(POV Jamie)Inilah hari yang paling ditunggu selama beberapa hari terakhir. Aku akan pergi bersama Shakira dan Kimie. Dua perempuan yang sangat berarti untukku saat ini.Rasa tidak sabar membuatku bangun terlalu pagi. Usai beribadah pagi, aku latihan treadmill. Tidak lama cukup empat puluh lima menit saja. Asal keringat sudah membasahi badan.Duduk seharian dari pagi sampai petang, bahkan hingga malam membuat tubuh kurang bergerak. Makanya sebisa mungkin aku menyempatkan diri berolah raga di rumah sebelum berangkat kerja.Tidak heran jika banyak yang memuji jika tubuhku kini mulai berisi. Lebih tegap dan berdada lumayan bidang. Bahkan otot-otot di perut dan lengan juga sudah terlihat. Padahal dulunya aku tipe pemuda kerempeng.Setelah melihat waktu gegas aku membersihkan diri. Tidak boleh terlambat ke rumah Shakira. Aku tidak mau membuat Kimie kecewa.Usai mandi aku dibuat pusing saat memilih baju. Bingung harus mengenakan pakaian apa? Aku tergeli sendiri.Kenapa rasanya excited bange
Berhasil!" Aku dan Shakira refleks menoleh. Cahaya lampu membuat mata kami silau. Tiga orang teknisi dengan helm kuning terkesiap menatap kami.Aku dan Shakira lekas memisahkan diri. Wanita itu lekas bangkit, lalu mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. Sulit juga bangun dengan menggendong Kimie."Wahhh ... rupanya ada keluarga kecil yang hendak bermalam di lift ini," ujar seorang teknisi begitu kami keluar.Shakira terlihat jengah, sementara aku cuek saja. Kami berjalan cepat menuju mobil. Kimie yang terlelap kubaringkan di jok belakang."Terima kasih ya, untuk hari ini," ucap Shakira saat dalam perjalanan pulang. Suaranya lirih. Namun, aku tahu dia bahagia."Aku yang berterima kasih karena kamu mengizinkannya.""Kimie anakmu tentu saja aku mengizinkannya, Jam.""Kalo gitu akan ada jalan-jalan bersama season dua, tiga dan seterusnya kan?" tanyaku sambil menatapnya serius. "Jalan-jalan hanya kita bertiga saja," imbuhku sambil menaikkan alis. Shakira kikuk dan itu sungguh terlih
(POV Jamie)"Jamie!" Aku menoleh. Sosok Papa menatap dingin sambil menuruni anak tangga. "Dari mana saja kamu? Sampai Sandrina sedih seperti itu?!Lelaki yang kini rambutnya mulai kelabu itu mendekat. Seperti biasa matanya kuat menatap. Mengintimidasi. Seolah dia adalah penguasa yang harus ditakuti."Kamu dari mana seharian?" Papa bertanya lagi dan masih bernada dingin.Aku menyengir malas. "Pa, ingat! Aku ini sudah bukan anak kecil lagi.""Papa tanya dari mana kamu seharian?!" Lelaki itu membentak keras. Mata telanjang tanpa bingkai itu menghujamku.Aku menghela napas panjang. Lelaki ini tetap menganggap aku robot yang harus tunduk pada kendalinya."Ada apa sih kok ribut-ribut." Dari lantai atas Nama menegur. Wanita yang memakai baju tidur kembaran dengan Papa itu setengah berlari menuruni tangga. Lalu memegang lengan suaminya yang terus mendelik padaku. "Semua kan bisa diomongin secara baik-baik," ujarnya dengan dengkusan, "kamu juga Jamie, dari mana saja seharian ini? Hape dimatik
Mama dan Papa mendesak aku untuk segera menemui Sandrina. Menyuruhku untuk lekas meminta maaf pada dokter anak kecil itu. Serta sederet perintah lainnya. Karena di sini memang aku juga bersalah, maka tanpa ragu Minggu sore aku menyengajakan diri menemui Sandrina."Ah ... kebetulan kamu datang, Jamie," sambut Mama Sandrina semringah ketika membukakan pintu untukku. "Dari kemarin uring-uringan terus. Gak mau keluar dari kamar," lapornya sambil mengeluh. Aku hanya mengulum senyum mendengarnya. Kami berdua menapaki tangga menuju lantai dua."Nina! Ada Jamie ini!" seru Mama Sandrina begitu kami tiba di kamar sang putri. Wanita seumur Mama itu mengetuk-ngetuk pintu kayu bercat cokelat itu. "Niiin!""Suruh masuk, Ma!" Terdengar sahutan dari dalam.Ketika tangan Mama Sandrina mempersilahkan, aku mengangguk sopan. Lalu mulai membuka pintu yang tidak terkunci itu. Sosok Sandrina sudah berdiri bersandar pada pembatas balkon kamarnya. Gadis itu masih mengenakan rok tidur. Sandrina terburu menga
(POV Shakira)Tidak dipungkiri, jika bepergian seharian bersama Kimie dan Jamie membawa kesegaran tersendiri pada hati dan pikiran. Kimie tertawa riang bersama ayah kandungnya. Pria yang selama ini amat ia rindukan. Lelaki yang selalu dirinya sebut ketika berdoa.Sayang untuk hingga saat ini baik aku maupun Jamie belum sanggup jujur pada Kimie, jika Om Jamie yang ia sayang juga seperti Om Aldinya ternyata ayah kandungnya. Sandrina. Dialah alasan kami menyembunyikan fakta ini.Sementara di sisi lain ada Aldi yang amat tidak menghendaki kami pergi bertiga. Sempat terjadi keributan antara lelaki itu dengan Jamie hanya karena masalah sepele. Kimie. Keduanya berebut ingin menggendong bocah itu.Tentu saja Jamie kalah karena posisi dia memang lemah. Walau Jamie adalah ayah biologis dari Kimie. Namun, bisa dibilang Aldi-lah lelaki dewasa yang pertama kali Kimie lihat. Pria yang merawatnya semenjak lahir."Kita perlu bicara," pinta Aldi begitu membaringkan Kimie pada ranjang kamarku.Sampai
Kuhormati permintaan Aldi. Saat Jamie datang berkunjung ke tempat kerja, aku memilih menghindar. Beruntung Jamie juga tidak terlalu peduli. Baik aku dan dia sama-sama mampu menjaga sikap.Namun, di hari Jumat sore lelaki itu menginjakkan kaki di rumah. Tentu saja Kimie adalah alasannya. Kebetulan juga Kimie sedang membersihkan diri, sehingga ada kesempatan untuk berbicara dengannya."Jika kamu ingin ketemu Kimie, kamu harus menghubungi aku dulu, untuk menentukan tempat dan waktunya." Sungguh tidak sampai hati saat mengajukan usul tersebut pada Jamie.Jamie pun berjengit. "Itu ide dari Aldi kan?" Dia menduga dengan sedikit geram."Plis, hargai keputusan ini, Jam!" Aku menyela tidak kalah cepat. Memohon padanya agar dia bisa memahami.Aku tahu Jamie terpukul, tetapi inilah kemauan Aldi dan Ibu. Dan aku yakin bahwa keputusan yang Ibu canangkan pasti yang terbaik. Aku tidak mau menyesal untuk kedua kalinya. Karena pernah tidak mendengar nasihat Ibu dengan bersikeras meminta cerai dari Ja
(POV Shakira)"Kira, jangan bohongi hatimu! Kamu masih mencintai aku!" Jamie berteriak yakin."Enggak, Jamie! Kamu salah." Aku menggeleng kuat."Matamu tidak bisa berbohong!" Jamie berteriak. Untung ruang kerjanya kedap suara sehingga sekuat apapun kami menjerit tidak akan ada orang yang mendengar."Jika iya, lalu kamu mau apa?!" Aku menatangnya berani. "Aku akan menjadi milik Aldi, dan kamu punya Nina.""Aku akan memutuskan Nina, asal kamu kembali padaku!" putus Jamie lantang.Aku ternganga. Namun, detik berikutnya aku tergelak. "Gak semudah itu, Jamie!" Kuhempas tangan Jamie. "Ingat, kedua orang tuamu yang sangat membenci aku. Aku amat hina di mata mereka. Dan aku gak mau direndahkan untuk kedua kalinya." Aku bertutur pelan.Rasa sedih mulai merasuki sukma. Jujur cintaku pada Jamie, tidak pernah luntur sedikit pun hingga kini. Namun, kebaikan Aldi juga tidak bisa kunafikan.Jamie bangkit dari duduk. Lelaki itu mengitari meja. Tanpa disangka dia berlutut dari meraih tanganku."Kita t
(POV Shakira)"Sandrinaaa!"Aku menjerit takut ketika melihat tubuh Sandrina terkulai lemas. Sementara darah segar terus mengalir dari pelipis dan sikunya. Kemeja putih Jamie seketika berubah warna menjadi kemerahan."Nina, sadar, Nina!" seru Jamie dengan tangan yang terus menepuk-nepuk pipi mulus Sandrina. Namun, gadis itu tidak juga membuka mata. "Tolong carikan taksi!" pinta Jamie pada orang-orang yang mengelilinginya."Taksi-taksi. Cepat carikan taksi!" Orang-orang saling berteriak."Ini, Pak Jamie!" Sekitar lima meter dari kami, petugas keamanan tempatku bekerja menyahut.Jamie lekas membopong tubuh semampai Sandrina. Berjalan agak tertatih menuju mobil sedan berwarna biru itu. Sementara pengendara sepeda motor yang menabrak Sandrina pun tengah dipapah oleh seorang pria. Pengendara itu hendak dilarikan juga ke rumah sakit."Jamie, aku ikut," pintaku saat lelaki itu sudah duduk di jok belakang taksi. Sandrina ia baringkan pada pangkuan."Masuklah!" balas Jamie dengan menggerakk