Raja siang mulai bertakhta, sibak emasnya menelanjangi bumi yang terbungkus kabut tipis. Semua orang menyudahi petualangan mereka di alam mimpi dan bergegas mencuci muka dengan air mineral yang mereka bawa. Mereka enggan pergi ke sungai. Udara di hutan sangat segar, mereka merasakan bulir-bulir oksigen memenuhi rongga dada, nyanyian burung pengantar pagi pun menggema sehingga secara otomatis menciptakan mood yang bagus. Kecuali Lutfi, anak itu terlihat lesu.
Mungkin tidurnya tidak nyenyak karena rintihan Youvee yang tidak mau berhenti di sepanjang malam. Saat ini Youvee tidak serewel itu, tetapi Nick mengkhawatirkannya karena tidak keluar dari tenda. Dengan diliputi rasa penasaran, dia menyibak tenda dan melihat Youvee sedang meringkuk. Wajahnya seperti kehabisan darah. Segera, Nick menempelkan punggung tangannya ke dahi Youvee. Ekspresi datarnya berubah menjadi tegang.“Yodas! Yodas!” Ia berteriak sembari melirik ke luar tenda.“Ada apa?” tanya Yodas, satu alisnya terangkat ketika melihat keadaan Youvee.“Cepat ambil obat penurun demam!”“Baiklah!” Yodas menurut, tak berapa lama ia kembali membawa kotak obat.“Youvee kenapa bisa demam?” Akhirnya Yodas bertanya, ia segera terkejut ketika melihat dada dan tangan Youvee yang merah dan sedikit bengkak.“Hey, Youvee! Apa yang kau lakukan sampai tubuhmu menjadi seperti ini?” Youvee tak menanggapi, matanya masih terpejam seperti sedang merasakan sesuatu yang tak dapat dimengerti.“Youvee, bangunlah! Kau harus minum obat sekarang!” ujar Nick, ia membantu pemuda yang usianya lebih tua lima tahun darinya itu untuk duduk. Youvee meraih pil yang diberikan oleh Nick dan menelannya.“Nick, bagaimana perjalanan ini akan berlanjut dengan kondisiku yang seperti ini? Maafkan aku, aku memang tidak berguna.” Youvee menangis, menyesali apa yang menimpa dirinya.“Sudahlah tidak apa-apa, kau akan baik-baik saja setelah meminum obat,” ujar Nick.“Nick, apakah kita akan menunda perjalanan?” Yodas menajamkan matanya ke sembarang arah. Nick terdiam untuk beberapa saat.“Tidak, kita tetap melakukan perjalanan. Sungguh sekarang aku baik-baik saja setelah meminum obat. Lihatlah, Nick! Aku baik-baik saja.” Youvee meraih tangan Nick dan menempelkannya di dahi untuk meyakinkan bahwa dirinya bukanlah hambatan untuk perjalanan mereka yang baru saja dimulai.“Apa kau yakin?” Nick seolah ragu dengan keadaan Youvee.“Lihatlah, bahkan aku sudah berkeringat.” Youvee melihat ke arah Nick dan Yodas bergantian.“Baiklah. Makanlah, setelah ini kita akan bersiap.” Nick keluar dari tenda diikuti dengan Yodas dan Youvee.Setelah membereskan tenda dan berkemas, mereka berkumpul dan siap melanjutkan perjalanan. Seperti biasa, Nick mengabsen semua orang. Yodas, Youvee, Mehmet, Joe, Lutfi, Sanskar, Steve. Gaffin? Ke mana dia? Sambil berteriak memanggil Gaffin, mata mereka mengintai ke segala arah. Anak itu tidak menyahut. Tidak ada yang mengetahui ke mana Gaffin pergi. Mehmet menjelaskan, terakhir kali Gaffin mengatakan bahwa ia akan buang air kecil, tetapi Gaffin tidak mengatakan tempatnya.Nick mengeluarkan ponselnya, setelah beberapa saat, wajahnya menjadi kesal. Gps Gaffin tak terlacak. Sebagai ketua, akhirnya, ia membuat keputusan, pria itu memecah mereka menjadi empat kelompok dan pergi ke arah yang berbeda. Yodas dan Joe pergi ke utara. Mehmet, Lutfi, dan Sanskar memilih jalur selatan, sedangkan Youvee dan Steve berjalan ke arah barat. Nick sendiri menuju ke timur.“Gaffin, where’re you?” Joe berteriak dengan keras.“Ke mana anak sialan itu? Kakiku sampai lelah mencarinya.” Yodas menggerutu.“Lihat saja, aku akan memukulnya begitu menemukannya.” Joe menimpali. Ia menyeka keringat yang membanjiri wajahnya.Setelah puas menggerutu, mereka melanjutkan pencarian, tiba-tiba suara dahan kering terdengar dan suaranya berhenti mengikuti langkah mereka yang diam di tempat. Seolah-olah ada yang mengawasi. Mereka beradu pandang tanpa sepatah kata, kemudian kembali mengayun langkah. Suara dahan kering itu semakin intens. Joe yang merasa risih berjalan dengan hati-hati mencari sumber suara, ia mencurigai suara berisik itu berasal dari pohon besar yang ada di depannya.“Joe, hati-hati!” Yodas memperingatkan, laki-laki tersebut hanya mengacungkan jempolnya.Pendengarannya tidak salah, suara itu semakin keras ketika didekati. Dengan pacuan jantung yang kencang, ia mengambil ancang-ancang. Dengan keyakinan yang penuh, ia menyergap mata-mata yang bersembunyi di balik pohon.“Haha, lihat Yodas! Ternyata hamster yang sedari tadi mengikuti kita.” Seekor hewan berbadan gemuk menggantung di antara apitan jari Joe. Hewan berbulu cokelat itu berupaya melepaskan diri dengan menggeliatkan tubuhnya.“Joe, aku berpikir itu bukan hamster.” Yodas bergidik ngeri melihat mata berwarna kemerahan dengan deretan gigi yang menyerupai gergaji yang ada pada hewan yang Joe sebut sebagai hamster. “Hey, ini hamster. Lihatlah dia lucu sekali.” Yodas merutuki kebodohan Joe yang tidak peka dengan keadaan sekitar, hewan gemuk itu bahkan tidak seimut yang disangka. Hewan tersebut semakin agresif, kemudian membuat gerakan yang tak diduga-duga, gigi-gigi runcing menancap di jempol Joe hingga nyaris putus.“Aaa, shit!!” Joe menjerit memandangi tangannya yang berdarah-darah.Dendam, ia mengejar hewan penipu itu. Yodas dengan santai pun mengikutinya. Joe terus mengejar monster imut yang hampir memutuskan jarinya itu hingga ke sungai sambil mengatakan sumpah serapah. Namun, belum sempat didapatkan, ia dikejutkan oleh sebuah pemandangan yang merusak pita suaranya secara mendadak. Begitu juga dengan Yodas, pria bermata lentik itu sampai tersungkur karena menghentikan gerakan cepatnya dengan mendadak. Kedua pria itu membeku, entah langkah apa yang harus diambil. Pemandangan di depan sana benar-benar melumpuhkan otak mereka dalam sekejap.“J--joe, ki--kita harus segera pergi. Jika tidak, kita akan menjadi santapan dia selanjutnya.” Yodas tergagap dengan suara yang nyaris tak terdengar sedangkan Joe hanya bisa menggerakan bola mata.Jakun Joe naik-turun, ia tak mungkin bisa menangkap hewan berbulu yang menipunya. Hamster jadi-jadian yang diincar sudah menjadi menu seekor makhluk yang lebih besar dan berbahaya darinya, entah makhluk apa namanya, sebagian tubuhnya yang panjang dan penuh sisik keemasan keluar dari sungai dan memakan dengan sekali telan. Kaki kecil bersirip yang ada di bawah tubuhnya bergerak-gerak, memamerkan cakar kehitaman yang runcing. Duri-duri kasar tumbuh di kedua sisi kepala dan membentang di sepanjang punggung yang terlihat.Jantung Joe seakan ingin keluar, tiba-tiba sepasang mata mirip ular itu menghunjamnya dengan tatapan lapar. Deretan taring kekuningan seukuran kaki kambing dewasa merenggang hingga liur-liur yang ada terlihat memanjang seperti cairan karamel kental yang dijatuhkan. Hanya dengan sekali angguk tanpa menggerakan tubuh, kepala monster itu kini hanya sejarak beberapa senti meter dari Joe.Wajah Joe seketika menjadi sangat jelek, aliran darahnya surut entah ke mana. Binatang besar itu mulai mengendus dirinya, lalu menjilati dengan lidah merahnya yang bergerigi.Seperti terlempar dari ketinggian ribuan kaki, jantung Joe seolah kehilangan irama. Ia merasa ruang diary-nya telah habis sebelum cerita diselesaikan. Yodas yang tak berdaya hanya bisa menjerit tanpa suara. Pelan-pelan, warna punggung Joe menghilang, melukis ekspresi menjadi potongan puzzle yang sulit dibaca.
“Joe! Joe! Aaaa ….”Jess terduduk di antara deretan pohon yang mengelilingi parit kecil. Mata sayunya tak henti memandangi ikan-ikan kecil yang bebas berenang di bawah pantulan sinar rembulan. Sesekali ia mengelus perut buncitnya yang ada di balik sweater, bayinya senang sekali menendang-nendang. Tak terasa, sebentar lagi buah cinta itu akan melihat luasnya dunia. Hatinya dirundung kesedihan mengingat sosok Nick yang jauh. Seharusnya, di usia kandungan yang menginjak sembilan bulan, Nick selalu berada di sampingnya, memanjakan dan menjaganya seperti pasangan lain yang ia lihat. Namun, dia harus mengubur dalam-dalam keinginan untuk menikmati masa trimester akhir kandungan bersama pria yang dua tahun ini menjadi suaminya, menuruti ambisi yang sangat berbahaya. Jess menyisir gelenyar rindu yang melintas membentuk garis di pipi, entah ke mana ia akan membawa sepucuk rindu yang membuncah. Banyak lembar cerita yang mengisahkan biduk rumah tangga antara mereka dengan berbagai macam konflik dan
Di tepi sungai, Yodas membiarkan gelombang air yang menjadi lintasan makhluk mengerikan itu menerpa tubuhnya. Ia masih tidak percaya dengan apa yang dilihat, Joe mungkin tertidur nyenyak di perut predator dan ia tidak bisa menolongnya. “Dasar makhluk sialan! Jiaaahhaaaahh!” Pemilik kulit eksotis itu meraung sambil menjambak rambut. Yodas mendongak, sekali lagi menatap kepergian Joe. Sesuatu hal yang tidak disangka-sangka terjadi, Yodas terkesiap merasakan percikan air yang mengenai wajahnya hingga ia kesulitan bernapas. Ia mundur beberapa langkah melihat kepala monster yang membawa Joe tiba-tiba menyembul dari dalam sungai. “Apa dia mendengar aku menyalahkannya? Oh, God, tamat riwayatku!” lirih Yodas, matanya terlihat pasrah dan putus asa. “Apa kau juga akan memakanku seperti kau memakan temanku, huh?” Yodas berteriak lantang, seolah itu akan memuaskan hatinya di akhir hidup. Makhluk itu menatapnya dan tanpa basa-basi meleb
Pukul 00.59 dini hari, kabut tebal menerjang pandangan. Udara yang dingin menghasilkan bulir-bulir basah seluruh isi hutan. Tebal jaket tidak melindungi mereka dari suhu yang semakin ekstrem. Di tengah gigil yang mendera, Nick berusaha melawan dingin dan bersikap biasa saja. Sesekali jemarinya mengusap layar yang lembab, sinar matanya menyala, seulas senyum pun melengkung di bibirnya yang eksotis. Semua anggota dapat menebak, apa yang akan dikatakan olehnya karena mereka juga melihat apa yang ada di layar ponsel. Manik mereka jatuh pada objek yang ada di depan, sebuah gua yang ditumbuhi rumput. Kabut putih di hamparan malam yang pekat membuat penampilan gua itu seperti rumah hantu. Dahi Nick mengernyit. Untuk apa Yodas berada di dalam sana? Nick mengajak teman-teman untuk masuk ke sana melalui bahasa mata. Tidak ada yang membantah, mereka semua mengangguk. Sampai di mulut gua, Nick mengisyaratkan mereka untuk berhenti. Seekor piton raksasa melintas, menghalangi
Berhari-hari menempuh perjalanan, komunitas muda itu tak jua menemukan letak sungai yang dimaksud, mereka hanya berputar-putar dan selalu kembali ke tempat semula. Stok makanan sudah habis sedangkan mereka tidak tahu kapan mereka akan keluar. Nick berpikir keras untuk mendapatkan jalan yang benar, kali ini Nick merasa benar-benar dihimpit kebingungan. Sebagai ketua, ia dibebani tanggungjawab yang besar. Lelah, Nick menuruti kemauan anggota untuk sekadar mengatur napas yang tersengal. Menuruni tanah berundak, mereka melepas penat di tanah yang datar. Satu tangkai anggur seketika menyejukkan mata, mereka terlihat seperti kawanan anjing hutan yang kelaparan. “Berikan aku sedikit!” ucap Mehmet pada Sanskar yang berhasil mendapatkan banyak bagian. “Hei, kenapa kau memakannya terus?” Sanskar tak menghiraukan Mehmet, ia terus mengunyah semua anggur hingga tak tersisa. “Kenapa kau menghabiskannya sendiri, Sanskar? Satu biji pun kau
“Aaaa!” Suara teriakan membuat orang tergopoh-gopoh ingin mencari tahu apa yang terjadi. Seorang lelaki masuk dengan sangat terpaksa. Bill, pria itu melihat panik kondisi Jess. Ia mengambil segelas air, gadis itu masih berusaha mengendalikan napasnya yang memburu. Butuh waktu lima menit sebelum air mineral itu berpindah tangan, Jess meneguknya bersama butiran pil berwarna putih yang diambilnya dari sebuah botol transparan. “Terima kasih!” Jess melempar senyum kecil pada Bill, pria itu menaruh gelas yang sudah kosong di atas nakas. “Kau memimpikannya lagi?” tanya Bill sambil merapikan perkakas ranjang yang berhamburan di lantai marmer. “Maaf, kalau aku selalu merepotkanmu!” Jemari Jess menyisir poni yang terlihat memanjang. “Bukankah aku dibayar untuk itu?” Bill berujar tanpa melihat wajah Jess, mata elangnya masih melekat di lantai. Jess menarik satu sudut bibirnya kemudian mencebik ketika tangis bayi mengisi kamarnya. Mala
Di sisi sungai, Nick membasuh wajahnya. Ia melihat pantulan wajahnya di air keruh yang sudah koyak, ia melihat kegagalan dan masa depannya yang buruk. Tiga puluh hari, Nick mengembara bersama Mehmet, mencari jalan juga teman-temannya. Seringkali ia mengingat Jess juga buah hati mereka. Penampilannya kini nyaris tak dikenali. Ia dan Mehmet bertahan hidup dengan memakan buah-buahan yang tumbuh di hutan, tiga puluh hari bukan sesuatu yang mudah. Berbagai macam kesulitan datang bertubi-tubi, dan hal itulah yang membuat mereka terlihat lebih kuat. “Nick!” Suara Mehmet membuyarkan lamunannya, ia berjalan mendekati Mehmet. “Kau mendapatkannya?” Nick melihat sesuatu di tangan Mehmet. “Yeah, ini yang ke lima puluh kali setelah aku mendapatkan piranha lebih dari dua puluh kali.” Mehmet mengangkat kayu yang berhasil menusuk buruannya. “Baguslah, setidaknya kau mendapatkan ikan gabus walau cuma satu!” “Ya, setidaknya ini bisa menjadi t
Aroma lili menyeruak ke sudut-sudut ruang. Jess mematut dirinya di cermin hias, gaun hitam sepanjang lutut melekat apik di tubuhnya. Gaun ketat tanpa lengan dengan kualitas super itu melekat sesuai pahatan tubuhnya yang indah tanpa memberi efek panas dan alergi. Jess terlihat sempurna dengan sapuan lipstik glossy berwarna karamel. Rambut ikalnya digelung, memamerkan leher jenjang berhiaskan berlian kecil yang cantik. Tanpa penebal alis dan maskara, warna alis dan bulu matanya tampak tegas dan menyala. Jess berputar, memindai pantulan dirinya di cermin, raut wajahnya berubah redup. Ia mengelus bagian tangannya yang berotot. Sebelum melahirkan, bahkan urat halus pun tak terlihat. Beruntung, badannya yang sempat kurus kini mulai berisi sehingga ia tak perlu malu mengenakan pakaian-pakaian seksinya kembali. Jess menyambar kunci mobil setelah selesai mengenakan sepatu hak tinggi berwarna serupa dengan pakaiannya. Tak lupa, kacamata hitam bertengger di pangkal hidungnya yang t
Nick dengan kesendiriannya melawan rasa putus asa yang semakin kronis. Dia berjalan terseok-seok karena kehabisan tenaga. Sengatan matahari membuatnya sedikit terhuyung. Ia sangat haus dan kelaparan. Sepanjang perjalanan ia tak menjumpai makanan, hutan tropis itu seakan kering. Nick terjatuh dan kesadarannya menghilang, jiwanya terbang ke sebuah sungai. Seorang perempuan cantik bermata biru mengajaknya bermain air. Gadis itu menarik Nick ke dalam air dan pada saat ia akan tenggelam, kelopak matanya terbuka diiringi deru napas yang tak beraturan.Nick mengangkat beban tubuhnya, mimpi buruk yang baru terjadi menyuntikkan tenaga baru ditubuhnya. Ia berjalan menaiki bukit, ada gumpalan asap yang menarik perhatiannya. Susah payah melewati medan ekstrem, akhirnya ia menemukan sumber asap yang dilihatnya. Nick berjalan menembus kepulan yang membuat perih kedua aksanya, bahkan pemuda itu sama sekali tak ingat dengan peringatan pemimpin suku waktu itu.Nick terus be
“Callin?” Dev tersenyum miring mendengar suara gelisah Ezhar.“Kau menyentuh bonekaku?”“Tenanglah, aku hanya sebentar saja memainkannya!” Ezhar menjawab.“Tinggalkan kami, Ezhar! Aku ingin memainkannya sendiri.” Setelah berkata demikian, Ezhar mulai menghitung langkah dengan sorot mata penuh pertanyaan.Beberapa saat setelah kepergian Ezhar, Callin memulai aksinya. Ruangan 3x4 meter itu penuh dengan raungannya. Tidak ada apa pun yang bisa menjadi tempat pelampiasannya kecuali Dev. Callin menjadikan adiknya seperti mainan yang tidak diinginkan. Sesekali, tinju-tinjunya dilayangkan pada wajahnya sendiri. Hal itu membuat kepala Dev dipenuhi tanda tanya.“Apakah dia sedang mengingat penderitaannya?” gumam Dev.“Cih, untuk apa aku peduli soal dia!” Dev menggeliatkan sedikit badannya yang dipenuhi darah. Walaupun sedikit, pergerakannya membuat besi rantai yang membelenggu tangannya bergemerincing. Callin yang tengah berusaha untuk tenang seketika menoleh. Membalik badan dan menusuk Dev den
Boom!Dentuman menggelegar meriuhkan jagat. Angin berdebu mengaburkan penglihatan dalam sejenak. Dalam satu pukulan itu, Callin berhasil membuat seluruh tempat menjadi porak-poranda."Dev!" Michele kembali berteriak saat dia melihat Dev bertelengkup dan mengangkat kepala dengan lemah."Jika kau ingin selamat, diam dan pergilah!" Callin berkata dingin kepada Michele. Dia kemudian menyeru semua anggota yang tersisa dan mengisyaratkan Ezhar untuk pergi."Dev!" Teriakan Michele terdengar pilu. Dia harus menyaksikan Callin menyeret Dev seperti menyeret babi hutan.Di sebuah tempat tersembunyi di São Paulo, Dev diasingkan. Rumah kayu yang tak bersekat di sana akan menjadi tempat baru yang sangat mengerikan untuk Dev. Bayangan Callin akan mengulitinya hidup-hidup terus berputar di kepala dan mungkin itu akan terwujud saat Callin muncul dengan tombak bermata tiga di tangannya."Apa kau merasa lelah dengan perjalanan kita sampai kau harus tidak sadarkan diri dalam waktu selama itu?" Callin ber
"Dasar anak bodoh!" Elios membuka mata dan melihat Dev sudah ada di depannya."Kau? Apa kau berubah pikiran?" Elios menebak. Dev mendecak. Tidak bisa memahami jalan pikiran pemuda latin itu."Ikut aku!""Tidak! Aku harus mencari Devada.""Lupakan dia!""Hei, apa kau sudah gila?" Elios mendecih. Terlihat sangat tidak suka dengan perkataan Dev."Ikut aku jika kau ingin selamat." Elios memberi tanda penolakan dengan menggeleng."Kau bukan Tuhan yang menjamin keselamatanku. Bagaimana mungkin aku mengikuti orang yang tidak kukenal sementara gadis yang aku cintai sedang dalam bahaya?" Dada Dev kembang kempis. Ingin memukul Elios, tetapi pemuda itu tidak sepenuhnya salah."Kau terlalu banyak membual, Elios!" Dev berkata dingin."Membual? Apa kau tidak pernah mencintai seseorang sehingga kau bertindak seperti orang yang tidak punya hati?""Hei ... dia sudah mati!" Seketika, bentakan Dev membuat tangan Elios melayang keras ke pipi Dev."Dev! Sudah!" Michele menahan tangan Dev yang sudah terkep
"Devada? Di mana Devada?" Seorang pemuda terbangun cemas setelah pingsan dari perjalanan menuju tempat tersembunyi."Diamlah, Elios!" Dev menghentikan aktivitas tangannya. Elios terhenyak, tetapi bukan karena suara dingin Dev melainkan laki-laki yang tergeletak tak berdaya di depan Dev."Siapa kau? Apa yang kau lakukan pada orang itu?" Elios tersudut pada dipan yang menjadi dinding rumah yang mereka singgahi.Dev memutar badannya, lalu menumpahi Elios dengan tatapan kesal. Selanjutnya sebuah tanggapan dia haturkan, "Seharusnya aku meninggalkanmu saja di tempat terkutuk itu!"Dev mengangkat beban tubuhnya meninggalkan Elios yang belum pulih dari rasa syok. Hanya sebentar saja mengambil secawan air putih dia ambil dari mata air di area yang tidak jauh, lalu kembali lagi ke ruangan di mana Elios berada."Minumlah!" Dev mengulurkan gelas bambu pada Elios."Terima kasih!" balas Elios, keruh di wajahnya sudah hilang."Katakan kalau kau merasa lebih baik." Dev membalas."Maaf, aku sudah sala
"Apa hasilnya?" Dev menatap punggung seorang dokter yang baru saja memeriksa keadaannya. Dia beringsut dari brankar, lalu duduk."Tunggulah! Kau pasti akan mengetahuinya. Sekarang, kau hanya perlu pulang dan istirahat." Dokter perempuan itu berkata sambil berkutat dengan pekerjaannya."Aku tidak memiliki banyak waktu, Dokter!""Sepertinya kau tidak kalah sibuk dengan Jair Bolsonaro yang seorang pria nomor satu di Brazil." Dokter itu kemudian terbahak. Namun, keadaan menjadi hening ketika Dev menghentakkan telapak tangannya di meja."Ternyata kau sama keras kepalanya dengan ayahmu!""Jika aku menjadi pemilik rumah sakit ini, aku tidak akan membiarkan orang sepertimu menjadi tenaga kerja." Ucapan Dev membuat dokter itu mengunci tatapannya dalam sekejap."Apa kau benar-benar siap untuk mengetahui kenyataan yang sebenarnya, Dev Sasaka Erhan?" Mata tajam Dev seketika jatuh pada perempuan berseragam di seberangnya. Tidak disangka, dokter itu sudah terlebih dahulu menusuknya.Ketegangan meng
"Siapa kau?" Perempuan telanjang itu bergeming dan terus mendekati Dev dengan membawa ular di tubuhnya. Dev mengelak saat perempuan aneh itu mengendusnya."Menyingkir dariku, Jalang!" Dev terlihat marah. Akan tetapi, lawan bicaranya hanya tersenyum, memamerkan gigi taring. Saat melihat itu, seketika Dev mengerti bahwa dia sedang berhadapan dengan iblis. "Apakah kau yang mereka panggil dengan sebutan dewi?" Dev mengejek."Jika kau makin banyak bicara maka aku akan makin tertarik. Mulutmu sangat wangi dengan bau Asmodeus. Kau sudah memakan jatahku malam ini dan kau harus menggantinya." Perempuan itu berkata sambil mengendus leher Dev. Jilatan lidahnya membuat Dev merasa sedikit terlena."Apa maksudmu?" tanya Dev."Raja Asmodeus, kau adalah raja kegelapan. Setiap tatapanmu adalah mutiara. Engkau Bapak penguasa singgasana neraka. Birahi dan napsu tunduk di bawah kakimu. Aku datang sebagai kekasihmu, naungi aku dengan geloramu. Berkati aku dengan keringatmu. Aku mempersembahkan seluruh ke
Dev masih menunggu orang-orang itu melepas topeng. Dengan sabar, dia menyimak obrolan yang mungkin akan memberinya petunjuk. Seseorang datang menduduki kursi agung. Sepertinya ia adalah pemimpin kelompok. Ia berkata, "Apa kalian sudah menjalankan tugas dengan baik?" Dari suaranya Dev tahu bahwa orang itu adalah perempuan."Tentu. Semua berjalan seperti yang kau inginkan. Jess sudah mati setelah melewati penderitaan yang pantas." Seorang laki-laki menjawab. Dev merasa tidak asing dengan suara tersebut."Bagus. Semua berkat Dewi Lilith. Haimm untuknya." Wanita itu menyeru."Wanita cantik, Lilith! Kau adalah angin malam. Ketika rambut panjangmu mengalir tanpa suara, tatapanmu menusuk hati para pria. Dalam kegelapan bayanganmu tumbuh. Dark Moon Lilith, ular yang menyiksa. Aku mengagumimu tanpa rasa takut. Dewi, kau penting dan kaulah yang aku hormati. Ibu Lilith yang selamat dari sisa-sisa waktu, roh dari semua yang liar. Perwujudanmu kematian Ilahi. Aku datang sebagai anakmu. Lindungi aku
"Kau pikir aku tertarik dengan dunia sihir?" Elfara memandang gusar pada Dev."Aku tidak bertanya seperti itu, kan? Aku menemukannya di kamarmu.""Terserah kau, aku tidak peduli." Elfara berkata dingin dan Dev memilih diam. Tidak ingin memperburuk suasana hati Elfara.Sesampainya di rumah, keduanya saling diam hingga malam menjelang. Keanehan pun kembali terjadi. Dev di dalam kamarnya beberapa kali mendengar eraman naga, tetapi tidak bisa melihat wujudnya.Dalam keresahan, Dev menutup kedua lubang telinganya. Entah mengapa, tiba-tiba rasa panas mulai mengalir ke seluruh tubuhnya. Keringat mulai lolos dari pori-pori. Tetiba, Dev sangat membenci audio yang Mehmet setting putar otomatis setiap pagi, siang, dan malam. "Argh!" Dev mulai menggelinjang dan mulai merasakan listrik bertegangan rendah menyengat kakinya."Asmodeus!" gumamnya. Dia melihat makhluk berkepala tiga pada pantulan lemari kaca dengan wajah yang sangat murka."Mehmet é um inimigo em um cobertor! Você tem que matá-lo!" A
"Elfara!" Dev tergopoh-gopoh ke kamar rawat kakaknya. Gadis itu tampak sangat ketakutan."Apa ada yang menyakitimu?" Dev berusaha menenangkan Elfara."Nania! Nania menerorku!" Elfara menjawab setelah beberapa lama terpaku sejak kedatangan Dev. Genggaman Dev terlepas dari bahu kakaknya."Tenanglah! Aku akan memastikan dia tidak akan mengganggumu lagi." Sekeluarnya Dev dari kamar rawat Elfara, dia memutuskan keluar dari gedung rumah sakit."Cari tahu kebenarannya terlebih dahulu sebelum kau melakukan sesuatu." Langkah Dev terhenti di halaman depan rumah sakit."Kau mendengar semuanya. Apa kau tidak percaya pada Elfara?" Dev bertanya dengan tatapan lurus ke depan."Orang cerdas akan bersikap bijak, bukan?""Ya, aku mengamati Nania sejak lama. Aku harap kau tidak keberatan, Paman Mehmet!""Tentu. Aku selalu berpihak pada kebenaran."Dev menyiram tubuhnya yang lengket di bawah shower. Sejak dikejutkan oleh perubahan bentuk fisiknya, dia belum merasakan segarnya sentuhan air. Di bawah guyur