Di tepi sungai, Yodas membiarkan gelombang air yang menjadi lintasan makhluk mengerikan itu menerpa tubuhnya. Ia masih tidak percaya dengan apa yang dilihat, Joe mungkin tertidur nyenyak di perut predator dan ia tidak bisa menolongnya.
“Dasar makhluk sialan! Jiaaahhaaaahh!” Pemilik kulit eksotis itu meraung sambil menjambak rambut.Yodas mendongak, sekali lagi menatap kepergian Joe. Sesuatu hal yang tidak disangka-sangka terjadi, Yodas terkesiap merasakan percikan air yang mengenai wajahnya hingga ia kesulitan bernapas. Ia mundur beberapa langkah melihat kepala monster yang membawa Joe tiba-tiba menyembul dari dalam sungai.“Apa dia mendengar aku menyalahkannya? Oh, God, tamat riwayatku!” lirih Yodas, matanya terlihat pasrah dan putus asa.“Apa kau juga akan memakanku seperti kau memakan temanku, huh?” Yodas berteriak lantang, seolah itu akan memuaskan hatinya di akhir hidup.Makhluk itu menatapnya dan tanpa basa-basi melebarkan mulut yang bisa mengantarkan sebuah nyawa ke alam lain. Yodas berteriak dengan mata terpejam, ia merasakan tubuhnya seperti dihantam benda besar yang disertai cairan hangat berbau amis bercampur busuk. Tubuhnya terjungkal menyapu kerikil-kerikil. Beberapa saat ia menyiapkan diri, tidak ada tanda-tanda ia telah memasuki gerbang kematian. Yodas sedikit melebarkan sebelah mata, hanya ada arus sungai yang sedikit deras, mengapung di lensa matanya yang mengabur. Ia menyingkirkan cairan menjijikan itu menggunakan sepuluh jari sebelum benar-benar melebarkan mata dengan sempurna. Ia terkesiap dan segera bersimpuh.“Joe! Joe!” Gemetar tangan Yodas mengguncang-guncang tubuh lelaki paling konyol di komunitas, tetapi Joe tidak merespon, matanya terus terkatup. “Joe!” Raungan memilukan akhirnya meledak di tengah himpitan cemas, mengetahui denyut nadi Joe tidak lagi ada.Beberapa sayatan luka kecil yang terlukis di wajah dan tangan serta kaki temannya mengguncang nurani. Namun, sepertinya bukan itu yang merenggut nyawa Joe, belakangan pria beristri dua itu diketahui memiliki gangguan jantung. Akan tetapi, mengingat seseorang beberapa waktu berada dalam tubuh hewan buas, Yodas hanya bisa menjerit. Apa pun alasannya, nyawa Joe tetap tidak akan kembali.Lelah menangis, Yodas bangkit. Ia berencana untuk memberitahu Nick dan yang lain tentang kematian Joe. Lelaki asal Arab itu mengamankan jasad Joe di bawah pohon jati dan menyelimutinya dengan teratai besar yang tumbuh liar di sisi sungai. Kepanikan membuat langkah Yodas terseok dan tidak bisa menentukan arah yang benar. Tersesat di tempat seperti itu membuat hampir seluruh wajahnya diselimuti keputusasaan.Sekarang ia terjebak di sebuah gua yang menyeramkan. Bersandar di mulut gua dengan tekanan napas yang memburu, kakinya yang sakit tidak bisa diajak untuk melakukan perjalanan. Sepasang netranya berkeliaran, ada banyak kelelawar besar yang merias langit-langit gua. Kemudian, tak sengaja matanya menangkap seonggok mayat yang tergeletak di sisi dinding dengan kondisi tanpa busana. Rasa penasaran menuntunnya untuk masuk ke sana. Mayat dengan posisi badan telungkup, dan tato ular yang tercetak di punggung, Yodas seperti mengenalinya. Gusar, Yodas membalik badan mayat. Pemuda berusia dua puluh tiga tahun itu terpental satu langkah, wajahnya mendadak pias dengan buliran keringat sebesar jagung yang saling berjatuhan.“Gaffin … Gaffin!” Yodas terisak lirih, orang yang tengah dicari saat ini ternyata sudah menjadi mayat.Apa gerangan yang menimpa seorang Gaffin yang pemberani? Benda pusaka yang selalu dibanggakan hanya tersisa kantung tempat penyimpanan bibit-bibit unggul, bahkan tubuh itu sedikit bengkak dan membiru. Kebingungan kini bertumpuk, menekuk paras gagahnya, begitu menyadari betapa bahayanya tempat itu. Ia segera berlari, tetapi kakinya yang sangat lelah tidak sanggup untuk melakukannya, terpaksa diseret bobotnya yang mencapai enam puluh kilo menggunakan kedua tangannya.Ketika hampir sampai ke mulut gua, sesuatu telah menarik baju belakangnya ke atas. Sesuatu yang tidak diketahui sedikit menyentuh kulit punggung. Yodas merasakan sensasi gatal bercampur sedikit sakit dan geli, mirip pijatan kaki kucing. Ia mengalihkan pandangan demi menjawab sesuatu yang mengusik perasaan. Nyalinya seketika menghilang, bibir keringnya terkatup rapat, mengunci semua kata-kata yang berkeliaran di pikiran. Lelaki berbulu itu tidak pernah berpikir akan melihat seekor tarantula sebesar bola basket.Selama ini ia hanya melihat yang seperti itu di drama fantasi yang kerap dilihatnya di bioskop. Bagai tersedot mesin waktu, ia merasa seperti berada di dimensi lain. Sayangnya, ia menjadi seorang pejuang yang mungkin tidak beruntung. Bagaimana caranya ia melepaskan diri dari cengkeraman tarantula tanpa tenaga dan senjata?
Ingin menangis, tetapi air mata seolah kering. Ia hanya bisa menjerit, membiarkan hewan kehitaman itu membawanya masuk ke sudut gua yang lembab dan membungkusnya dengan jaring-jaring putih yang meremukkan tulang. Seperginya tarantula, Yodas berusaha merobek jaring-jaring yang menutupi wajah. Denyut jantung perlahan melemah, beruntung ia meletakkan kedua tangannya di dada dengan posisi telapak tangan berada di luar.Ketika ia berhasil merobek dengan susah payah dan segenap tenaga yang tersisa, rasa lega didapat karena oksigen langsung mengaliri paru-paru setelah beberapa lama tidak mendapatkannya. Mata lelahnya mengedar, keadaan gua yang gelap membuat dia tidak mengetahui antara siang dan malam. Namun, dari pergerakan yang ada, Yodas tahu bahwa dirinya tidak sendirian. Desisan ular dan bunyi kodok mengalir di telinga. Ia memperkirakan, ada banyak binatang lain yang tak bisa dilihat sedang menemani kesendiriannya.
***
Di tempat lain, Nick memutuskan untuk kembali ke tempat di mana menjadi titik mereka berkumpul setelah berjalan jauh dan tidak mendapatkan titik temu. Dia memanggil semua rombongan menggunakan sinyal darurat di ponsel canggih. Dalam waktu satu hari rombongan berhasil berkumpul, kecuali Yodas, Joe, dan Gaffin yang selama ini menjadi target utama pencarian.“Jadi tidak ada yang berhasil menemukan Gaffin?” tanya Nick di sela hening yang berkabut beberapa detik.“Ke mana Yodas dan Joe?” Nick memerhatikan semua orang dengan serius. Mereka saling melempar pandangan.“Bagaimana kami akan tahu, sedangkan kita berjalan di arah yang berbeda.” Lutfi merespon.“Lacak keberadaan mereka!” Steve segera mengangguk setelah Nick melempar pandangan padanya.Lihai, jemari Steve mengotak-atik sebuah aplikasi pelacak. Steve menunjukkan dua titik berbeda antara Yodas dan Joe.“Mengapa mereka berpencar?” Mehmet menunjukkan lipatan di kening.“Mungkinkah mereka tersesat?” tanya Youvee.“Bisa jadi!” Sanskar bersuara.“Jika dilihat dari sini, posisi mereka tidak berjauhan. Kita bisa menemukan mereka bersamaan,” papar Nick, bola matanya masih melekat pada layar ponsel milik Steve.“Tapi kenapa mereka berhenti?” Pertanyaan Steve membuat kepala mereka berpikir untuk sesaat.“Kita akan tahu jawabannya nanti. Sekarang kita harus cepat-cepat ke sana. Ingat, apa pun yang terjadi, jangan ada yang berani memisahkan diri,” ujar Nick, ia mengambil langkah setelah menyerahkan benda persegi kepunyaan Steve.Perjalanan mereka kali ini cukup jauh, perkiraan Nick, mereka akan sampai ke tempat di mana mereka berada pada pertengahan malam atau menjelang subuh. Mereka harus mawas diri dengan lingkungan sekitar, bukan tidak mungkin mereka akan bertemu predator. Mata mereka dituntut untuk siaga apalagi di saat-saat sang raja siang pelan-pelan menarik jubah emasnya. Mereka menyusur di bawah sorot jingga galaksi, sekelompok nyamuk mulai menghisap darah dengan brutal. Komunitas itu segera melindungi tubuh mereka dengan lotion anti nyamuk dan mantel tebal.Hari semakin pekat, cicitan burung malam dan kelelawar mulai meramaikan jagat hijau tersebut. Beberapa kali terdengar auman anjing hutan juga kucing yang mendadak lewat dengan sorot mata menyala. Jika didengar baik-baik, sepasang telinga mereka juga disinggahi suara binatang yang masih asing untuk mereka dengar. Bergegas, mereka menyalakan senter di kepala. Mereka tak menemukan binatang apa pun kecuali binatang-binatang kecil yang tidak berbahaya seperti kaki seribu dan kodok.Waktu menunjuk ke jam sepuluh, tiba-tiba Youvee meringis. Nick yang menyadari langsung menghentikan langkah. Dia tertegun melihat hamparan dada Youvee yang baru saja ditelanjanginya. Bekas sengatan semut yang semula berbentuk bulat kemerahan telah berubah menjadi luka yang mengerikan. Bulatan merah itu melebar membentuk lepuhan berisi nanah dan air. Kulit Youvee yang putih dan mulus tanpa bulu memperjelas kolam-kolam koreng yang ada.“Ahh … Aaa!” Youvee memekik, tidak bisa lagi menahan sensasi yang dirasakan. Ia menggaruk dadanya hingga basah dengan darah.“Hei, apa yang kau lakukan Youvee?” Sanskar menghujani tatapan kesal.“Hentikan Youvee, kau terluka!” perintah Nick.“Ayo, kemari!” Mehmet menuntun Youvee ke tempat yang tidak ditumbuhi semak-semak.Youvee menyandarkan punggung di batang pohon. Nick duduk menghadap Youvee, dengan gesit tangannya membuka kotak obat yang ada di ransel. Ia mengeluarkan kapas dan cairan alkohol. Dibantu oleh Mehmet, kini tubuh Youvee telah bersih dari darah. Mereka menulikan telinga dari lengkingan yang diciptakan mulut Youvee. Setelah bersih, mereka mengoleskan salep ke koreng yang mengerikan itu.“Ini rasanya perih, tapi aku sudah lebih baik. Terima kasih,” ucap Youvee.“Perih karena kau menggaruknya sampai berdarah. Jika kau mau lebih bersabar sedikit, kau tak perlu merasakan itu.” Steve menyahut.“Apa kau tidak apa-apa?” tanya Nick.“Aku tidak apa-apa, salep ini rasanya dingin.” Youvee menjawab dengan mata terpejam.“Apa kau siap untuk melanjutkan perjalanan?” Nick memastikan kondisi Youvee, pria di hadapannya mengangguk sambil mengenakan pakaian kembali.Sesaat kemudian, mereka meninggalkan tempat itu dan berjalan teratur mengikuti petunjuk yang ada di ponsel. Beberapa jam lagi mereka akan sampai di tempat keberadaan Yodas. Ternyata jalan menuju mereka semakin susah, medan yang mereka injak benar-benar memeras keringat. Mereka harus menggunakan kedua tangan untuk menyibak tumbuhan ilalang yang rapat lagi menjulang, selain itu mereka harus memanjangkan celana demi menghindari duri dari rumput putri malu dan rumput-rumput tajam lain yang tak terlihat.“Whoa!” Jeritan Sanskar seketika mengalihkan pandangan.“Kenapa?” Nick menunjukkan gurat keheranannya.“U—u ….”“Ulat? Ular? Unggas? Upil?” tanya Lutfi, seperti tidak tertarik pada kehebohan yang dibuat oleh pemuda kelahiran India itu.“Nge—nge ….”“Ngechat mantan tapi diread sajakah?” Lutfi bertanya asal-asalan. Sanskar melebarkan mulut, sesuatu yang ingin dikatakan hanya tersangkut di kerongkongan.“Whoaaa! I—itu ….”Sebelum Sanskar dapat meneruskan kata-katanya dengan benar, Nick menatapnya dengan tatapan yang entah, kemudian tiba-tiba tangannya berayun ke arah belakang ketiak Sanskar, udara berembus dari rongga hidung lelaki bergigi gingsul itu. Seekor serangga berbulu putih, dengan deretan bulu yang memanjang sebagai antena telah berpindah ke tangan Nick. Lutfi mengamati serangga bersayap itu sekilas, kemudian ia mencebik kesal.“Astaga, hanya seekor ngengat. Kau sangat berlebihan, Sanskar,” protesnya. “Serangga ini sangat lucu, aku baru melihat ngengat yang seperti itu!” ujar Mehmet.“Dan Sanskar takut dengannya, keh … keh!” Steve tertawa mengejek.“Ini ngengat pudel!” Nick bersuara, kemudian membiarkan serangga itu terbang.“Ada apa?” Nick mengarahkan bola matanya pada Youvee, ia mengendus bau-bau kecemasan di hamparan wajah pemuda berambut emas itu.“Tidak ada apa-apa, aku hanya merasa seperti ada yang mengawasi kita.” Youvee berkata sambil menetralkan ketegangan yang mengaliri wajahnya. Nick dan semua orang melihat sekeliling, kemudian bergegas melanjutkan perjalanan.Pukul 00.59 dini hari, kabut tebal menerjang pandangan. Udara yang dingin menghasilkan bulir-bulir basah seluruh isi hutan. Tebal jaket tidak melindungi mereka dari suhu yang semakin ekstrem. Di tengah gigil yang mendera, Nick berusaha melawan dingin dan bersikap biasa saja. Sesekali jemarinya mengusap layar yang lembab, sinar matanya menyala, seulas senyum pun melengkung di bibirnya yang eksotis. Semua anggota dapat menebak, apa yang akan dikatakan olehnya karena mereka juga melihat apa yang ada di layar ponsel. Manik mereka jatuh pada objek yang ada di depan, sebuah gua yang ditumbuhi rumput. Kabut putih di hamparan malam yang pekat membuat penampilan gua itu seperti rumah hantu. Dahi Nick mengernyit. Untuk apa Yodas berada di dalam sana? Nick mengajak teman-teman untuk masuk ke sana melalui bahasa mata. Tidak ada yang membantah, mereka semua mengangguk. Sampai di mulut gua, Nick mengisyaratkan mereka untuk berhenti. Seekor piton raksasa melintas, menghalangi
Berhari-hari menempuh perjalanan, komunitas muda itu tak jua menemukan letak sungai yang dimaksud, mereka hanya berputar-putar dan selalu kembali ke tempat semula. Stok makanan sudah habis sedangkan mereka tidak tahu kapan mereka akan keluar. Nick berpikir keras untuk mendapatkan jalan yang benar, kali ini Nick merasa benar-benar dihimpit kebingungan. Sebagai ketua, ia dibebani tanggungjawab yang besar. Lelah, Nick menuruti kemauan anggota untuk sekadar mengatur napas yang tersengal. Menuruni tanah berundak, mereka melepas penat di tanah yang datar. Satu tangkai anggur seketika menyejukkan mata, mereka terlihat seperti kawanan anjing hutan yang kelaparan. “Berikan aku sedikit!” ucap Mehmet pada Sanskar yang berhasil mendapatkan banyak bagian. “Hei, kenapa kau memakannya terus?” Sanskar tak menghiraukan Mehmet, ia terus mengunyah semua anggur hingga tak tersisa. “Kenapa kau menghabiskannya sendiri, Sanskar? Satu biji pun kau
“Aaaa!” Suara teriakan membuat orang tergopoh-gopoh ingin mencari tahu apa yang terjadi. Seorang lelaki masuk dengan sangat terpaksa. Bill, pria itu melihat panik kondisi Jess. Ia mengambil segelas air, gadis itu masih berusaha mengendalikan napasnya yang memburu. Butuh waktu lima menit sebelum air mineral itu berpindah tangan, Jess meneguknya bersama butiran pil berwarna putih yang diambilnya dari sebuah botol transparan. “Terima kasih!” Jess melempar senyum kecil pada Bill, pria itu menaruh gelas yang sudah kosong di atas nakas. “Kau memimpikannya lagi?” tanya Bill sambil merapikan perkakas ranjang yang berhamburan di lantai marmer. “Maaf, kalau aku selalu merepotkanmu!” Jemari Jess menyisir poni yang terlihat memanjang. “Bukankah aku dibayar untuk itu?” Bill berujar tanpa melihat wajah Jess, mata elangnya masih melekat di lantai. Jess menarik satu sudut bibirnya kemudian mencebik ketika tangis bayi mengisi kamarnya. Mala
Di sisi sungai, Nick membasuh wajahnya. Ia melihat pantulan wajahnya di air keruh yang sudah koyak, ia melihat kegagalan dan masa depannya yang buruk. Tiga puluh hari, Nick mengembara bersama Mehmet, mencari jalan juga teman-temannya. Seringkali ia mengingat Jess juga buah hati mereka. Penampilannya kini nyaris tak dikenali. Ia dan Mehmet bertahan hidup dengan memakan buah-buahan yang tumbuh di hutan, tiga puluh hari bukan sesuatu yang mudah. Berbagai macam kesulitan datang bertubi-tubi, dan hal itulah yang membuat mereka terlihat lebih kuat. “Nick!” Suara Mehmet membuyarkan lamunannya, ia berjalan mendekati Mehmet. “Kau mendapatkannya?” Nick melihat sesuatu di tangan Mehmet. “Yeah, ini yang ke lima puluh kali setelah aku mendapatkan piranha lebih dari dua puluh kali.” Mehmet mengangkat kayu yang berhasil menusuk buruannya. “Baguslah, setidaknya kau mendapatkan ikan gabus walau cuma satu!” “Ya, setidaknya ini bisa menjadi t
Aroma lili menyeruak ke sudut-sudut ruang. Jess mematut dirinya di cermin hias, gaun hitam sepanjang lutut melekat apik di tubuhnya. Gaun ketat tanpa lengan dengan kualitas super itu melekat sesuai pahatan tubuhnya yang indah tanpa memberi efek panas dan alergi. Jess terlihat sempurna dengan sapuan lipstik glossy berwarna karamel. Rambut ikalnya digelung, memamerkan leher jenjang berhiaskan berlian kecil yang cantik. Tanpa penebal alis dan maskara, warna alis dan bulu matanya tampak tegas dan menyala. Jess berputar, memindai pantulan dirinya di cermin, raut wajahnya berubah redup. Ia mengelus bagian tangannya yang berotot. Sebelum melahirkan, bahkan urat halus pun tak terlihat. Beruntung, badannya yang sempat kurus kini mulai berisi sehingga ia tak perlu malu mengenakan pakaian-pakaian seksinya kembali. Jess menyambar kunci mobil setelah selesai mengenakan sepatu hak tinggi berwarna serupa dengan pakaiannya. Tak lupa, kacamata hitam bertengger di pangkal hidungnya yang t
Nick dengan kesendiriannya melawan rasa putus asa yang semakin kronis. Dia berjalan terseok-seok karena kehabisan tenaga. Sengatan matahari membuatnya sedikit terhuyung. Ia sangat haus dan kelaparan. Sepanjang perjalanan ia tak menjumpai makanan, hutan tropis itu seakan kering. Nick terjatuh dan kesadarannya menghilang, jiwanya terbang ke sebuah sungai. Seorang perempuan cantik bermata biru mengajaknya bermain air. Gadis itu menarik Nick ke dalam air dan pada saat ia akan tenggelam, kelopak matanya terbuka diiringi deru napas yang tak beraturan.Nick mengangkat beban tubuhnya, mimpi buruk yang baru terjadi menyuntikkan tenaga baru ditubuhnya. Ia berjalan menaiki bukit, ada gumpalan asap yang menarik perhatiannya. Susah payah melewati medan ekstrem, akhirnya ia menemukan sumber asap yang dilihatnya. Nick berjalan menembus kepulan yang membuat perih kedua aksanya, bahkan pemuda itu sama sekali tak ingat dengan peringatan pemimpin suku waktu itu.Nick terus be
Jess duduk di balkon, menyesap gulungan putih yang mengandung tar dan nikotin. Sebuah potret dilihatnya berkali-kali dengan gelisah. Elfara kecil tiba-tiba berlari ke arahnya, gadis itu tersenyum membawa sebuah lukisan di hvs. Jess menaruh foto Nick di sisi kopi panasnya. Sejak Nick pergi, kopilah yang menemani hari-harinya, tidak ada lagi cokelat panas yang menenangkan pikirannya. “Mommy!” Jess melihat kertas yang diberikan Elfara, anak itu menggambar dirinya yang diapit oleh Jess dan Nick dengan sematan sebuah kalimat “perfect family”. Jess tersenyum miris, lima tahun tumbuh menjadi gadis cantik, anak itu menginginkan hal yang sama, sosok ayah dan tentu saja kasih sayang darinya. Jess mengulurkan kembali lukisan itu tetapi ketika belum sempat diraih, kertas itu terbawa angin. Elfara berusaha meraihnya lalu tak sengaja menyenggol kopi ibunya yang masih mengepul. Pecahan gelas terdengar, cairan hitam mengenai kulitnya yang lembut. Ia segera menunduk mendapati
Bayu bertiup menyingsing dedaunan, menjalanankan tugas di alam semesta. Mehmet menyembulkan sedikit kepala dari lubang kecil yang tertutup balok, memindai keadaan sekeliling. Setelah memastikan keadaan aman, Mehmet keluar dari terowongan kecil bawah tanah. Ia berjalan ke arah sungai dengan menggenggam sebuah kapak yang terbuat dari batu yang diruncingkan dan bambu yang ujungnya juga diruncingkan.Mehmet memusatkan bola mata ke target incarannya dan dengan gerakan cepat, ia menangkap dua ekor ikan dalam waktu yang singkat. Ia membakar hasil buruannya menggunakan api yang ia hasilkan dari tenaga surya. Hidup di hutan selama beberapa tahun mengajarkannya banyak hal, terutama dalam perihal pertahanan diri.Mehmet melahap buruan tak seberapanya seraya menajamkan indera pendengaran. Pengalaman hidup menuntunnya untuk selalu mawas diri. Suara gemericik air yang tersamar di balik desau angin mengalir ke lubang telinganya. Suaranya yang sedikit berbeda dengan suara arus pad
“Callin?” Dev tersenyum miring mendengar suara gelisah Ezhar.“Kau menyentuh bonekaku?”“Tenanglah, aku hanya sebentar saja memainkannya!” Ezhar menjawab.“Tinggalkan kami, Ezhar! Aku ingin memainkannya sendiri.” Setelah berkata demikian, Ezhar mulai menghitung langkah dengan sorot mata penuh pertanyaan.Beberapa saat setelah kepergian Ezhar, Callin memulai aksinya. Ruangan 3x4 meter itu penuh dengan raungannya. Tidak ada apa pun yang bisa menjadi tempat pelampiasannya kecuali Dev. Callin menjadikan adiknya seperti mainan yang tidak diinginkan. Sesekali, tinju-tinjunya dilayangkan pada wajahnya sendiri. Hal itu membuat kepala Dev dipenuhi tanda tanya.“Apakah dia sedang mengingat penderitaannya?” gumam Dev.“Cih, untuk apa aku peduli soal dia!” Dev menggeliatkan sedikit badannya yang dipenuhi darah. Walaupun sedikit, pergerakannya membuat besi rantai yang membelenggu tangannya bergemerincing. Callin yang tengah berusaha untuk tenang seketika menoleh. Membalik badan dan menusuk Dev den
Boom!Dentuman menggelegar meriuhkan jagat. Angin berdebu mengaburkan penglihatan dalam sejenak. Dalam satu pukulan itu, Callin berhasil membuat seluruh tempat menjadi porak-poranda."Dev!" Michele kembali berteriak saat dia melihat Dev bertelengkup dan mengangkat kepala dengan lemah."Jika kau ingin selamat, diam dan pergilah!" Callin berkata dingin kepada Michele. Dia kemudian menyeru semua anggota yang tersisa dan mengisyaratkan Ezhar untuk pergi."Dev!" Teriakan Michele terdengar pilu. Dia harus menyaksikan Callin menyeret Dev seperti menyeret babi hutan.Di sebuah tempat tersembunyi di São Paulo, Dev diasingkan. Rumah kayu yang tak bersekat di sana akan menjadi tempat baru yang sangat mengerikan untuk Dev. Bayangan Callin akan mengulitinya hidup-hidup terus berputar di kepala dan mungkin itu akan terwujud saat Callin muncul dengan tombak bermata tiga di tangannya."Apa kau merasa lelah dengan perjalanan kita sampai kau harus tidak sadarkan diri dalam waktu selama itu?" Callin ber
"Dasar anak bodoh!" Elios membuka mata dan melihat Dev sudah ada di depannya."Kau? Apa kau berubah pikiran?" Elios menebak. Dev mendecak. Tidak bisa memahami jalan pikiran pemuda latin itu."Ikut aku!""Tidak! Aku harus mencari Devada.""Lupakan dia!""Hei, apa kau sudah gila?" Elios mendecih. Terlihat sangat tidak suka dengan perkataan Dev."Ikut aku jika kau ingin selamat." Elios memberi tanda penolakan dengan menggeleng."Kau bukan Tuhan yang menjamin keselamatanku. Bagaimana mungkin aku mengikuti orang yang tidak kukenal sementara gadis yang aku cintai sedang dalam bahaya?" Dada Dev kembang kempis. Ingin memukul Elios, tetapi pemuda itu tidak sepenuhnya salah."Kau terlalu banyak membual, Elios!" Dev berkata dingin."Membual? Apa kau tidak pernah mencintai seseorang sehingga kau bertindak seperti orang yang tidak punya hati?""Hei ... dia sudah mati!" Seketika, bentakan Dev membuat tangan Elios melayang keras ke pipi Dev."Dev! Sudah!" Michele menahan tangan Dev yang sudah terkep
"Devada? Di mana Devada?" Seorang pemuda terbangun cemas setelah pingsan dari perjalanan menuju tempat tersembunyi."Diamlah, Elios!" Dev menghentikan aktivitas tangannya. Elios terhenyak, tetapi bukan karena suara dingin Dev melainkan laki-laki yang tergeletak tak berdaya di depan Dev."Siapa kau? Apa yang kau lakukan pada orang itu?" Elios tersudut pada dipan yang menjadi dinding rumah yang mereka singgahi.Dev memutar badannya, lalu menumpahi Elios dengan tatapan kesal. Selanjutnya sebuah tanggapan dia haturkan, "Seharusnya aku meninggalkanmu saja di tempat terkutuk itu!"Dev mengangkat beban tubuhnya meninggalkan Elios yang belum pulih dari rasa syok. Hanya sebentar saja mengambil secawan air putih dia ambil dari mata air di area yang tidak jauh, lalu kembali lagi ke ruangan di mana Elios berada."Minumlah!" Dev mengulurkan gelas bambu pada Elios."Terima kasih!" balas Elios, keruh di wajahnya sudah hilang."Katakan kalau kau merasa lebih baik." Dev membalas."Maaf, aku sudah sala
"Apa hasilnya?" Dev menatap punggung seorang dokter yang baru saja memeriksa keadaannya. Dia beringsut dari brankar, lalu duduk."Tunggulah! Kau pasti akan mengetahuinya. Sekarang, kau hanya perlu pulang dan istirahat." Dokter perempuan itu berkata sambil berkutat dengan pekerjaannya."Aku tidak memiliki banyak waktu, Dokter!""Sepertinya kau tidak kalah sibuk dengan Jair Bolsonaro yang seorang pria nomor satu di Brazil." Dokter itu kemudian terbahak. Namun, keadaan menjadi hening ketika Dev menghentakkan telapak tangannya di meja."Ternyata kau sama keras kepalanya dengan ayahmu!""Jika aku menjadi pemilik rumah sakit ini, aku tidak akan membiarkan orang sepertimu menjadi tenaga kerja." Ucapan Dev membuat dokter itu mengunci tatapannya dalam sekejap."Apa kau benar-benar siap untuk mengetahui kenyataan yang sebenarnya, Dev Sasaka Erhan?" Mata tajam Dev seketika jatuh pada perempuan berseragam di seberangnya. Tidak disangka, dokter itu sudah terlebih dahulu menusuknya.Ketegangan meng
"Siapa kau?" Perempuan telanjang itu bergeming dan terus mendekati Dev dengan membawa ular di tubuhnya. Dev mengelak saat perempuan aneh itu mengendusnya."Menyingkir dariku, Jalang!" Dev terlihat marah. Akan tetapi, lawan bicaranya hanya tersenyum, memamerkan gigi taring. Saat melihat itu, seketika Dev mengerti bahwa dia sedang berhadapan dengan iblis. "Apakah kau yang mereka panggil dengan sebutan dewi?" Dev mengejek."Jika kau makin banyak bicara maka aku akan makin tertarik. Mulutmu sangat wangi dengan bau Asmodeus. Kau sudah memakan jatahku malam ini dan kau harus menggantinya." Perempuan itu berkata sambil mengendus leher Dev. Jilatan lidahnya membuat Dev merasa sedikit terlena."Apa maksudmu?" tanya Dev."Raja Asmodeus, kau adalah raja kegelapan. Setiap tatapanmu adalah mutiara. Engkau Bapak penguasa singgasana neraka. Birahi dan napsu tunduk di bawah kakimu. Aku datang sebagai kekasihmu, naungi aku dengan geloramu. Berkati aku dengan keringatmu. Aku mempersembahkan seluruh ke
Dev masih menunggu orang-orang itu melepas topeng. Dengan sabar, dia menyimak obrolan yang mungkin akan memberinya petunjuk. Seseorang datang menduduki kursi agung. Sepertinya ia adalah pemimpin kelompok. Ia berkata, "Apa kalian sudah menjalankan tugas dengan baik?" Dari suaranya Dev tahu bahwa orang itu adalah perempuan."Tentu. Semua berjalan seperti yang kau inginkan. Jess sudah mati setelah melewati penderitaan yang pantas." Seorang laki-laki menjawab. Dev merasa tidak asing dengan suara tersebut."Bagus. Semua berkat Dewi Lilith. Haimm untuknya." Wanita itu menyeru."Wanita cantik, Lilith! Kau adalah angin malam. Ketika rambut panjangmu mengalir tanpa suara, tatapanmu menusuk hati para pria. Dalam kegelapan bayanganmu tumbuh. Dark Moon Lilith, ular yang menyiksa. Aku mengagumimu tanpa rasa takut. Dewi, kau penting dan kaulah yang aku hormati. Ibu Lilith yang selamat dari sisa-sisa waktu, roh dari semua yang liar. Perwujudanmu kematian Ilahi. Aku datang sebagai anakmu. Lindungi aku
"Kau pikir aku tertarik dengan dunia sihir?" Elfara memandang gusar pada Dev."Aku tidak bertanya seperti itu, kan? Aku menemukannya di kamarmu.""Terserah kau, aku tidak peduli." Elfara berkata dingin dan Dev memilih diam. Tidak ingin memperburuk suasana hati Elfara.Sesampainya di rumah, keduanya saling diam hingga malam menjelang. Keanehan pun kembali terjadi. Dev di dalam kamarnya beberapa kali mendengar eraman naga, tetapi tidak bisa melihat wujudnya.Dalam keresahan, Dev menutup kedua lubang telinganya. Entah mengapa, tiba-tiba rasa panas mulai mengalir ke seluruh tubuhnya. Keringat mulai lolos dari pori-pori. Tetiba, Dev sangat membenci audio yang Mehmet setting putar otomatis setiap pagi, siang, dan malam. "Argh!" Dev mulai menggelinjang dan mulai merasakan listrik bertegangan rendah menyengat kakinya."Asmodeus!" gumamnya. Dia melihat makhluk berkepala tiga pada pantulan lemari kaca dengan wajah yang sangat murka."Mehmet é um inimigo em um cobertor! Você tem que matá-lo!" A
"Elfara!" Dev tergopoh-gopoh ke kamar rawat kakaknya. Gadis itu tampak sangat ketakutan."Apa ada yang menyakitimu?" Dev berusaha menenangkan Elfara."Nania! Nania menerorku!" Elfara menjawab setelah beberapa lama terpaku sejak kedatangan Dev. Genggaman Dev terlepas dari bahu kakaknya."Tenanglah! Aku akan memastikan dia tidak akan mengganggumu lagi." Sekeluarnya Dev dari kamar rawat Elfara, dia memutuskan keluar dari gedung rumah sakit."Cari tahu kebenarannya terlebih dahulu sebelum kau melakukan sesuatu." Langkah Dev terhenti di halaman depan rumah sakit."Kau mendengar semuanya. Apa kau tidak percaya pada Elfara?" Dev bertanya dengan tatapan lurus ke depan."Orang cerdas akan bersikap bijak, bukan?""Ya, aku mengamati Nania sejak lama. Aku harap kau tidak keberatan, Paman Mehmet!""Tentu. Aku selalu berpihak pada kebenaran."Dev menyiram tubuhnya yang lengket di bawah shower. Sejak dikejutkan oleh perubahan bentuk fisiknya, dia belum merasakan segarnya sentuhan air. Di bawah guyur