Nila memang salah satu staff Humas yang paling sering diminta untuk mengurus masalah hubungan eksternal antara perusahaannya dengan relasi. Tapi, dia selalu malas kalau disuruh datang ke Perusahaan tempat Cakra bekerja.
"Kenapa lo manyun?"
Nah, Nila makin sebal karna kali ini yang menemaninya si Argy. Padahal kalau itu Nata, mungkin Nila bakalan terus senyum. Argy itu nyebelin.
"Kok bukan Mba Lani atau Nata aja yang nemenin gue sih? Kenapa mesti lo?"
"Karna yang senggang cuma gue." Argy turun dari mobil membuat Nila tersadar jika mereka telah sampai ke tujuannya. "Lagian Mba Lani sama Mba Diar kan lagi ngurusin internal, kalau Nata lagi pergi ke Media."
Iya juga sih, Perusahaan tempat Nila bekerja mau merayakan anniversary jadi semua pasti sibuk. Masih syukur ada yang bisa menemani Nila, kalau tidak ya Nila bakalan pergi ke Perusahaan lainnya sendirian.
"Ya udah, gue ke kamar mandi dulu deh."
Argy mendengus, "Lo kan jadi Humas udah hampir 3 tahun, masa masih grogi aja?"
"Siapa yang grogi? Gue mau pipis, lo mau gue ngompol pas lagi ketemu sama Pak Harya si Kepala Divisi Humas?" Argy nyengir, "Jangan lama-lama."
"Iya, bawel lo!"
Nila melangkah menuju toilet yang berada di dekat lobby. Dia sih, udah hapal semua lokasi di Perusahaan ini. Sebelum bekerja seperti sekarang, dia sering datang kesini untuk mengantarkan makanan Mas Cakra.
"Lho, Nila ngapain?" Nila berbalik ketika mendengar seseorang menyebut namanya. "Mas Karis, cabut ya?" Tuduhnya.
"Cabut apanya? Emangnya kamu kira ini sekolahan?" Karis gantian memandang penuh selidik ke Nila. "Kamu ngapain? Mau curi informasi soal produk baru ya?"
"Ih, ngapain?! Nila tuh mau kasih undangan sama Pak Harya eh, malah kebelet." Karis mengangguk, "Toilet tinggal lurus aja."
"Tau kok, Mas mau kemana?"
"Mau manggil si Biru."
Nila yang awalnya berjalan ke arah depan langsung berbalik, dia gak jadi pipis. "Biru? Staff Mas ya?" Karis kaget karna Nila yang tiba-tiba menghadapnya. Untung tidak dia tabrak, bisa mental tubuh Nila karna ditabrak dirinya.
"Iya."
"Biar Nila yang jemput Mas."
"H-hah?" Karis gak sempat merespon apapun ketika melihat Nila yang berlari, tapi pria itu masih bisa berteriak. "Nila itu mau ke toilet, si Biru kan di Kantin."
"Iya, Nila pipis dulu Mas." Jawab Nila yang membuat Karis menggeleng. "Adeknya si Cakra sama anehnya kaya Cakra."
°°°°°Nila tersenyum ketika menatap ke arah Kantin, syukurlah cuma ada satu orang disana. Dan, itu laki-laki berarti dia Biru. Soalnya, Nila kan gak tahu gimana muka Biru. Langkah kakinya semakin dipercepat karna dia melihat Biru mau berdiri dari duduknya. Mungkin dia sudah selesai.
"Kamu Biru kan?" Untung Nila cepat jadi kini dia sudah berada didepan laki-laki yang sedikit terlihat kaget karna kemunculannya.
"Siapa?"
"Nila."
"Siapa? Gak kenal." Nila tersenyum, karna sejujurnya dia juga gak kenal sama lelaki dihadapannya ini. "Ayo, kita menikah."
Dan laki-laki dihadapannya langsung tersenyum.
Wow! Kalau ada satu kata yang bisa mendefinisikan Biru, maka itu adalah tampan. Wajahnya mempunyai rahang yang tegas, pandangan matanya cukup tajam tapi Nila melihat jika laki-laki ini cukup cute.
"Saya gak kenal kamu, kenapa kita harus menikah?" Tanyanya dengan sorot mata jenaka. Nila jadi pengen tersenyum karna Biru begitu lembut dan bukan mengusirnya. Seperti, teman-temannya yang lain kalau Nila dianggap sudah terlalu aneh.
"Karna saya udah di suruh nikah."
"Terus?" Biru kembali duduk, mungkin capek jika mesti ngobrol sambil berdiri. Lagipula, bakalan aneh menurut Nila kalau Biru tetap bertahan untuk berdiri.
"Kamu mesti nikahin saya."
"Kenapa saya mesti nikahin kamu?"
"Karna saya cantik?" Nila terdengar tak yakin dengan pendapatnya barusan dan lagi-lagi Biru tersenyum. Nila memberi plus untuk kesabaran Biru yang mendengar ocehan tidak pentingnya ini.
"Kamu memang cantik." Nila tersenyum, dia udah tau sih sejujurnya. "Tapi, saya gak akan nikahin kamu cuma karna kamu cantik."
Nila langsung manyun, berarti dia mesti cari alasan lain.
"Karna saya mandiri, baik, dan tidak rewel." Ucapannya membuat senyum tipis Biru kembali muncul. "Kamu gak punya kekurangan?"
"Ada."
"Apa?" Tanya Biru penasaran.
"Saya gak punya calon suami kaya kamu."
Biru terdiam, mungkin gak menyangka kalau ada cewek gila yang bakalan nyamperin dia di Kantin dan tiba-tiba ngajak nikah. Tapi, ekspresi kagetnya gak bertahan lama karna laki-laki itu kembali tersenyum. "Saya punya orientasi yang sedikit berbeda."
Nila mengangguk, "Saya tahu, makanya kamu mesti nikah sama saya." Gadis itu berdiri dan tersenyum tipis, "Omong-omong kamu tadi dicari Mas Karis."
Nila melambai ke arah Biru yang masih diam. Gadis itu berlalu seperti biasa, seakan tak ada pembicaraan soal pernikahan.
"Biru? Kamu ngapain bengong?" Biru tersentak ketika mendengar suara disebelahnya, "Eh, itu si Nila bukan?"
"Mas Satria kenal?"
"Itu adiknya Cakra. Dia ngapain kamu?" Pertanyaan Satria membuat Biru tersenyum.
°°°°
"Lama amat lo, gue kira tadi pingsan di toilet."
Nila nyengir melihat wajah Argy yang kesal. Salahnya sih, terlalu lama mengobrol dengan Biru. "Sorry, tadi ketemu temen jadinya ngobrol dulu."
Argy berdecak, "Ck! Lo emang Duta Persahabatan ya? Berasa semua orang itu temen lo." Nila mendengus, "Kenapa sih? Bawel amat, laper ya lo?"
"Iya, traktir makan ya?" Argy menaik-turunkan alisnya untuk menggoda Nila.
"Boleh. Asal lo jawab pertanyaan gue."
"Dih! Pakai acara tanya-jawab terus, curiga pas hamil lo pasti Bunda ngidam menangin kuis." Nila cuma tertawa mendengar gerutuan Argy.
"Mau makan gratis gak?"
"Apa pertanyaannya? Cepetan! Biar abis ketemu Pak Harya kita langsung makan. Lapar gue, abis 'olahraga malam'."
Nila menatap Argy dengan jijik. "Too much Information, gue gak butuh."
Argy ngakak, "Udah cepetan."
"Kalau gue ajak nikah, lo mau gak?"
"Mau lah!" Jawab Argy cepat, "Ini pertanyaannya?"
Nila mendengus, "Untung aja gue gak beneran ngajak lo nikah ya Gy, dan bukan. Bukan itu pertanyaannya. Pertanyaannya kenapa lo mau aja nikah sama gue?"
"Ini lo sengaja kan? Biar gue jawabnya kek muji lo gitu."
Nila mengibaskan rambutnya di depan wajah Argy membuat lelaki itu mendengus. "Apa sih, lo Nil!"
"Maaf ya Gy, kalau ternyata gue emang semengagumkan itu. Sampai alasan kenapa mau nikah sama gue itu isinya pujian semua."
Nila tak menanggapi seruan kesal Argy barusan, dia lebih fokus soal pertanyaan Argy sebelumnya. Kalau Argy yang notaben-nya pemangsa wanita saja mengakui jika dirinya calon istri idaman maka gak ada alasan bagi Biru untuk menolaknya.
"Kalau mengabaikan tingkah ajaib lo sih sebenarnya, lo udah terlalu siap untuk jadi seorang istri." Nila tersenyum senang mendengar perkataan Argy, "Coba lo waras dikit Gy."
"Kenapa? Mau lo ajak nikah?"
Nila menggeleng sambil tertawa, "Telat lo! Gue udah ajak nikah cowok lain."
"Serius?" Argy memegang lengan Nila dan menatap gadis itu dengan tatapan menyelidik. "Iya, gak usah cemburu gitu kali Gy."
"Gue gak cemburu! Gue penasaran sama orang yang ketiban sial karna diajak kawin sama lo."
"Nikah, bangsat!" Dan Argy langsung terbahak mendengar umpatan Nila yang ditujukan untuknya.
Tbc
"Lo tau kan kalau bisa cerita apa aja sama gue?" Biru menatap ke arah sahabatnya dengan pandangan bingung. "Siapa yang ada masalah?""Lo lah! Yang dari kemarin kerjaannya berantakan emangnya bukan lo?" Abas tersenyum mengejek membuat Biru terdiam.Kemarin memang hampir seluruh kerjanya tidak berjalan sebaik biasanya. Biru bahkan hampir menghapus daftar lokasi pemasaran produk Perusahaannya dan kalau itu terjadi, mungkin Biru bakalan di pecat tanpa pesangon sedikitpun."Kemarin ada cewek yang datang.""Cewek? Ini lo lagi ngomongin soal lawan jenis kan?" Biru mengabaikan pertanyaan Abas yang menurutnya tak perlu dijawab."Dia ngajak nikah."Wajah Abas melongo yang benar-benar melongo. Bibirnya terbuka dengan tatapan kaget."Nikah?"Biru mengangguk, "Iya. Saya gak tahu dia bercanda atau serius.""Bercanda itu pasti," Abas menepuk pundak Biru. "Lagipula, lo kan gak naksir cewek."Memang cuma Abas yan
"Nila, kita ke rumah sakit dulu." Mobil yang tadinya mengarah ke kantor Nila berubah haluan, Nila melirik ke arah Biru yang kelihatan panik dan cemas. Mau tanya, tapi takut dibilang kepo. Akhirnya Nila hanya bisa untuk mengingatkan Biru soal keselamatan mereka berdua. "Jangan ngebut, nanti kita kesana malah jadi pasien." Biru tersentak, mungkin baru sadar kalau sekarang ia tengah membawa orang lain di sebelahnya. "Maaf, nanti setelah sampai disana kamu bakalan saya antar." Nila menggeleng, "Gak masalah, aku baru aja minta izin." "Kamu sakit?" Nila tertawa geli bisa-bisanya setelah kepanikan tadi, Biru malah mengkhawatirkan dirinya. "Nggak, mau nemenin kamu." "Nemenin?" "Di izinkan kok, kan nemenin calon suami." Biru tersenyum, tampaknya sudah terbiasa dengan segala hal tak terduga yang terdengar dari bibir mungil gadis itu. "Maaf ya." Nila menggelengkan kepalanya terlihat bosan, "Biru! Sekali la
"Nila.." suara Biru langsung terdengar ketika Nila membuka pintu mobilnya, "Ya?""Soal yang tadi."Nila menggeleng, merasa gemas karna Biru tampak sekali memikirkan soal pembicaraan mereka sebelumnya. "Kamu pikirkan dulu aja baik-baik. Tapi, aku nunggu kabar baiknya.""Kamu bahkan gak percay—"Nila menggeleng membuat Biru menghentikan ucapannya, "Sebaiknya kamu pulang dulu deh. Pasti kabar soal Papa kamu yang masuk Rumah sakit udah menyita pikiran kamu banget. Jadi, kesampingkan aja dulu masalah yang tadi.""Tap—"Nila kembali menggeleng membuat Biru terpaksa mengangguk dan menyetujui saran Nila. "Bisa kita bicarakan besok?"Nila tersenyum jahil, "Bahkan belum ada sepuluh detik aku berdiri dari kursi penumpang dan kamu udah kangen aja sama aku. Wah, aku gak tahu kalau efekku segininya buat kamu."Biru akhirnya menarik sudut bibir membentuk senyuman, Nila meletakkan lengannya di jendela mobil Biru. "Kamu leb
"Gimana caranya jadi Hetero?" Mungkin kalau Abas lagi minum airnya bakalan muncrat. Untunglah sekarang Abas cuma duduk sambil menatap Biru yang kelihatan beneran serius dengan pertanyaan tadi. "Gue kena prank?"Biru menghela nafasnya sebelum kembali berkata. "Saya mau nikah."Lagi-lagi Abas melongo - dengan tak indahnya. Rahangnya terbuka lebar dengan tatapan mata yang tak kalah lebarnya. Butuh beberapa menit sampai Abas bisa merespon. "Lo serius?"Dan anggukan Biru tak membuat kekagetan Abas sirna. "KOK BISA?" Tanyanya tak santai yang langsung mendapat tatapan kesal pengunjung café. Mereka memang sengaja mampir setelah pulang kerja."Kemarin Nila ketemu sama orang tua saya, dan mereka nanya soal statu-""Nila? Cewek? Lo mau nikah sama cewek?"Untungnya kali ini Abas bisa mengont
“Kapan saya bisa bertemu orang tua kamu?”Nila langsung nyengir mendengar pertanyaan Biru. “Kamu sebenarnya langsung lulus kualifikasi Bunda.”Biru mengernyitkan keningnya, “Maksudnya?”“Bunda itu suka sama yang tampan, kamu kan tampan.” Nila menyeringai, “Pake – banget.” Tambahnya.Biru tersenyum geli, sebenarnya selalu merasa takjub bagaimana santai-nya Nila menanggapi segala hal. Seakan tak ada satupun masalah dalam kehidupan gadis itu. “Jadi, kapan?”“Astaga, Biru kamu barusan kedengaran ngebet banget.” Nila menatap Biru dengan tatapan jenaka, “Jangan bilang, sekarang kamu udah naksir aku? Tunggu – seingatku, jenis kelaminku masih perempuan.”Biru mendengus, h
Nila tersenyum lebar, tadi bahkan Cakra sudah mengejeknya dengan mengatakan bahwa Nila orang gila. Tapi, Nila gak perduli. Toh, dia kan Adiknya Cakra jadi otomatis Cakra juga ikutan gak waras.Alasan Nila bahagia? Tentu saja gak jauh-jauh dari Biru yang pagi ini udah duduk manis di ruang tamu kediamannya. Soal restu? Aman! Bunda bahkan langsung menawari Biru untuk menikahi Nila secara Siri kalau Biru malu. Memang Bundanya agak mirip germo, rela aja ngejual anaknya asal calonnya cakep.Jadi, pagi ini Biru menjemput Nila untuk jalan alias nge-date. Kata Biru sih supaya saling mengenal, tapi dipikiran Nila udah tersusun rapi segala jenis makanan yang mau dia cicipi.“Kita mau kemana?” Nila langsung bertanya padahal dia baru aja duduk di mobil Biru. Biru senyum, kayanya emang tipe cow
Biru masih mengikuti langkah gadis didepannya. Hari ini Nila terlihat santai dengan dress yang dikenakannya, gadis itu bahkan berkali-kali melompat kecil membuat Biru jadi gemas sendiri. “Mas, calon istrinya kelihatan seneng ya?” Chef yang ditunjuk Mama Biru untuk menjadi juru masak pada pernikahan mereka tersenyum membuat Biru menggeleng. “Saya jauh lebih senang karna nikah sama dia, Pak.” Chef itu mendengus, “Biasanya yang dateng kesini selalu ribut. Berantem untuk milih makanan yang cocok disajikan pas acara, eh Mas sama pasangannya kelihatan anteng.” “Saya percaya kalau dia adalah pilihan terbaik untuk jadi istri saya. Jadi, saya juga bakalan percaya apapun pilihan dia.” Nila yang tak sengaja mendengar perkataan Biru langsung mendengus, “Kamu malah kelihatan kaya bucin.”
Rumah Nila hari ini penuh, karna nanti malam akan ada acara makan malam untuk kerabat dekat dan teman. Kara sama Bita udah membantu sejak pagi, Bita bahkan rela menutup cafe miliknya demi hari ini. “Nila mana sih?” Kara cukup kesulitan membantu dengan perutnya yang makin besar, Bita yang berada disebelahnya menggeleng. “Masih tidur, mungkin.” Kara langsung mendelik, “Kita rela-relain datang pagi tapi yang punya rumah malah molor? Keterlaluan!” Wanita itu baru berniat memanggil Nila tapi sapaan dari pintu membuatnya berhenti. “Permisi! Pagi!” Bita menatap dua orang wanita yang berada di depan pintu dengan tersenyum. “Cari siapa ya?” Bunda memang tengah pergi berbelanja jadi di rumah ini hanya ada Bita, Kara dan Nila – yang masih tidur. Salah satu wanita tersenyum ke arah Bita, “Ini benar rumahnya Nila?”
"Biruuuu..." Laki-laki itu meringis melihat wajah kelelahan gadis disebelahnya. "Mau minum? Saya ambilin ya?" Tawarnya tapi langsung dibalas gelengan Nila. "Capek, lama banget selesainya." Biru dan Nila memang sedang melaksanakan resepsi pernikahan mereka, niatnya hanya mengundang orang terdekat tapi para orang tua rupanya punya rencana lain. Alhasil, sampai jam menunjukkan pukul 22.00 tamu juga masih berdatangan. "Sini," Biru menarik kepala Nila agar bersandar di bahunya, "Gak bikin capek kamu hilang. Tapi, kamu bisa istirahat sebentar." Nila langsung tersenyum dan memejamkan matanya. Dia cukup lelah sampai tak sanggup menggoda seperti biasa. "Heh, pengantin baru! Masih banyak tamu, gak usah sok mesra!" Nila membuka matanya dan mendengus kesal ke arah Karis yang datang bersama pasangannya. Mata gadis itu menyipit ketika
Biru berjalan menuju kebun yang berada disebelah kiri rumah, didepannya ada Cakra yang memang meminta Biru untuk mengikutinya. “Kenapa Mas?” Cakra memandang Biru dengan seksama sebelum berdecak, “Tsk! Mas gak tahu apa yang sebenarnya kalian berdua rencanakan.” Biru menegang di posisi duduknya. Dia kira Cakra tidak akan sepeka ini. “Maksud Mas?” Biru mempertahankan sikap pura-puranya. “Biru, Mas ini Abangnya Nila. Mas yang berdiri di samping Bunda ketika Nila lahir pertama kali ke dunia ini. Mas tahu, gimana dan apa aja pikiran Adik Mas.” Cakra menggeleng lemah, “Mas tahu, kalau kalian menikah tanpa rasa. Tapi, Mas juga tahu kalau kalian akan berhasil.” Biru menatap Cakra bingung, dia kira Cakra akan menyuruhnya untuk menghentikan rencana pernikahan ini. Cakra mendengus, “Mas memang gak suka pernikahan ta
Rumah Nila hari ini penuh, karna nanti malam akan ada acara makan malam untuk kerabat dekat dan teman. Kara sama Bita udah membantu sejak pagi, Bita bahkan rela menutup cafe miliknya demi hari ini. “Nila mana sih?” Kara cukup kesulitan membantu dengan perutnya yang makin besar, Bita yang berada disebelahnya menggeleng. “Masih tidur, mungkin.” Kara langsung mendelik, “Kita rela-relain datang pagi tapi yang punya rumah malah molor? Keterlaluan!” Wanita itu baru berniat memanggil Nila tapi sapaan dari pintu membuatnya berhenti. “Permisi! Pagi!” Bita menatap dua orang wanita yang berada di depan pintu dengan tersenyum. “Cari siapa ya?” Bunda memang tengah pergi berbelanja jadi di rumah ini hanya ada Bita, Kara dan Nila – yang masih tidur. Salah satu wanita tersenyum ke arah Bita, “Ini benar rumahnya Nila?”
Biru masih mengikuti langkah gadis didepannya. Hari ini Nila terlihat santai dengan dress yang dikenakannya, gadis itu bahkan berkali-kali melompat kecil membuat Biru jadi gemas sendiri. “Mas, calon istrinya kelihatan seneng ya?” Chef yang ditunjuk Mama Biru untuk menjadi juru masak pada pernikahan mereka tersenyum membuat Biru menggeleng. “Saya jauh lebih senang karna nikah sama dia, Pak.” Chef itu mendengus, “Biasanya yang dateng kesini selalu ribut. Berantem untuk milih makanan yang cocok disajikan pas acara, eh Mas sama pasangannya kelihatan anteng.” “Saya percaya kalau dia adalah pilihan terbaik untuk jadi istri saya. Jadi, saya juga bakalan percaya apapun pilihan dia.” Nila yang tak sengaja mendengar perkataan Biru langsung mendengus, “Kamu malah kelihatan kaya bucin.”
Nila tersenyum lebar, tadi bahkan Cakra sudah mengejeknya dengan mengatakan bahwa Nila orang gila. Tapi, Nila gak perduli. Toh, dia kan Adiknya Cakra jadi otomatis Cakra juga ikutan gak waras.Alasan Nila bahagia? Tentu saja gak jauh-jauh dari Biru yang pagi ini udah duduk manis di ruang tamu kediamannya. Soal restu? Aman! Bunda bahkan langsung menawari Biru untuk menikahi Nila secara Siri kalau Biru malu. Memang Bundanya agak mirip germo, rela aja ngejual anaknya asal calonnya cakep.Jadi, pagi ini Biru menjemput Nila untuk jalan alias nge-date. Kata Biru sih supaya saling mengenal, tapi dipikiran Nila udah tersusun rapi segala jenis makanan yang mau dia cicipi.“Kita mau kemana?” Nila langsung bertanya padahal dia baru aja duduk di mobil Biru. Biru senyum, kayanya emang tipe cow
“Kapan saya bisa bertemu orang tua kamu?”Nila langsung nyengir mendengar pertanyaan Biru. “Kamu sebenarnya langsung lulus kualifikasi Bunda.”Biru mengernyitkan keningnya, “Maksudnya?”“Bunda itu suka sama yang tampan, kamu kan tampan.” Nila menyeringai, “Pake – banget.” Tambahnya.Biru tersenyum geli, sebenarnya selalu merasa takjub bagaimana santai-nya Nila menanggapi segala hal. Seakan tak ada satupun masalah dalam kehidupan gadis itu. “Jadi, kapan?”“Astaga, Biru kamu barusan kedengaran ngebet banget.” Nila menatap Biru dengan tatapan jenaka, “Jangan bilang, sekarang kamu udah naksir aku? Tunggu – seingatku, jenis kelaminku masih perempuan.”Biru mendengus, h
"Gimana caranya jadi Hetero?" Mungkin kalau Abas lagi minum airnya bakalan muncrat. Untunglah sekarang Abas cuma duduk sambil menatap Biru yang kelihatan beneran serius dengan pertanyaan tadi. "Gue kena prank?"Biru menghela nafasnya sebelum kembali berkata. "Saya mau nikah."Lagi-lagi Abas melongo - dengan tak indahnya. Rahangnya terbuka lebar dengan tatapan mata yang tak kalah lebarnya. Butuh beberapa menit sampai Abas bisa merespon. "Lo serius?"Dan anggukan Biru tak membuat kekagetan Abas sirna. "KOK BISA?" Tanyanya tak santai yang langsung mendapat tatapan kesal pengunjung café. Mereka memang sengaja mampir setelah pulang kerja."Kemarin Nila ketemu sama orang tua saya, dan mereka nanya soal statu-""Nila? Cewek? Lo mau nikah sama cewek?"Untungnya kali ini Abas bisa mengont
"Nila.." suara Biru langsung terdengar ketika Nila membuka pintu mobilnya, "Ya?""Soal yang tadi."Nila menggeleng, merasa gemas karna Biru tampak sekali memikirkan soal pembicaraan mereka sebelumnya. "Kamu pikirkan dulu aja baik-baik. Tapi, aku nunggu kabar baiknya.""Kamu bahkan gak percay—"Nila menggeleng membuat Biru menghentikan ucapannya, "Sebaiknya kamu pulang dulu deh. Pasti kabar soal Papa kamu yang masuk Rumah sakit udah menyita pikiran kamu banget. Jadi, kesampingkan aja dulu masalah yang tadi.""Tap—"Nila kembali menggeleng membuat Biru terpaksa mengangguk dan menyetujui saran Nila. "Bisa kita bicarakan besok?"Nila tersenyum jahil, "Bahkan belum ada sepuluh detik aku berdiri dari kursi penumpang dan kamu udah kangen aja sama aku. Wah, aku gak tahu kalau efekku segininya buat kamu."Biru akhirnya menarik sudut bibir membentuk senyuman, Nila meletakkan lengannya di jendela mobil Biru. "Kamu leb
"Nila, kita ke rumah sakit dulu." Mobil yang tadinya mengarah ke kantor Nila berubah haluan, Nila melirik ke arah Biru yang kelihatan panik dan cemas. Mau tanya, tapi takut dibilang kepo. Akhirnya Nila hanya bisa untuk mengingatkan Biru soal keselamatan mereka berdua. "Jangan ngebut, nanti kita kesana malah jadi pasien." Biru tersentak, mungkin baru sadar kalau sekarang ia tengah membawa orang lain di sebelahnya. "Maaf, nanti setelah sampai disana kamu bakalan saya antar." Nila menggeleng, "Gak masalah, aku baru aja minta izin." "Kamu sakit?" Nila tertawa geli bisa-bisanya setelah kepanikan tadi, Biru malah mengkhawatirkan dirinya. "Nggak, mau nemenin kamu." "Nemenin?" "Di izinkan kok, kan nemenin calon suami." Biru tersenyum, tampaknya sudah terbiasa dengan segala hal tak terduga yang terdengar dari bibir mungil gadis itu. "Maaf ya." Nila menggelengkan kepalanya terlihat bosan, "Biru! Sekali la