"Nila.." suara Biru langsung terdengar ketika Nila membuka pintu mobilnya, "Ya?"
"Soal yang tadi."
Nila menggeleng, merasa gemas karna Biru tampak sekali memikirkan soal pembicaraan mereka sebelumnya. "Kamu pikirkan dulu aja baik-baik. Tapi, aku nunggu kabar baiknya."
"Kamu bahkan gak percay—"
Nila menggeleng membuat Biru menghentikan ucapannya, "Sebaiknya kamu pulang dulu deh. Pasti kabar soal Papa kamu yang masuk Rumah sakit udah menyita pikiran kamu banget. Jadi, kesampingkan aja dulu masalah yang tadi."
"Tap—"
Nila kembali menggeleng membuat Biru terpaksa mengangguk dan menyetujui saran Nila. "Bisa kita bicarakan besok?"
Nila tersenyum jahil, "Bahkan belum ada sepuluh detik aku berdiri dari kursi penumpang dan kamu udah kangen aja sama aku. Wah, aku gak tahu kalau efekku segininya buat kamu."
Biru akhirnya menarik sudut bibir membentuk senyuman, Nila meletakkan lengannya di jendela mobil Biru. "Kamu lebih kelihatan ganteng pas senyum."
"Ya."
Nila tersenyum geli, "Kamu setuju kalau ku bilang ganteng atau?"
"Saya setuju kalau sebaiknya kamu masuk." Biru meneliti penampilan Nila yang terlihat lumayan berantakan karna mesti terburu-buru mengikuti langkahnya tadi. "Maaf kalau bikin kamu begini."
"Seksi maksudnya?"
Biru terbahak, berbicara dengan Nila mungkin akan berakhir menyenangkan. Bahkan ketika mereka punya hal yang mesti di pikirkan. "Lima menit lagi saya menahan kamu disini. Mungkin kamu akan sakit."
"Satu menit lagi kamu senyum begitu, aku yang sakit."
"Oh, kenapa?"
"Sakit karna cuma bisa melihat tapi belum di izinkan untuk menyentuh." Wajah Biru mendadak pucat membuat Nila jadi terbahak, "Bercanda. Aku masuk dulu ya, makasih tumpangannya."
"Ya."
"Aku udah lama gak pulang nebeng orang ganteng soalnya." Biru melihat bagaimana gadis itu melambai kemudian mengetuk pintu, Cakra muncul sambil berbicara. Nila kelihatannya memberi jawaban yang membuat Cakra kesal. Makanya gadis itu berakhir dengan cubitan di pipinya.
Nila, sebenernya apa yang kamu inginkan?
°°°°
"Tadi kok lama sih?"
Cakra mengikuti langkah Nila yang sekarang berjalan menuju kamarnya, "Tenang aja Mas, segel Nila masih aman."
Cakra langsung mencibir jawaban Nila yang gak tahu malu itu, "Ih, Mas nanya gini bukannya khawatir soal kamu. Tapi, khawatir soal karyawan di Kantor Mas." Laki-laki itu duduk manis di atas ranjang Nila membuat sang empunya kesal, "Mas, Nila mau istirahat nih. Capek."
"Jangan banyak gaya, kamu paling tadi nyulik Biru dan maksa dia bayarin kamu makan kan?" Tuduh Cakra membuat Nila mendelik, "Dih! Sejak kapan Nila punya pikiran licik kaya gitu Mas? Nila juga gak bakalan minta nafkah sebelum nikah."
"Heh, jangan godain Biru."
"Lha, ini Adeknya udah kegoda sama kegantengan Biru Mas. Gimana dong?"
Cakra menghela nafasnya, bingung untuk percaya atau tidak dengan perkataan Nila. Mengenal Adiknya selama ini membuat Cakra jadi sulit mengetahui mana yang jujur atau sekedar bercanda dalam ucapan Nila.
"Dek, Mas serius lho."
"Nila juga," Cakra melotot, sebelum Cakra kembali bertanya Nila lebih dulu mengusirnya, "Nila serius kalau capek banget dan mau istirahat."
"Dek, Mas mau nanya soal Bi—"
Brak!
Nila membanting pintu tepat di depan wajah Cakra membuat laki-laki itu mendengus dan berteriak kesal, "Gak sopan banget sih!"
Nila terkekeh di Kamarnya mendengar gerutuan kesal Cakra. Dia langsung membaringkan tubuhnya di Kasur, pikirannya kembali memutar kejadian hari ini. Mulai dari kesialannya dengan mobil, jemputan Biru sampai kejadian di Rumah Sakit.
Menikah ya?
Hal ini memang sebelumnya gak pernah muncul dalam benak Nila, bahkan waktu Bunda mengomel. Menurut Nila, menikah hanya akan membuatnya masuk dalam masalah besar. Mempercayakan dirinya kepada orang asing —selalu terdengar buruk.
Terus kenapa Nila sampai melakukan hal tadi? Mengaku sebagai calon istri Biru? Mungkin Nila udah gila atau dia emang sejak awal udah yakin dengan kegilaannya soal ini. Biru yang gay membutuhkan status yang menyelamatkannya dan Nila membutuhkan status untuk ketenangan Bunda-nya.
Menarik bukan?
Ah, soal Biru. Nila jadi ingat sesuatu.
Bagaimana bisa dia lupa meminta kontak laki-laki itu? Ah, kalau begini sebaiknya dia meminta pada siapa? Mas Cakra? Bisa ditanya macam-macam nanti. Nila juga belum mau menjelaskan apapun sama Mas Cakra. Apalagi statusnya masih belum jelas.
Ah, Nila tahu.
Jemarinya langsung mengambil ponselnya dan memilih tanda call.
"Halo, Mas Karis?"
"Ahh... yah?"
Nila mendelik, "Mas, kalau lagi olahraga gak perlu sok dibuat lagi enak-enak. Nila tahu jadwalnya Mas Karis. Dan seingat Nila, sekarang tuh Mas cuma olahraga biasa bukan olahraga ranjang."
Karis tertawa membuat Nila menggeleng, bisa-bisanya malah mengangkat telpon dengan nada bikin salah paham begitu. "Berhenti dulu olahraganya."
"Kenapa sih? Mas lagi ngangkat beban nih."
"Alah, Mas aja beban keluarga kok. Ngapain sok latihan?"
Suara tawa Karis kembali terdengar, "Kamu kalau misalnya cuma mau ngatain Mas, mending gak usah nelpon."
Nila mengingat alasannya sampai menelpon sahabat Mas Cakra. "Mas, minta nomornya Biru dong."
Jawaban Karis tak terdengar, Nila malah mendengar suara berisik lainnya. Baru aja Nila mau bertanya mengenai keselamatan Mas Karis, suara pria itu langsung terdengar, "Biru siapa? Anak buah Mas?"
"Ya iyalah, emang Mas Karis punya kenalan lain yang namanya Biru?"
"Ya nggak sih."
"Ya udah, mana?" Nila langsung meminta tanpa basa-basi membuat Karis mendengus di sebelah sana, "Tsk! Memangnya Mas Cakra tahu kalau kamu mau minta nomornya Biru?"
"Kenapa Mas Cakra perlu tahu segala? Emangnya Mas Cakra siapanya Biru?"
"Bukan gitu Nila, kamu kan adiknya Cakra. Jadi, seharusnya kamu nanya dulu sama Cakra. Boleh gak kalau deketin cowok." Nila mendelik, "Kenapa mesti minta izin sih? Nila kan gak bakalan kenapa-napa."
"Siapa yang khawatirin kamu sih? Pd banget! Mas Karis tuh khawatirin keselamatan pekerja Mas, kalau misalnya si Cakra tahu kan lumayan terjamin. Gak ada yang bisa nebak apa isi kepala kamu Nila, bisa-bisa Biru bunting mendadak." lagi-lagi Nila merasa tertuduh sebagai predator.
"Ih, bagian bunting punya Nila tau Mas."
Karis kembali terbahak, berbicara dengan Nila memang selalu membuatnya tertawa. "Buat apa sih? Beneran mau deketin."
"Calon suami tuh."
"Siapa?"
"Biru lah."
"Bercanda ya?"
"Iya! Makanya cepetan kasih aja, Nila tuh ada urusan sama dia." Nila beralasan lain, bisa bahaya kalau misalnya Karis memberitahukan soal ini kepada Cakra.
"Yakin? Urusan apa sih?"
"Aduh, Mas Karis ini kepo betul! Tinggal buka hp terus share doang padahal, atau jangan-jangan Mas Karis gak tahu caranya ya?"
"Ya tahu lah, ntar Mas Karis kirim."
"Ya udah, gitu kek dari tadi."
"Tapi, kamu beneran gak mau deket—"
Klik!
Terlalu banyak tanya, Nila jadi malas. Mungkin ini alasan kenapa Mas Karis selalu gagal dalam menjalin hubungan. Berisik kaya Ibu-ibu komplek.
Senyum Nila langsung terbit ketika melihat pesan dari Mas Karis.
Ah, namanya Sagara Biru ya?
Tbc
"Gimana caranya jadi Hetero?" Mungkin kalau Abas lagi minum airnya bakalan muncrat. Untunglah sekarang Abas cuma duduk sambil menatap Biru yang kelihatan beneran serius dengan pertanyaan tadi. "Gue kena prank?"Biru menghela nafasnya sebelum kembali berkata. "Saya mau nikah."Lagi-lagi Abas melongo - dengan tak indahnya. Rahangnya terbuka lebar dengan tatapan mata yang tak kalah lebarnya. Butuh beberapa menit sampai Abas bisa merespon. "Lo serius?"Dan anggukan Biru tak membuat kekagetan Abas sirna. "KOK BISA?" Tanyanya tak santai yang langsung mendapat tatapan kesal pengunjung café. Mereka memang sengaja mampir setelah pulang kerja."Kemarin Nila ketemu sama orang tua saya, dan mereka nanya soal statu-""Nila? Cewek? Lo mau nikah sama cewek?"Untungnya kali ini Abas bisa mengont
“Kapan saya bisa bertemu orang tua kamu?”Nila langsung nyengir mendengar pertanyaan Biru. “Kamu sebenarnya langsung lulus kualifikasi Bunda.”Biru mengernyitkan keningnya, “Maksudnya?”“Bunda itu suka sama yang tampan, kamu kan tampan.” Nila menyeringai, “Pake – banget.” Tambahnya.Biru tersenyum geli, sebenarnya selalu merasa takjub bagaimana santai-nya Nila menanggapi segala hal. Seakan tak ada satupun masalah dalam kehidupan gadis itu. “Jadi, kapan?”“Astaga, Biru kamu barusan kedengaran ngebet banget.” Nila menatap Biru dengan tatapan jenaka, “Jangan bilang, sekarang kamu udah naksir aku? Tunggu – seingatku, jenis kelaminku masih perempuan.”Biru mendengus, h
Nila tersenyum lebar, tadi bahkan Cakra sudah mengejeknya dengan mengatakan bahwa Nila orang gila. Tapi, Nila gak perduli. Toh, dia kan Adiknya Cakra jadi otomatis Cakra juga ikutan gak waras.Alasan Nila bahagia? Tentu saja gak jauh-jauh dari Biru yang pagi ini udah duduk manis di ruang tamu kediamannya. Soal restu? Aman! Bunda bahkan langsung menawari Biru untuk menikahi Nila secara Siri kalau Biru malu. Memang Bundanya agak mirip germo, rela aja ngejual anaknya asal calonnya cakep.Jadi, pagi ini Biru menjemput Nila untuk jalan alias nge-date. Kata Biru sih supaya saling mengenal, tapi dipikiran Nila udah tersusun rapi segala jenis makanan yang mau dia cicipi.“Kita mau kemana?” Nila langsung bertanya padahal dia baru aja duduk di mobil Biru. Biru senyum, kayanya emang tipe cow
Biru masih mengikuti langkah gadis didepannya. Hari ini Nila terlihat santai dengan dress yang dikenakannya, gadis itu bahkan berkali-kali melompat kecil membuat Biru jadi gemas sendiri. “Mas, calon istrinya kelihatan seneng ya?” Chef yang ditunjuk Mama Biru untuk menjadi juru masak pada pernikahan mereka tersenyum membuat Biru menggeleng. “Saya jauh lebih senang karna nikah sama dia, Pak.” Chef itu mendengus, “Biasanya yang dateng kesini selalu ribut. Berantem untuk milih makanan yang cocok disajikan pas acara, eh Mas sama pasangannya kelihatan anteng.” “Saya percaya kalau dia adalah pilihan terbaik untuk jadi istri saya. Jadi, saya juga bakalan percaya apapun pilihan dia.” Nila yang tak sengaja mendengar perkataan Biru langsung mendengus, “Kamu malah kelihatan kaya bucin.”
Rumah Nila hari ini penuh, karna nanti malam akan ada acara makan malam untuk kerabat dekat dan teman. Kara sama Bita udah membantu sejak pagi, Bita bahkan rela menutup cafe miliknya demi hari ini. “Nila mana sih?” Kara cukup kesulitan membantu dengan perutnya yang makin besar, Bita yang berada disebelahnya menggeleng. “Masih tidur, mungkin.” Kara langsung mendelik, “Kita rela-relain datang pagi tapi yang punya rumah malah molor? Keterlaluan!” Wanita itu baru berniat memanggil Nila tapi sapaan dari pintu membuatnya berhenti. “Permisi! Pagi!” Bita menatap dua orang wanita yang berada di depan pintu dengan tersenyum. “Cari siapa ya?” Bunda memang tengah pergi berbelanja jadi di rumah ini hanya ada Bita, Kara dan Nila – yang masih tidur. Salah satu wanita tersenyum ke arah Bita, “Ini benar rumahnya Nila?”
Biru berjalan menuju kebun yang berada disebelah kiri rumah, didepannya ada Cakra yang memang meminta Biru untuk mengikutinya. “Kenapa Mas?” Cakra memandang Biru dengan seksama sebelum berdecak, “Tsk! Mas gak tahu apa yang sebenarnya kalian berdua rencanakan.” Biru menegang di posisi duduknya. Dia kira Cakra tidak akan sepeka ini. “Maksud Mas?” Biru mempertahankan sikap pura-puranya. “Biru, Mas ini Abangnya Nila. Mas yang berdiri di samping Bunda ketika Nila lahir pertama kali ke dunia ini. Mas tahu, gimana dan apa aja pikiran Adik Mas.” Cakra menggeleng lemah, “Mas tahu, kalau kalian menikah tanpa rasa. Tapi, Mas juga tahu kalau kalian akan berhasil.” Biru menatap Cakra bingung, dia kira Cakra akan menyuruhnya untuk menghentikan rencana pernikahan ini. Cakra mendengus, “Mas memang gak suka pernikahan ta
"Biruuuu..." Laki-laki itu meringis melihat wajah kelelahan gadis disebelahnya. "Mau minum? Saya ambilin ya?" Tawarnya tapi langsung dibalas gelengan Nila. "Capek, lama banget selesainya." Biru dan Nila memang sedang melaksanakan resepsi pernikahan mereka, niatnya hanya mengundang orang terdekat tapi para orang tua rupanya punya rencana lain. Alhasil, sampai jam menunjukkan pukul 22.00 tamu juga masih berdatangan. "Sini," Biru menarik kepala Nila agar bersandar di bahunya, "Gak bikin capek kamu hilang. Tapi, kamu bisa istirahat sebentar." Nila langsung tersenyum dan memejamkan matanya. Dia cukup lelah sampai tak sanggup menggoda seperti biasa. "Heh, pengantin baru! Masih banyak tamu, gak usah sok mesra!" Nila membuka matanya dan mendengus kesal ke arah Karis yang datang bersama pasangannya. Mata gadis itu menyipit ketika
"Nila!"Teriakan itu membuat gadis yang tengah dalam posisi berbaringnya langsung terbangun. "Kenapa Bun? Kok teriak-teriak, Nila kan gak budek."Bunda langsung menggeleng, mungkin sedikit sebal mendengar jawaban Nila yang semaunya. "Ini malam minggu, kenapa kamu masih di rumah aja?""Bun, karna ini malam minggu jadinya Nila di rumah." Nila menjawab sambil kembali berbaring membuat Bunda semakin kesal. "Mending kamu keluar. Jalan-jalan atau nongkrong sama temen kamu.""Temen yang mana sih, Bun?""Temen kamu yang single. Cowok kalau bisa.""Bunda, Nila bahkan baru seminggu yang lalu jadi 24 tahun."Bunda langsung mendengus, "Sudah 24 bukannya baru 24.""Kenapa sih, Bunda selalu nyuruh Nila nikah?"Nila memandangnya sosok Ibunya dengan bingung. Nila beneran pengen tahu alasan wanita yang paling disayanginya itu berubah cerewet ketika melihat dirinya mendekam di kamar setiap malam minggu."
"Biruuuu..." Laki-laki itu meringis melihat wajah kelelahan gadis disebelahnya. "Mau minum? Saya ambilin ya?" Tawarnya tapi langsung dibalas gelengan Nila. "Capek, lama banget selesainya." Biru dan Nila memang sedang melaksanakan resepsi pernikahan mereka, niatnya hanya mengundang orang terdekat tapi para orang tua rupanya punya rencana lain. Alhasil, sampai jam menunjukkan pukul 22.00 tamu juga masih berdatangan. "Sini," Biru menarik kepala Nila agar bersandar di bahunya, "Gak bikin capek kamu hilang. Tapi, kamu bisa istirahat sebentar." Nila langsung tersenyum dan memejamkan matanya. Dia cukup lelah sampai tak sanggup menggoda seperti biasa. "Heh, pengantin baru! Masih banyak tamu, gak usah sok mesra!" Nila membuka matanya dan mendengus kesal ke arah Karis yang datang bersama pasangannya. Mata gadis itu menyipit ketika
Biru berjalan menuju kebun yang berada disebelah kiri rumah, didepannya ada Cakra yang memang meminta Biru untuk mengikutinya. “Kenapa Mas?” Cakra memandang Biru dengan seksama sebelum berdecak, “Tsk! Mas gak tahu apa yang sebenarnya kalian berdua rencanakan.” Biru menegang di posisi duduknya. Dia kira Cakra tidak akan sepeka ini. “Maksud Mas?” Biru mempertahankan sikap pura-puranya. “Biru, Mas ini Abangnya Nila. Mas yang berdiri di samping Bunda ketika Nila lahir pertama kali ke dunia ini. Mas tahu, gimana dan apa aja pikiran Adik Mas.” Cakra menggeleng lemah, “Mas tahu, kalau kalian menikah tanpa rasa. Tapi, Mas juga tahu kalau kalian akan berhasil.” Biru menatap Cakra bingung, dia kira Cakra akan menyuruhnya untuk menghentikan rencana pernikahan ini. Cakra mendengus, “Mas memang gak suka pernikahan ta
Rumah Nila hari ini penuh, karna nanti malam akan ada acara makan malam untuk kerabat dekat dan teman. Kara sama Bita udah membantu sejak pagi, Bita bahkan rela menutup cafe miliknya demi hari ini. “Nila mana sih?” Kara cukup kesulitan membantu dengan perutnya yang makin besar, Bita yang berada disebelahnya menggeleng. “Masih tidur, mungkin.” Kara langsung mendelik, “Kita rela-relain datang pagi tapi yang punya rumah malah molor? Keterlaluan!” Wanita itu baru berniat memanggil Nila tapi sapaan dari pintu membuatnya berhenti. “Permisi! Pagi!” Bita menatap dua orang wanita yang berada di depan pintu dengan tersenyum. “Cari siapa ya?” Bunda memang tengah pergi berbelanja jadi di rumah ini hanya ada Bita, Kara dan Nila – yang masih tidur. Salah satu wanita tersenyum ke arah Bita, “Ini benar rumahnya Nila?”
Biru masih mengikuti langkah gadis didepannya. Hari ini Nila terlihat santai dengan dress yang dikenakannya, gadis itu bahkan berkali-kali melompat kecil membuat Biru jadi gemas sendiri. “Mas, calon istrinya kelihatan seneng ya?” Chef yang ditunjuk Mama Biru untuk menjadi juru masak pada pernikahan mereka tersenyum membuat Biru menggeleng. “Saya jauh lebih senang karna nikah sama dia, Pak.” Chef itu mendengus, “Biasanya yang dateng kesini selalu ribut. Berantem untuk milih makanan yang cocok disajikan pas acara, eh Mas sama pasangannya kelihatan anteng.” “Saya percaya kalau dia adalah pilihan terbaik untuk jadi istri saya. Jadi, saya juga bakalan percaya apapun pilihan dia.” Nila yang tak sengaja mendengar perkataan Biru langsung mendengus, “Kamu malah kelihatan kaya bucin.”
Nila tersenyum lebar, tadi bahkan Cakra sudah mengejeknya dengan mengatakan bahwa Nila orang gila. Tapi, Nila gak perduli. Toh, dia kan Adiknya Cakra jadi otomatis Cakra juga ikutan gak waras.Alasan Nila bahagia? Tentu saja gak jauh-jauh dari Biru yang pagi ini udah duduk manis di ruang tamu kediamannya. Soal restu? Aman! Bunda bahkan langsung menawari Biru untuk menikahi Nila secara Siri kalau Biru malu. Memang Bundanya agak mirip germo, rela aja ngejual anaknya asal calonnya cakep.Jadi, pagi ini Biru menjemput Nila untuk jalan alias nge-date. Kata Biru sih supaya saling mengenal, tapi dipikiran Nila udah tersusun rapi segala jenis makanan yang mau dia cicipi.“Kita mau kemana?” Nila langsung bertanya padahal dia baru aja duduk di mobil Biru. Biru senyum, kayanya emang tipe cow
“Kapan saya bisa bertemu orang tua kamu?”Nila langsung nyengir mendengar pertanyaan Biru. “Kamu sebenarnya langsung lulus kualifikasi Bunda.”Biru mengernyitkan keningnya, “Maksudnya?”“Bunda itu suka sama yang tampan, kamu kan tampan.” Nila menyeringai, “Pake – banget.” Tambahnya.Biru tersenyum geli, sebenarnya selalu merasa takjub bagaimana santai-nya Nila menanggapi segala hal. Seakan tak ada satupun masalah dalam kehidupan gadis itu. “Jadi, kapan?”“Astaga, Biru kamu barusan kedengaran ngebet banget.” Nila menatap Biru dengan tatapan jenaka, “Jangan bilang, sekarang kamu udah naksir aku? Tunggu – seingatku, jenis kelaminku masih perempuan.”Biru mendengus, h
"Gimana caranya jadi Hetero?" Mungkin kalau Abas lagi minum airnya bakalan muncrat. Untunglah sekarang Abas cuma duduk sambil menatap Biru yang kelihatan beneran serius dengan pertanyaan tadi. "Gue kena prank?"Biru menghela nafasnya sebelum kembali berkata. "Saya mau nikah."Lagi-lagi Abas melongo - dengan tak indahnya. Rahangnya terbuka lebar dengan tatapan mata yang tak kalah lebarnya. Butuh beberapa menit sampai Abas bisa merespon. "Lo serius?"Dan anggukan Biru tak membuat kekagetan Abas sirna. "KOK BISA?" Tanyanya tak santai yang langsung mendapat tatapan kesal pengunjung café. Mereka memang sengaja mampir setelah pulang kerja."Kemarin Nila ketemu sama orang tua saya, dan mereka nanya soal statu-""Nila? Cewek? Lo mau nikah sama cewek?"Untungnya kali ini Abas bisa mengont
"Nila.." suara Biru langsung terdengar ketika Nila membuka pintu mobilnya, "Ya?""Soal yang tadi."Nila menggeleng, merasa gemas karna Biru tampak sekali memikirkan soal pembicaraan mereka sebelumnya. "Kamu pikirkan dulu aja baik-baik. Tapi, aku nunggu kabar baiknya.""Kamu bahkan gak percay—"Nila menggeleng membuat Biru menghentikan ucapannya, "Sebaiknya kamu pulang dulu deh. Pasti kabar soal Papa kamu yang masuk Rumah sakit udah menyita pikiran kamu banget. Jadi, kesampingkan aja dulu masalah yang tadi.""Tap—"Nila kembali menggeleng membuat Biru terpaksa mengangguk dan menyetujui saran Nila. "Bisa kita bicarakan besok?"Nila tersenyum jahil, "Bahkan belum ada sepuluh detik aku berdiri dari kursi penumpang dan kamu udah kangen aja sama aku. Wah, aku gak tahu kalau efekku segininya buat kamu."Biru akhirnya menarik sudut bibir membentuk senyuman, Nila meletakkan lengannya di jendela mobil Biru. "Kamu leb
"Nila, kita ke rumah sakit dulu." Mobil yang tadinya mengarah ke kantor Nila berubah haluan, Nila melirik ke arah Biru yang kelihatan panik dan cemas. Mau tanya, tapi takut dibilang kepo. Akhirnya Nila hanya bisa untuk mengingatkan Biru soal keselamatan mereka berdua. "Jangan ngebut, nanti kita kesana malah jadi pasien." Biru tersentak, mungkin baru sadar kalau sekarang ia tengah membawa orang lain di sebelahnya. "Maaf, nanti setelah sampai disana kamu bakalan saya antar." Nila menggeleng, "Gak masalah, aku baru aja minta izin." "Kamu sakit?" Nila tertawa geli bisa-bisanya setelah kepanikan tadi, Biru malah mengkhawatirkan dirinya. "Nggak, mau nemenin kamu." "Nemenin?" "Di izinkan kok, kan nemenin calon suami." Biru tersenyum, tampaknya sudah terbiasa dengan segala hal tak terduga yang terdengar dari bibir mungil gadis itu. "Maaf ya." Nila menggelengkan kepalanya terlihat bosan, "Biru! Sekali la