Lima tahun sudah Aya menanti di dunia manusia tanpa kabar sama sekali. Berkali-kali pergi ke Gunung Kalastra tapi ada perisai yang melarangnya masuk. Lalu ia hanya bisa pasrah saja. Pun dengan Amira yang semakin tersiksa tubuhnya, karena penyakit dan tenaga Aya yang berperang di dalam tubuhnya. “Mei, Aya titip mama, ya, nggak enak banget kalau nggak pergi ke undangan,” ucap Aya di satu malam. Sang putri baru saja selesai berdandan. Tak banyak polesan di wajahnya. Bahkan tanpa riasan sama sekali juga kecantikan Cahaya tidak bisa dilampaui manusia biasa. Namun, demi terlihat normal, ia poleskan eye shadow di matanya, sedikit. Putrinya Abhiseka itu harus menghandiri pesta pernikahan Lila. Amira hanya berkedip melihat penampilan putrinya yang kini semakin matang dan dewasa. Sang ratu hanya bisa bicara satu per satu saja. “Iya, pergilah Tuan Putri. Gusti Ratu biar bersama hamba saja. Tapi … Tuan Putri yakin pergi dengan baju seperti ini.” Mei saja yang perempuan terpesona apalagi lela
Bagian 52 Pengorbanan “Pak Saka. Ini Aya kalau jalan bakalan jadi bayi baru lahir, loh.” Aya masih berada dalam dekapan pengawalnya. “Maksudnya?” tanya manusia harimau itu. “Nggak pakai baju, kancingnya lepas semua.”“Oh, iya, maaf kalau begitu. Kita kembali ke rumah saja.” Detik itu juga keduanya berada di dalam kamar sang putri. Saka melepaskan dekapannya dan baju Aya langsung melorot ke lantai. Untung saja lelaki itu sempat memejamkan mata. “Jangan ngintip!” ujar Aya sambil melepaskan semua gaunnya. “Lama tak bertemu. Putri Cahaya, kau semakin cantik saja.” Saka membalikkan tubuh, takut dia lihat reaksi Aya. “Menjanda lima tahun, Aya bagaikan makan sayur tanpa garam.” Lagi sang putri ingin memeluk Saka, tapi pengawalnya menghindar. “Sejak kapan harimau makan sayur?” tanya Saka. “Pak Saka kenapa lari, sih?” “Karena belum ada kepastian dari Gusti Prabu.” Saka ngumpet di balik gorden. “Baaa, ketangkep. Kok, bisa? Bukannya udah menang perang?” Aya ngekor di dalam gorden juga
“Jangan korbankan kebahagiaan Aya. Lebih baik kamu bawa aku pulang ke rumah.” Sang Ratu menutup mata setelah mengucapkan kata demikian. Sudah sejak lama Amira tahu Aya menanti Saka kembali dengan penuh harapan. Lalu ketika ada kesempatan bersama Saka harus berkorban demi kehidupan Amira. Lebih baik dia saja yang mati. “Lagi pula darah Saka tidak cocok dengan Gusti Ratu,” ucap Guru Wirata. “Alasannya?” tanya Abhiseka. “Sudah jelas sekali, Saka harimau jantan dan Ratu perempuan biasa. Tidak akan ada keuntungan sama sekali. Lebih baik cari yang betina juga, Gusti Prabu.” “Iya, baiklah, aku hanya ingin istriku lekas sembuh saja.”Cahaya tak lagi menatap ayahandanya dengan penuh kebencian. Ya, tidak apa-apa baginya untuk membakar gunung untuk yang kedua kalinya. Rencananya tadi begitu. “Untuk sekarang, Gusti Ratu bisa bertahan. Saka, kau sebarkanlah kabar ini, siapa yang bersedia akan diberikan hadiah. Cepatlah, agar semua berjalan lancar.” Perintah Guru Wirata. Lelaki itu pergi dar
Gadis bermata itu duduk dan menarik napas cepat. Ia pukul dadanya berkali-kali, sakit terasa mengetahui kenyataan yang sangat menyakitkan. Aya tidak menangis, hanya saja ia bisa merasakan bagaimana mematikannya racun yang dipaksa ditelan ke dalam tubuh semua saudaranya. Gadis itu menjerit sekuat-kuatnya. Kejadian masa lalu yang terasa nyata baginya, bahkan Aya seperti itu menelan racun yang sama di dalam kerongkongannya. Lalu akhirnya ia pun menangis. Walau tak pernah kenal, tapi mereka tetaplah sedarah. “Ternyata nggak di dunia manusia, nggak di gunung ada aja manusia sampah yang menghalalkan segala cara.” Aya duduk sambil memejamkan mata, dan menenggelamkan kepala di antara dua lututnya. Bak orang gila, setelah itu sang putri tersenyum dan tertawa sendirian. Suaranya mengandung kesenduan. Tawanya kian kecang dan akhirnya beberapa ledakan tercipta karean Aya mulai tak bisa mengendalika emosinya sendiri. Api biru mulai tercipta. Menyadari ada yang salah, sang putri menaikkan air su
Mei tak mengerti apa yang terjadi pada tuannya. Macan kumbang itu memutuskan ikut saja sambil bertanya walau agak takut. Aya terlihat sedikit menyeramkan."Tuan Putri, kenapa tidak terlihat senang? Bukankah nant—” “Mei, Guru Wirata itu paling sakti, kan, ya? Kenapa nggak dia aja yang mengejar dan menangkap Astina?” Aya berhenti dan menatap mata dayangnya dengan tajam. Ia butuh jawaban yang jujur dari bibir Mei Mei. Kalau berbohong, maka Aya terpaksa … “Soal itu hamba kurang paham, Tuan Putri. Bisa ditanyakan pada Tuan Saka mungkin. Hamba dulu hanya dayang yang mengurus ayam peliharaan Gusti Prabu saja.” Mei menjawab apa adanya, dan bisa Aya rasakan kejujuran dari pancaran mata dayangnya. Lalu gadis bermata biru itu memutuskan masuk ke dalam kamar. *** Saka mengejar Astina yang telah berubah menjadi asap hitam dan berusaha menjauh darinya. Sejujurnya manusia harimau itu kecil hati. Dulu ia pernah kalah dari siluman kelabang tersebut, bahkan sekujur tubuhnya terkena racun mematikan.
Guru Wirata pergi dari makam kerajaan. Hampir semua yang meregang nyawa di sana dialah biang keladinya. Kecuali yang masih kecil-kecil dibunuh oleh Astina sendiri. Wirata akan masuk dalam raga Astina agar siluman kelabang itu semakin kuat dan tak terkalahkan. Selalu demikian sejak ratusan tahun lalu. Apa hubungan di antara keduanya? Tidak mungkin hanya sekedar teman bicara saja. Manusia harimau putih itu muncul di depan gua persembunyian Astina selama ini. Tempat yang ia tutupi dengan perisai, sekalipun Saka yang mencari tidak akan pernah ketemu. Hanya jika Wirata tewas saja perisai tersebut akan hilang dengan sendirinya. Namun, siapa yang mampu membunuh yang paling sakti di Gunung Kalastra? “Kang Mas,” ucap Astina sambil berbaring di atas batu. Ia kesakitan usai dihantam oleh Saka. Jika tak ada Wirata sudah lama siluman itu tewas. “Kau terlalu gegabah, bagaimana mungkin bisa muncul di dalam istana saat aku sedang mengobati Gusti Ratu.” Wirata duduk di sebelah kekasihnya. Terlih
Sebelum Aya ke Air Terjun Putri Cahaya datang ke kamar sang ratu yang sudah semakin membaik. Gadis itu memeluk Amira sangat erat. Sempat ia berpikir akan kehilangan mamanya. Namun, berkat Wirata permaisuri Abhiseka terselematkan hidupnya. Hal yang membuat Aya bingung harus bersikap bagaimana. “Aya, kamu cantik banget pakai baju ginian. Nggak tertandingi sama sekali.” Amira masih duduk di ranjang saja. Dia belum ada rencana ke mana-mana. “Mama juga, pipinya udah merah lagi, bibir nggak pecah-pecah terus rambutnya mulai halus. Hebat banget Guru Wirata bisa sampai gini nolong Mama.” “Iya, Mama juga nggak nyangka bakalan hidup lagi. Kemarin sempat mau nyerah.” “Ayahanda mana, Ma?” tanya sang putri. “Nggak tahu, dari pagi nggak kelihatan, kenapa?” “Gini.” Gadis bermata biru itu menarik napas sejenak. Mungkin lewat bujukan Amira restu bisa didapatkan dengan mudah. “Mama, kan, udah balik ke sini. Entah kenapa Aya yakin kalau bentar lagi Aya bakalan punya adek bayi.” Senyum terbit di b
Aya melihat ke sekeliling, sepi sekali, sunyi, dan begitu tenang. Namun, ia teringat dengan pesan Yunda Niken, bahwa ia harus menolong Saka yang berada dalam bahaya. Aya mencoba berlari mencari jalan keluar, tapi ia tak menemukan apa-apa. “Ayo, bangun, bangun, jangan terbawa mimpi.” Gadis bermata biru itu sampai menampar diri sendiri, tapi tak terasa sakit sama sekali. “Aduh, gimana caranya mau nolongin Pak Saka kalau gini.” Aya mencoba menghantam perisai yang menghalangi dirinya tapi tidak terjadi sesuatu di depannya. Kemudian, lintasan kejadian saudaranya mati satu demi satu dibunuh Astina dan Wirata melintas bak putaran film di bioskop di depan mata Aya. Selesai satu kematian, lalu arwah saudaranya menembus tubuh Aya begitu saja, begitu terus sampai peristiwa dibunuhnya Niken Ayu beserta anak dan suaminya. Tak tahan dengan rasa sakit akibat ditembus oleh arwah saudaranya yang berjumlah sangat banyak, Aya menjerit kesakitan. Saat itu pula dunia serasa berputar sangat cepat di ma
Abhiseka membuka mata secara tiba-tiba ketika ia merasakan tubuhnya terasa sakit. Lelaki itu sedang menyendiri di puncak Gunung Kalastra. Tanpa kehadiran satu pun pengawalnya termasuk Cakra Buana. “Ada apa ini?” Ia memegang jantungnya yang berdetak kuat. Lelaki itu berdiri perlahan dan hendak turun ke istana. Perlahan-lahan ia melangkah bahkan serasa nyaris tumbang karena raganya tak kokoh lagi. Abhiseka semakin kesakitan. Pada saat ia hampir sampai di depan istana, rasanya lelaki bermata biru itu tak sanggup lagi melangkah. Abhiseka duduk di dekat pohon dan memandang semua pencapaiannya selama menjadi raja di Gunung Kalastra. Anak, cucu, dan cicit yang sudah tewas dan sekarang tergantikan oleh tiga putra yang kini sudah tinggi ukuran tubuhnya. “Apakah ini saatnya?” gumam Abhi sambil menahan rasa dingin yang tiba-tiba merambat dari dari telapak kakinya. Dari kejauhan Amira berjalan ke arahnya, tetapi langkah wanita itu tertahan ketika salah satu putranya mengajaknya bermain. Abhi
Saka mencakar-cakar tabir gaib yang dibuat oleh Sanaha beberapa kali. Namun, benda itu bahkan tak berkurang sedikit pun kadar ketebalannya. Harimau kuning itu mengubah wujudnya menjadi manusia. Ia menarik pedang di pinggang kemudian berkali-kali menacapakannya. Tak menyerah terus diulang Saka tetapi tidak juga ada perubahan. “Tuan, bagaimana ini, nanti Tuan Putri kesakitan di atas sana,” ucap Mei yang tak bisa membantu apa-apa. “Aku juga bingung. Aku belum menguasai dengan baik wilayah ini, aku takut semua akan berakhir tak baik.” Menetes peluh di dahi Saka saking ia telah lelah mencoba. “Kita kembali ke Gunung Kalastra, meminta pertolongan pada Gusti Prabu Abhiseka,” bujuk Mei. “Jangan. Ini bukan urusannya lagi, ini menjadi urusanku. Mei kau tunggu di sini, aku akan kembali ke istana dan mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menghantam tabir gaib ini.” Saka menghilang begitu saja. Mei tidak bisa melakukan apa pun. Begitu juga dengan peri capung yang menatap dari kejauhan sa
Abhiseka membuka matanya. Ia tidak tidur, hanya sedang mengawasi tiga anak lelakinya bermain bersama Amira. Sang prabu mengulang dari awal lagi membangun keluarga besar ketika semuanya meninggal. “Apa yang kau harapkan dengan mengirim Cahaya ke sana, putraku?” Ratu Swastamita muncul. Abhiseka menoleh. Sang ratu duduk di sisinya. “Aku berharap Cahaya dan Saka bisa membangun semua peradaban kita dari awal lagi, Ibu.” Hanya Abhiseka saja yang bisa melihat Ratu Swastamita yang bentuknya tembus pandang. “Bahkan ibu saja tidak bisa melawan ular hijau itu. Apalagi Cahaya yang setengah manusia biasa.” “Ada Saka yang melindunginya.” “Bagaimana kalau Saka juga tewas, lalu putrimu tak bisa bertahan?” Pertanyaan sang ratu membuat Abhiseka terdiam sejenak. “Kalaupun Cahaya tewas, aku masih memiliki tiga putra yang akan meneruskan takhta.” Abhiseka menjawab sambil menahan nyeri di hatinya. Sang ratu kemudian menghilang. Tak pernah ada yang menyangka Abhiseka tega berbuat demikian pada putri
Ratu harimau tewas di tangan Sanaha. Jantung binatang itu masih berdetak ketika diambil paksa oleh sebuah tangan berkuku panjang. Ibunda sang pangeran berubah wujud menjadi harimau lalu berpendar menjadi abu. Tak ada lagi yang tersisa dari dalam istana. Semua sudah habis. Sanaha mengubah wujudnya menjadi manusia seutuhnya, ia melayang di atas istana. Siluman ular tersebut menyaksikan sendiri betapa banyak darah yang tumpah akibat murkanya. Murka yang disebabkan oleh perbuatan panglima elang dan harus ditanggung oleh seluruh rakyat. “Apakah semuanya mati?” tanya Sanaha pada jantung gusti ratu yang masih berdetak. “Apakah Abhi juga tewas?” Siluman ular itu meneteskan air mata walau tanpa terisak. Walau bagaimanapun mereka punya kisah yang sangat manis. Abhiseka tidak mati, ia terlihat berlari dan melompat menuju istana. Hingga terlihat olehnya Sanaha menggunakan sutera campuran berwarna hijau hitam dan di tangannya ada sesuatu yang membuat Abhiseka tak mampu lagi melangkah. “Terlamb
Sanaha tersenyum ketika beberapa hari lagi bayi dalam kandungannya akan lahir ke dunia. Akhirnya ia tak akan kesepian lagi. Selama hamil ular hijau itu memang melemah kekuatannya, ditambah Abhiseka tak pernah datang ke tempatnya lagi. Sanaha tak tahu kalau di atas sana panglima elang dan beberapa anak buahnya datang mengawasi dan menunggu saat yang tepat baginya untuk menghabisi keturunan ular hijau penghuni telaga. Pernikahan dilangsungkan oleh Abhiseka bersama seorang putri dari kerajaan lain. Sanaha tahu dari desas-desus yang ia dengar. Ular itu tidak bisa mencegah takdir yang terjadi. Malam itu kerajaan sedang berbahagia atas penobatan pangeran dan putri makhota serta dua selirnya. Selama tujuh hari tujuh malam para duyung menyanyikan lagu-lagu bahagia hingga Abhiseka tak sempat memikirkan Sanaha. Gusti Ratu Swastamita tak melihat kedatangan panglima elang. Artinya makhluk yang setia padanya masih mengawasi telaga dan menunggu waktu yang tepat. Tengah malam ketika pesta perni
Abhiseka bangky dari pembaringannya. Di sana ia tidur bersama Amira. Manusia biasa yang ia jadikan permaisuri setelah semua istrinya tewas di tangan siluman kelabang. Meski sudah hampir ribuan tahun tinggal di Gunung Kalastra. Harimau putih itu masih merindukan kampung halaman tempatnya lahir. Tempat itu ia tutup rapat dari pandangan baik manusia atau siluman, bahkan Guru Wirata tak bisa menemukannya. Hingga pada akhirnya ia serahkan pada Cahaya dan Saka agar tempat itu hidup kembali. Apakah ia tak memikirkan apabila Sanaha bangkit dari tidur panjangnya dan tak akan mengganggu Cahaya. Abhi memikirkan semua itu. Ia yakin putrinya yang dari garis manusia biasa bisa menangani ditambah kehadiran Saka—pengawal yang sangat ia percaya. Walau demikian ia termasuk mempertaruhkan semuanya. Bisa saja Cahaya mati. “Sanaha, aku harap kemarahanmu tidak seperti dulu lagi. Sudah ribuan tahun berlalu, biarkan putriku mengambil tempat nenek moyangnya kembali. Aku sudah menepati janjiku untuk tidak k
Abhiseka menghidupkan kayu kering dengan api biru dari tangannya. Sang pangeran memandang rumput tempat mereka berdua memadu kasih tadi. Sanaha mengajarkan banyak hal padanya. Sayangnya ular itu pergi dan hanya tersisa sisik yang rontok di tanah saja. Abhiseka berenang dan kembali ke danau bagian atas tempat ia pertama kali bertemu dengan ular hijau itu. Sanaha masih tidak ada. Abhiseka berpamitan pada angin di atas tebing. “Aku tahu kau mendengarku, aku akan kembali lagi, aku harus pulang karena masih punya istana,” gumam Abhiseka. Tidak ada yang menjawab, lelaki bermata biru itu turun dengan cara melompat dari atas tebing. Di sana panglima elang ternyata telah menunggu. “Pangeran tidak apa-apa? Mengapa tidak pulang, Gustri Ratu mencari,” ucap penjaga dengan sayap menjuntai sampai ke tanah itu. “Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir, aku bisa pulang sendiri.” “Untuk apa Pangerang ke tebing itu. Bukankah kau tahu larangan?” “Aku tidak apa-apa, jadi tidak ada yang perlu ditakutkan.
Seekor ular berwarna hijau seperti lumut menggeliat di dalam danau. Danau itu berada di atas tebing tertinggi, bahkan elang pun belum pernah sampai terbang ke sana. Wilayah yang memang berada dalam kuasa manusia harimau, tetapi tidak ada yang berani mengusik kediaman ular setengah manusia itu. Binatang meleta tersebut menyembulkan kepalanya. Lidah cabang duanya keluar. Mata berwarna hijau itu memandang mangsa di atas pohon. Seekor monyet yang sedang tertidur pulas dan dan tak sadar sebentar lagi akan berpindah ke perut ular. Tubuh licin itu tegak dan dalam waktu cepat, kera yang tadinya baik-baik saja kini telah berada di dalam mulutnya. Empat gigi tajam tersebut mematahkan tulang seekor kera dan tenggorokannya mendorong masuk makanan terus masuk ke perut. Setelah teredam laparnya ular hijau itu masuk ke dalam danau. Kemudian bagian atas tubuhnya berubah menjadi setengah manusia dan ia pun berjemur di bawah sinar matahari yang malu-malu menyapa wajah cantiknya. Sanaha—nama ular it
Saka memastikan dirinya terkunci di dalam ruang rahasia yang semalam tak sengaja ia temukan. Di dalam sana tidak ada satu makhluk pun selain dirinya. Di sana juga tidak ada para peri yang akan mengganggunya. “Tempat ini masih banyak misterinya. Aku harus tahu, karena aku seorang raja,” gumamnya perlahan. Saka menyentuh satu demi satu benda asing yang ia temukan. Selama beberapa saat lamanya pun tidak ada perubahan. Termasuk zirah perang yang ia sentuh, seakan-akan tempat itu kosong dari segala sihir yang biasanya memenuhi kediaman mereka. “Kalau tidak ada apa-apa, lebih baik aku kembali saja. Sudah terlalu lama aku meninggalkan Cahaya.” Manusia harimau itu tidak tahu kalau istrinya pun pergi berkelana ke luar. Pendengaran Saka di dalam ruang rahasia itu pun tertutup rapat. Baru saja ingin menggeser dinding, sebuah kitab lama terlempar dan menghantam kepalanya. Saka mengaduh dan menoleh ke belakang. Ia ambil kitab lama yang penuh lukisan itu. Sang raja ingin membaca di sebelah ist