"Beréngsek, kenapa nggak di angkat, sih, teleponnya. Huft … udah ditungguin satu jam juga belum datang." Seorang wanita cantik nan séksi yang mengenakan lingeri merah itu menghentak-hentakkan kakinya sambil ngomel-ngomel karena orang yang ditunggunya di kamar hotel tidak kunjung datang.
Di kafetaria hotel nampak Risa dan Danu sedang melihat buku menu untuk memilih makanan yang mereka pesan."Sayang, mau pesan apa?" Danu bertanya kepada Risa, pasalnya sudah sepuluh menit berlalu istrinya itu belum menyebutkan menu apa yang akan dipesan."Mmm … sup labu dan french toast, untuk minumnya jus jeruk aja.""Cuma itu aja, kok sedikit amat? Nanti nggak cukup lho, kalau dibagi sama dedeknya." Danu bertanya sambil mengelus perut Risa yang masih datar. Seketika wajah Danu memucat ketika pandangannya tertuju kepada sosok wanita cantik yang baru keluar dari lift hotel. Mata cantik itu menatap tajam kearah tangan kanan Danu yang berada di atas perutnya Risa."Mas kenapa, mukamu kok pucat? Mas sakit?" Risa bertanya sambil memegang wajahnya Danu."Lihat apaan sih?" Sekali lagi Risa bertanya."Nggak pa pa, mungkin karena sudah lapar. Perut Mas sedikit kembung." Danu segera menarik tangannya dari perut Risa setelah tatapan tajam mata sang kekasih seolah mengulitinya."Kalau gitu biar aku panggil pelayan biar pesenan kita dicepetin." Risa mengangkat sebelah tangannya ke atas sambil membalikkan badannya. Ia terbelalak ketika melihat teman lama yang sangat dirindukannya terlihat sedang berdiri mematung di depan pintu lift hotel."Karin …." Risa setengah berlari menghampiri Karin teman baiknya ketika duduk di bangku sekolah menengah atas dulu. "Ya Tuhan … kemana aja sih lo, gue kangen banget tahu. Lo kayak ngilang ditelan bumi setelah gue nikah, bahkan nomor ponsel elo juga nggak aktif." Risa memeluk Karin erat sambil memberondong segudang pertanyaan."Ternyata bawel elo masih utuh ya, walaupun udah nikah. Satu-satu dong kalau nanya, sampai bingung gue.""Hehehe, maaf ya, abis seneng banget gue bisa ketemu sama elo disini setelah dua tahun nggak ada kabar. Sini, sini, makan bareng kami, Mas Danu juga pasti seneng banget bisa ketemu elo." Risa menarik tangan Karin untuk mengikutinya."Tapi Ris ….""Serah, gue nggak terima penolakkan dari elo TITIK."Danu terlihat gelisah setelah melihat Risa menarik tangan Karin mendekat ke meja di mana dirinya dan Risa sedang makan siang."Mas lihat, siapa ini, tara …." Risa seolah memberikan kejutan kepada Danu."Eh kamu kan … siapa, ya?" Danu pura-pura tidak kenal."Ish, masih muda udah pikun. Ini Karin mas, Karin temen aku waktu SMA. Dulu sering jalan bareng sama kita waktu kita masih pacaran.""Oh … Karin yang dulu itu, ya? Hai Karin, apa kabar?" Danu mengulurkan tangan kepada Karin."Hai juga Kak Danu, kabar baik." Karin menerima uluran jabat tangan dari Danu."Udah deh kayak sama siapa aja. Nggak usah formal-formal kali. Sini Rin, duduk, kita makan bareng ya?"Karena meja makannya berbentuk bundar, Karin duduk di antara Risa dan Danu. Dengan wajah yang tersenyum manis di bawah meja makan, tangan Karin meraih tangan Danu dan menggenggamnya. Wajah Danu menegang dengan aksi nekat Karin."Kenapa Mas, kok pucat lagi? Masih sakit perutnya? Jangan bengong aja, cepet diabisin dong, biar perutnya nggak kembung.""I-iya, Sayang.""Oh ya, Rin, mau pesen apa?""Gue masih kenyang, pesen jus jambu aja deh.""Uluh-uluh, body udah kayak gitar spanyol gitu kok masih aja diet. Ngiri banget deh sama elo. Beruntung banget cowok yang jadi suami elo."Ah biasa aja kali, elo berlebihan, Ris. Lagian gue masih singgle kok.""What … masih singgle, belum married dan nggak punya pacar? Bisa-bisanya sih Rin. Kriteria elo yang kek gimana sih, gue pengen tahu.""Umum aja Ris, cinta dan sayang ama gue. Soal mapan itu relatif, asal dia mau kerja keras demi gue dan anak-anak gue kelak itu sudah cukup.""Uh, so sweet … by the way, mau nggak lo gue kenalin? Temennya mas Danu banyak yang masih jomblo. Ya kan, Mas, coba Mas pilihin dong buat dikenalin ke Karin. Siapa tahu jodoh.""Uhuk-uhuk." Danu yang sedang minum langsung tersedak mendengar permintaan Risa."Hati-hati, Mas! Kenapa sih Mas, hari ini Mas kok tingkahya aneh?" Risa mengelap ujung bibir Danu yang basah."Makasih, Sayang." Danu secara reflek memegang tangannya Risa yang sedang membantunya membersihkan noda kopi. Di sisi lain, wajah Karin berubah muram melihat kemesraan pasutri yang ada di hadapannya."Ehem …." Karin menginterupsi kegiatan mereka."Eh, maaf Rin, gue nggak bermaksud mesra-mesraan di depan elo, hehehe." Risa tertawa untuk mengurangi kecanggungngan, sedangkan Danu kembali pucat wajahnya ketika mendapatkan tatapan tajam dari Karin."Santai aja kali, Ris, dari dulu juga udah biasa." Di bawah meja makan, tangan Karin kembali meraih tanganya Danu. Karena cemburu, Karin sengaja meletakkan tangannya Danu di atas permukaan pahanya yang mulus. Hari ini karin memakai bawahan rok di atas lutut, sehingga ketika ia duduk akan dengan mudah tersingkap ke atas."Ehem …." Danu menelan salivanya berulang-ulang karena suasana yang menegangkan ini. Satu sisi tegang karena sentuhan mulus kulit Karin yang membuatnya bergàirah, sisi yang lain tegang karena takut perbuatan mereka diketahui istrinya."Apalagi sih, Mas, tenggorokan Mas kering, ya? Makanya minum air putih aja, jangan minum kopi biar pedesnya ilang.""I-iya, Sayang, maaf hari ini Mas bikin kamu khawatir terus." Danu segera menarik tanganya dari paha mulus Karin untuk menerima uluran segelas air putih dari Risa."Rin, elo berhutang banyak penjelasan ke gue. Pokoknya elo harus jelasin sedetail-detailnya, ke mana aja elo selama ini dan kenapa kayaknya gue rasa elo menghindari gue.""Maaf Ris, gue ada alasan yang nggak bisa gue ungkapin ke elo.""Alasan apa sih, Rin? Dari dulu kita selalu berbagi rahasia. Sekarang apa bedanya? Walaupun sekarang gue udah nikah tapi itu nggak bakal berubah. Ya kan, Mas?" Risa melirik ke arah Danu."Itu terserah Sayang sama Karin aja. Urusan wanita, Mas nggak bakal ganggu.""Tuh kan, elo denger sendiri suami gue nggak masalah.""Maaf Sayang, Mas harus kembali ke kantor, jam istirahat Mas udah hampir habis." Danu berpamitan sambil mengecup pucuk kepala Risa." Duluan ya, Rin." Danu berpura-pura pamitan kepada Karin."Iya Mas, hati-hati." Ucap Risa dan Karin bersamaan. Mereka bertiga saling berpandangan."Eh maksud gue, Kak. Elo sih, Ris, dari tadi mesra-mesraan mulu. Gue jadi ikut kebawa elo manggil kak Danu jadi Mas." Mendadak keadaan hening."Ahahaha, santai aja kale … gue nggak segitu cemburunya. Apalagi sama elo Rin, kita kan udah kayak saudara sendiri. Nggak usah canggung gitu, dong? Oh ya, gimana ngobrolnya kita sambung di rumah gue, kayaknya nggak cukup waktu kalau kita ngobrolnya di sini. Elo nginep ya, di rumah gue." "Nginep …?" BERSAMBUNG."Oh ya, bagaimana kalau ngobrolnya kita terusin di rumah gue, kayaknya nggak cukup waktu kalau di terusin disini. Nginep ya … di rumah Gue?" "Nginep?" Danu dan Karin kompak menjawab bersamaan. "Iya, nginep. Kenapa reaksi kalian berdua aneh? Kayak udah janjian gitu." Risa mengerutkan keningnya. "N-nggak gitu, Ris. Gue cuma ada urusan sama temen." Karin tergagap. "Temen yang lebih penting dari gue? Setelah dua tahun nggak pernah bertemu? Lagian elo singgle, pasti nggak ada janji sama cowok, kan?" Risa memasang wajah kecewa. "Eh, itu …." Karin melirik Danu. "Sayang, Mas ke kantor sekarang, ya? Mas, nggak ikutan urusan wanita." Danu mengelus pundak Risa dan setengah berlari keluar dari kafetaria hotel. "Em … iya deh, gue nginep di rumah elo nanti malam." Karin tidak punya pilihan lain."Ye … gitu dong, bff." Risa melompat girang. 'Hh, elo yang ngundang gue ke rumah elo, Ris. Jangan salahkan kalau suami elo nyuri kesempatan buat bermesraan sama gue.' Karin tersenyum mengejek. Ia se
"Udah pulang, Mas." Risa dan Karin menjawab bersamaan. Lagi-lagi mereka bertiga saling berpandangan dengan ekspresi yang berbeda-beda. Hening. "Ahahaha, makanya, Rin, elo musti cepet cari calon suami, biar nggak salah manggil terus. Masak dari tadi siang elo manggil suami gue dengan panggilan, Mas. Ngarep ya jadi istrinya mas Danu, atau elo mau jadi madu gue? Kalau elo mau, gue seneng banget. Biar bisa bebas tugas dari sini terus bisa pulang ke Jakarta nemenin Papa." Danu dan Karin kaget dengan kata-kata yang meluncur bebas dari mulut seorang Risa Aulia. "Ris!" "Yang." Danu dan Karin menjawab di waktu yang bersamaan. Wajah keduanya terlihat pucat. "April mop … duh gue cuma bercanda, Rin. Jiwa jomlo elo udah meronta-ronta minta suami tuh, bibir bilang asyikan jomlo tapi yang di dalam hati maunya punya suami ye, kan …." "Aduh Sayang … nggak lucu tahu." Danu merasa lega setelah mendengar pengakuan Risa kalau baru saja melontarkan sebuah candaan kepada mereka. "Maaf-maaf ya, Rin, se
"Lo dari mana, Rin? Gue cari-cari kok nggak ada. Padahal gue cuma ke kamar mandi sebentar.""Eh itu Ris, gue abis teleponan sama temen. Di dalam, sinyalnya timbul tenggelam jadi gue keluar rumah buat angkat telepon.""Rin, elo sekarang ngrokok? Kok bau badan lo kek bekas orang yang suka ngrokok?""Masak sih?" Karin mengendus baju yang dipakainya." Oh tadi pas di luar ada bapak-bapak ronda sedang ngrokok di dekat gue, mungkin asepnya nempel di baju gue. Masak iya, gue ngrokok sih, Ris? Elo pikir gue cewek apaan?""Hehehe … iya sih, mungkin hormon kehamilan nih bikin gue sensitif sama bau-bau tertentu. Ngomong-omong, lo lihat nggak laki gue di mana? Dia juga nggak kelihatan dari tadi."Lho Mas, dari mana?" Risa melihat Danu masuk dari pintu samping rumah."Biasa Sayang, abis ngrokok." Danu berkata dengan santai."Kalian berdua kayak janjian. Karin juga abis dari luar, teleponan ama temen. Baju kalian berdua juga bau rokok. Hehehe … emang rumah kita terlalu minimalis, ya? Sampai-sampai ba
"Haruskah kuakhiri sekarang? "Risa merasakan sakit pada perutnya. Selalu saja begini, ketika ia ingin menyelesaikan masalah rumah tangganya. Janin yang ada di dalam kandunganya seolah mencegahnya, rasa sakit di perutnya selalu datang seiring dengan kata hatinya yang ingin menggugat cerai suaminya.Sebenarnya Risa sudah menangkap gelagat aneh di antara Karin dan Danu, ketika mereka bertemu di kafetaria hotel. Risa hanya pura-pura tidak tahu, ia ingin melihat sejauh mana instingnya terbukti. Nyatanya dengan kedua belah matanya ia melihat sendiri tangan Karin dan suaminya saling menggenggam mesra, rasa sakit hati menderanya ketika suaminya tidak menolak ataupun menghindar dari godaan Karin, sedangkan Risa yang notabene berstatus istri sahnya berada dihadapan mereka berdua."Ternyata elo Rin, orangnya. Tak kusangka, jadi ini alasannya elo menghilang setelah pernikahan gue. Dan buat kamu Mas, kenapa mengejarku dan melamarku kalau yang Mas cinta dari dulu itu Karin. Apa alasannya? Apakah kar
"Mas lagi ngapain di situ?" Danu terperanjat kaget dengan suara Risa yang sudah ada di belakangnya."Eh, Sayang, sudah bangun ya?""Dari tadi, Mas.""Dari tadi, sejak kapan?" tiba-tiba wajah Danu kelihatan memucat."Karin baru saja pergi ya?" Risa pura-pura menanyakan keberadaannya Karin."Emang, Sayang nggak lihat keberadaan Karin?" Danu kembali berdusta."Nggak lihat, emang mas tahu keberadaan Karin di mana?""Nggak tuh." Danu menggidikkan bahunya. "Mas juga baru bangun, Sayang.""Semalam itu aneh banget, tiba-tiba aku ngantuk dan nggak ingat apa-apa sampai pagi. Sekarang, Karinnya udah pergi, padahal belum cerita apa-apa huft ….""Mungkin Sayang terlalu capek, kemarin dari pagi sibuk sampai malam. Jadi nggak sadar ketiduran. Nggak pa pa, lain kali kan masih ada waktu ngobrol. Kapan-kapan janjian dulu. Kalau Karin mau nginap lagi juga nggak pa pa. Mas, seneng kok, kalau kamu ada temen ngobrol.""Mas seneng?" Risa menatap tajam Danu."I-iya seneng, Karin kan teman baik kamu, Sayang. S
Enam bulan kemudian.Sayang, kapan tanggal HPL nya? Mas mau siap-siap ambil cuti supaya bisa nemenin kamu saat lahiran nanti." Danu mendekati Risa yang sedang duduk di ruang tamu sambil membaca buku tentang kehamilan."Satu minggu lagi, Mas." Risa sebenarnya malas untuk memberitahukan tanggal HPL kelahiranya karena selama ini waktu periksa kandungan juga, Danu seolah tak peduli karena bila berjanji selalu tidak ditepati. Tapi sebagian sudut hati kecil Risa, ia ingin ditemani oleh suaminya disaat proses bersalinya nanti. 'Ah mungkin ini keinginan sang jabang bayi.' batin Risa dengan senyum getirnya."kenapa Sayang, sakit lagi perutnya?""Nggak pa pa, Mas, pegel aja punggungnya." Risa ingin sekali menangis, tapi air matanya sudah mengering sejak ia mengetahui perselingkuhan suaminya. Baginya pantang untuk menangisi seorang suami yang menusuknya dari belakang. 'Bahkan dia tidak tahu bahwa sakit di perutku karena ulah dari tendangan bayi kami yang akan sebentar lagi lahir ke dunia. Kamu j
"Darimana kamu mas, semalam?" Risa memandang Danu dengan tajam, kekecewaan yang besar terlihat dari sorot matanya. "Maaf, semalam mas------ "Sudahlah, tidak penting sama sekali semalam kamu ada dimana." Danu tersentil hatinya dengan jawaban sarkastik dari Risa. "Biar mas bantu." Danu segera meraih tangan Risa, ketika Risa berusaha turun dari ranjang. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut Risa ketika Danu memapahnya berjalan ke kamar mandi. Danu cuma menebak, dan sepertinya tebakannya benar karena Risa tidak protes ketika ia menggiringnya masuk ke dalam kamar mandi.Setelah selesai, Danu kembali membantu Risa naik ke atas ranjang dan menggantungkan kembali botol infus ke tiang gantungan. "Mas keluar dulu, mau beli sarapan dan keperluan kamar mandi buat kamu. Sayang mau makan apa? Atau ada sesuatu yang mau dibeli?" &
Dua bulan kemudian."Oek …oek … oekk."Suara tangisan Satria membangunkan Risa, sejak sore hari bayi tampan itu rewel tanpa Risa tahu apa penyebabnya. Risa bangun memeriksa popoknya dan ternyata masih kering. Ia mengangkat bayi gembul itu lalu dipangkunya untuk diberi ASI. "Kamu lapar, Sayang." Risa membuka kancing atas piyamanya, diarahkan püting süsu ke mulut mungil Satria, namun bayi itu menolak dan menangis semakin kencang."Sayang, kenapa dengan Satria?" Danu mengucek matanya karena ikut terjaga dari tidurnya. Dua bulan ini, Danu benar-benar membuktikan janjinya. Tidak ada lagi drama berangkat pagi, pulang telat atau lembur di kantor. Ia menjadi suami dan ayah yang siaga.Dan untuk hati Risa, sebenarnya sudah tidak sama lagi rasa cintanya kepada Danu. Namun Risa tidak ingin, Satria tumbuh tanpa keluarga yang lengkap. Risa tahu bagaimana rasanya hidup dengan orang tua tunggal, walaupun ayahnya sangat menyayanginya. Namun masih ada kekosongan di ruang hatinya tanpa bisa tergantikan k
Delapan belas tahun telah berlalu, tapi pernikahan kedua Danu dan Risa semakin romantis. Walaupun umur keduanya tidak lagi muda. Seperti saat ini, di taman belakang saat sore hari, Danu dan Risa menghabiskan waktu bersama pada hari sabtu, minggu atau hari libur lainnya. Mereka akan duduk berdua sambil berpelukan dan bercerita keseharian mereka ketika tidak bersama. Danu akan bercerita keadaan kantor beserta permasalahannya dan Risa bercerita tentang keadaan rumah dan Satria. Bocah bule yang ditemukan di depan pintu yayasan sosial milik Risa itu kini tumbuh sebagai remaja tampan dan sangat aktif. Dingin di luar tapi sangat cerewet di saat-saat tertentu. Seperti saat ini, remaja tampan itu sudah menggoda kedua orang tua angkatnya dengan bercie-cie ria. "Astaga, kalian, mataku ternodai." goda Satria yang tiba-tiba muncul lalu mengolok kemesraan Danu dan Risa. "Kamu juga gitu, nanti, kalau udah ketemu cewek yang kamu suka." jawab Danu yang belum mau melepaskan pinggang istrinya. "Ish …
Hati Danu seakan ingin melompat dari dalam dadanya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, takut jika yang dilihatnya adalah halusinasi. Dengan mencubit kulit di lengannya, laki-lski itu memastikan jika yang dilihatnya adalah kenyataan. "Mas Danu," panggil Risa lirih. "Mas." "Eh iya," Danu terlonjak dengan panggilan Risa. Ia bangun dari ranjang lalu mendekati Risa. "Sayang," Danu menangkup wajah Risa yang malam ini terlihat sangat cantik dengan sentuhan make-up minimalis. "Malam ini …?" Risa menganggukkan kepalanya yang disambut senyum lebar dari bibir tipisnya Danu. "Maaf, telah membuat Mas, menunggu lama." "Tidak apa, Mas rela menunggumu." Danu langsung memèluk tubuhnya Risa dengan erat sambil mengècupi puncak kepalanya. Ia menarik kedua tongkat yang menyangga tubuhnya Risa lalu mengangkat tubuh mungil itu ke atas rànjang. Dengan pelan-pelan, Danu membaringkan tubuh istrinya. Pandangan mereka bertemu, Risa tersipu malu ketika suaminya menatapnya dengan lekat. Tatapan mata itu
Risa kaget, ia tentu merasakan tonjolan itu. Ia juga paham jika Danu sedang terangsang. Salahnya, ia tergesa-gesa sehingga tidak sengaja terpeleset lalu mengakibatkan insiden yang tidak diinginkannya. "M-maaf," ucap Risa dengan malu-malu. Sebenarnya sudah satu bulan yang lalu ia sudah membuka hatinya untuk menerima kehadiran Danu seutuhnya sebagai seorang suami. Dirinya pun sudah siap jika suatu saat, Danu meminta haknya. Namun ia malu untuk mengatakannya, ketulusan Danu dan perhatiannya selama ini. Dapat Risa rasakan jika tidak pura-pura atau dibuat-buat. Ia juga bisa melihat, tatapan penuh cinta dari Danu selaku ditujukan padanya ketika mereka berhadapan. Jujur, ia sedikit minder dengan keadaan fisiknya yang cacat, yang hanya mempunyai satu kaki. "Oh, tidak apa, kamu baik-baik saja, sayang. Eh … R-ris," mulut Danu selaku gatal untuk memanggil istri tercintanya itu dengan sebutan sayang. "A-aku baik-baik saja, Dan." Risa tak kalah canggung. Posisi mereka dan keadaan dirinya yang ha
"Dan," panggil Risa setelah mendengar nama Karin. Saat ini mereka sedang berada di ruang makan untuk sarapan. "Ris, Karin, meninggal tadi malam di rumah sakit pusat rehabilitasi penyakit AIDS." jelas Danu, yang tahu jika Risa penasaran dengan panggilan telepon yang baru dijawabnya dan menyebutkan nama Karin. "Sebaiknya kamu cuti untuk menghadiri proses pemakamannya Karin. Bagaimanapun, dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupmu." ucap Risa tulus. "Ris, kamu …?" "Aku sudah memaafkannya, aku pikir, semua sudah takdir dari Tuhan." "Terima kasih, Ris." Danu tidak menyangka, Risa akan begitu mudah memaafkan kesalahan Karin yang begitu besar padanya di masa lampau. Hati wanita itu sangat baik."Aku tidak bisa ikut, kondisiku yang begini, tidak memungkinkan dan tidak ada yang mengurus Satria.""Benar, sebaiknya, kamu di rumah, jagain Satria." Danu pikir, keputusan itu sudah tepat demi kebaikan semua. "Sudah, sana cepat berangkat sebelum jalanan ramai, daripada terjebak macet nanti.
"Bagaimana bisa?" Risa terperangah mendengar pengakuan dosa dari Karin. Seketika dadanya terasa sesak, Papa yang sangat dicintainya meninggal gara-gara mantan madunya."Maafkan aku, Ris, aku ….""Katakan padaku, bagaimana, Papa, bisa meninggal?" titah Risa."Setelah kelahiran Satria, Mas Danu, mulai menjauhiku. Dia memutuskan untuk meninggalkanku demi Satria. Ia merasa bersalah dengan keadaan Satria yang mengidap penyakit gagal jantung. Mas Danu merasa, semua karena kesalahannya. Sewaktu, kamu, mengandung, Mas Danu tidak memperhatikanmu karena sibuk mengurusku. Ia ingin menebus kesalahannya dengan merawat Satria dan meninggalkanku.""Aku yang sudah terbiasa mendapatkan perhatian dan uang jajan darinya. Merasa
Mereka saling berpandangan.Danu mengerjap beberapa kali karena tidak percaya melihat kehadiran Karin di depan matanya. Mantan istri sirinya yang dulu terlihat sangat cantik dan sèksi itu sekarang terlihat layu. Karin memakai kaos dan celana training panjang yang menutupi seluruh lekuk tubuhnya. Pakaian ketat yang sudah menjadi ciri khasnya tak terlihat hari ini. Mukanya kusam tanpa make up, kulitnya tampak kering tidak seperti dulu yang terlihat glowing dan terawat."Mas Danu ….""K-karin."Karin langsung bersimpuh dihadapan Danu."Ada apa? Jangan begini, malu dilihat orang." Danu beringsut mundur ke belakang."Mas, Mas Danu, tolong aku." tangis Karin mulai pecah.
"Oh ya …," Mata Karin terbelalak namun kemudian berubah sendu. "Syukurlah kalau mereka bersama lagi." "Apa maksud Lo?" "Gue yang jadi duri di pernikahan mereka." jawab Karin dengan lemah. "Rin, cerita dong, ada apa sebenarnya sama Elo? Setiap rumah sakit Elo datangi. Sebenarnya Elo sakit apa?" tanya Sisi. "Atau bener, Elo hamil? Siapa bapaknya, biar kita berdua yang datangi minta pertanggung jawaban." Kali ini Tata angkat bicara. Karin hanya menggeleng. "Terus ngapain Elo nolak tawaran untuk jadi sugar babynya Tuan Adrian?" Sisi keheranan. "Sampai kapan Elo hidup menderita, tinggal di kontrakan sempit ini sedangkan mantan suami
Keesokan harinya.Sesuai kesepakatan bersama, pernikahan Risa dan Danu untuk yang kedua kalinya akan dilaksanakan di KUA secara sederhana sesuai dengan permintaan Risa. Tadinya Sinta tidak setuju. Bagaimanapun Sinta ingin mengadakan syukuran kecil-kecilan dari kalangan staf panti dan keluarga. Namun Risa yang bersikeras menolak, membuat Sinta tidak berani memaksakan kehendaknya. Setidaknya ia berhasil memaksa Risa untuk memakai kebaya pengantin berwarna putih. Agar terlihat lebih sacral di hari penting ini."Sudah siap!" Sinta menyembulkan kepalanya dari balik pintu."Sedikit lagi, Bu." jawab sang make up artis yang disewa oleh Sinta."Oke, teruskan saja, Mbak. Saya tunggu di sini." Sinta mengambil kursi lalu duduk tidak jauh dari Risa. Ia memandang Risa yang sedang disa
Satu bulan kemudian."Bagaimana? Nggak mungkin kamu terus- terusan menggantung perasaan mereka, Ris?" Sinta yang sedang menimang Satria, menanyakan keputusannya tentang dua lamaran dari dua orang yang berbeda.Risa diam, bimbang dengan pilihannya."Kamu juga harus memikirkan Satria, jika kamu sudah memutuskan untuk merawatnya. Harus menyiapkan juga lingkungan pendukung untuk tumbuh kembangnya. Bukan hanya harta, tapi kelengkapan sebuah keluarga yang akan membentuk kesehatan psikisnya. Seorang anak memerlukan poker lengkap,seorang Ayah dan ibu yang akan menjadi panutan sekaligus pelindungnya. Kasih sayang dari dua orang tua, jauh lebih baik dibandingkan dengan seorang single parents. Kamu sendiri sudah pernah merasakannya, bukan?""Iya, Ma, aku tahu." Risa menatap lekat S