"Sudah, sudah, jangan menangis. Kamu belum di apa-apain kan, sama dia?" Danu mengurai pélukannya. Risa menggeleng sambil sesegukan, ia masih ketakutan dengan peristiwa tadi. Danu mengambil sapu tangan, menghapus air mata yang mengalir di pipi Risa. Dari kejauhan, Karin sudah tidak tahan melihat Danu dan Risa berduaan. Rasa cemburu telah membakar hatinya. Ia bergegas menghampiri mereka, tidak ingin melihat adegan mesra lainnya. "Ya ampun, Rin, kamu kenapa nangis?" Karin pura-pura tidak tahu. "Eh, kak Danu, Kakak di sini?" "Tadi ada seorang preman yang ingin melecehkan Risa, untung Kakak datang tepat waktu. Kalau tidak, di tempat sepi seperti ini, Kakak nggak bisa bayangin." "Maaf, Ris. Seharusnya tadi gue nggak ninggalin elo sendirian." dusta Karin sambil memeluk Risa."Ayo segera pergi dari sini, Kakak takut preman tadi bakal balik dengan membawa teman-temannya." "Ayo," ucap Karin.Risa dan Karin pun berjalan bergandengan tangan diikuti Danu dari belakang. "Sebaiknya kita anta
Lima bulan kemudian. Hubungan Risa dan Danu semakin dekat. Hendi papanya Risa yang semula tidak setuju akhirnya harus menyerah dan merestui hubungan mereka setelah Risa mengancam untuk mogok makan. Sedangkan hubungan Danu dan Karin masih berjalan di belakang Risa. Ancaman Karin yang akan memutuskan hubungan jika tidak menuruti kemauannya membuat Danu menjadi dilema. Risa sudah benar-benar jatuh cinta padanya, sedangkan hatinya hanya mencintai Karin seutuhnya. "Sayang, Kakak tidak ingin sampai sejauh ini menjalin hubungan dengan Risa. Rasanya terlalu berat buat Kakak, sampai membuatku sulit untuk bernapas." Danu masih memèluk Karin dari sisa-sisa percìntaan panas mereka. "Kak, dengerin, ya? Ini demi masa depan kita. Aku nggak mau, anak kita nantinya punya masa depan suram. Aku juga merasakan sakit ketika melihat Kakak bersama Risa." Karin mengusap dáda bidang Danu. "Masa depan kita nggak akan suram, Kakak akan bekerja keras untuk menafkahimu dan anak kita, kelak." Danu melepaskan K
"Aku tidak peduli. Kalau Mas mengajakku untuk hidup miskin, akan kugugurkan janin ini!""Apa?!" Danu membulatkan matanya. Tidak percaya dengan keputusan gila dari Karin. "Bagaimana membesarkan anak ini, kalau kamu miskin!" Karin berteriak."Ayo pulang, otakmu sudah tidak waras." Danu menyeret karin yang meronta karena menolak ajakan Danu untuk meninggalkan kantor Bagaskara Grup. ***Satu minggu kemudian. Satu jam sebelum sidang dimulai. Danu sudah hadir di Pengadilan Agama ditemani pengacaranya. Walau laki-laki itu tidak yakin akan memenangkan tuntutan harta gono gini. Karena desakan Karin, Danu akhirnya menyetujui untuk menyewa seorang pengacara menemaninya sidang.Karin sendiri akan hadir setelah jam sidang dimulai. Karena kondisi fisiknya yang mengalami morning sickness di trimester pertama tidak memungkinkan untuk beraktivitas berlebih di luar rumah. Danu hanya menunduk ketika melihat Risa datang bersama pengacaranya. Diam-diam ia mencuri pandang. Risa nampak begitu tenang, pen
"Prang …!" suara nyaring barang yang dibanting terdengar dari dalam suatu kamar kontrakan. Danu hanya diam menatap Karin yang sedang meluapkan emosinya dengan membanting barang-barang yang ada di dalam kamar kontrakan.Selesai mengobrak-abrik kamar, Karin menangis di pojokan kamar. Ia tergugu meratapi nasibnya yang sial. Impiannya pupus sudah setelah perceraian antara Risa dan Danu tidak mendapatkan harta yang sudah diinginkan sejak lama. Dalam hatinya ia mengumpat kepada Tuhan. Kesialan telah mewarnai hidupnya sejak lahir. Dibuang orangtua kandungnya, hidup ala kadarnya di panti asuhan, diejek di sekolah karena miskin dan di saat ia punya peluang emas menjadi kaya harus menelan kekecewaan ketika rencananya selama lima tahun sia-sia tidak menghasilkan harta yang ia butuhkan. Setelah diam cukup lama Danu bersuara. "Rin?" Karin semakin muak dengan kehidupannya. Ditambah sekarang tubuhnya lemah karena hamil muda. Kehamilan yang ingin ia gunakan sebagai alat untuk mengikat Danu setelah
Sisi dan Tata bersamaan memberi saran kotor yang menurut mereka sah-sah saja dalam memperoleh pundi-pundi rupiah. Tidak peduli jalan yang mereka tempuh adalah hal kotor dan terlarang. Dosa yang tidak terlihat, menjadikan mereka tersesat jauh ke dalam lubang maksiat. Usia muda yang menggelora, menjadikan Sisi dan Tata hilang arah karena jauh dari keluarga."Perbaiki make up elo, setelah itu ikut gue ke lantai atas, cuma servis dua jam langsung dapat segepok uang." Sisi menarik tangan Karin. "Si, gue nggak bisa." Karin sudah tidak tahan dengan bau udara yang pengap. "Ngapain sih lo? Elo mau hidup di kolong jembatan?" Sisi menghempas tangan Karin. "Eh bentar, Si. Kayaknya ada yang nggak beres sama Karin." Tata menangkup wajah Karin yang terlihat pucat. "Iya juga sih!" Sisi ikut memperhatikan wajahnya Karin."G-gue hamil." Karin mengatakannya dengan bergetar. "What?! Tata dan Sisi kompak menjerit. Mereka menatap perut Ksrin dengan lekat."Ssstt … kalian ngapain teriak gitu, sih?" kesa
"Mas ingin menceraikan aku karena telah menggugurkan janinku?!" Karin mendengkus. Danu menarik napasnya dalam. Ia memejamkan mata untuk mengontrol emosinya. "Katakan sekarang apa maumu karena telah menggugurkan darah dagingku? Bukankah kamu mencintaiku? Lalu kenapa, tega sekali kau membunuh anak yang belum terlahir ke dunia?" Danu menunggu jawaban Karin. "Aku tidak bisa hidup susah." "Lalu?" tanya Danu, hatinya terasa getir. "Aku ingin pergi dari sini." "Pergi?" "Ya, pergi dari sini. Mencari kehidupan yang lebih baik." Karin berusaha menghundar dari tatapan Danu."Bagaimana dengan pernikahan kita?" Danu menatap tajam Karin. "Kita hanya nikah siri." "Baiklah, aku mengerti maksudmu. Akan kuturuti permintaan darimu untuk yang terakhir kalinya." Danu sudah mantap dengan keputusannya. Tidak ada yang perlu dipertahankan lagi. Semuanya telah berakhir, mungkin ini karma baginya yang telah dengan sadar mempermainkan kehidupan Risa. Danu melangkah mendekati Karin. Tangannya memeg
"Wanita itu adalah Non. Saya menyukai non Risa sejak lama." Jono mengatakannya dengan mantap. "Tunggu dulu, kamu menyukai saya sejak lama?" Risa terkejut."Iya, sejak Non Risa belum menikah." Jono menatap Risa dengan penuh cinta. "Tapi Jon, saya …." Risa madih belum percaya dan sangat terkejut dengan pengakuan Jono."Saya mengerti, saya tidak minta dibalas perasaan saya, Non. Saya cukup lega bisa mengutarakan perasaan saya yang terpendam kepada, Non." "Jadi alasan kamu menjomlo selama ini karena saya?" Risa memastikan Jono mengangguk lalu tersenyum.Risa merasa tidak enak, ia sudah menganggap Jono sebagai adik kandungnya. "Non, nggak usah bingung. Asal Non bisa hidup bahagia, saya juga ikut bahagia." ucap Jono tulus. Sumpah demi apa pun, rasa sayang Jono kepada Risa adalah sebuah ketulusan. Sekali pun tidak mengharap balasan. Walaupun rasa cintanya begitu kuat."Ya Tuhan, Jon, kamu juga harus memikirkan kehidupan kamu sendiri." keluh Risa. Ia membayangkan perasaan laki-laki muda i
"Bapak nyari kerjaan?" Pak Budi bertanya dengan suara lantang seperti suara toa di masjid. "I-iya, Pak Budi." Jono memandang Risa yang terlihat cuek. "Non." Jono memanggil Risa pelan. Risa hanya menggidikkan bahunya. Selesai memungut lembaran kertas yang dibantu oleh pak Budi. Danu memutuskan untuk segera pergi dari hadapan Risa. Rasa malu yang menggunung membuat Danu seakan ingin menenggelamkan diri ke dalam lautan yang paling dalam."Permisi semuanya, mari." Danu mengambil langkah seribu. "Mari, Pak." ***Satu tahun kemudian. "Jon, sini." Risa melambaikan tangannya kepada Jono. "Non, sudah lama?" "Baru kok." "Oh kirain udah nunggu lama." Jono memperhatikan Risa yang dari hari ke hari bertambah cantik. Namun sayang, Risa hanya menganggapnya sebagai adik dan tidak lebih. Sampai detik ini perasaan Jono tidak berubah untuk wanita mungil yang ada di hadapannya. "Jon, Jono." Risa memanggil Jono yang sedang terpaku. "Eh iya, Non. Ngikut aja, saya apa aja oke, yang penting hala