“Tu-tu-tu-tu.” Mei Mei menarik tangan Saka dan Cakra ketika Aya keluar dari kamarnya. Cakra Buana sampai mengerjapkan mata berkali-kali. Namun, tidak dengan Saka. Lelaki itu paham apa yang dilakukan sang putri demi kebahagiaan ratunya. “Rambutnya ke mana?” tanya Cakra. “Tuan Putri, apa yang telah kau lakukan?” Bahu Mei jatuh lemas, rambut adalah simbol kejayaan di kerajaannya. “Sudah, biarkan saja, ada tidak ada rambut pun dia tetap harus dihormati.” Saka tak mengubah pandangannya sedikit pun pada gadis yang ia sayangi. Justru bertambah sayangnya berkali-kali lipat. Aya turun tangga agak malu-malu. Ia tersenyum dan mendekat pada Saka. “Kelihatan aneh, ya?” tanya sang putri. Mei dan Cakra mengangguk tapi tidak dengan Saka. “Terlihat lucu.” Lelaki itu tersenyum. Tergoda tangan Saka ingin menyentuh kepala Aya, tapi ia cepat sadar diri. “Oh, gitu, aduh jadi malu. Ya udah istirahat di kamar sendiri-sendiri ya, pasti capek semuanya, bye.” Gadis bermata biru tersebut masih risih denga
“Andai kau bukan seorang putri raja, pasti aku sudah akan membawamu lari dari kedua tangan orang tuamu.” Saka berkata sungguh-sungguh sambil matanya mengalihkan pandangan dari Aya. Pengawal itu bicara bebas dengan sang putri sekarang. “Ya, nggak ada urusannya, Pak. Sekarang ayahanda lagi sibuk, Mama pun udah merestui hubungan kita. Jadi nggak ada salahnya kalau memang mau serius menikah. Kecuali, Pak Saka udah punya perempuan lain di hati. Aya pastikan, diri ini nggak akan mengemis cinta, tapi Pak Saka juga nggak akan bisa menikah sama perempuan lai. Jadi kita sama-sama tersiksa, adil, kan?” Kecewa sang putri, ajakannya untuk menikah ditolak oleh Saka. Bahkan ia sudah merendahkan diri serendah-rendahnya dari dulu. “Bukan aku tak mau, Putri Cahaya. Tapi pikiranku terbagi dua, antara di sini dan di gunung. Peperangan pasti sangat besar, pangeran ketiga terlalu bernafsu untuk memilikimu, Putri Cahaya. Apa kau pikir aku rela melihatmu dengannya.” Kali ini Saka bersungguh-sungguh dengan
“Gimana, Pak?” tanya Aya perlahan. Amira menarik napas panjang dan ia menutup mata, tertidur usai kelelahan.“Maafkan kami. Kami tidak punya kekuatan untuk menyembuhkan penyakit ratu. Mungkin Guru Wirata bisa,” jawab Saka. Dua manusia harimau itu amat kelelahan setelah mengupayakan segala cara untuk menolong sang ratu. “Ya udah jemput kalau gitu,” ucap Cahaya agar membawa sang guru kemari. “Kita sedang berperang, Putri Cahaya.” Saka mengingatkan. “Berapa lama Aya harus nunggu. Lima bulan di sana, lima tahun di sini. Mama keburu ma—” Aya tak menerus ucapannya. Namun, matanya berembun. “Karena itu kami berdua harus membantu, izinkan kami pergi seperti pembicaraan kita tadi, Putri Cahaya. Rasanya berat hati ini saudara kami berperang tapi kami di sini bersantai saja.” Saka menatap mata biru Aya. Sejenak dua insan itu melupakan kasta di antara mereka yang terbentang jauh. Gadis itu menarik napas sejenak. Memang tidak ada kemungkinan perang dimenangkan lebih cepat, tapi kalau tidak di
“Kang Mas, bangun, ayo kita pergi dari sini. Kita sudah kalah.” Aya membantu Saka bangun. Manusia harimau itu terdesak. Sebagian besar pasukan Abhiseka telah mati, lalu Aya pun menyusul ke gunung. Mei telah tiada karena melindungi sang putri dari kejaran pasukan pangeran ketiga.“Pergi, Cahaya, selamatkan dirimu.” Saka tak sanggup bangkit lagi, kakinya telah terluka. Orang-orang pangeran ketiga teramat kuat dan banyak. Mereka pun bermain curang. “Nggak, kita pergi sama-sama.” Aya memapah Saka walau harus berjalan tertatih. Namun, pada saat itu juga lelaki tersebut terdiam. Ia jatuh dan memejamkan mata. Sebuah pedang panjang menancap di perutnya. “Kang Mas!” jerit Aya yang tidak terima dengan kematian lelaki kesayanganya. Ia bahkan menepuk pipi Saka berkali-kali. Ia tak mau ditinggal sendirian. “Bangun, Kang Mas, bangun, jangan tinggalin Aya.” “Putri Cahaya, gadis suci tak tersentuh yang teramat sombong, ke mana kau akan pergi? Ayahmu sudah mati begitu juga dengan lelaki rendahan ya
Taksaka serasa mendapat kekuatan besar usai ia memua seorang dewa perang bernama Dewa Arsa. Iya, tak hanya dirinya saja, tetapi pemujaan itu telah dipimpin oleh Gusti Prabu Abhiseka sebelumnya. Sebab semua manusia harimau memuja Dewa Arsa. Tentu di pihak lawan juga sama, hanya tinggal menanti sang dewa akan memberikan berkat dan keberuntungannya pada siapa. Siapa yang menang akan menjadi lebih berhak memiliki Cahaya. Pada malam harinya, harimau penjaga yang amat setia itu memejamkan mata. Ia sedang mempersiapkan diri untuk penyerangan besar-besaran besok. Taksaka dan Cakrabuana memimpin pasukan sendiri-sendiri yang sama kuat. Sedangkan sang prabu membawa manusia harimau lain yang lebih mumpuni lagi bersama sang guru Wirata. Semuanya ingin menang. “Bagaimana kalau seandaianya kita kalah?” tanya Cakrabuana ketika meminum air dari mata air. “Aku harus menang,” jawab Saka. “Demi sang putri?” Cakrabuana membasuh wajahnya. Hidungnya bergerak, ia mencium aroma kedatangan makhluk lain.
Lima tahun sudah Aya menanti di dunia manusia tanpa kabar sama sekali. Berkali-kali pergi ke Gunung Kalastra tapi ada perisai yang melarangnya masuk. Lalu ia hanya bisa pasrah saja. Pun dengan Amira yang semakin tersiksa tubuhnya, karena penyakit dan tenaga Aya yang berperang di dalam tubuhnya. “Mei, Aya titip mama, ya, nggak enak banget kalau nggak pergi ke undangan,” ucap Aya di satu malam. Sang putri baru saja selesai berdandan. Tak banyak polesan di wajahnya. Bahkan tanpa riasan sama sekali juga kecantikan Cahaya tidak bisa dilampaui manusia biasa. Namun, demi terlihat normal, ia poleskan eye shadow di matanya, sedikit. Putrinya Abhiseka itu harus menghandiri pesta pernikahan Lila. Amira hanya berkedip melihat penampilan putrinya yang kini semakin matang dan dewasa. Sang ratu hanya bisa bicara satu per satu saja. “Iya, pergilah Tuan Putri. Gusti Ratu biar bersama hamba saja. Tapi … Tuan Putri yakin pergi dengan baju seperti ini.” Mei saja yang perempuan terpesona apalagi lela
Bagian 52 Pengorbanan “Pak Saka. Ini Aya kalau jalan bakalan jadi bayi baru lahir, loh.” Aya masih berada dalam dekapan pengawalnya. “Maksudnya?” tanya manusia harimau itu. “Nggak pakai baju, kancingnya lepas semua.”“Oh, iya, maaf kalau begitu. Kita kembali ke rumah saja.” Detik itu juga keduanya berada di dalam kamar sang putri. Saka melepaskan dekapannya dan baju Aya langsung melorot ke lantai. Untung saja lelaki itu sempat memejamkan mata. “Jangan ngintip!” ujar Aya sambil melepaskan semua gaunnya. “Lama tak bertemu. Putri Cahaya, kau semakin cantik saja.” Saka membalikkan tubuh, takut dia lihat reaksi Aya. “Menjanda lima tahun, Aya bagaikan makan sayur tanpa garam.” Lagi sang putri ingin memeluk Saka, tapi pengawalnya menghindar. “Sejak kapan harimau makan sayur?” tanya Saka. “Pak Saka kenapa lari, sih?” “Karena belum ada kepastian dari Gusti Prabu.” Saka ngumpet di balik gorden. “Baaa, ketangkep. Kok, bisa? Bukannya udah menang perang?” Aya ngekor di dalam gorden juga
“Jangan korbankan kebahagiaan Aya. Lebih baik kamu bawa aku pulang ke rumah.” Sang Ratu menutup mata setelah mengucapkan kata demikian. Sudah sejak lama Amira tahu Aya menanti Saka kembali dengan penuh harapan. Lalu ketika ada kesempatan bersama Saka harus berkorban demi kehidupan Amira. Lebih baik dia saja yang mati. “Lagi pula darah Saka tidak cocok dengan Gusti Ratu,” ucap Guru Wirata. “Alasannya?” tanya Abhiseka. “Sudah jelas sekali, Saka harimau jantan dan Ratu perempuan biasa. Tidak akan ada keuntungan sama sekali. Lebih baik cari yang betina juga, Gusti Prabu.” “Iya, baiklah, aku hanya ingin istriku lekas sembuh saja.”Cahaya tak lagi menatap ayahandanya dengan penuh kebencian. Ya, tidak apa-apa baginya untuk membakar gunung untuk yang kedua kalinya. Rencananya tadi begitu. “Untuk sekarang, Gusti Ratu bisa bertahan. Saka, kau sebarkanlah kabar ini, siapa yang bersedia akan diberikan hadiah. Cepatlah, agar semua berjalan lancar.” Perintah Guru Wirata. Lelaki itu pergi dar
Abhiseka membuka mata secara tiba-tiba ketika ia merasakan tubuhnya terasa sakit. Lelaki itu sedang menyendiri di puncak Gunung Kalastra. Tanpa kehadiran satu pun pengawalnya termasuk Cakra Buana. “Ada apa ini?” Ia memegang jantungnya yang berdetak kuat. Lelaki itu berdiri perlahan dan hendak turun ke istana. Perlahan-lahan ia melangkah bahkan serasa nyaris tumbang karena raganya tak kokoh lagi. Abhiseka semakin kesakitan. Pada saat ia hampir sampai di depan istana, rasanya lelaki bermata biru itu tak sanggup lagi melangkah. Abhiseka duduk di dekat pohon dan memandang semua pencapaiannya selama menjadi raja di Gunung Kalastra. Anak, cucu, dan cicit yang sudah tewas dan sekarang tergantikan oleh tiga putra yang kini sudah tinggi ukuran tubuhnya. “Apakah ini saatnya?” gumam Abhi sambil menahan rasa dingin yang tiba-tiba merambat dari dari telapak kakinya. Dari kejauhan Amira berjalan ke arahnya, tetapi langkah wanita itu tertahan ketika salah satu putranya mengajaknya bermain. Abhi
Saka mencakar-cakar tabir gaib yang dibuat oleh Sanaha beberapa kali. Namun, benda itu bahkan tak berkurang sedikit pun kadar ketebalannya. Harimau kuning itu mengubah wujudnya menjadi manusia. Ia menarik pedang di pinggang kemudian berkali-kali menacapakannya. Tak menyerah terus diulang Saka tetapi tidak juga ada perubahan. “Tuan, bagaimana ini, nanti Tuan Putri kesakitan di atas sana,” ucap Mei yang tak bisa membantu apa-apa. “Aku juga bingung. Aku belum menguasai dengan baik wilayah ini, aku takut semua akan berakhir tak baik.” Menetes peluh di dahi Saka saking ia telah lelah mencoba. “Kita kembali ke Gunung Kalastra, meminta pertolongan pada Gusti Prabu Abhiseka,” bujuk Mei. “Jangan. Ini bukan urusannya lagi, ini menjadi urusanku. Mei kau tunggu di sini, aku akan kembali ke istana dan mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menghantam tabir gaib ini.” Saka menghilang begitu saja. Mei tidak bisa melakukan apa pun. Begitu juga dengan peri capung yang menatap dari kejauhan sa
Abhiseka membuka matanya. Ia tidak tidur, hanya sedang mengawasi tiga anak lelakinya bermain bersama Amira. Sang prabu mengulang dari awal lagi membangun keluarga besar ketika semuanya meninggal. “Apa yang kau harapkan dengan mengirim Cahaya ke sana, putraku?” Ratu Swastamita muncul. Abhiseka menoleh. Sang ratu duduk di sisinya. “Aku berharap Cahaya dan Saka bisa membangun semua peradaban kita dari awal lagi, Ibu.” Hanya Abhiseka saja yang bisa melihat Ratu Swastamita yang bentuknya tembus pandang. “Bahkan ibu saja tidak bisa melawan ular hijau itu. Apalagi Cahaya yang setengah manusia biasa.” “Ada Saka yang melindunginya.” “Bagaimana kalau Saka juga tewas, lalu putrimu tak bisa bertahan?” Pertanyaan sang ratu membuat Abhiseka terdiam sejenak. “Kalaupun Cahaya tewas, aku masih memiliki tiga putra yang akan meneruskan takhta.” Abhiseka menjawab sambil menahan nyeri di hatinya. Sang ratu kemudian menghilang. Tak pernah ada yang menyangka Abhiseka tega berbuat demikian pada putri
Ratu harimau tewas di tangan Sanaha. Jantung binatang itu masih berdetak ketika diambil paksa oleh sebuah tangan berkuku panjang. Ibunda sang pangeran berubah wujud menjadi harimau lalu berpendar menjadi abu. Tak ada lagi yang tersisa dari dalam istana. Semua sudah habis. Sanaha mengubah wujudnya menjadi manusia seutuhnya, ia melayang di atas istana. Siluman ular tersebut menyaksikan sendiri betapa banyak darah yang tumpah akibat murkanya. Murka yang disebabkan oleh perbuatan panglima elang dan harus ditanggung oleh seluruh rakyat. “Apakah semuanya mati?” tanya Sanaha pada jantung gusti ratu yang masih berdetak. “Apakah Abhi juga tewas?” Siluman ular itu meneteskan air mata walau tanpa terisak. Walau bagaimanapun mereka punya kisah yang sangat manis. Abhiseka tidak mati, ia terlihat berlari dan melompat menuju istana. Hingga terlihat olehnya Sanaha menggunakan sutera campuran berwarna hijau hitam dan di tangannya ada sesuatu yang membuat Abhiseka tak mampu lagi melangkah. “Terlamb
Sanaha tersenyum ketika beberapa hari lagi bayi dalam kandungannya akan lahir ke dunia. Akhirnya ia tak akan kesepian lagi. Selama hamil ular hijau itu memang melemah kekuatannya, ditambah Abhiseka tak pernah datang ke tempatnya lagi. Sanaha tak tahu kalau di atas sana panglima elang dan beberapa anak buahnya datang mengawasi dan menunggu saat yang tepat baginya untuk menghabisi keturunan ular hijau penghuni telaga. Pernikahan dilangsungkan oleh Abhiseka bersama seorang putri dari kerajaan lain. Sanaha tahu dari desas-desus yang ia dengar. Ular itu tidak bisa mencegah takdir yang terjadi. Malam itu kerajaan sedang berbahagia atas penobatan pangeran dan putri makhota serta dua selirnya. Selama tujuh hari tujuh malam para duyung menyanyikan lagu-lagu bahagia hingga Abhiseka tak sempat memikirkan Sanaha. Gusti Ratu Swastamita tak melihat kedatangan panglima elang. Artinya makhluk yang setia padanya masih mengawasi telaga dan menunggu waktu yang tepat. Tengah malam ketika pesta perni
Abhiseka bangky dari pembaringannya. Di sana ia tidur bersama Amira. Manusia biasa yang ia jadikan permaisuri setelah semua istrinya tewas di tangan siluman kelabang. Meski sudah hampir ribuan tahun tinggal di Gunung Kalastra. Harimau putih itu masih merindukan kampung halaman tempatnya lahir. Tempat itu ia tutup rapat dari pandangan baik manusia atau siluman, bahkan Guru Wirata tak bisa menemukannya. Hingga pada akhirnya ia serahkan pada Cahaya dan Saka agar tempat itu hidup kembali. Apakah ia tak memikirkan apabila Sanaha bangkit dari tidur panjangnya dan tak akan mengganggu Cahaya. Abhi memikirkan semua itu. Ia yakin putrinya yang dari garis manusia biasa bisa menangani ditambah kehadiran Saka—pengawal yang sangat ia percaya. Walau demikian ia termasuk mempertaruhkan semuanya. Bisa saja Cahaya mati. “Sanaha, aku harap kemarahanmu tidak seperti dulu lagi. Sudah ribuan tahun berlalu, biarkan putriku mengambil tempat nenek moyangnya kembali. Aku sudah menepati janjiku untuk tidak k
Abhiseka menghidupkan kayu kering dengan api biru dari tangannya. Sang pangeran memandang rumput tempat mereka berdua memadu kasih tadi. Sanaha mengajarkan banyak hal padanya. Sayangnya ular itu pergi dan hanya tersisa sisik yang rontok di tanah saja. Abhiseka berenang dan kembali ke danau bagian atas tempat ia pertama kali bertemu dengan ular hijau itu. Sanaha masih tidak ada. Abhiseka berpamitan pada angin di atas tebing. “Aku tahu kau mendengarku, aku akan kembali lagi, aku harus pulang karena masih punya istana,” gumam Abhiseka. Tidak ada yang menjawab, lelaki bermata biru itu turun dengan cara melompat dari atas tebing. Di sana panglima elang ternyata telah menunggu. “Pangeran tidak apa-apa? Mengapa tidak pulang, Gustri Ratu mencari,” ucap penjaga dengan sayap menjuntai sampai ke tanah itu. “Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir, aku bisa pulang sendiri.” “Untuk apa Pangerang ke tebing itu. Bukankah kau tahu larangan?” “Aku tidak apa-apa, jadi tidak ada yang perlu ditakutkan.
Seekor ular berwarna hijau seperti lumut menggeliat di dalam danau. Danau itu berada di atas tebing tertinggi, bahkan elang pun belum pernah sampai terbang ke sana. Wilayah yang memang berada dalam kuasa manusia harimau, tetapi tidak ada yang berani mengusik kediaman ular setengah manusia itu. Binatang meleta tersebut menyembulkan kepalanya. Lidah cabang duanya keluar. Mata berwarna hijau itu memandang mangsa di atas pohon. Seekor monyet yang sedang tertidur pulas dan dan tak sadar sebentar lagi akan berpindah ke perut ular. Tubuh licin itu tegak dan dalam waktu cepat, kera yang tadinya baik-baik saja kini telah berada di dalam mulutnya. Empat gigi tajam tersebut mematahkan tulang seekor kera dan tenggorokannya mendorong masuk makanan terus masuk ke perut. Setelah teredam laparnya ular hijau itu masuk ke dalam danau. Kemudian bagian atas tubuhnya berubah menjadi setengah manusia dan ia pun berjemur di bawah sinar matahari yang malu-malu menyapa wajah cantiknya. Sanaha—nama ular it
Saka memastikan dirinya terkunci di dalam ruang rahasia yang semalam tak sengaja ia temukan. Di dalam sana tidak ada satu makhluk pun selain dirinya. Di sana juga tidak ada para peri yang akan mengganggunya. “Tempat ini masih banyak misterinya. Aku harus tahu, karena aku seorang raja,” gumamnya perlahan. Saka menyentuh satu demi satu benda asing yang ia temukan. Selama beberapa saat lamanya pun tidak ada perubahan. Termasuk zirah perang yang ia sentuh, seakan-akan tempat itu kosong dari segala sihir yang biasanya memenuhi kediaman mereka. “Kalau tidak ada apa-apa, lebih baik aku kembali saja. Sudah terlalu lama aku meninggalkan Cahaya.” Manusia harimau itu tidak tahu kalau istrinya pun pergi berkelana ke luar. Pendengaran Saka di dalam ruang rahasia itu pun tertutup rapat. Baru saja ingin menggeser dinding, sebuah kitab lama terlempar dan menghantam kepalanya. Saka mengaduh dan menoleh ke belakang. Ia ambil kitab lama yang penuh lukisan itu. Sang raja ingin membaca di sebelah ist