Lagi pula bukan aku yang menyuruhmu ke sana.” Perempuan mungil itu berkilah.“Jangan mendebatku, Jess! Hanya tugas ini yang bisa mengembalikan kepercayaan mereka.” Tatapan mata Nick membekukan suasana.“Baiklah, lakukan apa saja sesuai kehendakmu. Lakukan selagi bisa, pergilah, aku tidak akan melarangmu lagi.” Jess akhirnya mengalah dan berhenti mendebat suaminya.“Benarkah?” Jess mengangguk dengan rasa kesal yang tersisa.Senyum Nick mengembang, kening Jess yang tertutup poni dihadiahi kecupan hanga sebelum lelaki itu melangkah riang ke ruang kerja. Selembar koran pemberian Jacob Alfonso terbitan tahun 1972 diraihnya dari rak khusus bergembok berwarna silver. Otaknya mengulas kembali judul “Pembunuh Misterius”. Koran itu memuat informasi tentang suku misterius yang diduga menjadi penyebab utama kematian para turis. Orang-orang rimba itu diduga berjenis kelamin perempuan. Hingga detik ini, peristiwa itu belum terungkap. Pasalnya, siapa saja yang berani menginjakkan kaki ke hutan akan kehilangan nyawa secara misterius. Hal tersebut dibuktikan ketika para keluarga korban bersama dengan kepolisian tidak pernah kembali setelah melakukan penyelidikan. Akhirnya, pemerintah menutup kasus dan melarang siapa pun datang melakukan investigasi. Mereka akan dikenakan denda sebesar satu juta dolar jika melanggar ketetapan.Nick menggerakan bola mata ke ata seperti sedang memikirkan sesuatu, kemudian beranjak setelah berkutat dengan layar ponsel. Ransel yang disiapkan jauh-jauh hari sudah berpindah ke punggungnya. Nick duduk santai di ruang tamu. Pria berusia dua puluh satu tahun itu memerhatikan istrinya yang asyik membaca majalah sambil menyeruput cokelat panas kesukaannya. Ia tahu, aktivitas tersebut hanya kedok untuk menutupi kekecewaan. Kekesalan yang terpahat di wajah perempuan itu dapat dibaca dengan mudah. “Nick, apa kau benar-benar akan pergi? Pikirkan sekali lagi, aku sedang mengandung anakmu.” Nick menghentikan aktivitas matanya sejenak, kemudian berjalan kecil menghampiri wanitanya.“Maafkan aku, Jess. Aku harus pergi. Kau harus menjaga dirimu dan anak kita baik-baik. Aku akan mengirim Bill dan Velove untuk menemanimu. Aku mencintaimu.” Pemilik rambut cokelat itu memeluk Jess setelah beberapa saat menyapu lembut bibir kemerahan istrinya sebelum ia benar-benar pergi.Derap langkah terdengar setelah beberapa saat.“Hai, Jess, mengapa kau bersedih seperti anak kecil?” Gadis berambut ikal tersebut sontak melempar bantal kecil yang ada di sampingnya ke arah Yodas yang tiba-tiba saja muncul dari balik pintu bersama Gaffin.
“Biasanya kau akan senang saat Nick pergi karena kau bebas bermain dengan teman priamu,” timpal Gaffin, mulutnya asyik mengunyah permen karet tanpa ada raut bersalah.“Apa maksudnya?” Jess melotot, tak terima dengan apa yang dikatakan sahabat suaminya.“Kenapa kalian berisik sekali?” Nick akhirnya bersuara.“Jess, kami akan berangkat. Doakan kami agar bisa cepat kembali.” Nick mencium perut buncit istrinya yang dibiarkan setengah terbuka, kemudian mendaratkan kecupan hangat di setiap sisi wajah cantik itu.“Baiklah, hati-hati. Cepat kembali, aku dan bayi menunggumu.” Akhirnya dengan berat hati, perempuan berusia dua puluh tahun itu melepas kepergian suaminya.Entah mengapa kepergian Nick kali ini meninggalkan kesedihan di mata keabuan milik Jess. Padahal, ia telah terbiasa dengan hobi gila pria bertubuh tinggi itu. Nick bukan hanya seorang penjelajah dan pemburu benda-benda langka, tetapi ia juga memiliki rasa penasaran setiap kali mendengar mitos-mitos yang beredar di telinga. Ia tak segan merogoh kocek yang dalam demi sebuah misi pembuktian. Bersama Yodas dan Gaffin, Nick mengendarai mobil sport menuju markas yang terletak di pinggiran kota Brasil. Mereka bersama pilot dan tim komunitas yang berjumlah enam orang segera meluncur menggunakan kendaraan udara pribadi untuk memenuhi misi baru mereka.“Semoga sukses! Jika kau berhasil, bawa emas yang banyak, ya. Kau tahu? Di sana banyak emas,” ucap Jacob seraya menepuk punggung Nick. Lelaki muda tersebut hanya tersenyum tipis. Sepanjang perjalanan diisi dengan kelakar receh yang kurang berguna. Nick tidak begitu menanggapi teman-temannya, sepasang netranya lebih sibuk berpijak pada pemandangan yang menakjubkan di bawah kaki. Brasil tampak memukau jika dilihat dari ketinggian. Jejeran bangunan pencakar langit yang bak miniatur memenuhi bola mata.“Apa kau yakin, kita akan berhasil kali ini?” Yodas tiba-tiba bertanya setelah beberapa lama sibuk dengan gawainya.“Seharusnya kita memang memiliki keyakinan seperti itu.” Nick berujar dengan ekspresi datar.“Bagaimana kalau kita gagal?” Joe ikut bertanya, ada sedikit keraguan di maniknya.“Hei, itu tidak mungkin. Kita itu penjelajah yang hebat, nyatanya selama ini kita selalu berhasil, kan?” Gaffin berujar dengan penuh keyakinan.“Tapi misi kali ini berbeda. Kita bukan mencari harta karun atau benda-benda prasejarah, tetapi mencari orang-orang dari suku pedalaman yang berbahaya,” kata Steve sembari menyugar rambut gondrongnya.“Kita pasti akan berhasil, tenanglah. Jika memang suku itu ada, kita pasti bisa menaklukkan dan menikahinya, bukan? Dengar-dengar di buku legenda, mereka sangat cantik meski usianya tua. Tenang, mereka hanya sekelompok wanita,” ujar Youvee. Gaya bicaranya yang agak sombong membuat beberapa di antara mereka ingin memuntahkan sarapan yang mereka telan tadi pagi.“Haha! Serakah sekali kau Youvee, bahkan rakyat jelata saja akan berpikir ribuan kali untuk menikahimu.” Ejekan Lutfi berhasil membakar telinga pria berkulit putih itu.“Kau!” Youvee mengepalkan tinju.
“Hei, jangan marah! Aku hanya bercanda,” ujar Lutfi.“Bisakah kalian hentikan omong kosong ini?” Nick bersuara dengan nada dingin.“Tidak ada yang salah, hanya saja kita jangan meremehkan wanita. Wanita tidak selemah yang kita pikirkan!” Sanskar berceramah, pria berdarah India itu memiliki ketakutan sendiri ketika Youvee berbicara enteng mengenai wanita.“Dengar! Misi kita kali ini berat dan berbahaya, sudah sepatutnya kita menjaga bicara dan adab kita. Di sana mungkin ada banyak suku pedalaman, semoga kita tidak menjumpai mereka. Jangan membuat ulah yang bisa mengganggu mereka nantinya.” Semuanya tampak setuju dengan pendapat Nick. Tak terkecuali Mehmet yang sedari tadi hanya diam menyimak tanpa ekspresi, jemarinya sibuk menggilir butir-butir kecil mirip kalung yang dikenal sebagai perantara mengingat Tuhan dalam sebuah kepercayaan.Setelah beberapa saat, Bell 412 yang mereka tumpangi telah sampai di titik yang mereka tuju. Mereka terjun dengan parasut dan bersiap memasuki paru-paru dunia dengan perasaan yang tak menentu. Nick memimpin perjalanan di depan. Sepasang mata cokelatnya yang terang menyapu seluruh tempat. Tidak ada sesuatu yang berarti, mereka terus berjalan melewati pohon-pohon kapuk dan karet serta rerumputan yang tumbuh liar di bawah kaki mereka. Ternyata hutan itu tak seseram yang dibayangkan. Hampir separuh waktu menyusuri wilayah itu, komunitas memutuskan untuk beristirahat sejenak untuk memulihkan tenaga. Mereka menemukan beberapa batuan besar yang melumut, sepertinya itu tempat yang cocok untuk bersandar. Lutfi, Joe, dan Sanskar menyandarkan punggung di badan bebatuan sedangkan Steve dan Gaffin asyik mengamati bunga-bunga anggrek yang dihinggapi kupu-kupu morpho biru. Seolah tersihir, mereka berdua tak sekali pun mengedipkan mata. “It’s so amazing!” uja
Raja siang mulai bertakhta, sibak emasnya menelanjangi bumi yang terbungkus kabut tipis. Semua orang menyudahi petualangan mereka di alam mimpi dan bergegas mencuci muka dengan air mineral yang mereka bawa. Mereka enggan pergi ke sungai. Udara di hutan sangat segar, mereka merasakan bulir-bulir oksigen memenuhi rongga dada, nyanyian burung pengantar pagi pun menggema sehingga secara otomatis menciptakan mood yang bagus. Kecuali Lutfi, anak itu terlihat lesu. Mungkin tidurnya tidak nyenyak karena rintihan Youvee yang tidak mau berhenti di sepanjang malam. Saat ini Youvee tidak serewel itu, tetapi Nick mengkhawatirkannya karena tidak keluar dari tenda. Dengan diliputi rasa penasaran, dia menyibak tenda dan melihat Youvee sedang meringkuk. Wajahnya seperti kehabisan darah. Segera, Nick menempelkan punggung tangannya ke dahi Youvee. Ekspresi datarnya berubah menjadi tegang. “Yodas! Yodas!” Ia berteriak sembari melirik ke luar tenda. “Ada apa?” tanya Y
Jess terduduk di antara deretan pohon yang mengelilingi parit kecil. Mata sayunya tak henti memandangi ikan-ikan kecil yang bebas berenang di bawah pantulan sinar rembulan. Sesekali ia mengelus perut buncitnya yang ada di balik sweater, bayinya senang sekali menendang-nendang. Tak terasa, sebentar lagi buah cinta itu akan melihat luasnya dunia. Hatinya dirundung kesedihan mengingat sosok Nick yang jauh. Seharusnya, di usia kandungan yang menginjak sembilan bulan, Nick selalu berada di sampingnya, memanjakan dan menjaganya seperti pasangan lain yang ia lihat. Namun, dia harus mengubur dalam-dalam keinginan untuk menikmati masa trimester akhir kandungan bersama pria yang dua tahun ini menjadi suaminya, menuruti ambisi yang sangat berbahaya. Jess menyisir gelenyar rindu yang melintas membentuk garis di pipi, entah ke mana ia akan membawa sepucuk rindu yang membuncah. Banyak lembar cerita yang mengisahkan biduk rumah tangga antara mereka dengan berbagai macam konflik dan
Di tepi sungai, Yodas membiarkan gelombang air yang menjadi lintasan makhluk mengerikan itu menerpa tubuhnya. Ia masih tidak percaya dengan apa yang dilihat, Joe mungkin tertidur nyenyak di perut predator dan ia tidak bisa menolongnya. “Dasar makhluk sialan! Jiaaahhaaaahh!” Pemilik kulit eksotis itu meraung sambil menjambak rambut. Yodas mendongak, sekali lagi menatap kepergian Joe. Sesuatu hal yang tidak disangka-sangka terjadi, Yodas terkesiap merasakan percikan air yang mengenai wajahnya hingga ia kesulitan bernapas. Ia mundur beberapa langkah melihat kepala monster yang membawa Joe tiba-tiba menyembul dari dalam sungai. “Apa dia mendengar aku menyalahkannya? Oh, God, tamat riwayatku!” lirih Yodas, matanya terlihat pasrah dan putus asa. “Apa kau juga akan memakanku seperti kau memakan temanku, huh?” Yodas berteriak lantang, seolah itu akan memuaskan hatinya di akhir hidup. Makhluk itu menatapnya dan tanpa basa-basi meleb
Pukul 00.59 dini hari, kabut tebal menerjang pandangan. Udara yang dingin menghasilkan bulir-bulir basah seluruh isi hutan. Tebal jaket tidak melindungi mereka dari suhu yang semakin ekstrem. Di tengah gigil yang mendera, Nick berusaha melawan dingin dan bersikap biasa saja. Sesekali jemarinya mengusap layar yang lembab, sinar matanya menyala, seulas senyum pun melengkung di bibirnya yang eksotis. Semua anggota dapat menebak, apa yang akan dikatakan olehnya karena mereka juga melihat apa yang ada di layar ponsel. Manik mereka jatuh pada objek yang ada di depan, sebuah gua yang ditumbuhi rumput. Kabut putih di hamparan malam yang pekat membuat penampilan gua itu seperti rumah hantu. Dahi Nick mengernyit. Untuk apa Yodas berada di dalam sana? Nick mengajak teman-teman untuk masuk ke sana melalui bahasa mata. Tidak ada yang membantah, mereka semua mengangguk. Sampai di mulut gua, Nick mengisyaratkan mereka untuk berhenti. Seekor piton raksasa melintas, menghalangi
Berhari-hari menempuh perjalanan, komunitas muda itu tak jua menemukan letak sungai yang dimaksud, mereka hanya berputar-putar dan selalu kembali ke tempat semula. Stok makanan sudah habis sedangkan mereka tidak tahu kapan mereka akan keluar. Nick berpikir keras untuk mendapatkan jalan yang benar, kali ini Nick merasa benar-benar dihimpit kebingungan. Sebagai ketua, ia dibebani tanggungjawab yang besar. Lelah, Nick menuruti kemauan anggota untuk sekadar mengatur napas yang tersengal. Menuruni tanah berundak, mereka melepas penat di tanah yang datar. Satu tangkai anggur seketika menyejukkan mata, mereka terlihat seperti kawanan anjing hutan yang kelaparan. “Berikan aku sedikit!” ucap Mehmet pada Sanskar yang berhasil mendapatkan banyak bagian. “Hei, kenapa kau memakannya terus?” Sanskar tak menghiraukan Mehmet, ia terus mengunyah semua anggur hingga tak tersisa. “Kenapa kau menghabiskannya sendiri, Sanskar? Satu biji pun kau
“Aaaa!” Suara teriakan membuat orang tergopoh-gopoh ingin mencari tahu apa yang terjadi. Seorang lelaki masuk dengan sangat terpaksa. Bill, pria itu melihat panik kondisi Jess. Ia mengambil segelas air, gadis itu masih berusaha mengendalikan napasnya yang memburu. Butuh waktu lima menit sebelum air mineral itu berpindah tangan, Jess meneguknya bersama butiran pil berwarna putih yang diambilnya dari sebuah botol transparan. “Terima kasih!” Jess melempar senyum kecil pada Bill, pria itu menaruh gelas yang sudah kosong di atas nakas. “Kau memimpikannya lagi?” tanya Bill sambil merapikan perkakas ranjang yang berhamburan di lantai marmer. “Maaf, kalau aku selalu merepotkanmu!” Jemari Jess menyisir poni yang terlihat memanjang. “Bukankah aku dibayar untuk itu?” Bill berujar tanpa melihat wajah Jess, mata elangnya masih melekat di lantai. Jess menarik satu sudut bibirnya kemudian mencebik ketika tangis bayi mengisi kamarnya. Mala
Di sisi sungai, Nick membasuh wajahnya. Ia melihat pantulan wajahnya di air keruh yang sudah koyak, ia melihat kegagalan dan masa depannya yang buruk. Tiga puluh hari, Nick mengembara bersama Mehmet, mencari jalan juga teman-temannya. Seringkali ia mengingat Jess juga buah hati mereka. Penampilannya kini nyaris tak dikenali. Ia dan Mehmet bertahan hidup dengan memakan buah-buahan yang tumbuh di hutan, tiga puluh hari bukan sesuatu yang mudah. Berbagai macam kesulitan datang bertubi-tubi, dan hal itulah yang membuat mereka terlihat lebih kuat. “Nick!” Suara Mehmet membuyarkan lamunannya, ia berjalan mendekati Mehmet. “Kau mendapatkannya?” Nick melihat sesuatu di tangan Mehmet. “Yeah, ini yang ke lima puluh kali setelah aku mendapatkan piranha lebih dari dua puluh kali.” Mehmet mengangkat kayu yang berhasil menusuk buruannya. “Baguslah, setidaknya kau mendapatkan ikan gabus walau cuma satu!” “Ya, setidaknya ini bisa menjadi t
“Callin?” Dev tersenyum miring mendengar suara gelisah Ezhar.“Kau menyentuh bonekaku?”“Tenanglah, aku hanya sebentar saja memainkannya!” Ezhar menjawab.“Tinggalkan kami, Ezhar! Aku ingin memainkannya sendiri.” Setelah berkata demikian, Ezhar mulai menghitung langkah dengan sorot mata penuh pertanyaan.Beberapa saat setelah kepergian Ezhar, Callin memulai aksinya. Ruangan 3x4 meter itu penuh dengan raungannya. Tidak ada apa pun yang bisa menjadi tempat pelampiasannya kecuali Dev. Callin menjadikan adiknya seperti mainan yang tidak diinginkan. Sesekali, tinju-tinjunya dilayangkan pada wajahnya sendiri. Hal itu membuat kepala Dev dipenuhi tanda tanya.“Apakah dia sedang mengingat penderitaannya?” gumam Dev.“Cih, untuk apa aku peduli soal dia!” Dev menggeliatkan sedikit badannya yang dipenuhi darah. Walaupun sedikit, pergerakannya membuat besi rantai yang membelenggu tangannya bergemerincing. Callin yang tengah berusaha untuk tenang seketika menoleh. Membalik badan dan menusuk Dev den
Boom!Dentuman menggelegar meriuhkan jagat. Angin berdebu mengaburkan penglihatan dalam sejenak. Dalam satu pukulan itu, Callin berhasil membuat seluruh tempat menjadi porak-poranda."Dev!" Michele kembali berteriak saat dia melihat Dev bertelengkup dan mengangkat kepala dengan lemah."Jika kau ingin selamat, diam dan pergilah!" Callin berkata dingin kepada Michele. Dia kemudian menyeru semua anggota yang tersisa dan mengisyaratkan Ezhar untuk pergi."Dev!" Teriakan Michele terdengar pilu. Dia harus menyaksikan Callin menyeret Dev seperti menyeret babi hutan.Di sebuah tempat tersembunyi di São Paulo, Dev diasingkan. Rumah kayu yang tak bersekat di sana akan menjadi tempat baru yang sangat mengerikan untuk Dev. Bayangan Callin akan mengulitinya hidup-hidup terus berputar di kepala dan mungkin itu akan terwujud saat Callin muncul dengan tombak bermata tiga di tangannya."Apa kau merasa lelah dengan perjalanan kita sampai kau harus tidak sadarkan diri dalam waktu selama itu?" Callin ber
"Dasar anak bodoh!" Elios membuka mata dan melihat Dev sudah ada di depannya."Kau? Apa kau berubah pikiran?" Elios menebak. Dev mendecak. Tidak bisa memahami jalan pikiran pemuda latin itu."Ikut aku!""Tidak! Aku harus mencari Devada.""Lupakan dia!""Hei, apa kau sudah gila?" Elios mendecih. Terlihat sangat tidak suka dengan perkataan Dev."Ikut aku jika kau ingin selamat." Elios memberi tanda penolakan dengan menggeleng."Kau bukan Tuhan yang menjamin keselamatanku. Bagaimana mungkin aku mengikuti orang yang tidak kukenal sementara gadis yang aku cintai sedang dalam bahaya?" Dada Dev kembang kempis. Ingin memukul Elios, tetapi pemuda itu tidak sepenuhnya salah."Kau terlalu banyak membual, Elios!" Dev berkata dingin."Membual? Apa kau tidak pernah mencintai seseorang sehingga kau bertindak seperti orang yang tidak punya hati?""Hei ... dia sudah mati!" Seketika, bentakan Dev membuat tangan Elios melayang keras ke pipi Dev."Dev! Sudah!" Michele menahan tangan Dev yang sudah terkep
"Devada? Di mana Devada?" Seorang pemuda terbangun cemas setelah pingsan dari perjalanan menuju tempat tersembunyi."Diamlah, Elios!" Dev menghentikan aktivitas tangannya. Elios terhenyak, tetapi bukan karena suara dingin Dev melainkan laki-laki yang tergeletak tak berdaya di depan Dev."Siapa kau? Apa yang kau lakukan pada orang itu?" Elios tersudut pada dipan yang menjadi dinding rumah yang mereka singgahi.Dev memutar badannya, lalu menumpahi Elios dengan tatapan kesal. Selanjutnya sebuah tanggapan dia haturkan, "Seharusnya aku meninggalkanmu saja di tempat terkutuk itu!"Dev mengangkat beban tubuhnya meninggalkan Elios yang belum pulih dari rasa syok. Hanya sebentar saja mengambil secawan air putih dia ambil dari mata air di area yang tidak jauh, lalu kembali lagi ke ruangan di mana Elios berada."Minumlah!" Dev mengulurkan gelas bambu pada Elios."Terima kasih!" balas Elios, keruh di wajahnya sudah hilang."Katakan kalau kau merasa lebih baik." Dev membalas."Maaf, aku sudah sala
"Apa hasilnya?" Dev menatap punggung seorang dokter yang baru saja memeriksa keadaannya. Dia beringsut dari brankar, lalu duduk."Tunggulah! Kau pasti akan mengetahuinya. Sekarang, kau hanya perlu pulang dan istirahat." Dokter perempuan itu berkata sambil berkutat dengan pekerjaannya."Aku tidak memiliki banyak waktu, Dokter!""Sepertinya kau tidak kalah sibuk dengan Jair Bolsonaro yang seorang pria nomor satu di Brazil." Dokter itu kemudian terbahak. Namun, keadaan menjadi hening ketika Dev menghentakkan telapak tangannya di meja."Ternyata kau sama keras kepalanya dengan ayahmu!""Jika aku menjadi pemilik rumah sakit ini, aku tidak akan membiarkan orang sepertimu menjadi tenaga kerja." Ucapan Dev membuat dokter itu mengunci tatapannya dalam sekejap."Apa kau benar-benar siap untuk mengetahui kenyataan yang sebenarnya, Dev Sasaka Erhan?" Mata tajam Dev seketika jatuh pada perempuan berseragam di seberangnya. Tidak disangka, dokter itu sudah terlebih dahulu menusuknya.Ketegangan meng
"Siapa kau?" Perempuan telanjang itu bergeming dan terus mendekati Dev dengan membawa ular di tubuhnya. Dev mengelak saat perempuan aneh itu mengendusnya."Menyingkir dariku, Jalang!" Dev terlihat marah. Akan tetapi, lawan bicaranya hanya tersenyum, memamerkan gigi taring. Saat melihat itu, seketika Dev mengerti bahwa dia sedang berhadapan dengan iblis. "Apakah kau yang mereka panggil dengan sebutan dewi?" Dev mengejek."Jika kau makin banyak bicara maka aku akan makin tertarik. Mulutmu sangat wangi dengan bau Asmodeus. Kau sudah memakan jatahku malam ini dan kau harus menggantinya." Perempuan itu berkata sambil mengendus leher Dev. Jilatan lidahnya membuat Dev merasa sedikit terlena."Apa maksudmu?" tanya Dev."Raja Asmodeus, kau adalah raja kegelapan. Setiap tatapanmu adalah mutiara. Engkau Bapak penguasa singgasana neraka. Birahi dan napsu tunduk di bawah kakimu. Aku datang sebagai kekasihmu, naungi aku dengan geloramu. Berkati aku dengan keringatmu. Aku mempersembahkan seluruh ke
Dev masih menunggu orang-orang itu melepas topeng. Dengan sabar, dia menyimak obrolan yang mungkin akan memberinya petunjuk. Seseorang datang menduduki kursi agung. Sepertinya ia adalah pemimpin kelompok. Ia berkata, "Apa kalian sudah menjalankan tugas dengan baik?" Dari suaranya Dev tahu bahwa orang itu adalah perempuan."Tentu. Semua berjalan seperti yang kau inginkan. Jess sudah mati setelah melewati penderitaan yang pantas." Seorang laki-laki menjawab. Dev merasa tidak asing dengan suara tersebut."Bagus. Semua berkat Dewi Lilith. Haimm untuknya." Wanita itu menyeru."Wanita cantik, Lilith! Kau adalah angin malam. Ketika rambut panjangmu mengalir tanpa suara, tatapanmu menusuk hati para pria. Dalam kegelapan bayanganmu tumbuh. Dark Moon Lilith, ular yang menyiksa. Aku mengagumimu tanpa rasa takut. Dewi, kau penting dan kaulah yang aku hormati. Ibu Lilith yang selamat dari sisa-sisa waktu, roh dari semua yang liar. Perwujudanmu kematian Ilahi. Aku datang sebagai anakmu. Lindungi aku
"Kau pikir aku tertarik dengan dunia sihir?" Elfara memandang gusar pada Dev."Aku tidak bertanya seperti itu, kan? Aku menemukannya di kamarmu.""Terserah kau, aku tidak peduli." Elfara berkata dingin dan Dev memilih diam. Tidak ingin memperburuk suasana hati Elfara.Sesampainya di rumah, keduanya saling diam hingga malam menjelang. Keanehan pun kembali terjadi. Dev di dalam kamarnya beberapa kali mendengar eraman naga, tetapi tidak bisa melihat wujudnya.Dalam keresahan, Dev menutup kedua lubang telinganya. Entah mengapa, tiba-tiba rasa panas mulai mengalir ke seluruh tubuhnya. Keringat mulai lolos dari pori-pori. Tetiba, Dev sangat membenci audio yang Mehmet setting putar otomatis setiap pagi, siang, dan malam. "Argh!" Dev mulai menggelinjang dan mulai merasakan listrik bertegangan rendah menyengat kakinya."Asmodeus!" gumamnya. Dia melihat makhluk berkepala tiga pada pantulan lemari kaca dengan wajah yang sangat murka."Mehmet é um inimigo em um cobertor! Você tem que matá-lo!" A
"Elfara!" Dev tergopoh-gopoh ke kamar rawat kakaknya. Gadis itu tampak sangat ketakutan."Apa ada yang menyakitimu?" Dev berusaha menenangkan Elfara."Nania! Nania menerorku!" Elfara menjawab setelah beberapa lama terpaku sejak kedatangan Dev. Genggaman Dev terlepas dari bahu kakaknya."Tenanglah! Aku akan memastikan dia tidak akan mengganggumu lagi." Sekeluarnya Dev dari kamar rawat Elfara, dia memutuskan keluar dari gedung rumah sakit."Cari tahu kebenarannya terlebih dahulu sebelum kau melakukan sesuatu." Langkah Dev terhenti di halaman depan rumah sakit."Kau mendengar semuanya. Apa kau tidak percaya pada Elfara?" Dev bertanya dengan tatapan lurus ke depan."Orang cerdas akan bersikap bijak, bukan?""Ya, aku mengamati Nania sejak lama. Aku harap kau tidak keberatan, Paman Mehmet!""Tentu. Aku selalu berpihak pada kebenaran."Dev menyiram tubuhnya yang lengket di bawah shower. Sejak dikejutkan oleh perubahan bentuk fisiknya, dia belum merasakan segarnya sentuhan air. Di bawah guyur