(POV Jamie)"Jamie!" Aku menoleh. Sosok Papa menatap dingin sambil menuruni anak tangga. "Dari mana saja kamu? Sampai Sandrina sedih seperti itu?!Lelaki yang kini rambutnya mulai kelabu itu mendekat. Seperti biasa matanya kuat menatap. Mengintimidasi. Seolah dia adalah penguasa yang harus ditakuti."Kamu dari mana seharian?" Papa bertanya lagi dan masih bernada dingin.Aku menyengir malas. "Pa, ingat! Aku ini sudah bukan anak kecil lagi.""Papa tanya dari mana kamu seharian?!" Lelaki itu membentak keras. Mata telanjang tanpa bingkai itu menghujamku.Aku menghela napas panjang. Lelaki ini tetap menganggap aku robot yang harus tunduk pada kendalinya."Ada apa sih kok ribut-ribut." Dari lantai atas Nama menegur. Wanita yang memakai baju tidur kembaran dengan Papa itu setengah berlari menuruni tangga. Lalu memegang lengan suaminya yang terus mendelik padaku. "Semua kan bisa diomongin secara baik-baik," ujarnya dengan dengkusan, "kamu juga Jamie, dari mana saja seharian ini? Hape dimatik
Mama dan Papa mendesak aku untuk segera menemui Sandrina. Menyuruhku untuk lekas meminta maaf pada dokter anak kecil itu. Serta sederet perintah lainnya. Karena di sini memang aku juga bersalah, maka tanpa ragu Minggu sore aku menyengajakan diri menemui Sandrina."Ah ... kebetulan kamu datang, Jamie," sambut Mama Sandrina semringah ketika membukakan pintu untukku. "Dari kemarin uring-uringan terus. Gak mau keluar dari kamar," lapornya sambil mengeluh. Aku hanya mengulum senyum mendengarnya. Kami berdua menapaki tangga menuju lantai dua."Nina! Ada Jamie ini!" seru Mama Sandrina begitu kami tiba di kamar sang putri. Wanita seumur Mama itu mengetuk-ngetuk pintu kayu bercat cokelat itu. "Niiin!""Suruh masuk, Ma!" Terdengar sahutan dari dalam.Ketika tangan Mama Sandrina mempersilahkan, aku mengangguk sopan. Lalu mulai membuka pintu yang tidak terkunci itu. Sosok Sandrina sudah berdiri bersandar pada pembatas balkon kamarnya. Gadis itu masih mengenakan rok tidur. Sandrina terburu menga
(POV Shakira)Tidak dipungkiri, jika bepergian seharian bersama Kimie dan Jamie membawa kesegaran tersendiri pada hati dan pikiran. Kimie tertawa riang bersama ayah kandungnya. Pria yang selama ini amat ia rindukan. Lelaki yang selalu dirinya sebut ketika berdoa.Sayang untuk hingga saat ini baik aku maupun Jamie belum sanggup jujur pada Kimie, jika Om Jamie yang ia sayang juga seperti Om Aldinya ternyata ayah kandungnya. Sandrina. Dialah alasan kami menyembunyikan fakta ini.Sementara di sisi lain ada Aldi yang amat tidak menghendaki kami pergi bertiga. Sempat terjadi keributan antara lelaki itu dengan Jamie hanya karena masalah sepele. Kimie. Keduanya berebut ingin menggendong bocah itu.Tentu saja Jamie kalah karena posisi dia memang lemah. Walau Jamie adalah ayah biologis dari Kimie. Namun, bisa dibilang Aldi-lah lelaki dewasa yang pertama kali Kimie lihat. Pria yang merawatnya semenjak lahir."Kita perlu bicara," pinta Aldi begitu membaringkan Kimie pada ranjang kamarku.Sampai
Kuhormati permintaan Aldi. Saat Jamie datang berkunjung ke tempat kerja, aku memilih menghindar. Beruntung Jamie juga tidak terlalu peduli. Baik aku dan dia sama-sama mampu menjaga sikap.Namun, di hari Jumat sore lelaki itu menginjakkan kaki di rumah. Tentu saja Kimie adalah alasannya. Kebetulan juga Kimie sedang membersihkan diri, sehingga ada kesempatan untuk berbicara dengannya."Jika kamu ingin ketemu Kimie, kamu harus menghubungi aku dulu, untuk menentukan tempat dan waktunya." Sungguh tidak sampai hati saat mengajukan usul tersebut pada Jamie.Jamie pun berjengit. "Itu ide dari Aldi kan?" Dia menduga dengan sedikit geram."Plis, hargai keputusan ini, Jam!" Aku menyela tidak kalah cepat. Memohon padanya agar dia bisa memahami.Aku tahu Jamie terpukul, tetapi inilah kemauan Aldi dan Ibu. Dan aku yakin bahwa keputusan yang Ibu canangkan pasti yang terbaik. Aku tidak mau menyesal untuk kedua kalinya. Karena pernah tidak mendengar nasihat Ibu dengan bersikeras meminta cerai dari Ja
(POV Shakira)"Kira, jangan bohongi hatimu! Kamu masih mencintai aku!" Jamie berteriak yakin."Enggak, Jamie! Kamu salah." Aku menggeleng kuat."Matamu tidak bisa berbohong!" Jamie berteriak. Untung ruang kerjanya kedap suara sehingga sekuat apapun kami menjerit tidak akan ada orang yang mendengar."Jika iya, lalu kamu mau apa?!" Aku menatangnya berani. "Aku akan menjadi milik Aldi, dan kamu punya Nina.""Aku akan memutuskan Nina, asal kamu kembali padaku!" putus Jamie lantang.Aku ternganga. Namun, detik berikutnya aku tergelak. "Gak semudah itu, Jamie!" Kuhempas tangan Jamie. "Ingat, kedua orang tuamu yang sangat membenci aku. Aku amat hina di mata mereka. Dan aku gak mau direndahkan untuk kedua kalinya." Aku bertutur pelan.Rasa sedih mulai merasuki sukma. Jujur cintaku pada Jamie, tidak pernah luntur sedikit pun hingga kini. Namun, kebaikan Aldi juga tidak bisa kunafikan.Jamie bangkit dari duduk. Lelaki itu mengitari meja. Tanpa disangka dia berlutut dari meraih tanganku."Kita t
(POV Shakira)"Sandrinaaa!"Aku menjerit takut ketika melihat tubuh Sandrina terkulai lemas. Sementara darah segar terus mengalir dari pelipis dan sikunya. Kemeja putih Jamie seketika berubah warna menjadi kemerahan."Nina, sadar, Nina!" seru Jamie dengan tangan yang terus menepuk-nepuk pipi mulus Sandrina. Namun, gadis itu tidak juga membuka mata. "Tolong carikan taksi!" pinta Jamie pada orang-orang yang mengelilinginya."Taksi-taksi. Cepat carikan taksi!" Orang-orang saling berteriak."Ini, Pak Jamie!" Sekitar lima meter dari kami, petugas keamanan tempatku bekerja menyahut.Jamie lekas membopong tubuh semampai Sandrina. Berjalan agak tertatih menuju mobil sedan berwarna biru itu. Sementara pengendara sepeda motor yang menabrak Sandrina pun tengah dipapah oleh seorang pria. Pengendara itu hendak dilarikan juga ke rumah sakit."Jamie, aku ikut," pintaku saat lelaki itu sudah duduk di jok belakang taksi. Sandrina ia baringkan pada pangkuan."Masuklah!" balas Jamie dengan menggerakk
(POV Shakira)Keputusanku untuk meminta dipercepat hari pernikahannya disambut suka cita oleh Aldi dan Ibu. Lelaki itu membawaku ke sebuah butik untuk memesan baju pengantin."Ibu bisa membuat baju pengantin kalian, Nak Aldi. Jangan hamburkan uang demi pesta yang hanya memakan waktu sehari saja," pesan Ibu ketika aku dan Aldi pamit hendak ke designer."Untuk Shakira aku ingin memberikan yang terbaik, Bu," balas Aldi dengan senyum manisnya. "Aku ingin pernikahan kami meriah. Agar Kira bahagia. Aku gak Kira bersedih seperti pernikahannya yang pertama dulu." Aldi bertutur dengan mata yang berbinar."Boleh saja, tapi jangan sampai kamu berhutang hanya demi gengsi yang cuma berakhir sehari." Ibu kembali memberi wejangan dengan bijak, "karena menikah itu bukan pestanya yang terpenting. Tetapi, bagaimana menjalani kehidupan bersama setelah pesta berakhir. Menyatukan dua perbedaan yang ada," tuturnya menatapku dan Aldi secara bergantian."Memahami kekurangan masing-masing pasangan, lalu berus
Surat pengunduran diri sudah kuajukan. Tidak ada tanggapan dari Jamie. Mungkin lelaki itu sudah legowo. Atau masih sibuk mengurusi Sandrina di rumah sakit. Entahlah ... aku tidak peduli. Yang kuinginkan sekarang adalah menjauh dari dia kembali. Menjalani hidup masing-masing.Hari itu pun tiba. Hari di mana aku dan Aldi akan mengikrarkan janji suci. Janji untuk sehidup sesurga.Aldi menyewa MUA kenalannya. Wanita ayu berumur sekitar awal empat puluhan itu sanggup menyulap wajah sederhanaku menjadi lebih berseri. Make-up yang ringan sesuai dengan permintaanku.Sanggul beronce bunga melati menghiasi kepala ini. Kebaya brokat putih dengan hiasan payet melekat di badan. Selendang benang sutra menutup kepala."Aduh cantiknya Mbak Kira ini," puji sang MUA mengamati penampilanku di cermin.Bibir ini melengkung ke atas. Namun, hatiku hampa. Pernak-pernik pernikahan ini sungguh berbeda saat aku menikah dengan Jamie dulu. Kali ini amat istimewa. Namun, aku tidak bahagia.Setelah merasa siap, san
Pov author"Alhamdulillah!"Shakira meraupkan kedua tangannya pada wajah. Air matanya merembes. Namun, ini air mata kebahagiaan dan haru. Anaknya baru saja lolos dari maut."Aku ingin ketemu bayiku, W*." Shakira merengek. Ia ingin sekali melihat rupa putrinya. Dalam mimpi wajah sang putri terlihat samar."Nanti kalo Mbak Kira pulih, kita lihat bareng, ya." Salwa membujuk lembut.Shakira mengangguk manut. Pengaruh anastesi sudah mulai menghilang. Wanita itu meringis menahan perih di perut bekas sayatan operasi. Untuk menyamarkan sakit, dirinya memilih memejam kembali.Sementara itu Ibu yang kepayahan dari tadi siang merasa amat lelah. Wanita itu merebahkan tubuh pada sofa kecil yang tersedia di ruang itu. Tidak sampai lima menit dirinya sudah menyelami alam mimpi.Di sisi lain Salwa merasakan lapar yang menghebat. Terakhir kali ia makan tujuh jam lalu di kampusnya. Dia ingin mengajak Ibu. Namun, melihat sang Ibu tertidur dengan lelapnya, Salwa memilih pergi sendiri. Gadis itu meninggalk
Pov Jamieidaaak!"Aku berseru takut. Sementara Ibu Siti dan Salwa pun sudah pecah tangisnya. Beruntung ada dokter didampingi perawat yang masuk untuk memeriksa bayi lain."Dokter, tolong bayi saya," mohonku dengan suara yang bergetar."Iya, Bapak mohon tenang dan tunggu di luar, ya." Pria berseragam itu mengangguk pelan."Tolong lakukan yang terbaik untuk anak saya, Dok. Berapa pun biayanya akan saya bayar," desakku saking ketakutannya."Iya, Bapak tunggu di luar, ya!"Perawat pendamping dokter pun mendorong tubuhku untuk ke luar ruangan. Salwa dan Ibu Siti cukup patuh untuk beranjak sebelum disuruh. Sementara beberapa tenaga medis masuk untuk ikut melakukan tindakan.Aku yang merasa tidak bertenaga bersandar pada dinding. "Kamu harus kuat putraku," kataku pada diri sendiri.Mata ini kembali menatap ruangan di depan. Rasanya tidak sanggup jika harus melihat putriku kecilku yang tengah mendapatkan penanganan.Tiba-tiba saja aku teringat Allah. Aku perlu menghadap Sang Pencipta. Akan k
Lampu di atas pintu kamar operasi telah padam. Pertanda jika operasi telah usai. Hati ini kian dag dig dug rasanya. Harap-harap cemas. Ketika pintu terbuka, aku, Aldi, dan Sandrina langsung bangkit berdiri. Aku sendiri lekas beranjak menemui dokter pria yang sedang membuka masker wajahnya. "Dok, bagaimana keadaan istri saya?" Aku bertanya dengan penasaran."Seperti yang sudah sangat saya jelaskan. Ibu dan anak sama-sama dalam keadaan bahaya," tutur Pak Dokter terdengar hati-hati. "Dan sesuai persetujuan jika kami harus memprioritaskan ibunya dulu--""Jadi anak saya gak selamat?" Aku menyambar karena takut. Rasanya tubuh ini terasa lemas. Dokter itu membetulkan letak kacamatanya. "Beruntungnya kami bisa menyelamatkan keduanya."Ucapan dokter tersebut laksana air es yang mengguyur kekeringan di hati ini. "Alhamdulillah!" Aku, Aldi dan Sandrina lagi-lagi kompak berseru karena lega. Tidak lupa aku langsung sujud syukur. "Terima kasih banyak ya Allah ...." Tangan ini meraup wajah deng
(Pov Jamie) "Shakira?!"Seseorang memanggil nama istriku. Shakira sendiri mengangkat wajah. Wajahnya yang pucat menjadi pertanda jika dia teramat kesakitan."Kamu gak papa, Kira?"Ternyata yang memanggil Shakira adalah Aldi. Pemuda itu datang bersama Sandrina. Keduanya gegas jongkok untuk menolong Shakira. Sedangkan aku masih membeku melihat darah merembes dari paha Shakira."Ini sakit banget, Nina," desis Shakira dengan tangan mencengkeram lengan Sandrina."Jamie, kok kamu cuma diam saja sih?" tegur Aldi tampak gemas, "cepetantolong selamatkan istri kamu!" desak Aldi sambil mengguncang lenganku.Aku tergagap. Syok membuat aku tidak mampu berpikir panjang. Dan sebenarnya diri ini sangat takut jika melihat darah. Namun, demi melihat wajah pucat Shakira aku harus kuat."Sa-kiiit ...." Shakirara merintih."Tolong jangan bicara lagi, Kira. Ini hanya akan membuatku semakin panik," pintaku kalut.Tanganku gemetar meraih pundak Shakira. Perlahan kuangkat tubuh wanita yang terus saja mendes
Malam minggu ini aku di rumah berdua saja sama Jamie. Kimie dari kemarin dibawa mama dan papanya Jamie untuk menginap di rumah mereka. "Jam, pergi nonton film di bioskop, yuk!" ajakku pada pria yang sedang asyik bermain game pada gadgetnya. Jamie menatapku dengan lekat. "Nonton film di bioskop?" Dia justru mengulangi perkataanku. "Iya nih, aku pengen banget nonton film KKN Di Desa Penari. Lagi sibuk banget nih di media sosial," jawabaku dengan wajah yang mupeng. "Jangan aneh-aneh deh, Kira." Mata Jamie kembali tertuju pada layar ipadnya. "Anehnya di mana? Orang istri pengen nonton film kok dibilang aneh," sahutku sedikit sewot. "Bukannya hari perkiraan lahir anak kita sebentar lagi?" tukas Jamie masih setia memainkan jarinya pada layar sentuh tersebut. "Lagian bukannya kamu paling anti sama film horor," imbuhnya sambil sedikit melirik padaku. "HPL anak kita masih dua minggu lagi kok." Aku mendekati pria yang malam ini begitu wangi itu. Padahal kemarin-kemarin aku justru membenc
(POV Jamie) Yesss!" Aku meninju udara. "Terima kasih ya Allah," ucapku tulus sembari meraup wajahnya. "Yeahhh!"Aku kembali berseru gembira usai menerima telepon dari Shakira. Istri tercintaku mengabarkan habis test pack dan hasilnya positif.Tanpa berpikir panjang, aku bangkit dari kursi bersandaran tinggi ini. Blazer yang menyampir pada sandaran kursi lekas kukenakan. Setelah rapi kuraih ponsel dan kunci mobil baru melangkah ke luar menuju meja Tia, sekretarisku."Saya izin pulang, ya. Mau temani Shakira ke dokter," pamitku pada perempuan berkaca mata itu."Memang Bu Kira sakit apa, Pak Jamie?" tanya Tia tampak serius.Aku tersenyum kecil. "Kami mau cek ke dokter kandungan."Mulut Tia terbuka. "Ibu Shakira hamil?"Aku mengangguk pelan. "Barusan dites sih positif, tapi kami butuh kejelasan dari dokter. Doakan semoga berita ini benar, ya.""Aamiin." Tia langsung meraup wajahnya dengan kedua tangan. "Sebelumnta selamat ya, Pak.""Sama-sama."Aku pun beranjak meninggalkan perempuan itu
Selain beribadah, Jamie juga membawaku jalan-jalan ke tempat yang romantis yaitu Jabal Rahmah atau bukit kasih sayang. Jabal Rahmah adalah bukit kecil dengan ketinggian sekitar tujuh puluh meter.Tempat itu diyakini sebagai tempat bertemunya kembali Adam dan Hawa setelah berpisah ratusan tahun. Usai mereka diturunkan ke bumi dari surga karena mereka memakan buah terlarang yakni buah khuldi. Padahal Allah SWT sudah melarang tetapi setan terus menggoda.Bagi umat Islam sendiri Jabal Rahmah memiliki nilai sejarah yang cukup penting. Sebab di tempat tersebutlah Nabi Muhammad SAW menerima wahyu terakhir. Yakni pada saat beliau menunaikan Haji Wada atau Haji terakhir dan sedang melakukan wukuf.Tempat ini terletak persis di padang Arafah, pinggiran timur kota Makkah. Sengatan terik matahari yang tajam tidak menyurutkan niat kami untuk mendaki bukit tersebut. Di atas bukit pemerintah Arab Saudi sudah membangun sebuah Tugu. Tugu tersebut diyakini sebagai tempat bertemunya Nabi Adam dan Hawa.
Keesokan harinya aku dan Lutfi mengisi waktu masih untuk bersantai di dalam hotel. Tujuan kami datang ke tanah suci selain untuk umroh juga memang ingin berbulan madu. Apalagi kami masih merasakan lelah setelah perjalanan panjang kemarin.Pukul delapan pagi waktu setempat aku dan Jamie turun untuk sarapan. Kebetulan kami mendapatkan fasilitas breakfast buffet. Di mana restoran tersebut menyajikan aneka makanan dan minuman.Berbagai sajian mulai dari hidangan pembuka sampai hidangan penutup tepah disediakan, ditata, dan diatur di atas meja buffet atau meja panjang. Pengunjung bisa bebas memilih dan mengambil makanan sendiri sesuai dengan selera makan mereka.Kebetulan pagi itu menu sarapannya adalah English breakfast. Pilihan aku jatuh pada sepotong roti bakar dengan olesan cokelat, telor omelet, sosis bakar, segelas cokelat hangat, dan beberapa potong buah semangka dan melon. Sementara Jamie mengambil roti panggang dengan olesan butter, daging asap, kacang yang dimasak dengan saos tom
Setelah puas berlibur dan menenangkan diri di vila Jamie selama seminggu, kami pun kembali ke Jakarta. Jamie langsung membawaku dan Kimie ke rumahnya sendiri. Rumah yang ia tinggali beberapa bulan terakhir saat ia memutuskan untuk hidup mandiri.Hal itu tentu saja membuat Kimie senang. Karena akhirnya mempunyai kamar pribadi sendiri. Selama ini dia harus berbagi ranjang denganku atau Ibu. Anak itu berulang kali mengucap terima kasih pada ayahnya karena kamarnya dikonsep laksana kamar seorang putri raja.Tujuh hari kemudian, jadwal keberangkatan ke tanah suci pun tiba. Sempat terjadi drama. Kimie memaksa ikut. Bocah itu nangis diajak serta."Bunda jahat! Bunda gak sayang aku! Kenapa aku gak boleh ikut," rajuknya dengan bibir yang maju sepuluh centi."Bukannya gak boleh, Sayang, tapi ini perjalanan khusus," jawabku mencoba memberi pemahaman."Perjalanan khusus apa?" tukas Kimie masih manyun. "Banyak kok teman-teman Kimie yang ikutan umroh. Jadi haji kecil," tuturnya kian jadi."Kimie ..