"Nila!"
Teriakan itu membuat gadis yang tengah dalam posisi berbaringnya langsung terbangun. "Kenapa Bun? Kok teriak-teriak, Nila kan gak budek."
Bunda langsung menggeleng, mungkin sedikit sebal mendengar jawaban Nila yang semaunya. "Ini malam minggu, kenapa kamu masih di rumah aja?"
"Bun, karna ini malam minggu jadinya Nila di rumah." Nila menjawab sambil kembali berbaring membuat Bunda semakin kesal. "Mending kamu keluar. Jalan-jalan atau nongkrong sama temen kamu."
"Temen yang mana sih, Bun?"
"Temen kamu yang single. Cowok kalau bisa."
"Bunda, Nila bahkan baru seminggu yang lalu jadi 24 tahun."
Bunda langsung mendengus, "Sudah 24 bukannya baru 24."
"Kenapa sih, Bunda selalu nyuruh Nila nikah?"
Nila memandangnya sosok Ibunya dengan bingung. Nila beneran pengen tahu alasan wanita yang paling disayanginya itu berubah cerewet ketika melihat dirinya mendekam di kamar setiap malam minggu.
"Karna kamu emang udah wajib nikah."
"Dih! Kan ada Mas Cakra, Buuuun!" Nila langsung mendapatkan lemparan guling dari pria yang tadi disebutnya. "Mas udah pernah nikah, tau!"
Nila langsung manyun, "Mau kemana? Main cewek ya?"
Bunda Cuma menggeleng melihat kelakuan dua anaknya. "Cakra sekali-kali kamu ajakin adikmu, masa kamu gak punya temen yang bisa dikenalin buat Nila."
"Bunda! Nila gak butuh dikenalin."
Cakra tertawa mendengar permintaan Mamanya, dia juga merasa lucu ketika Nila terdengar merengek seperti barusan. "Gimana Dek, mau ikut Mas Cakra?"
"Ogah! Mas mah statusnya doang duda, mantap mantapnya tiap waktu." Cakra kembali terbahak, dia tak menyangka kalau adik satu-satunya akan selucu ini. "Sok tau!"
"Itu, udah ditungguin Mas Karis sama Mas Satria." Dagu gadis itu menunjuk ke arah pintu kamarnya, dimana dua laki-laki tampan tengah berdiri. "Mas Satria kan udah nikah. Ngapain ikutan sih? Emangnya Mba Kesha gak marah?"
"Kesha jarang marah, makanya dulu hampir Mas Karis nikahi." Nila melotot sementara Satria cuma tersenyum, "Kesha tau kalau lo brengsek, Ris." Nila nyengir, Mas Satria memang paling kalem diantara bertiga tapi omongannya paling nyelekit.
"Mas bersyukur Satria nikah sama Kesha."
"Kenapa gitu, Kra?" Karis memandang Cakra penuh tanya, seingatnya Cakra dulu memang sempat menjauhi Satria tanpa alasan. Tapi, Cakra gak pernah naksir Kesha.
"Dulu si Nila naksir Satria."
Satria terlihat kaget dan memandang Nila tak yakin. "Kamu naksir, Mas?"
Nila mengangguk. Menurutnya, tak perlu malu untuk mengakui perasaannya yang dulu. Lagipula, Satria memang tipe pria yang layak untuk disukai. "Iya, dulu Nila pernah mikir mau nikah sama Mas. Lucu deh."
"Kenapa gak bilang?" Satria terdengar kesal.
"Ha?"
Karis langsung bersuara, suasana barusan cukup terasa canggung. "Udah-udah, mending kita pergi. Gue udah gak sabar mau lihat yang bening-bening."
Nila mendelik, "Dasar, Mas Karis si Penjahat kelamin!"
Tiga lelaki tadi tertawa, bahkan Cakra sempat menawari adiknya untuk ikut. "Mau ikut gak, Dek?"
"Ogah! Nila mendingan tidur daripada ditidurin."
Cakra kembali terbahak dan pergi dari kamar adiknya. Satria masih disana berdiri -mungkin nunggu di usir- sama pemiliknya. "Ngapain Mas? Ketinggalan?"
Satria berdiri dengan muka tegang, "Nila, Mas pernah naksir kamu. Mas juga pernah berkeinginan melamar kamu."
Nila terdiam beberapa saat sebelum tersenyum, "Bukan jodoh kita Mas, sekarang baik-baik ya sama Mba Kesha." Satria jadi ikut tersenyum, "Mas tetep sayang kamu -sebagai adik."
"Oke, nanti kalau uang jajan Nila kurang bisa tambahin kan Mas?"
Satria mendengus, "Tsk!" Pria itu melangkah keluar tapi masih berbicara. "Gaji kamu bahkan lebih besar dari Mas."
Dan Nila tersenyum.
Setidaknya mereka tidak canggung satu sama lain. Fakta jika Satria pernah menyukainya sudah membuat malam minggu Nila tidak seburuk biasanya. "Terima kasih atas perasaannya, Mas."
°°°°°
“Jadi, karna diusir Bunda makanya lo nangkring disini?” Nila memandang Kara dengan tajam. Temannya yang punya panggilan sama kaya merk santan, itu makin bertambah menyebalkan setelah hamil. “Ibu hamil kok disini? Mau nambah suami?”
“Ampun deh! Sebiji doang hasilnya perut gue buncit. Gimana kalau nambah?” Bita yang tadi mengecek keadaan café miliknya langsung menggeleng ketika mendengar ucapan Kara.
“Kamu lagi hamil, Ra. Omongannya dijaga.”
Nila sih, udah ngakak.
Sebenarnya siapapun bakalan mengira jika diantara mereka bertiga yang akan nikah duluan adalah Bita. Gadis ayu itu terlalu mendekati sempurna sebagai seorang perempuan. Jadi, siapa yang tak ingin punya istri seperti Bita?
Tapi, memang tak ada yang bisa menebak bagaimana takdir bergulir. Nyatanya, sosok Kara yang termasuk –pembagi kasih sayang, khususnya untuk lelaki– malah dipersunting oleh Pria mapan bernama Madani Hastungkara.
“Omongan gue udah dijaga. Nafsu suami gue tuh yan–“
Bita langsung menutup mulut Kara dengan gemas, Nila kembali tertawa. Bertemu dengan dua temannya ini memang membuat segala hal yang mengganggu pikirannya langsung lenyap. Dia jadi tak ingat kalau tadi habis diomeli sama Bunda.
“Lepwaass!!” Kara berontak dari bekapan Bita membuat temannya membuka bekapan itu.
“Gue jadi ingat sesuatu.”
Nila melirik ke arah Bita, “Kalau lo mau ngomongin soal masalah ranjang kayanya si Bita bakalan nutup mulut lo pakai lakban deh.”
Kara menggeleng, “Gak-gak, serius gue.”
“Ya udah, apa?”
Kara memandang dua temannya dengan tatapan serius, “Kalian jangan bilang siapa-siapa lho, janji?!”
Bita dan Nila mengangguk bersama, “Iya. Apa?”
“Ingat temen kuliah kita yang namanya Biru?”
Bita mengangguk karna mengingat jelas, sosok laki-laki yang termasuk cerdas dan tidak pernah membuat masalah. Sementara Nila malah menggeleng, “Kita punya temen yang namanya warna gitu? Aneh banget.” Tawanya mulai terdengar.
Kara mendengus, “Emangnya nama lo bukan warna?”
Nila langsung kicep, “Ya udah sih, langsung aja keintinya. Nanti gue juga bakalan ingat kalau udah dijelasin beritanya.”
Kara mengangguk. “Dia Gay.”
“…”
“Bercanda ya?”
“Parah! Nyebarin fitnah itu dosa.” Nila langsung meminum air yang ada didepannya, dengerin berita yang masih simpang siur ternyata malah bikin tenggorokan dia kering. Berasa dia yang lagi di gosipin.
“Gue gak fitnah, dia ngaku sendiri.”
Nila melotot, “Sama lo?”
“Sama Mia.”
Bita menggeleng, “Kalau Mia yang ngomong berarti besar kemungkinannya itu benar.” Kara mengangguk, “Iya. Lo kan tau gimana pakem-nya si Mia. Kalau dia bohong mungkin Dunia ganti nama jadi Dunya.”
Nila yang mendengarkan percakapan dua temannya makin bingung, masalahnya dia gak kenal siapa Mia? Dan, kenapa Dunia mesti berubah nama di huruf I yang jadi Y? Kenapa gak Dunia berubah jadi Duniah? Kan Nila jadi pusing.
“Mia siapa sih?” Bita dan Kara langsung menatap Nila dengan tatapan kesal, “Mia itu lho, yang kemarin pas wisuda dapat IPK 3.9 nyaris sempurna banget.”
“Oh, tau.” Nila ingat soal salah satu temannya yang mungkin emang tiap hari sarapannya buku, soalnya pinter banget. “Tapi, kok dia bisa tau –maksud gue, emangnya dia kenal Abu?”
Bita menggeleng, “Namanya Biru. Kalau Abu sih, peliharaannya Aladdin.”
Nila tertawa, “Iya, sorry. Maksud gue Biru.”
“Mia kan salah satu orang yang paling deket sama Biru. Dulu, malah pada taunya si Mia itu pacar Biru.” Nila mengangguk paham, “Berarti Mia naksir Biru dong? Bisa aja kalau gosip ini sengaja disebar sama Mia karna Biru gak nerima perasaan dia.”
Bita dan Kara terdiam, mungkin berpikir jika apa yang dikatakan Nila barusan itu masuk akal. Selama ini, semua orang berpikir jika Biru dan Mia pacaran juga karna mereka sering kelihatan berdua. Lebih tepatnya, Mia yang selalu mengikuti kemanapun Biru pergi.
“Tapi, kalau dia beneran Gay malah bagus sih.”
Nila tersenyum manis membuat kedua temannya saling berpandangan dengan khawatir.
Nila itu nekat dan sedikit gila, saking nekatnya.
Tbc
"Jadi, kemarin pas malam minggu lo ke café si Bita?"Nila memandang lelaki didepannya dengan sinis. Nanya sih, nanya tapi cemilan Nila gak dihabisin juga dong.Nata tersenyum kemudian memberikan cemilan yang tadi dibawanya. Nila jadi senyum. "Makasih ya Nat, untung ada lo. Kantor berasa surga."Nata mengangguk sementara Lani dan Diar membuka cemilan yang tadi diberikan Nata. Hari ini kerjaan mereka tak terlalu banyak dan sudah di selesaikan sejak sejam yang lalu, makanya mereka berkumpul di depan meja Nila.Selain karna memang itu berada di tengah, meja Nila biasanya berisi banyak cemilan."Tau nih, Argy!" Lani mendengus, "Gak pernah beli makanan tapi selalu bagian ngabisin doang. Benalu!"Nila tertawa mendengar sebutan yang diberikan Lani untuk Argy, sebenarnya Nila yang paling muda diantara mereka. Tapi, Argy sama Nata minta supaya Nila memanggil mereka tanpa embel-embel 'Mas'.
Nila memang salah satu staff Humas yang paling sering diminta untuk mengurus masalah hubungan eksternal antara perusahaannya dengan relasi. Tapi, dia selalu malas kalau disuruh datang ke Perusahaan tempat Cakra bekerja."Kenapa lo manyun?"Nah, Nila makin sebal karna kali ini yang menemaninya si Argy. Padahal kalau itu Nata, mungkin Nila bakalan terus senyum. Argy itu nyebelin."Kok bukan Mba Lani atau Nata aja yang nemenin gue sih? Kenapa mesti lo?""Karna yang senggang cuma gue." Argy turun dari mobil membuat Nila tersadar jika mereka telah sampai ke tujuannya. "Lagian Mba Lani sama Mba Diar kan lagi ngurusin internal, kalau Nata lagi pergi ke Media."Iya juga sih, Perusahaan tempat Nila bekerja mau merayakan anniversary jadi semua pasti sibuk. Masih syukur ada yang bisa menemani Nila, kalau tidak ya Nila bakalan pergi ke Perusahaan lainnya sendirian."Ya udah, gue ke kamar mandi dulu deh
"Lo tau kan kalau bisa cerita apa aja sama gue?" Biru menatap ke arah sahabatnya dengan pandangan bingung. "Siapa yang ada masalah?""Lo lah! Yang dari kemarin kerjaannya berantakan emangnya bukan lo?" Abas tersenyum mengejek membuat Biru terdiam.Kemarin memang hampir seluruh kerjanya tidak berjalan sebaik biasanya. Biru bahkan hampir menghapus daftar lokasi pemasaran produk Perusahaannya dan kalau itu terjadi, mungkin Biru bakalan di pecat tanpa pesangon sedikitpun."Kemarin ada cewek yang datang.""Cewek? Ini lo lagi ngomongin soal lawan jenis kan?" Biru mengabaikan pertanyaan Abas yang menurutnya tak perlu dijawab."Dia ngajak nikah."Wajah Abas melongo yang benar-benar melongo. Bibirnya terbuka dengan tatapan kaget."Nikah?"Biru mengangguk, "Iya. Saya gak tahu dia bercanda atau serius.""Bercanda itu pasti," Abas menepuk pundak Biru. "Lagipula, lo kan gak naksir cewek."Memang cuma Abas yan
"Nila, kita ke rumah sakit dulu." Mobil yang tadinya mengarah ke kantor Nila berubah haluan, Nila melirik ke arah Biru yang kelihatan panik dan cemas. Mau tanya, tapi takut dibilang kepo. Akhirnya Nila hanya bisa untuk mengingatkan Biru soal keselamatan mereka berdua. "Jangan ngebut, nanti kita kesana malah jadi pasien." Biru tersentak, mungkin baru sadar kalau sekarang ia tengah membawa orang lain di sebelahnya. "Maaf, nanti setelah sampai disana kamu bakalan saya antar." Nila menggeleng, "Gak masalah, aku baru aja minta izin." "Kamu sakit?" Nila tertawa geli bisa-bisanya setelah kepanikan tadi, Biru malah mengkhawatirkan dirinya. "Nggak, mau nemenin kamu." "Nemenin?" "Di izinkan kok, kan nemenin calon suami." Biru tersenyum, tampaknya sudah terbiasa dengan segala hal tak terduga yang terdengar dari bibir mungil gadis itu. "Maaf ya." Nila menggelengkan kepalanya terlihat bosan, "Biru! Sekali la
"Nila.." suara Biru langsung terdengar ketika Nila membuka pintu mobilnya, "Ya?""Soal yang tadi."Nila menggeleng, merasa gemas karna Biru tampak sekali memikirkan soal pembicaraan mereka sebelumnya. "Kamu pikirkan dulu aja baik-baik. Tapi, aku nunggu kabar baiknya.""Kamu bahkan gak percay—"Nila menggeleng membuat Biru menghentikan ucapannya, "Sebaiknya kamu pulang dulu deh. Pasti kabar soal Papa kamu yang masuk Rumah sakit udah menyita pikiran kamu banget. Jadi, kesampingkan aja dulu masalah yang tadi.""Tap—"Nila kembali menggeleng membuat Biru terpaksa mengangguk dan menyetujui saran Nila. "Bisa kita bicarakan besok?"Nila tersenyum jahil, "Bahkan belum ada sepuluh detik aku berdiri dari kursi penumpang dan kamu udah kangen aja sama aku. Wah, aku gak tahu kalau efekku segininya buat kamu."Biru akhirnya menarik sudut bibir membentuk senyuman, Nila meletakkan lengannya di jendela mobil Biru. "Kamu leb
"Gimana caranya jadi Hetero?" Mungkin kalau Abas lagi minum airnya bakalan muncrat. Untunglah sekarang Abas cuma duduk sambil menatap Biru yang kelihatan beneran serius dengan pertanyaan tadi. "Gue kena prank?"Biru menghela nafasnya sebelum kembali berkata. "Saya mau nikah."Lagi-lagi Abas melongo - dengan tak indahnya. Rahangnya terbuka lebar dengan tatapan mata yang tak kalah lebarnya. Butuh beberapa menit sampai Abas bisa merespon. "Lo serius?"Dan anggukan Biru tak membuat kekagetan Abas sirna. "KOK BISA?" Tanyanya tak santai yang langsung mendapat tatapan kesal pengunjung café. Mereka memang sengaja mampir setelah pulang kerja."Kemarin Nila ketemu sama orang tua saya, dan mereka nanya soal statu-""Nila? Cewek? Lo mau nikah sama cewek?"Untungnya kali ini Abas bisa mengont
“Kapan saya bisa bertemu orang tua kamu?”Nila langsung nyengir mendengar pertanyaan Biru. “Kamu sebenarnya langsung lulus kualifikasi Bunda.”Biru mengernyitkan keningnya, “Maksudnya?”“Bunda itu suka sama yang tampan, kamu kan tampan.” Nila menyeringai, “Pake – banget.” Tambahnya.Biru tersenyum geli, sebenarnya selalu merasa takjub bagaimana santai-nya Nila menanggapi segala hal. Seakan tak ada satupun masalah dalam kehidupan gadis itu. “Jadi, kapan?”“Astaga, Biru kamu barusan kedengaran ngebet banget.” Nila menatap Biru dengan tatapan jenaka, “Jangan bilang, sekarang kamu udah naksir aku? Tunggu – seingatku, jenis kelaminku masih perempuan.”Biru mendengus, h
Nila tersenyum lebar, tadi bahkan Cakra sudah mengejeknya dengan mengatakan bahwa Nila orang gila. Tapi, Nila gak perduli. Toh, dia kan Adiknya Cakra jadi otomatis Cakra juga ikutan gak waras.Alasan Nila bahagia? Tentu saja gak jauh-jauh dari Biru yang pagi ini udah duduk manis di ruang tamu kediamannya. Soal restu? Aman! Bunda bahkan langsung menawari Biru untuk menikahi Nila secara Siri kalau Biru malu. Memang Bundanya agak mirip germo, rela aja ngejual anaknya asal calonnya cakep.Jadi, pagi ini Biru menjemput Nila untuk jalan alias nge-date. Kata Biru sih supaya saling mengenal, tapi dipikiran Nila udah tersusun rapi segala jenis makanan yang mau dia cicipi.“Kita mau kemana?” Nila langsung bertanya padahal dia baru aja duduk di mobil Biru. Biru senyum, kayanya emang tipe cow
"Biruuuu..." Laki-laki itu meringis melihat wajah kelelahan gadis disebelahnya. "Mau minum? Saya ambilin ya?" Tawarnya tapi langsung dibalas gelengan Nila. "Capek, lama banget selesainya." Biru dan Nila memang sedang melaksanakan resepsi pernikahan mereka, niatnya hanya mengundang orang terdekat tapi para orang tua rupanya punya rencana lain. Alhasil, sampai jam menunjukkan pukul 22.00 tamu juga masih berdatangan. "Sini," Biru menarik kepala Nila agar bersandar di bahunya, "Gak bikin capek kamu hilang. Tapi, kamu bisa istirahat sebentar." Nila langsung tersenyum dan memejamkan matanya. Dia cukup lelah sampai tak sanggup menggoda seperti biasa. "Heh, pengantin baru! Masih banyak tamu, gak usah sok mesra!" Nila membuka matanya dan mendengus kesal ke arah Karis yang datang bersama pasangannya. Mata gadis itu menyipit ketika
Biru berjalan menuju kebun yang berada disebelah kiri rumah, didepannya ada Cakra yang memang meminta Biru untuk mengikutinya. “Kenapa Mas?” Cakra memandang Biru dengan seksama sebelum berdecak, “Tsk! Mas gak tahu apa yang sebenarnya kalian berdua rencanakan.” Biru menegang di posisi duduknya. Dia kira Cakra tidak akan sepeka ini. “Maksud Mas?” Biru mempertahankan sikap pura-puranya. “Biru, Mas ini Abangnya Nila. Mas yang berdiri di samping Bunda ketika Nila lahir pertama kali ke dunia ini. Mas tahu, gimana dan apa aja pikiran Adik Mas.” Cakra menggeleng lemah, “Mas tahu, kalau kalian menikah tanpa rasa. Tapi, Mas juga tahu kalau kalian akan berhasil.” Biru menatap Cakra bingung, dia kira Cakra akan menyuruhnya untuk menghentikan rencana pernikahan ini. Cakra mendengus, “Mas memang gak suka pernikahan ta
Rumah Nila hari ini penuh, karna nanti malam akan ada acara makan malam untuk kerabat dekat dan teman. Kara sama Bita udah membantu sejak pagi, Bita bahkan rela menutup cafe miliknya demi hari ini. “Nila mana sih?” Kara cukup kesulitan membantu dengan perutnya yang makin besar, Bita yang berada disebelahnya menggeleng. “Masih tidur, mungkin.” Kara langsung mendelik, “Kita rela-relain datang pagi tapi yang punya rumah malah molor? Keterlaluan!” Wanita itu baru berniat memanggil Nila tapi sapaan dari pintu membuatnya berhenti. “Permisi! Pagi!” Bita menatap dua orang wanita yang berada di depan pintu dengan tersenyum. “Cari siapa ya?” Bunda memang tengah pergi berbelanja jadi di rumah ini hanya ada Bita, Kara dan Nila – yang masih tidur. Salah satu wanita tersenyum ke arah Bita, “Ini benar rumahnya Nila?”
Biru masih mengikuti langkah gadis didepannya. Hari ini Nila terlihat santai dengan dress yang dikenakannya, gadis itu bahkan berkali-kali melompat kecil membuat Biru jadi gemas sendiri. “Mas, calon istrinya kelihatan seneng ya?” Chef yang ditunjuk Mama Biru untuk menjadi juru masak pada pernikahan mereka tersenyum membuat Biru menggeleng. “Saya jauh lebih senang karna nikah sama dia, Pak.” Chef itu mendengus, “Biasanya yang dateng kesini selalu ribut. Berantem untuk milih makanan yang cocok disajikan pas acara, eh Mas sama pasangannya kelihatan anteng.” “Saya percaya kalau dia adalah pilihan terbaik untuk jadi istri saya. Jadi, saya juga bakalan percaya apapun pilihan dia.” Nila yang tak sengaja mendengar perkataan Biru langsung mendengus, “Kamu malah kelihatan kaya bucin.”
Nila tersenyum lebar, tadi bahkan Cakra sudah mengejeknya dengan mengatakan bahwa Nila orang gila. Tapi, Nila gak perduli. Toh, dia kan Adiknya Cakra jadi otomatis Cakra juga ikutan gak waras.Alasan Nila bahagia? Tentu saja gak jauh-jauh dari Biru yang pagi ini udah duduk manis di ruang tamu kediamannya. Soal restu? Aman! Bunda bahkan langsung menawari Biru untuk menikahi Nila secara Siri kalau Biru malu. Memang Bundanya agak mirip germo, rela aja ngejual anaknya asal calonnya cakep.Jadi, pagi ini Biru menjemput Nila untuk jalan alias nge-date. Kata Biru sih supaya saling mengenal, tapi dipikiran Nila udah tersusun rapi segala jenis makanan yang mau dia cicipi.“Kita mau kemana?” Nila langsung bertanya padahal dia baru aja duduk di mobil Biru. Biru senyum, kayanya emang tipe cow
“Kapan saya bisa bertemu orang tua kamu?”Nila langsung nyengir mendengar pertanyaan Biru. “Kamu sebenarnya langsung lulus kualifikasi Bunda.”Biru mengernyitkan keningnya, “Maksudnya?”“Bunda itu suka sama yang tampan, kamu kan tampan.” Nila menyeringai, “Pake – banget.” Tambahnya.Biru tersenyum geli, sebenarnya selalu merasa takjub bagaimana santai-nya Nila menanggapi segala hal. Seakan tak ada satupun masalah dalam kehidupan gadis itu. “Jadi, kapan?”“Astaga, Biru kamu barusan kedengaran ngebet banget.” Nila menatap Biru dengan tatapan jenaka, “Jangan bilang, sekarang kamu udah naksir aku? Tunggu – seingatku, jenis kelaminku masih perempuan.”Biru mendengus, h
"Gimana caranya jadi Hetero?" Mungkin kalau Abas lagi minum airnya bakalan muncrat. Untunglah sekarang Abas cuma duduk sambil menatap Biru yang kelihatan beneran serius dengan pertanyaan tadi. "Gue kena prank?"Biru menghela nafasnya sebelum kembali berkata. "Saya mau nikah."Lagi-lagi Abas melongo - dengan tak indahnya. Rahangnya terbuka lebar dengan tatapan mata yang tak kalah lebarnya. Butuh beberapa menit sampai Abas bisa merespon. "Lo serius?"Dan anggukan Biru tak membuat kekagetan Abas sirna. "KOK BISA?" Tanyanya tak santai yang langsung mendapat tatapan kesal pengunjung café. Mereka memang sengaja mampir setelah pulang kerja."Kemarin Nila ketemu sama orang tua saya, dan mereka nanya soal statu-""Nila? Cewek? Lo mau nikah sama cewek?"Untungnya kali ini Abas bisa mengont
"Nila.." suara Biru langsung terdengar ketika Nila membuka pintu mobilnya, "Ya?""Soal yang tadi."Nila menggeleng, merasa gemas karna Biru tampak sekali memikirkan soal pembicaraan mereka sebelumnya. "Kamu pikirkan dulu aja baik-baik. Tapi, aku nunggu kabar baiknya.""Kamu bahkan gak percay—"Nila menggeleng membuat Biru menghentikan ucapannya, "Sebaiknya kamu pulang dulu deh. Pasti kabar soal Papa kamu yang masuk Rumah sakit udah menyita pikiran kamu banget. Jadi, kesampingkan aja dulu masalah yang tadi.""Tap—"Nila kembali menggeleng membuat Biru terpaksa mengangguk dan menyetujui saran Nila. "Bisa kita bicarakan besok?"Nila tersenyum jahil, "Bahkan belum ada sepuluh detik aku berdiri dari kursi penumpang dan kamu udah kangen aja sama aku. Wah, aku gak tahu kalau efekku segininya buat kamu."Biru akhirnya menarik sudut bibir membentuk senyuman, Nila meletakkan lengannya di jendela mobil Biru. "Kamu leb
"Nila, kita ke rumah sakit dulu." Mobil yang tadinya mengarah ke kantor Nila berubah haluan, Nila melirik ke arah Biru yang kelihatan panik dan cemas. Mau tanya, tapi takut dibilang kepo. Akhirnya Nila hanya bisa untuk mengingatkan Biru soal keselamatan mereka berdua. "Jangan ngebut, nanti kita kesana malah jadi pasien." Biru tersentak, mungkin baru sadar kalau sekarang ia tengah membawa orang lain di sebelahnya. "Maaf, nanti setelah sampai disana kamu bakalan saya antar." Nila menggeleng, "Gak masalah, aku baru aja minta izin." "Kamu sakit?" Nila tertawa geli bisa-bisanya setelah kepanikan tadi, Biru malah mengkhawatirkan dirinya. "Nggak, mau nemenin kamu." "Nemenin?" "Di izinkan kok, kan nemenin calon suami." Biru tersenyum, tampaknya sudah terbiasa dengan segala hal tak terduga yang terdengar dari bibir mungil gadis itu. "Maaf ya." Nila menggelengkan kepalanya terlihat bosan, "Biru! Sekali la