(POV Shakira)"Bunda aku masih ingin jalan-jalan di sini," rajuk Kimie ketika aku memintanya untuk pulang. "Masih mau lihat-lihat lagi," imbuhnya terdengar merengek.Kimie bukan bocah yang manja. Namun, dia tetaplah anak kecil yang akan merajuk jika permintaannya tidak dipenuhi. Apalagi selalu ada Aldi yang siap membelanya."Kimie, ini udah malem. Besok kamu harus sekolah kan?" Aku mengingatkan dengan tenang.Tetapi, pancaran mata ini sengaja aku bulatkan. Membuat Kimie langsung menunduk karenanya. Anak itu begitu memang begitu patuh padaku."Sekarang salim sama mereka!" suruhku sambil menunjuk Sandrina dan Jamie.Kimie menurut. Dengan bermuram durja ia mencium punggung tangan Sandrina dan Jamie secara bergantian dan hormat."Makasih banyak atas hadiahnya ya, Om," ucap Kimie pada ayahnya. Jamie menanggapi dengan senyuman kecil. "Kalo ada waktu main ke rumah aku bareng Tante Nina, ya."Aku tercekat mendengar ajakan anak kecil itu. Kenapa Kimie cepat tumbuh dewasa seperti itu? Di sisi l
Weekdays. Saatnya kembali ke rutinitas. Seperti biasa Aldi selalu datang ke rumah untuk mengantar Kimie ke sekolah, aku bekerja, dan Salwa ke kampus jika gadis itu ada kuliah pagi."Aku akan seminggu ke pelabuhan Ratu. Ada syuting di sana," pamit Aldi suatu pagi. Kami sedang dalam perjalanan menuju tempatku bekerja. "Lumayan walau bukan peran utama, tapi aku dapat banyak scene." Dia bercerita dengan bibir yang melukis senyum."Bagus itu," tanggapku ikut berbahagia."Kamu gak papa kan aku tinggal?" tanya Aldi lembut."Gak papa dong."Aldi melengkungkan bibir. "Aku akan kerja keras ngumpulin duit banyak. Biar bisa mewujudkan impian pernikahanmu," janjinya syahdu.Aku menggeleng. "Aku gak ada impian pernikahan. Yang penting nanti keluargamu menerimaku dengan baik itu sudah cukup.""Ya ... setidaknya aku bisa memberimu mahar dibanding Jamie yang bahkan cincin perkawinan pun dia tidak sanggup memberikannya. Mahar pun dia sampai harus pinjam uang--""Al, please jangan bahas dia!" pintaku te
(POV Shakira)"Apa kabar, Kira?"Mulutku cukup lama ternganga. Bagai melihat hantu di siang hari mendapati Jamie hadir di rumah ini. Seharusnya sebagai seorang wanita, aku merasa senang didatangi seorang pria tampan. Namun, hati ini justru dilanda takut."Nak Jamie?!" Aku berpaling. Sosok Ibu sudah berdiri tegak di belakangku. Wajah wanita itu tidak kalah terkesimanya melihat kedatangan sang mantan menantu. "Benarkah kamu, Nak Jamie? Mantan suaminya Kira?" tanya Ibu mendekati Jamie."Betul, saya Jamie, Bu." Jamie menyahut dengan senyum mengembang. Penuh kesopanan ayah dari anakku itu meraih tangan Ibu. Menciumnya takzim."Ya Allah ... Nak! Ke mana perginya kamu selama ini?" tanya Ibu sambil mengelus rambut tebal Jamie yang sedikit membungkuk saat salim. Wanita itu masih memperlakukan Jamie putra kandungnya sendiri. "Kamu tahu? Kira hamil begitu kalian bercerai. Kamu punya anak perempuan, Jamie. Cantik sekali, Nak," terang Ibu begitu menggebu. Air mata haru lolos dari kedua manik hitam
Dua hari kemudian, kondisi Kimie kian membaik. Anak itu minta dihubungkan dengan nomor Jamie. Karena terus merengek terpaksa kupenuhi."Assalamualaikum, Om Jamie. Ini Kimie," sapanya riang gembira.[ ... ]Kimie tidak menyalakan loud speaker, sehingga aku tidak bisa mendengar suara Jamie di seberang sana."Iya, Kimie sudah sembuh. Beneran deh." Gadis kecil itu mengacungkan jari tengah dan telunjuk. Aku tergeli. Di sana Jamie mana melihat tanda swear-nya.[ ... ]"Asyik! Kimie tunggu besok, ya."[ ... ]"Walaikum salam!" Kimie menutup sambungan. "Yeayy ... Besok jadi jalan-jalan dengan Om Jamie!" serunya gembira. Usai menyerahkan ponsel padaku, gadis itu meloncat-loncat kegirangan. Bibirku berkedut senang menyaksikan kebahagiaan Kimie.Karena besok akan pergi jalan-jalan, kusuruh Kimie untuk tidur lebih awal. Anak itu menurut tanpa banyak bicara.Besok paginya, selepas menunaikan ibadah shalat subuh, Kimie sudah heboh. Anak itu mandi cepat. Sarapan pagi dengan lahap tanpa disuruh, lal
(POV Jamie)Inilah hari yang paling ditunggu selama beberapa hari terakhir. Aku akan pergi bersama Shakira dan Kimie. Dua perempuan yang sangat berarti untukku saat ini.Rasa tidak sabar membuatku bangun terlalu pagi. Usai beribadah pagi, aku latihan treadmill. Tidak lama cukup empat puluh lima menit saja. Asal keringat sudah membasahi badan.Duduk seharian dari pagi sampai petang, bahkan hingga malam membuat tubuh kurang bergerak. Makanya sebisa mungkin aku menyempatkan diri berolah raga di rumah sebelum berangkat kerja.Tidak heran jika banyak yang memuji jika tubuhku kini mulai berisi. Lebih tegap dan berdada lumayan bidang. Bahkan otot-otot di perut dan lengan juga sudah terlihat. Padahal dulunya aku tipe pemuda kerempeng.Setelah melihat waktu gegas aku membersihkan diri. Tidak boleh terlambat ke rumah Shakira. Aku tidak mau membuat Kimie kecewa.Usai mandi aku dibuat pusing saat memilih baju. Bingung harus mengenakan pakaian apa? Aku tergeli sendiri.Kenapa rasanya excited bange
Berhasil!" Aku dan Shakira refleks menoleh. Cahaya lampu membuat mata kami silau. Tiga orang teknisi dengan helm kuning terkesiap menatap kami.Aku dan Shakira lekas memisahkan diri. Wanita itu lekas bangkit, lalu mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. Sulit juga bangun dengan menggendong Kimie."Wahhh ... rupanya ada keluarga kecil yang hendak bermalam di lift ini," ujar seorang teknisi begitu kami keluar.Shakira terlihat jengah, sementara aku cuek saja. Kami berjalan cepat menuju mobil. Kimie yang terlelap kubaringkan di jok belakang."Terima kasih ya, untuk hari ini," ucap Shakira saat dalam perjalanan pulang. Suaranya lirih. Namun, aku tahu dia bahagia."Aku yang berterima kasih karena kamu mengizinkannya.""Kimie anakmu tentu saja aku mengizinkannya, Jam.""Kalo gitu akan ada jalan-jalan bersama season dua, tiga dan seterusnya kan?" tanyaku sambil menatapnya serius. "Jalan-jalan hanya kita bertiga saja," imbuhku sambil menaikkan alis. Shakira kikuk dan itu sungguh terlih
(POV Jamie)"Jamie!" Aku menoleh. Sosok Papa menatap dingin sambil menuruni anak tangga. "Dari mana saja kamu? Sampai Sandrina sedih seperti itu?!Lelaki yang kini rambutnya mulai kelabu itu mendekat. Seperti biasa matanya kuat menatap. Mengintimidasi. Seolah dia adalah penguasa yang harus ditakuti."Kamu dari mana seharian?" Papa bertanya lagi dan masih bernada dingin.Aku menyengir malas. "Pa, ingat! Aku ini sudah bukan anak kecil lagi.""Papa tanya dari mana kamu seharian?!" Lelaki itu membentak keras. Mata telanjang tanpa bingkai itu menghujamku.Aku menghela napas panjang. Lelaki ini tetap menganggap aku robot yang harus tunduk pada kendalinya."Ada apa sih kok ribut-ribut." Dari lantai atas Nama menegur. Wanita yang memakai baju tidur kembaran dengan Papa itu setengah berlari menuruni tangga. Lalu memegang lengan suaminya yang terus mendelik padaku. "Semua kan bisa diomongin secara baik-baik," ujarnya dengan dengkusan, "kamu juga Jamie, dari mana saja seharian ini? Hape dimatik
Mama dan Papa mendesak aku untuk segera menemui Sandrina. Menyuruhku untuk lekas meminta maaf pada dokter anak kecil itu. Serta sederet perintah lainnya. Karena di sini memang aku juga bersalah, maka tanpa ragu Minggu sore aku menyengajakan diri menemui Sandrina."Ah ... kebetulan kamu datang, Jamie," sambut Mama Sandrina semringah ketika membukakan pintu untukku. "Dari kemarin uring-uringan terus. Gak mau keluar dari kamar," lapornya sambil mengeluh. Aku hanya mengulum senyum mendengarnya. Kami berdua menapaki tangga menuju lantai dua."Nina! Ada Jamie ini!" seru Mama Sandrina begitu kami tiba di kamar sang putri. Wanita seumur Mama itu mengetuk-ngetuk pintu kayu bercat cokelat itu. "Niiin!""Suruh masuk, Ma!" Terdengar sahutan dari dalam.Ketika tangan Mama Sandrina mempersilahkan, aku mengangguk sopan. Lalu mulai membuka pintu yang tidak terkunci itu. Sosok Sandrina sudah berdiri bersandar pada pembatas balkon kamarnya. Gadis itu masih mengenakan rok tidur. Sandrina terburu menga