(POV Shakira)"Apa kabar, Kira?"Mulutku cukup lama ternganga. Bagai melihat hantu di siang hari mendapati Jamie hadir di rumah ini. Seharusnya sebagai seorang wanita, aku merasa senang didatangi seorang pria tampan. Namun, hati ini justru dilanda takut."Nak Jamie?!" Aku berpaling. Sosok Ibu sudah berdiri tegak di belakangku. Wajah wanita itu tidak kalah terkesimanya melihat kedatangan sang mantan menantu. "Benarkah kamu, Nak Jamie? Mantan suaminya Kira?" tanya Ibu mendekati Jamie."Betul, saya Jamie, Bu." Jamie menyahut dengan senyum mengembang. Penuh kesopanan ayah dari anakku itu meraih tangan Ibu. Menciumnya takzim."Ya Allah ... Nak! Ke mana perginya kamu selama ini?" tanya Ibu sambil mengelus rambut tebal Jamie yang sedikit membungkuk saat salim. Wanita itu masih memperlakukan Jamie putra kandungnya sendiri. "Kamu tahu? Kira hamil begitu kalian bercerai. Kamu punya anak perempuan, Jamie. Cantik sekali, Nak," terang Ibu begitu menggebu. Air mata haru lolos dari kedua manik hitam
Dua hari kemudian, kondisi Kimie kian membaik. Anak itu minta dihubungkan dengan nomor Jamie. Karena terus merengek terpaksa kupenuhi."Assalamualaikum, Om Jamie. Ini Kimie," sapanya riang gembira.[ ... ]Kimie tidak menyalakan loud speaker, sehingga aku tidak bisa mendengar suara Jamie di seberang sana."Iya, Kimie sudah sembuh. Beneran deh." Gadis kecil itu mengacungkan jari tengah dan telunjuk. Aku tergeli. Di sana Jamie mana melihat tanda swear-nya.[ ... ]"Asyik! Kimie tunggu besok, ya."[ ... ]"Walaikum salam!" Kimie menutup sambungan. "Yeayy ... Besok jadi jalan-jalan dengan Om Jamie!" serunya gembira. Usai menyerahkan ponsel padaku, gadis itu meloncat-loncat kegirangan. Bibirku berkedut senang menyaksikan kebahagiaan Kimie.Karena besok akan pergi jalan-jalan, kusuruh Kimie untuk tidur lebih awal. Anak itu menurut tanpa banyak bicara.Besok paginya, selepas menunaikan ibadah shalat subuh, Kimie sudah heboh. Anak itu mandi cepat. Sarapan pagi dengan lahap tanpa disuruh, lal
(POV Jamie)Inilah hari yang paling ditunggu selama beberapa hari terakhir. Aku akan pergi bersama Shakira dan Kimie. Dua perempuan yang sangat berarti untukku saat ini.Rasa tidak sabar membuatku bangun terlalu pagi. Usai beribadah pagi, aku latihan treadmill. Tidak lama cukup empat puluh lima menit saja. Asal keringat sudah membasahi badan.Duduk seharian dari pagi sampai petang, bahkan hingga malam membuat tubuh kurang bergerak. Makanya sebisa mungkin aku menyempatkan diri berolah raga di rumah sebelum berangkat kerja.Tidak heran jika banyak yang memuji jika tubuhku kini mulai berisi. Lebih tegap dan berdada lumayan bidang. Bahkan otot-otot di perut dan lengan juga sudah terlihat. Padahal dulunya aku tipe pemuda kerempeng.Setelah melihat waktu gegas aku membersihkan diri. Tidak boleh terlambat ke rumah Shakira. Aku tidak mau membuat Kimie kecewa.Usai mandi aku dibuat pusing saat memilih baju. Bingung harus mengenakan pakaian apa? Aku tergeli sendiri.Kenapa rasanya excited bange
Berhasil!" Aku dan Shakira refleks menoleh. Cahaya lampu membuat mata kami silau. Tiga orang teknisi dengan helm kuning terkesiap menatap kami.Aku dan Shakira lekas memisahkan diri. Wanita itu lekas bangkit, lalu mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. Sulit juga bangun dengan menggendong Kimie."Wahhh ... rupanya ada keluarga kecil yang hendak bermalam di lift ini," ujar seorang teknisi begitu kami keluar.Shakira terlihat jengah, sementara aku cuek saja. Kami berjalan cepat menuju mobil. Kimie yang terlelap kubaringkan di jok belakang."Terima kasih ya, untuk hari ini," ucap Shakira saat dalam perjalanan pulang. Suaranya lirih. Namun, aku tahu dia bahagia."Aku yang berterima kasih karena kamu mengizinkannya.""Kimie anakmu tentu saja aku mengizinkannya, Jam.""Kalo gitu akan ada jalan-jalan bersama season dua, tiga dan seterusnya kan?" tanyaku sambil menatapnya serius. "Jalan-jalan hanya kita bertiga saja," imbuhku sambil menaikkan alis. Shakira kikuk dan itu sungguh terlih
(POV Jamie)"Jamie!" Aku menoleh. Sosok Papa menatap dingin sambil menuruni anak tangga. "Dari mana saja kamu? Sampai Sandrina sedih seperti itu?!Lelaki yang kini rambutnya mulai kelabu itu mendekat. Seperti biasa matanya kuat menatap. Mengintimidasi. Seolah dia adalah penguasa yang harus ditakuti."Kamu dari mana seharian?" Papa bertanya lagi dan masih bernada dingin.Aku menyengir malas. "Pa, ingat! Aku ini sudah bukan anak kecil lagi.""Papa tanya dari mana kamu seharian?!" Lelaki itu membentak keras. Mata telanjang tanpa bingkai itu menghujamku.Aku menghela napas panjang. Lelaki ini tetap menganggap aku robot yang harus tunduk pada kendalinya."Ada apa sih kok ribut-ribut." Dari lantai atas Nama menegur. Wanita yang memakai baju tidur kembaran dengan Papa itu setengah berlari menuruni tangga. Lalu memegang lengan suaminya yang terus mendelik padaku. "Semua kan bisa diomongin secara baik-baik," ujarnya dengan dengkusan, "kamu juga Jamie, dari mana saja seharian ini? Hape dimatik
Mama dan Papa mendesak aku untuk segera menemui Sandrina. Menyuruhku untuk lekas meminta maaf pada dokter anak kecil itu. Serta sederet perintah lainnya. Karena di sini memang aku juga bersalah, maka tanpa ragu Minggu sore aku menyengajakan diri menemui Sandrina."Ah ... kebetulan kamu datang, Jamie," sambut Mama Sandrina semringah ketika membukakan pintu untukku. "Dari kemarin uring-uringan terus. Gak mau keluar dari kamar," lapornya sambil mengeluh. Aku hanya mengulum senyum mendengarnya. Kami berdua menapaki tangga menuju lantai dua."Nina! Ada Jamie ini!" seru Mama Sandrina begitu kami tiba di kamar sang putri. Wanita seumur Mama itu mengetuk-ngetuk pintu kayu bercat cokelat itu. "Niiin!""Suruh masuk, Ma!" Terdengar sahutan dari dalam.Ketika tangan Mama Sandrina mempersilahkan, aku mengangguk sopan. Lalu mulai membuka pintu yang tidak terkunci itu. Sosok Sandrina sudah berdiri bersandar pada pembatas balkon kamarnya. Gadis itu masih mengenakan rok tidur. Sandrina terburu menga
(POV Shakira)Tidak dipungkiri, jika bepergian seharian bersama Kimie dan Jamie membawa kesegaran tersendiri pada hati dan pikiran. Kimie tertawa riang bersama ayah kandungnya. Pria yang selama ini amat ia rindukan. Lelaki yang selalu dirinya sebut ketika berdoa.Sayang untuk hingga saat ini baik aku maupun Jamie belum sanggup jujur pada Kimie, jika Om Jamie yang ia sayang juga seperti Om Aldinya ternyata ayah kandungnya. Sandrina. Dialah alasan kami menyembunyikan fakta ini.Sementara di sisi lain ada Aldi yang amat tidak menghendaki kami pergi bertiga. Sempat terjadi keributan antara lelaki itu dengan Jamie hanya karena masalah sepele. Kimie. Keduanya berebut ingin menggendong bocah itu.Tentu saja Jamie kalah karena posisi dia memang lemah. Walau Jamie adalah ayah biologis dari Kimie. Namun, bisa dibilang Aldi-lah lelaki dewasa yang pertama kali Kimie lihat. Pria yang merawatnya semenjak lahir."Kita perlu bicara," pinta Aldi begitu membaringkan Kimie pada ranjang kamarku.Sampai
Kuhormati permintaan Aldi. Saat Jamie datang berkunjung ke tempat kerja, aku memilih menghindar. Beruntung Jamie juga tidak terlalu peduli. Baik aku dan dia sama-sama mampu menjaga sikap.Namun, di hari Jumat sore lelaki itu menginjakkan kaki di rumah. Tentu saja Kimie adalah alasannya. Kebetulan juga Kimie sedang membersihkan diri, sehingga ada kesempatan untuk berbicara dengannya."Jika kamu ingin ketemu Kimie, kamu harus menghubungi aku dulu, untuk menentukan tempat dan waktunya." Sungguh tidak sampai hati saat mengajukan usul tersebut pada Jamie.Jamie pun berjengit. "Itu ide dari Aldi kan?" Dia menduga dengan sedikit geram."Plis, hargai keputusan ini, Jam!" Aku menyela tidak kalah cepat. Memohon padanya agar dia bisa memahami.Aku tahu Jamie terpukul, tetapi inilah kemauan Aldi dan Ibu. Dan aku yakin bahwa keputusan yang Ibu canangkan pasti yang terbaik. Aku tidak mau menyesal untuk kedua kalinya. Karena pernah tidak mendengar nasihat Ibu dengan bersikeras meminta cerai dari Ja