“Aaaa!”
Suara teriakan membuat orang tergopoh-gopoh ingin mencari tahu apa yang terjadi. Seorang lelaki masuk dengan sangat terpaksa. Bill, pria itu melihat panik kondisi Jess. Ia mengambil segelas air, gadis itu masih berusaha mengendalikan napasnya yang memburu. Butuh waktu lima menit sebelum air mineral itu berpindah tangan, Jess meneguknya bersama butiran pil berwarna putih yang diambilnya dari sebuah botol transparan.“Terima kasih!” Jess melempar senyum kecil pada Bill, pria itu menaruh gelas yang sudah kosong di atas nakas.“Kau memimpikannya lagi?” tanya Bill sambil merapikan perkakas ranjang yang berhamburan di lantai marmer.“Maaf, kalau aku selalu merepotkanmu!” Jemari Jess menyisir poni yang terlihat memanjang.“Bukankah aku dibayar untuk itu?” Bill berujar tanpa melihat wajah Jess, mata elangnya masih melekat di lantai. Jess menarik satu sudut bibirnya kemudian mencebik ketika tangis bayi mengisi kamarnya. Malas, ia memutar bola matanya.“Kenapa kamu membawa dia ke kamarku, Ve?” tanya Jess, Velove mengusir pelan tunangannya dengan lirikan. Bill yang memahami kode itu pun bergegas keluar.“Elfara menangis terus, Jess. Dia tidak mau susu botol, kau harus memberi asimu padanya!”“Aku tidak bisa!” Jessy membuang pandangannya, seperti enggan melihat bayi cantik yang dilahirkannya dua minggu yang lalu.“Kenapa? Kasian Elfara, Jess. Payudaramu terlihat sangat penuh tapi tak sedikit pun kau memberinya untuk bayimu.” Jess memijit pelipis, mimpi buruk baru saja usai, kini kepalanya kembali berdenyut mendengar lengkingan tangis bayi yang disempurnakan oleh khotbah dari Velove.“Kemarikan, kau dan Bill pulang saja. Biar aku menjaganya sendiri. Kau sudah sangat lelah, kau menjaganya dari pagi sambil mengikuti kelas online sampai tengah malam begini.”“Apa kau tidak apa-apa? ”“Aku tidak apa-apa. Aku hanya perlu menyusuinya dan dia akan tidur sampai pagi.”“Baiklah, aku akan pulang. Hati-hati, ya! Kau harus benar-benar menjaganya.”“Tentu saja, aku ibunya.”“Baiklah, sampai jumpa besok!”Sosok gadis berusia sembilan belas tahun itu sudah meninggalkan kamar, kini hanya ada Jess dan bayi Elfara. Dia menatap lekat bayi yang tengah menangis di sampingnya, tubuhnya menggeliat mencari sesuatu yang biasa dihisap oleh bayi. Jessy masih membiarkan anak polosnya menangis hingga kulit putihnya bersemu merah.Tiba-tiba, ada rasa bersalah yang menyelinap dalam dada. Ia melihat diri Nick ada pada bayi mereka, mata cokelatnya terlihat jernih walau sedang basah dan bibir bagian bawahnya yang seolah terbelah. Kemudian, Jessy menatap gusi-gusi tanpa gigi yang masih terlihat agak meruncing, ia tidak membayangkan apa yang akan terjadi pada kulitnya jika mulut bayi itu menghisapnya. Mengingat tentang Nick, raut wajahnya berubah.
“Tidak, aku tidak bisa memberikan asiku padamu. Kau harus mengalah Elfara! Aku tidak ingin payudaraku menjadi jelek karena menyusuimu, itu bisa memudarkan rasa cinta ayahmu padaku.”Tanpa rasa bersalah, Jess beringsut dari ranjang kemudian mengganti kausnya yang basah di bagian dada. Suara tangis semakin kencang, Jess meraih botol susu yang tadi Velove bawa. Kini Elfara berada dalam dekapan tangan Jess yang terlihat berotot. Elfara memalingkan wajah, menolak benda elastis yang masuk ke dalam mulutnya.“Ayo minum! Kalau tidak, kau sendiri yang akan kelaparan!” Jess menahan napas, kegusaran memperjelas mata pandanya.“Diam!” Jess menaikkan suara hingga menyembul urat-urat di bagian leher jenjangnya.Jess bukan hanya tidak mengerti bahasa bayi, tetapi juga melawan naluri keibuannya. Dengan kasar, ibu muda itu meletakkan Elfara di ranjang bercorak api miliknya sedangkan bayi tak berdosa itu terus menangis, merasakan haus dan lapar serta kemarahan wanita yang menjadi ibunya. Jess berlalu, membanting pintu sekeras-kerasnya. Ia beralih ke kamar sebelah untuk meluapkan emosinya, Jess memandangi pantulan dirinya di cermin, ia merutuki sebagian dagingnya menghilang entah ke mana.Ia terlihat sepuluh tahun lebih tua dari usianya, kemolekan tubuh dan kecantikannya hilang. Hanya tersisa dua gunung yang membengkak dan selalu basah. Ia menjerit merasakan sakit di area sensitif itu. Dalam sekejap, kamar yang selalu rapi itu tak ubahnya tempat pembuangan sampah. Penampilannya sangat kacau, sangat jauh dari Jess yang selalu tampil rapi dan modis. Jess menyandarkan punggungnya di sofa, menikmati sebatang benda berasap. Entah sejak kapan ia menyukainya, ia tak mau pusing mengingatnya. Ibu muda itu sibuk mengamati kepulan asap yang membentuk seni tanpa berniat menolong Elfara yang malang.***Pagi hari, Jess menengok Elfara di kamarnya. Entah sejak kapan bayi itu diam, ia tidak memerhatikannya. Seperti biasa, hari ini ia akan menelpon jasa seseorang yang biasa memandikan Elfara. Luka bedah di perut menyebabkan seluruh aktivitasnya terbatas. Jess mengulas senyum, jika saja bayi itu diam sejak semalam, tentu saja dia tidak akan meninggalkannya untuk tidur sendiri. Gadis itu mengamati bayinya sekilas, ada yang berbeda dari Elfara. Jess memberanikan diri untuk mengusap pipi gembul bayinya, wajahnya berubah pias.“Hei, apa kau tidur?” Sentuhan Jess tak memberi reaksi apa-apa.“Bangunlah! Kalau kau gerah, bilang padaku, jangan seperti itu!” Elfara tetap diam dan menutup mata walau Jess menaikkan sedikit suaranya.“Elfara!” Kali ini, Jess benar-benar memaksimalkan pita suaranya.Merasa ada yang tidak beres, Jess menelepon kontak bernama “Dokter Hans”. Atas permintaannya, dokter yang biasa dipakai oleh keluarganya itu datang setelah dua puluh menit, lebih cepat dari wanita yang biasa memandikan Elfara. Sialnya, dokter Hans datang bersamaan dengan Velove dari arah pintu yang berbeda, tetapi arah tujuannya sama.“Dokter Hans! Kenapa Anda di sini, siapa yang sakit?” Suara Velove terdengar dari balik pintu. Belum sempat menjawab, ponsel lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu kemudian berdering.“Maaf, saya angkat telepon sebentar!” Terdengar sahutan dari dokter Hans bersama nada ponselnya, tetapi hal itu tak serta-merta membuat Jess tenang.Entah apa yang dia takuti, suara pintu meriuhkan keheningan, diiringi munculnya sosok Velove. Kecemasan membuat Jess merasa gugup. Entah apa yang akan dia dapatkan dari gadis berdarah Indonesia itu jika tahu Elfara tidak baik-baik saja. Selama ini, Velove bersikap layaknya seorang ibu bagi bayinya, gadis itu menjadi sangat ketus padanya sejak kelahiran Elfara. Velove terlihat bingung saat memandang Jess, ia hampir bertanya, tetapi urung karena kedatangan dokter Hans.“Hallo, Nona Jess! Ada apa dengan bayimu?” Velove tampak bingung dengan pertanyaan dokter.“A—aku tidak tahu! Kau periksa saja dia!” Dokter Hans mengangguk.“Jess, memangnya kenapa Elfara?” tanya Velove.“Nona Jessy, bayimu demam tinggi. Kenapa kau tidak langsung membawanya ke rumah sakit?”“A—pa? Demam?” Jess tergagap, keterangan dokter membuat mereka terkejut.“Demam? Bagaimana mungkin? Jessy, kenapa Elfara bisa sampai demam? Semalam aku meninggalkannya dalam kondisi baik-baik saja.” Velove memberondong Jess dengan tatapan menyelidik.“Kemungkinan, anak itu mengalami dehidrasi karena kekurangan cairan,” ujar dokter Hans.“Ini saya kasih resep sementara, sebaiknya bawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang tepat. Saya permisi!” “Baiklah, terima kasih. Maaf, sudah merepotkanmu.” “Tidak apa-apa, mari!” Jess menerbitkan senyum yang dipaksakan. Selepas kepergian dokter Hans, Jess mendapatkan tatapan intimidasi dari Velove.“Jelaskan padaku, apa yang kau lakukan pada Elfara!” Jess yang baru saja akan menggendong bayinya, membalas tatapan Velove.“Apa yang aku lakukan?”“Kehilangan Nick tidak membuatmu tuli, kan, Jess?”“Kenapa kau berbicara seolah-olah aku ini kehilangan kewarasan?”“Kalau kau memang masih waras, apa yang kau lakukan sampai bayimu sendiri demam seperti itu?”“Kenapa kau bersikap seolah-olah kau ini ibunya dan aku tukang asuhnya? Kau bertanya, apa yang aku lakukan, hah? Aku melakukan segalanya agar anak itu diam. Aku berusaha keras untuk memberinya minum, jika memang dia tidak mau, apa itu kesalahanku?” Suara Jess meninggi, mengiringi laju langkahnya yang berhasil membuat jantung Velove berdegup kacau. Velove terus memundurkan langkahnya, menyimpan keterkejutan yang tercipta.“Jadi, kau tidak memberinya asi?”“Kenapa? Menyusui atau tidak itu urusanku. Kau tidak berhak mengaturku. Jangan lupa, apa posisi dan jabatanmu di sini. Kalau bukan berkat belas kasih suamiku, kau tidak akan mungkin bisa meneruskan pendidikanmu sejauh itu.”Plak!Sebuah tamparan mendarat sempurna di pipi Jessy, ia merasakan panas yang menjalar di seluruh pipinya. Perempuan itu menatap nyalang gadis bodoh yang ada di hadapannya.“Kau benar-benar sudah tidak waras, Jessy. Nick tidak beruntung mempunyai istri sepertimu. Kau bukan hanya ibu yang buruk, tetapi juga istri yang buruk. Mulai saat ini juga aku takkan mengurusi hidupmu lagi!” Kata-kata Velove berhasil menusuk relung hati Jess, tetapi ia tak bisa lagi melakukan apa-apa walau hanya sekadar membuka mulut.“Maaf, Elfara. Tuhan pasti akan menjagamu.” Velove mencium kening Elfara. Tiba-tiba, buliran air mata membasahi hamparan dahi Elfara yang panas.“Ingat satu hal, Jessy. Nick pasti akan membenci dirimu jika tahu sifatmu yang sebenarnya!” ucap Velove, sebelum benar-benar pergi.“Aku istri buruk? Aku ibu buruk? Tidak, tidak. Itu tidak mungkin.” Jess beringsut, tubuh Velove telah pergi, tetapi jejak kalimatnya masih tertinggal, memenuhi tempurung kepalanya.Di sisi sungai, Nick membasuh wajahnya. Ia melihat pantulan wajahnya di air keruh yang sudah koyak, ia melihat kegagalan dan masa depannya yang buruk. Tiga puluh hari, Nick mengembara bersama Mehmet, mencari jalan juga teman-temannya. Seringkali ia mengingat Jess juga buah hati mereka. Penampilannya kini nyaris tak dikenali. Ia dan Mehmet bertahan hidup dengan memakan buah-buahan yang tumbuh di hutan, tiga puluh hari bukan sesuatu yang mudah. Berbagai macam kesulitan datang bertubi-tubi, dan hal itulah yang membuat mereka terlihat lebih kuat. “Nick!” Suara Mehmet membuyarkan lamunannya, ia berjalan mendekati Mehmet. “Kau mendapatkannya?” Nick melihat sesuatu di tangan Mehmet. “Yeah, ini yang ke lima puluh kali setelah aku mendapatkan piranha lebih dari dua puluh kali.” Mehmet mengangkat kayu yang berhasil menusuk buruannya. “Baguslah, setidaknya kau mendapatkan ikan gabus walau cuma satu!” “Ya, setidaknya ini bisa menjadi t
Aroma lili menyeruak ke sudut-sudut ruang. Jess mematut dirinya di cermin hias, gaun hitam sepanjang lutut melekat apik di tubuhnya. Gaun ketat tanpa lengan dengan kualitas super itu melekat sesuai pahatan tubuhnya yang indah tanpa memberi efek panas dan alergi. Jess terlihat sempurna dengan sapuan lipstik glossy berwarna karamel. Rambut ikalnya digelung, memamerkan leher jenjang berhiaskan berlian kecil yang cantik. Tanpa penebal alis dan maskara, warna alis dan bulu matanya tampak tegas dan menyala. Jess berputar, memindai pantulan dirinya di cermin, raut wajahnya berubah redup. Ia mengelus bagian tangannya yang berotot. Sebelum melahirkan, bahkan urat halus pun tak terlihat. Beruntung, badannya yang sempat kurus kini mulai berisi sehingga ia tak perlu malu mengenakan pakaian-pakaian seksinya kembali. Jess menyambar kunci mobil setelah selesai mengenakan sepatu hak tinggi berwarna serupa dengan pakaiannya. Tak lupa, kacamata hitam bertengger di pangkal hidungnya yang t
Nick dengan kesendiriannya melawan rasa putus asa yang semakin kronis. Dia berjalan terseok-seok karena kehabisan tenaga. Sengatan matahari membuatnya sedikit terhuyung. Ia sangat haus dan kelaparan. Sepanjang perjalanan ia tak menjumpai makanan, hutan tropis itu seakan kering. Nick terjatuh dan kesadarannya menghilang, jiwanya terbang ke sebuah sungai. Seorang perempuan cantik bermata biru mengajaknya bermain air. Gadis itu menarik Nick ke dalam air dan pada saat ia akan tenggelam, kelopak matanya terbuka diiringi deru napas yang tak beraturan.Nick mengangkat beban tubuhnya, mimpi buruk yang baru terjadi menyuntikkan tenaga baru ditubuhnya. Ia berjalan menaiki bukit, ada gumpalan asap yang menarik perhatiannya. Susah payah melewati medan ekstrem, akhirnya ia menemukan sumber asap yang dilihatnya. Nick berjalan menembus kepulan yang membuat perih kedua aksanya, bahkan pemuda itu sama sekali tak ingat dengan peringatan pemimpin suku waktu itu.Nick terus be
Jess duduk di balkon, menyesap gulungan putih yang mengandung tar dan nikotin. Sebuah potret dilihatnya berkali-kali dengan gelisah. Elfara kecil tiba-tiba berlari ke arahnya, gadis itu tersenyum membawa sebuah lukisan di hvs. Jess menaruh foto Nick di sisi kopi panasnya. Sejak Nick pergi, kopilah yang menemani hari-harinya, tidak ada lagi cokelat panas yang menenangkan pikirannya. “Mommy!” Jess melihat kertas yang diberikan Elfara, anak itu menggambar dirinya yang diapit oleh Jess dan Nick dengan sematan sebuah kalimat “perfect family”. Jess tersenyum miris, lima tahun tumbuh menjadi gadis cantik, anak itu menginginkan hal yang sama, sosok ayah dan tentu saja kasih sayang darinya. Jess mengulurkan kembali lukisan itu tetapi ketika belum sempat diraih, kertas itu terbawa angin. Elfara berusaha meraihnya lalu tak sengaja menyenggol kopi ibunya yang masih mengepul. Pecahan gelas terdengar, cairan hitam mengenai kulitnya yang lembut. Ia segera menunduk mendapati
Bayu bertiup menyingsing dedaunan, menjalanankan tugas di alam semesta. Mehmet menyembulkan sedikit kepala dari lubang kecil yang tertutup balok, memindai keadaan sekeliling. Setelah memastikan keadaan aman, Mehmet keluar dari terowongan kecil bawah tanah. Ia berjalan ke arah sungai dengan menggenggam sebuah kapak yang terbuat dari batu yang diruncingkan dan bambu yang ujungnya juga diruncingkan.Mehmet memusatkan bola mata ke target incarannya dan dengan gerakan cepat, ia menangkap dua ekor ikan dalam waktu yang singkat. Ia membakar hasil buruannya menggunakan api yang ia hasilkan dari tenaga surya. Hidup di hutan selama beberapa tahun mengajarkannya banyak hal, terutama dalam perihal pertahanan diri.Mehmet melahap buruan tak seberapanya seraya menajamkan indera pendengaran. Pengalaman hidup menuntunnya untuk selalu mawas diri. Suara gemericik air yang tersamar di balik desau angin mengalir ke lubang telinganya. Suaranya yang sedikit berbeda dengan suara arus pad
Di kediaman Erhan, tampak seorang gadis kecil keluar dari gedung tinggi bernuansa putih tulang. Ia berjalan menuju taman kecil di samping rumah. Melihat aneka kupu-kupu yang terbang beriringan menghinggapi bunga-bunga. Senyum mengembang sekilas kemudian pupus. Bola matanya lurus, memandang kosong objek yang ada. Mendung berarak meredupkan wajah putihnya. “Elfara! Kau di sini? Aku mencarimu ke mana-mana.” Seorang wanita berusia tiga puluh tujuh tahun berlari kecil menghampiri gadis kecil yang dipanggilnya. Elfara menoleh sekilas, kemudian meneruskan aktivitasnya kembali. “Kau suka kupu-kupu itu?” Elfara diam, tak tertarik untuk menjawab pertanyaan basi wanita yang merawatnya sejak bayi itu. “Misca, apa mommy akan pulang malam lagi hari ini?” Perempuan berambut pirang itu tampak bingung dengan pertanyaan Elfara. “Em, Tante kurang tahu, sayang. Sekarang, Elfara masuk dulu, yuk! Tante sudah menyiapkan sarapan enak untuk Elfara.”
Di bawah desir bayu, pikiran Nick melayang mengelilingi sebuah memori. Nick terbelenggu dalam sebuah nama, “Jess”. Ia hanyut dalam denyut kesetiaan yang lemah. Tanpa diduga, mendung berarak di pelupuk matanya, ia tercabik dalam ruang rindu yang terasing. Mengapa ia bisa melupakan cinta sucinya setiap kali bersanding dengan wanita yang selama ini membasuh kegersangan hatinya? Berkhianat adalah ciri khas seorang pecundang bermuka dua. Dan itulah wajahnya saat ini. Gejolak di hatinya memberi efek getar di bahunya hingga sentuhan lembut seseorang tak mampu membuatnya tersadar. Tiba-tiba, pelukan lembut menghangatkan tubuhnya, menghentikan gelombang yang mengoyak kalbunya. Nick tersenyum, menatap wajah teduh wanita yang merengkuhnya. “Masma, kau belum tidur?” “Aku melihatmu sedang bersedih. Bagaimana aku bisa tidur?” “Kau harus banyak istirahat, sebentar lagi kau akan melahirkan.” “Nick!” Masma memegangi perutnya. “Apa sudah wak
Nick mengerjap, rasa nyeri mengalir ke seluruh tubuh. Kadarnya naik beberapa tingkat jika terjadi pergerakan di tubuh. Sengat mentari membuat kulit mengeluarkan cairan dari dalam pori-pori. Nick memindai sekeliling, ada perahu kecil di bibir sungai. Jika dilihat dari debu yang menempel, badan perahu yang tingginya melampui dirinya itu diperkirakan telah terdampar selama bertahun-tahun. Mungkin, kapal itulah yang membuatnya kehilangan kesadaran. Nick membuang pandangan ke sisi kanan, dengkuran halus terdengar dari sana, ia merasa lega melihat bayinya baik-baik saja. Jagoan kecil itu tidur nyenyak di dada Mehmet dengan posisi tengkurap. Pelan, ia mengambilnya agar tidak terbangun kemudian menepuk pelan bahu Mehmet. Kelopak mata pria keturunan Arab itu naik turun, beberapa detik ia butuhkan untuk mencapai kesadaran yang purna. Mehmet duduk menghadap barisan rumah yang terlihat kecil di lensa mata. Rumah itu berdiri di sepanjang sisi sungai. Kedua pria itu memeri
“Callin?” Dev tersenyum miring mendengar suara gelisah Ezhar.“Kau menyentuh bonekaku?”“Tenanglah, aku hanya sebentar saja memainkannya!” Ezhar menjawab.“Tinggalkan kami, Ezhar! Aku ingin memainkannya sendiri.” Setelah berkata demikian, Ezhar mulai menghitung langkah dengan sorot mata penuh pertanyaan.Beberapa saat setelah kepergian Ezhar, Callin memulai aksinya. Ruangan 3x4 meter itu penuh dengan raungannya. Tidak ada apa pun yang bisa menjadi tempat pelampiasannya kecuali Dev. Callin menjadikan adiknya seperti mainan yang tidak diinginkan. Sesekali, tinju-tinjunya dilayangkan pada wajahnya sendiri. Hal itu membuat kepala Dev dipenuhi tanda tanya.“Apakah dia sedang mengingat penderitaannya?” gumam Dev.“Cih, untuk apa aku peduli soal dia!” Dev menggeliatkan sedikit badannya yang dipenuhi darah. Walaupun sedikit, pergerakannya membuat besi rantai yang membelenggu tangannya bergemerincing. Callin yang tengah berusaha untuk tenang seketika menoleh. Membalik badan dan menusuk Dev den
Boom!Dentuman menggelegar meriuhkan jagat. Angin berdebu mengaburkan penglihatan dalam sejenak. Dalam satu pukulan itu, Callin berhasil membuat seluruh tempat menjadi porak-poranda."Dev!" Michele kembali berteriak saat dia melihat Dev bertelengkup dan mengangkat kepala dengan lemah."Jika kau ingin selamat, diam dan pergilah!" Callin berkata dingin kepada Michele. Dia kemudian menyeru semua anggota yang tersisa dan mengisyaratkan Ezhar untuk pergi."Dev!" Teriakan Michele terdengar pilu. Dia harus menyaksikan Callin menyeret Dev seperti menyeret babi hutan.Di sebuah tempat tersembunyi di São Paulo, Dev diasingkan. Rumah kayu yang tak bersekat di sana akan menjadi tempat baru yang sangat mengerikan untuk Dev. Bayangan Callin akan mengulitinya hidup-hidup terus berputar di kepala dan mungkin itu akan terwujud saat Callin muncul dengan tombak bermata tiga di tangannya."Apa kau merasa lelah dengan perjalanan kita sampai kau harus tidak sadarkan diri dalam waktu selama itu?" Callin ber
"Dasar anak bodoh!" Elios membuka mata dan melihat Dev sudah ada di depannya."Kau? Apa kau berubah pikiran?" Elios menebak. Dev mendecak. Tidak bisa memahami jalan pikiran pemuda latin itu."Ikut aku!""Tidak! Aku harus mencari Devada.""Lupakan dia!""Hei, apa kau sudah gila?" Elios mendecih. Terlihat sangat tidak suka dengan perkataan Dev."Ikut aku jika kau ingin selamat." Elios memberi tanda penolakan dengan menggeleng."Kau bukan Tuhan yang menjamin keselamatanku. Bagaimana mungkin aku mengikuti orang yang tidak kukenal sementara gadis yang aku cintai sedang dalam bahaya?" Dada Dev kembang kempis. Ingin memukul Elios, tetapi pemuda itu tidak sepenuhnya salah."Kau terlalu banyak membual, Elios!" Dev berkata dingin."Membual? Apa kau tidak pernah mencintai seseorang sehingga kau bertindak seperti orang yang tidak punya hati?""Hei ... dia sudah mati!" Seketika, bentakan Dev membuat tangan Elios melayang keras ke pipi Dev."Dev! Sudah!" Michele menahan tangan Dev yang sudah terkep
"Devada? Di mana Devada?" Seorang pemuda terbangun cemas setelah pingsan dari perjalanan menuju tempat tersembunyi."Diamlah, Elios!" Dev menghentikan aktivitas tangannya. Elios terhenyak, tetapi bukan karena suara dingin Dev melainkan laki-laki yang tergeletak tak berdaya di depan Dev."Siapa kau? Apa yang kau lakukan pada orang itu?" Elios tersudut pada dipan yang menjadi dinding rumah yang mereka singgahi.Dev memutar badannya, lalu menumpahi Elios dengan tatapan kesal. Selanjutnya sebuah tanggapan dia haturkan, "Seharusnya aku meninggalkanmu saja di tempat terkutuk itu!"Dev mengangkat beban tubuhnya meninggalkan Elios yang belum pulih dari rasa syok. Hanya sebentar saja mengambil secawan air putih dia ambil dari mata air di area yang tidak jauh, lalu kembali lagi ke ruangan di mana Elios berada."Minumlah!" Dev mengulurkan gelas bambu pada Elios."Terima kasih!" balas Elios, keruh di wajahnya sudah hilang."Katakan kalau kau merasa lebih baik." Dev membalas."Maaf, aku sudah sala
"Apa hasilnya?" Dev menatap punggung seorang dokter yang baru saja memeriksa keadaannya. Dia beringsut dari brankar, lalu duduk."Tunggulah! Kau pasti akan mengetahuinya. Sekarang, kau hanya perlu pulang dan istirahat." Dokter perempuan itu berkata sambil berkutat dengan pekerjaannya."Aku tidak memiliki banyak waktu, Dokter!""Sepertinya kau tidak kalah sibuk dengan Jair Bolsonaro yang seorang pria nomor satu di Brazil." Dokter itu kemudian terbahak. Namun, keadaan menjadi hening ketika Dev menghentakkan telapak tangannya di meja."Ternyata kau sama keras kepalanya dengan ayahmu!""Jika aku menjadi pemilik rumah sakit ini, aku tidak akan membiarkan orang sepertimu menjadi tenaga kerja." Ucapan Dev membuat dokter itu mengunci tatapannya dalam sekejap."Apa kau benar-benar siap untuk mengetahui kenyataan yang sebenarnya, Dev Sasaka Erhan?" Mata tajam Dev seketika jatuh pada perempuan berseragam di seberangnya. Tidak disangka, dokter itu sudah terlebih dahulu menusuknya.Ketegangan meng
"Siapa kau?" Perempuan telanjang itu bergeming dan terus mendekati Dev dengan membawa ular di tubuhnya. Dev mengelak saat perempuan aneh itu mengendusnya."Menyingkir dariku, Jalang!" Dev terlihat marah. Akan tetapi, lawan bicaranya hanya tersenyum, memamerkan gigi taring. Saat melihat itu, seketika Dev mengerti bahwa dia sedang berhadapan dengan iblis. "Apakah kau yang mereka panggil dengan sebutan dewi?" Dev mengejek."Jika kau makin banyak bicara maka aku akan makin tertarik. Mulutmu sangat wangi dengan bau Asmodeus. Kau sudah memakan jatahku malam ini dan kau harus menggantinya." Perempuan itu berkata sambil mengendus leher Dev. Jilatan lidahnya membuat Dev merasa sedikit terlena."Apa maksudmu?" tanya Dev."Raja Asmodeus, kau adalah raja kegelapan. Setiap tatapanmu adalah mutiara. Engkau Bapak penguasa singgasana neraka. Birahi dan napsu tunduk di bawah kakimu. Aku datang sebagai kekasihmu, naungi aku dengan geloramu. Berkati aku dengan keringatmu. Aku mempersembahkan seluruh ke
Dev masih menunggu orang-orang itu melepas topeng. Dengan sabar, dia menyimak obrolan yang mungkin akan memberinya petunjuk. Seseorang datang menduduki kursi agung. Sepertinya ia adalah pemimpin kelompok. Ia berkata, "Apa kalian sudah menjalankan tugas dengan baik?" Dari suaranya Dev tahu bahwa orang itu adalah perempuan."Tentu. Semua berjalan seperti yang kau inginkan. Jess sudah mati setelah melewati penderitaan yang pantas." Seorang laki-laki menjawab. Dev merasa tidak asing dengan suara tersebut."Bagus. Semua berkat Dewi Lilith. Haimm untuknya." Wanita itu menyeru."Wanita cantik, Lilith! Kau adalah angin malam. Ketika rambut panjangmu mengalir tanpa suara, tatapanmu menusuk hati para pria. Dalam kegelapan bayanganmu tumbuh. Dark Moon Lilith, ular yang menyiksa. Aku mengagumimu tanpa rasa takut. Dewi, kau penting dan kaulah yang aku hormati. Ibu Lilith yang selamat dari sisa-sisa waktu, roh dari semua yang liar. Perwujudanmu kematian Ilahi. Aku datang sebagai anakmu. Lindungi aku
"Kau pikir aku tertarik dengan dunia sihir?" Elfara memandang gusar pada Dev."Aku tidak bertanya seperti itu, kan? Aku menemukannya di kamarmu.""Terserah kau, aku tidak peduli." Elfara berkata dingin dan Dev memilih diam. Tidak ingin memperburuk suasana hati Elfara.Sesampainya di rumah, keduanya saling diam hingga malam menjelang. Keanehan pun kembali terjadi. Dev di dalam kamarnya beberapa kali mendengar eraman naga, tetapi tidak bisa melihat wujudnya.Dalam keresahan, Dev menutup kedua lubang telinganya. Entah mengapa, tiba-tiba rasa panas mulai mengalir ke seluruh tubuhnya. Keringat mulai lolos dari pori-pori. Tetiba, Dev sangat membenci audio yang Mehmet setting putar otomatis setiap pagi, siang, dan malam. "Argh!" Dev mulai menggelinjang dan mulai merasakan listrik bertegangan rendah menyengat kakinya."Asmodeus!" gumamnya. Dia melihat makhluk berkepala tiga pada pantulan lemari kaca dengan wajah yang sangat murka."Mehmet é um inimigo em um cobertor! Você tem que matá-lo!" A
"Elfara!" Dev tergopoh-gopoh ke kamar rawat kakaknya. Gadis itu tampak sangat ketakutan."Apa ada yang menyakitimu?" Dev berusaha menenangkan Elfara."Nania! Nania menerorku!" Elfara menjawab setelah beberapa lama terpaku sejak kedatangan Dev. Genggaman Dev terlepas dari bahu kakaknya."Tenanglah! Aku akan memastikan dia tidak akan mengganggumu lagi." Sekeluarnya Dev dari kamar rawat Elfara, dia memutuskan keluar dari gedung rumah sakit."Cari tahu kebenarannya terlebih dahulu sebelum kau melakukan sesuatu." Langkah Dev terhenti di halaman depan rumah sakit."Kau mendengar semuanya. Apa kau tidak percaya pada Elfara?" Dev bertanya dengan tatapan lurus ke depan."Orang cerdas akan bersikap bijak, bukan?""Ya, aku mengamati Nania sejak lama. Aku harap kau tidak keberatan, Paman Mehmet!""Tentu. Aku selalu berpihak pada kebenaran."Dev menyiram tubuhnya yang lengket di bawah shower. Sejak dikejutkan oleh perubahan bentuk fisiknya, dia belum merasakan segarnya sentuhan air. Di bawah guyur