Aya melihat ke sekeliling, sepi sekali, sunyi, dan begitu tenang. Namun, ia teringat dengan pesan Yunda Niken, bahwa ia harus menolong Saka yang berada dalam bahaya. Aya mencoba berlari mencari jalan keluar, tapi ia tak menemukan apa-apa. “Ayo, bangun, bangun, jangan terbawa mimpi.” Gadis bermata biru itu sampai menampar diri sendiri, tapi tak terasa sakit sama sekali. “Aduh, gimana caranya mau nolongin Pak Saka kalau gini.” Aya mencoba menghantam perisai yang menghalangi dirinya tapi tidak terjadi sesuatu di depannya. Kemudian, lintasan kejadian saudaranya mati satu demi satu dibunuh Astina dan Wirata melintas bak putaran film di bioskop di depan mata Aya. Selesai satu kematian, lalu arwah saudaranya menembus tubuh Aya begitu saja, begitu terus sampai peristiwa dibunuhnya Niken Ayu beserta anak dan suaminya. Tak tahan dengan rasa sakit akibat ditembus oleh arwah saudaranya yang berjumlah sangat banyak, Aya menjerit kesakitan. Saat itu pula dunia serasa berputar sangat cepat di ma
“Bener, Pak Saka, yok, sekarang aja nikahnya. Nggak usah tunggu lama-lama.” Buyar rencana Aya untuk membunuh Wirata dan Astina.“Belum bisa, ada syaratnya.” “Apaan, heran, banyak bener gaya Gusti Prabu Abhiseka ini. Kalau bukan ayah sendiri, udah tak hiiiih sampai ke bikini bottom.” “Syaratnya, aku harus bisa membunuh Astina. Agar kerajaan kita damai.” “Oooh, gitu doank. Gampanglah itu, kirain disuruh membelah gunung.”“Gampang dari mananya, Tuan Putri, Astina itu sakti tanpa tandingan dari dulu.” “Pokoknya gampang, serahin sama Aya. Pak Saka tinggal ikut rencana Aya, ya. Oke, deal?” Saka menatap Tuan Putri agak sedikit curiga. Meski tadi dia separuh sadar, tapi Saka bisa melihat bagaimana kemampauan Aya ketika bisa mengalahkan gurunya. Aya dan Saka masih berduaan. Ngapain? Bahas cara mengalahkan Astina, yang sebenernya gampang banget bagi Aya. Namun, menurut Saka, harus dialah yang mengalahkan siluman kelabang itu biar bisa sat set sat set nikah sama sang putri. So, pura-pura t
“Acieeeeh, Pak Saka udah berani peluk Aya. Tapi, kita, kan nggak kelihatan, Pak di mata manusia?” Aya senang bukan main dipeluk Saka. “Oh, iya lupa.” Saat itu juga Saka melepaskan pelukannya. “Tahu gitu, nggak dikasih tahu biar dipeluk agak lama.” Kecewa sang putri jadinya. “Sudah, ayo pergi dari sini. Sudah cukup 10 ekor ayam kita tangkap.” Saka mengikat ayam dengan ikat kepalanya. Lalu dia mengajak gadis bermata biru itu kembali. “Pak Sakaa, gendong.” Kumat manja si Aya. “Malas, bisa terbang padahal.” “Pelit!” “Lihatlah aku sedang bawa ayam.” “Eh, tunggu, emang udah tahu di mana tempat tinggal Astina?” tanya Aya. “Oh, iya, di mana, ya? Tuan Putri tunggu di sini, aku akan bertanya pada guru dulu, dia pasti tahu jawabannya.” “Eh, Pak Saka, nggak usah, mending cari tahu sendiri deh. Duduk, tenangkan pikiran, pasti ketemu. Feeling Aya Astina tinggal di dalam gunung. Percaya sama calon istrimu yang cantik jelita dan imut-imut ini.” Sejenak Saka memandang Aya. Dari cara berbica
“Guru Wirata, Aya tahu guru udah berjasa banget nolongin Mama, tapi ada ratusan saudara, keponakan, bahkan cucu Aya yang Guru bantai tanpa ampun. Jadi malam ini adalah malam terakhir bagi Guru untuk tinggal di gunung.” Gadis bermata biru itu memetik beberapa bunga beracun berwarna hitam. Yang paling besar bahkan ia ambil menggunakan selendangnya sendiri agar ia tak terkena efek samping bunga tersebut. Ada satu keranjang kecil Aya bawa sendirian saja, tanpa melibatkan siapa pun termasuk Saka juga Mei Mei. Namun, kedatangan Saka yang tiba-tiba membuat sang putri terpaksa menyembunyikan bunga itu. Aya langsung memasang wajah ceria seperti biasanya. “Apa yang Putri lakukan malam-malam di kebun belakang?” tanya Saka. “Lihat bunga, Pak.” “Untuk apa? Ini bunga beracun. Di bawah sana tertanam jiwa-jiwa pengkhianat yang bekerja sama dengan Astina dulu.” “Nggak ada, siapa tahu kalau kita pakai bunga ini bisa bunuh Astina kan, terus kita bisa kawin cepet,” ucap Aya dan Saka langsung melirik
Dua manusia harimau itu bersamaan berbicara. Kalau sampai salah satunya tewas, maka mereka berdua yang paling layak disalahkan. Keduanya berlari kencang dan menghilang lalu sampai di istana. Di sana Saka melihat Aya menangis sesenggukan. “Putri, apakah Gusti Ratu?” tanya Saka agak takut. “Bukan, Guru Wirata meninggal, Pak, hu hu hu, sedih banget Aya dibuatnya. Belum sempat balas budi, belum sempat minta maaf, Guru udah pergi, hu hu hu. Aya yang salah, hu huuu.” Jago banget akting Aya soalnya air matanya turun terus di pipi. “Sudah tidak apa-apa, bukan salah Tuan Putri.” Saka memeluk Aya untuk menangkan tangisan calon istrinya. “Yes, akhirnya dipeluk Pak Saka,” gumam Aya perlahan. “Apa sebab kematian, Guru?” Cakra Buana menahan dayang yang mulai mempersiapkan upacara penguburan untuk Wirata. “Bunuh diri, Tuan, beliau menelan racun bunga hitam sangat banyak. Penyebab bunuh dirinya tidak ada yang mau bilang.” “Putri Cahaya, izinkan aku untuk mengurus pemakaman guru sebagai bakti s
Gustri Prabu Abhiseka melihat jasad Astina terbujur kaku di depan matanya. Hampir tak menyangka raja itu bahwa Saka mampu menaklukkannya seorang diri. Padahal yang ia tahu dulu mendiang Guru Wirata pun tak sanggup dan memilih menjauh dari masalah. Syarat itu pun sebenarnya pemberat agar Saka mundur tertatur dan tak ada keinginan untuk menikahi putrinya. “Abhi, tepati janji, kan, Saka udah bawa tu apa yang kamu minta. Raja mana boleh bohong, kalau bohong namanya raja ngibul.” Amira membujuk sang prabu yang masih berpikir keras. Saka tersenyum dikit. Sama aja dua kali lima lima kali dua, Abhiseka nggak berkutik kalau udah dirayu Amira. “Taksaka, pengawal setiaku,” panggil ayahanda Cahaya.“Baik, Gustri Prabu.” “Karena kau telah memenuhi apa yang menjadi persyaratan sebagai suami yang layak untuk putriku. Maka dari itu aku ucapkan terima kasih, dan satu pekan dari sekarang, istana akan mempersiapkan pernikahan kalian berdua, yang mewah dan mengundang semua rakyat di Gunung Kalastra. S
“Agh, sakit, Mei, astogeee, jangan kuat-kuat, woi!” Sekujur badan Aya digosok pakai batu kali. Pagi ini adalah hari pernikahannya dengan bodyguard kesayangan. Karena itu semua noda dan dosa yang melekat dalam diri Aya harus dihapuskan.“Supaya cantik dan halus kulitnya nanti, Tuan Putri. Jadi, Tuan Saka pun semakin klepek-klepek dengan tuanku yang jelita dan ayu mempesona.” Mei masih menggok telapak kaki Aya dengan sebongkah batu. “Pak Saka udah naksir Aya dari sejak Aya burik, eh, nggak pernah burik sih Aya dari dulu. Aduh, sakiiit! Itu jerawat punggung tolonglah dikondisikan.” Nyuut, batu kali menggiles jerawat belum mateng sampai pecah. “Selesai!” Mei memberikan kain panjang untuk sang putri. Habis itu Aya didandanin oleh seorang perias yang sangat terkemuka. “Wow, ngalahin MUA di dunia manusia ini.” Aya melihat wajahnya jadi berbeda. Pakai lipstik merah delima jadi terlihat lebih dewasa dari usianya. Terakhir sang putri menggunakan baju kebesaran untuk pernikahan ala kerajaan m
Bagian 62 Bulan MaduJadi setelah Aya memperoleh kesadarannya, apa yang dia lakukan? Meratap menangis di depan cermin, sampai luntur eye liner saking banjir air mata Aya yang turun. Saka sampai tutup telinga. Nggak selesai-selesai nangisnya dari tadi. “Bikin malu aja, hiks,” gumam Aja sambil sedot ingusnya yang keluar. “Sudahlah, Dinda, itu, kan dilakukan dalam keadaan tidak sadar. Di luar jaringan,” jawab Saka. Padahal dia udah ready untuk malam pertama, tapi malah istrinya mewek duluan. Nggak jadi-jadi malam pertama, ketunda teros. Mana Mei Mei datang lagi membujuk sang putri. “Udah nikah tapi masih juga jomlo. Nasib punya istri masih bocah.” Saka duduk di tepi ranjang, melihat Mei membujuk tuannya. “Tuan Putri, maafkan hamba. Hamba yang salah memberikan obat. Hukum saja hamba karena memang pantas, hiks.” Ikut nangis Mei Mei. “Udah kejadian Mei, mau ditarok di mana mukak ini, huahahahahaha, hiks, hiks, hiks.” Malah paduan suara nangis bersama. Makin kencenglah Saka tutup te
Abhiseka membuka mata secara tiba-tiba ketika ia merasakan tubuhnya terasa sakit. Lelaki itu sedang menyendiri di puncak Gunung Kalastra. Tanpa kehadiran satu pun pengawalnya termasuk Cakra Buana. “Ada apa ini?” Ia memegang jantungnya yang berdetak kuat. Lelaki itu berdiri perlahan dan hendak turun ke istana. Perlahan-lahan ia melangkah bahkan serasa nyaris tumbang karena raganya tak kokoh lagi. Abhiseka semakin kesakitan. Pada saat ia hampir sampai di depan istana, rasanya lelaki bermata biru itu tak sanggup lagi melangkah. Abhiseka duduk di dekat pohon dan memandang semua pencapaiannya selama menjadi raja di Gunung Kalastra. Anak, cucu, dan cicit yang sudah tewas dan sekarang tergantikan oleh tiga putra yang kini sudah tinggi ukuran tubuhnya. “Apakah ini saatnya?” gumam Abhi sambil menahan rasa dingin yang tiba-tiba merambat dari dari telapak kakinya. Dari kejauhan Amira berjalan ke arahnya, tetapi langkah wanita itu tertahan ketika salah satu putranya mengajaknya bermain. Abhi
Saka mencakar-cakar tabir gaib yang dibuat oleh Sanaha beberapa kali. Namun, benda itu bahkan tak berkurang sedikit pun kadar ketebalannya. Harimau kuning itu mengubah wujudnya menjadi manusia. Ia menarik pedang di pinggang kemudian berkali-kali menacapakannya. Tak menyerah terus diulang Saka tetapi tidak juga ada perubahan. “Tuan, bagaimana ini, nanti Tuan Putri kesakitan di atas sana,” ucap Mei yang tak bisa membantu apa-apa. “Aku juga bingung. Aku belum menguasai dengan baik wilayah ini, aku takut semua akan berakhir tak baik.” Menetes peluh di dahi Saka saking ia telah lelah mencoba. “Kita kembali ke Gunung Kalastra, meminta pertolongan pada Gusti Prabu Abhiseka,” bujuk Mei. “Jangan. Ini bukan urusannya lagi, ini menjadi urusanku. Mei kau tunggu di sini, aku akan kembali ke istana dan mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menghantam tabir gaib ini.” Saka menghilang begitu saja. Mei tidak bisa melakukan apa pun. Begitu juga dengan peri capung yang menatap dari kejauhan sa
Abhiseka membuka matanya. Ia tidak tidur, hanya sedang mengawasi tiga anak lelakinya bermain bersama Amira. Sang prabu mengulang dari awal lagi membangun keluarga besar ketika semuanya meninggal. “Apa yang kau harapkan dengan mengirim Cahaya ke sana, putraku?” Ratu Swastamita muncul. Abhiseka menoleh. Sang ratu duduk di sisinya. “Aku berharap Cahaya dan Saka bisa membangun semua peradaban kita dari awal lagi, Ibu.” Hanya Abhiseka saja yang bisa melihat Ratu Swastamita yang bentuknya tembus pandang. “Bahkan ibu saja tidak bisa melawan ular hijau itu. Apalagi Cahaya yang setengah manusia biasa.” “Ada Saka yang melindunginya.” “Bagaimana kalau Saka juga tewas, lalu putrimu tak bisa bertahan?” Pertanyaan sang ratu membuat Abhiseka terdiam sejenak. “Kalaupun Cahaya tewas, aku masih memiliki tiga putra yang akan meneruskan takhta.” Abhiseka menjawab sambil menahan nyeri di hatinya. Sang ratu kemudian menghilang. Tak pernah ada yang menyangka Abhiseka tega berbuat demikian pada putri
Ratu harimau tewas di tangan Sanaha. Jantung binatang itu masih berdetak ketika diambil paksa oleh sebuah tangan berkuku panjang. Ibunda sang pangeran berubah wujud menjadi harimau lalu berpendar menjadi abu. Tak ada lagi yang tersisa dari dalam istana. Semua sudah habis. Sanaha mengubah wujudnya menjadi manusia seutuhnya, ia melayang di atas istana. Siluman ular tersebut menyaksikan sendiri betapa banyak darah yang tumpah akibat murkanya. Murka yang disebabkan oleh perbuatan panglima elang dan harus ditanggung oleh seluruh rakyat. “Apakah semuanya mati?” tanya Sanaha pada jantung gusti ratu yang masih berdetak. “Apakah Abhi juga tewas?” Siluman ular itu meneteskan air mata walau tanpa terisak. Walau bagaimanapun mereka punya kisah yang sangat manis. Abhiseka tidak mati, ia terlihat berlari dan melompat menuju istana. Hingga terlihat olehnya Sanaha menggunakan sutera campuran berwarna hijau hitam dan di tangannya ada sesuatu yang membuat Abhiseka tak mampu lagi melangkah. “Terlamb
Sanaha tersenyum ketika beberapa hari lagi bayi dalam kandungannya akan lahir ke dunia. Akhirnya ia tak akan kesepian lagi. Selama hamil ular hijau itu memang melemah kekuatannya, ditambah Abhiseka tak pernah datang ke tempatnya lagi. Sanaha tak tahu kalau di atas sana panglima elang dan beberapa anak buahnya datang mengawasi dan menunggu saat yang tepat baginya untuk menghabisi keturunan ular hijau penghuni telaga. Pernikahan dilangsungkan oleh Abhiseka bersama seorang putri dari kerajaan lain. Sanaha tahu dari desas-desus yang ia dengar. Ular itu tidak bisa mencegah takdir yang terjadi. Malam itu kerajaan sedang berbahagia atas penobatan pangeran dan putri makhota serta dua selirnya. Selama tujuh hari tujuh malam para duyung menyanyikan lagu-lagu bahagia hingga Abhiseka tak sempat memikirkan Sanaha. Gusti Ratu Swastamita tak melihat kedatangan panglima elang. Artinya makhluk yang setia padanya masih mengawasi telaga dan menunggu waktu yang tepat. Tengah malam ketika pesta perni
Abhiseka bangky dari pembaringannya. Di sana ia tidur bersama Amira. Manusia biasa yang ia jadikan permaisuri setelah semua istrinya tewas di tangan siluman kelabang. Meski sudah hampir ribuan tahun tinggal di Gunung Kalastra. Harimau putih itu masih merindukan kampung halaman tempatnya lahir. Tempat itu ia tutup rapat dari pandangan baik manusia atau siluman, bahkan Guru Wirata tak bisa menemukannya. Hingga pada akhirnya ia serahkan pada Cahaya dan Saka agar tempat itu hidup kembali. Apakah ia tak memikirkan apabila Sanaha bangkit dari tidur panjangnya dan tak akan mengganggu Cahaya. Abhi memikirkan semua itu. Ia yakin putrinya yang dari garis manusia biasa bisa menangani ditambah kehadiran Saka—pengawal yang sangat ia percaya. Walau demikian ia termasuk mempertaruhkan semuanya. Bisa saja Cahaya mati. “Sanaha, aku harap kemarahanmu tidak seperti dulu lagi. Sudah ribuan tahun berlalu, biarkan putriku mengambil tempat nenek moyangnya kembali. Aku sudah menepati janjiku untuk tidak k
Abhiseka menghidupkan kayu kering dengan api biru dari tangannya. Sang pangeran memandang rumput tempat mereka berdua memadu kasih tadi. Sanaha mengajarkan banyak hal padanya. Sayangnya ular itu pergi dan hanya tersisa sisik yang rontok di tanah saja. Abhiseka berenang dan kembali ke danau bagian atas tempat ia pertama kali bertemu dengan ular hijau itu. Sanaha masih tidak ada. Abhiseka berpamitan pada angin di atas tebing. “Aku tahu kau mendengarku, aku akan kembali lagi, aku harus pulang karena masih punya istana,” gumam Abhiseka. Tidak ada yang menjawab, lelaki bermata biru itu turun dengan cara melompat dari atas tebing. Di sana panglima elang ternyata telah menunggu. “Pangeran tidak apa-apa? Mengapa tidak pulang, Gustri Ratu mencari,” ucap penjaga dengan sayap menjuntai sampai ke tanah itu. “Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir, aku bisa pulang sendiri.” “Untuk apa Pangerang ke tebing itu. Bukankah kau tahu larangan?” “Aku tidak apa-apa, jadi tidak ada yang perlu ditakutkan.
Seekor ular berwarna hijau seperti lumut menggeliat di dalam danau. Danau itu berada di atas tebing tertinggi, bahkan elang pun belum pernah sampai terbang ke sana. Wilayah yang memang berada dalam kuasa manusia harimau, tetapi tidak ada yang berani mengusik kediaman ular setengah manusia itu. Binatang meleta tersebut menyembulkan kepalanya. Lidah cabang duanya keluar. Mata berwarna hijau itu memandang mangsa di atas pohon. Seekor monyet yang sedang tertidur pulas dan dan tak sadar sebentar lagi akan berpindah ke perut ular. Tubuh licin itu tegak dan dalam waktu cepat, kera yang tadinya baik-baik saja kini telah berada di dalam mulutnya. Empat gigi tajam tersebut mematahkan tulang seekor kera dan tenggorokannya mendorong masuk makanan terus masuk ke perut. Setelah teredam laparnya ular hijau itu masuk ke dalam danau. Kemudian bagian atas tubuhnya berubah menjadi setengah manusia dan ia pun berjemur di bawah sinar matahari yang malu-malu menyapa wajah cantiknya. Sanaha—nama ular it
Saka memastikan dirinya terkunci di dalam ruang rahasia yang semalam tak sengaja ia temukan. Di dalam sana tidak ada satu makhluk pun selain dirinya. Di sana juga tidak ada para peri yang akan mengganggunya. “Tempat ini masih banyak misterinya. Aku harus tahu, karena aku seorang raja,” gumamnya perlahan. Saka menyentuh satu demi satu benda asing yang ia temukan. Selama beberapa saat lamanya pun tidak ada perubahan. Termasuk zirah perang yang ia sentuh, seakan-akan tempat itu kosong dari segala sihir yang biasanya memenuhi kediaman mereka. “Kalau tidak ada apa-apa, lebih baik aku kembali saja. Sudah terlalu lama aku meninggalkan Cahaya.” Manusia harimau itu tidak tahu kalau istrinya pun pergi berkelana ke luar. Pendengaran Saka di dalam ruang rahasia itu pun tertutup rapat. Baru saja ingin menggeser dinding, sebuah kitab lama terlempar dan menghantam kepalanya. Saka mengaduh dan menoleh ke belakang. Ia ambil kitab lama yang penuh lukisan itu. Sang raja ingin membaca di sebelah ist