Surat pengunduran diri sudah kuajukan. Tidak ada tanggapan dari Jamie. Mungkin lelaki itu sudah legowo. Atau masih sibuk mengurusi Sandrina di rumah sakit. Entahlah ... aku tidak peduli. Yang kuinginkan sekarang adalah menjauh dari dia kembali. Menjalani hidup masing-masing.Hari itu pun tiba. Hari di mana aku dan Aldi akan mengikrarkan janji suci. Janji untuk sehidup sesurga.Aldi menyewa MUA kenalannya. Wanita ayu berumur sekitar awal empat puluhan itu sanggup menyulap wajah sederhanaku menjadi lebih berseri. Make-up yang ringan sesuai dengan permintaanku.Sanggul beronce bunga melati menghiasi kepala ini. Kebaya brokat putih dengan hiasan payet melekat di badan. Selendang benang sutra menutup kepala."Aduh cantiknya Mbak Kira ini," puji sang MUA mengamati penampilanku di cermin.Bibir ini melengkung ke atas. Namun, hatiku hampa. Pernak-pernik pernikahan ini sungguh berbeda saat aku menikah dengan Jamie dulu. Kali ini amat istimewa. Namun, aku tidak bahagia.Setelah merasa siap, san
(POV Shakira)Acara walimatul ursy di selenggarakan di gedung yang sama. Usai ijab qobul, para tamu dipersilahkan menikmati jamuan. Aldi dengan bangganya mengenalkan aku pada teman-teman artisnya.Sebenarnya Aldi inginkan resepsi digelar. Namun, aku dan ibu sepakat menolak. Karena kami memang menginginkan kesederhanaan saja. Yang penting ijab qobul dapat terselenggara dengan baik, lancar, dan sakral.Teman-teman Aldi kebanyakan artis FTV yang belum begitu terkenal. Maklum sampai kini Aldi juga masih kategori artis B. Namun, acara ini menarik perhatian dengan kehadiran pemeran Alderan.Ternyata seorang Aldi berteman akrab dengan seorang Arya Saloka. Otomatis suasana tenang berubah menjadi riuh rendah. Saat pemeran Mas Al itu menyalami aku dan Aldi, sudah banyak tamu yang mengantri ingin minta foto bareng.Salwa yang memang sangat mengidolakan Mas Al itu juga ikut-ikutan meminta foto bersama. Di sisi lain, Aldi masih berbincang dengan teman-temannya. Tiba-tiba mataku menangkap sesosok g
Semenjak menikah Aldi melarangku bekerja. Lelaki itu membelikan sebuah mesin jahit baru."Kembangkan hobimu!" suruhnya saat kutanyakan mengapa ia membelikan mesin jahit.Aku yang memang suka membuat kreasi kerajinan berupa tas, dompet, dan yang lainnya, tanpa ragu lagi menggunakan mesin tersebut untuk berkreasi. Lalu mulai mempromosikan karya sendiri ke media sosial.Lumayan. Walau belum banjir order, setidaknya setiap hari ada saja pelanggan yang memesan kreasiku.Suatu siang ketika tengah sibuk mengerjakan pesanan dompet, pintu rumah terdengar diketuk orang. Rumah sedang sepi. Salwa dan Kimie belum pulang dari belajarnya. Sementara Ibu sedang kondangan di blok sebelah."Nina?" sapaku begitu melihat siapa tamu yang bertandang. "Mari masuk!" ajakku ramah."Makasih," balas Sandrina sopan.Setelah mempersilahkan Sandrina duduk, aku menuju dapur. Membuat es teh manis. Kuhidangkan minuman tersebut bersama setoples kue nastar."Ada yang ingin kamu sampaikan?" tanyaku to the point usai Sand
(POV Shakira)"Bundaaa?"Suara cempreng milik Kimie melengking di pintu. Sontak aku dan Sandrina berpaling ke sumber suara."Kenapa Bunda tidak pernah bilang kalau Om Jamie itu ayah aku, Bun?" protes gadis kecil berseragam putih merah itu mendekat dengan wajah memerah."Kimie--""Aku memang menyayangi Om Aldi, tapi pasti tetap pilih Om Jamie jadi ayah kalo tahu yang sebenarnya," marah Kimie dengan air mata yang berurai."Kimie, Sayang ...." Kuraih tubuh mungil bocah berkuncir kuda itu. "Bunda gak bermaksud menyembunyikannya dari kamu. Bunda cuma--""Cuma apa?!" Kimie menyela cepat. Gadis kecil itu mengusap kasar kedua pipinya yang basah dengan air mata. "Ayah Jamie itu ganteng, kaya, dan baik hati. Lalu kenapa Bunda malu mengakuinya pada aku sebagai ayah?" cecarnya sedih. Bocah itu kini tergugu.Aku dan Sandrina hanya bisa saling berpandangan."Kimie ... biarkan Bunda bicara dulu, ya," pintaku bersuara sehalus mungkin."Aku pengen ketemu ayah!" bentak Kimie lantang."Kimie!" Di pintu
"Ayaaah."Dramatis sekali saat kini menghambur memeluk Ayah kandungnya. Bocah kecil itu tersentuh sedih pada pundak Jamie."Kimie kangen Ayah," tuturnya lirih dan mulai terisak."Ayah juga." Jamie membalas sambil mengetatkan dekapan."Jangan pernah tinggalkan Kimie lagi," mohon Kimie usai melepas pelukan."Tidak akan. Kita akan hidup bersama selamanya," janji Jamie kembali merengkuh putrinya.Aku sendiri hanya bisa menunduk. Menyembunyikan air mata yang jatuh tanpa bisa dicegah."Siapa, Jam?"Dari dalam suara merdu terdengar. Wanita angkuh itu mendekat. Seketika perempuan cantik berumur awal lima puluhan itu membeku melihat kedatanganku."Kiraaa?!" Matanya menatapku geram. "Mau apa kamu ke sini? Mau membuat Jamie kian terluka, HAH!" hardiknya sarkas. "Kamu lihat! Dia sampai sakit berhari-hari ditinggal kawin olehmu!" tunjuk Mama Jamie naik pitam."Saya ....""Kamu mau mencoba merayu Jamie lagi, iya?!" Wanita yang bernama Lia itu menyela sengit ucapanku."Ma! Kira ke sini mau nganterin
(POV Jamie)"Ayaaah!"Suara jernih nan merdu itu tulus menyapa.Kimie. Dia datang dan memanggilku dengan sebutan ayah. Panggilan yang begitu kudamba selama ini. Rasa hampa dan lemah seketika lenyap saat bocah itu memelukku erat."Kimie kangen Ayah," tuturnya lirih dan mulai terisak."Ayah juga." Aku membalas sambil mengetatkan dekapan.Betapa bisa memeluk Kimie sedekat ini ternyata mampu menyalakan kembali semangat hidup. Aku yang selama beberapa hari terakhir begitu merana kini terasa hidup kembali dengan kehadiran gadis kecil ini."Jangan pernah tinggalkan Kimie lagi," mohon gadis kecil itu dengan mata yang berkaca-kaca usai melepas pelukan."Tidak akan. Kita akan hidup bersama selamanya," janjiku sembari kembali merengkuhnya.Sayangnya kesyahduan pertemuan ini harus terganggu karena kehadiran Mama. Wanita itu terlihat amat kesal melihat Shakira di rumah ini. Mama meluapkan kekesalannya pada ibu dari Kimie itu.Menurut Mama, Shakira-lah penyebab kandasnya hubunganku dengan Sandrina.
"Ngomong apa kamu?" Papa menyahut asal. Pria itu menyeruput minuman Mama."Aku mau dia tinggal di sini sama kita," jelas Mama tenang. "Selamanya." Walau pun berbisik. Namun, bisa kudengar permintaan wanita itu."Kimie, renangnya udahan ya. Jangan lama-lama nanti masuk angin." Aku menyuruh sembari menarik lengan anak itu. Sengaja kujauhkan dia kedua orang tua ini, agar tidak mendengarkan omongan Mama yang sudah mulai melantur. "Sekarang mandi, abis itu kita jalan-jalan ke mal. Oke?" tawarku kemudian."Tapi, bukannya Ayah lagi sakit?" tanya Kimie perhatian."Melihat Kimie datang, sakit ayah langsung sembuh. Itu karena Kimie adalah obat paling mujarab untuk ayah," jawabku seraya mengusap pipinya pelan. "Udah gih sana mandi!" "Okey." Kimie menganguk patuh. Bocah itu bergegas membersihkan badan. Aku pun melakukan hal yang serupa. Hari ini aku ingin mengajaknya bersenang-senang.Anak itu mendekat ketika aku tengah menyisir baju. Kimie terlihat sudah rapi. Si Mbok sudah mendandaninya deng
(POV Jamie)"Lalu siapa yang udah tega ngejebak kita?" tanya Sandrina serius.Aku terdiam. Namun, bayangan Mama berkelindan di mata. Dan aku teringat Kimie. Di mana anak itu sekarang?"Mas Jamie?"Aku tersadar tatkala Sandrina menegur. Perempuan itu mendekat."Kenapa otakku tertuju pada orang tua kita ya? Eum ... terlebih Tante Lia." Ada mimik tidak enak hati saat Sandrina mengungkapkan kalimat tersebut.Bukan tanpa alasan Sandrina menuding Mama sebagai biang keladi dari konspirasi ini. Mama sangat mendambakan dia sebagai menantu. Mama begitu mendesak aku untuk lekas menikahi gadis itu. Mama bahkan sempat drop saat Sandrina memutuskan hubungan pertunangan kami."Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Sandrina bertanya lagi.Aku tidak langsung menjawab. Mata ini melirik ke jam digital di atas nakas. Sudah pukul sembilan pagi."Kita sarapan saja dulu yuk! Habis itu baru pulang.""Oke." Sandrina menyahut semangat.Kami berdua menuju pintu. Ketika kenop kuputar, pintu kamar ternyata tidak