"Lo tau kan kalau bisa cerita apa aja sama gue?" Biru menatap ke arah sahabatnya dengan pandangan bingung. "Siapa yang ada masalah?"
"Lo lah! Yang dari kemarin kerjaannya berantakan emangnya bukan lo?" Abas tersenyum mengejek membuat Biru terdiam.
Kemarin memang hampir seluruh kerjanya tidak berjalan sebaik biasanya. Biru bahkan hampir menghapus daftar lokasi pemasaran produk Perusahaannya dan kalau itu terjadi, mungkin Biru bakalan di pecat tanpa pesangon sedikitpun.
"Kemarin ada cewek yang datang."
"Cewek? Ini lo lagi ngomongin soal lawan jenis kan?" Biru mengabaikan pertanyaan Abas yang menurutnya tak perlu dijawab.
"Dia ngajak nikah."
Wajah Abas melongo yang benar-benar melongo. Bibirnya terbuka dengan tatapan kaget.
"Nikah?"
Biru mengangguk, "Iya. Saya gak tahu dia bercanda atau serius."
"Bercanda itu pasti," Abas menepuk pundak Biru. "Lagipula, lo kan gak naksir cewek."
Memang cuma Abas yang tahu fakta ini dan masih bertahan untuk menjadi temannya. Abas sempat kaget waktu pertama kali, Biru memberitahukannya.
Tapi, Biru masih ingat jelas apa respon Abas waktu itu. "Orientasi lo, gak bikin nilai lo sebagai manusia dan temen gue menghilang. Justru gue makin kagum dan seneng temenan sama lo. Lo cerita, tandanya lo percaya sama gue. Temen macam apa yang malah kabur pas temennya percaya sama dia?"
Setelah itu mereka kembali seperti biasa, seakan Abas gak pernah tahu soal Biru yang suka laki-laki.
"Dia juga tahu saya gak suka perempuan."
Sebelum Abas bertanya bagaimana gadis itu tahu, Biru menjelaskan. "Saya bilang waktu itu. Langsung didepannya."
Abas menggeleng dan berdecak, "Tsk! Lo mestinya kurang-kurangin sikap jujur lo. Gak semua orang bakalan santai nanggepin orang yang statusnya sedikit berbeda."
"Tapi, saya bakalan merasa bersalah ketika berbohong cuma untuk kebaikan saya sendiri. Semua orang bebas dengan perasaannya, tapi semua orang perlu mendapat kejujuran tentang pengakuannya."
Abas menggeleng dengan takjub, "Lo tau, mungkin kalau orientasi lo gak melenceng bukan gue yang jadi cassanova. Tapi, lo."
Biru memandang Abas dengan aneh, "Memangnya tipe idaman gadis-gadis itu pria Gay?"
Abas tertawa mendengar pertanyaan Biru barusan. Tiba-tiba pintu ruangan Biru terbuka dan sosok Asta sudah berdiri disana. "Bas, lo kemana aja? Dicariin sama Bos."
Abas melirik ke arah Biru sekilas, "Gue ntar mampir." Setelah itu dia beranjak keluar, meninggalkan Asta yang masih di ruangannya. "Cerita apa sih? Kok gak bagi-bagi ke gue?"
"Bukan apa-apa. Gak balik?"
"Dih! Sama gue aja, ngusir." Asta melambaikan tangannya kemudian menutup pintu.
Asta memang sedikit kepo, tapi Biru nyaman berteman dengannya. Dan, dia gak siap kalau mesti kehilangan teman sebaik Asta. Makanya dia belum memberitahu soal orientasi-nya ke Asta.
Biru langsung duduk dari posisi tegapnya, Biru memang gak suka wanita tapi bukan berarti dia pernah menjalin hubungan dengan pria. Biru selalu meyakinkan dirinya kalau semua pemikiran dan perasaannya terhadap pria itu salah, tapi itu sebelum dia bertemu dengan Trey. Trey adalah salah satu temannya semasa kuliah dulu. Dia pria yang cerdas dan gampang bergaul membuat siapa saja senang dengan dirinya. Termasuk Biru.
Biru kira dia cuma merasa kagum dengan Trey, wajar karna siapapun bakalan kagum dengan sosok yang bisa diandalkan begitu. Tapi, waktu dia mendengar kabar kalau Trey mau bertunangan ada perasaan sedih dan sakit di hatinya.
Saat dia cerita ke Abas, temannya itu malah berseru heboh dengan mengatakan kalau Biru akhirnya jatuh cinta. Lucu, jatuh cinta yang normal itu sama lawan jenis. Kalau Biru naksirnya sama sejenis apa itu disebut bangun cinta? Dia kan sedang mencoba untuk membangun cinta yang paling tidak normal.
Biru jadi tersenyum sendiri dengan pemikirannya.
Pintu ruangannya kembali terbuka dan ada Manajer Operasional di hadapannya, "Biru, kemarin kata Satria lo ketemu Nila berarti kenal kan? Tolong jemput dia dong."
°°°°
Nila gak suka hujan, menurutnya hujan akan membuat dirinya sakit. Sewaktu kecil, Nila bahkan gak pernah mandi hujan karna hal itu. Tapi, daripada hujan Nila jauh lebih gak suka dengan petir. Kilat yang disertai petir apalagi.
Dan sekarang, Nila mesti terjebak di halte diantara hujan, petir dan kilat yang menyambar.
Lengkap sekali penderitaanya.
Kalau saja, ban mobil Nila gak bocor dan kalau saja dia gak disuruh untuk bertemu salah satu stasiun TV dekat halte ini maka Nila mungkin akan baik-baik saja. Bukannya kebasahan dan ketakutan seperti sekarang.
Tadi dia sudah menelpon Abangnya untuk menjemputnya, tapi gak tau kemana sosok laki-laki menjulang itu. Tak lama ada mobil berwarna gelap yang berhenti dihadapannya, Nila gak kenal sama mobil ini. Kalau taksi, kayanya gak mungkin soalnya mobil itu kelihatan mahal dan terawat. Jendela mobil diturunkan dan Nila langsung melongo.
"Eh? Siapa ya? Aku lupa!"
"Masuk dulu, hujan."
Nila langsung membuka pintu mobil dan berniat duduk sebelum dia sadar kalau dirinya basah. "Gak usah deh, basah."
"Naik." Perintah laki-laki itu membuat Nila terpaksa menurut, "Kalau nanti ada yang mesti diganti bilang aja ya."
"Mau diantar kemana? Langsung pulang?" Tanya laki-laki itu mengabaikan ucapan Nila tadi. "Rumahnya ke arah mana?"
"Jangan pulang, masih ada kerjaan. Serius deh, aku lupa nama kamu. Tapi, kok kamu bisa tau kalau aku di halte?"
Laki-laki itu memandang Nila dengan tatapan aneh. "Kamu lupa sama nama orang yang kamu ajak nikah?"
Nila tertawa, dia memang cukup kesulitan mengingat nama orang yang baru ditemuinya. "Sorry, aku sedikit pelupa. Tapi, kamu gak sengaja lihat aku di jalan?"
"Biru. Nama saya Biru dan saya diminta Mas Cakra untuk jemput kamu. Soalnya beliau, Mas Satria sama Mas Karis ada rapat internal."
Nila mengangguk paham, "Oke, makasih ya Biru."
Biru sedikit tersihir dengan senyuman yang diberikan Nila barusan. Walau dia tak pernah tertarik dengan perempuan, tapi dia tahu kalau Nila termasuk cantik diantara semua perempuan yang pernah dilihatnya.
"Jadi gimana?"
"Apanya?"
"Soal tawaran menikah itu dong!" Nila mengingil tapi dia masih sempat memandang Biru dengan tatapan kesal.
"Maaf, saya lupa matiin AC-nya."
Laki-laki itu mengambil Jas miliknya yang berada di pangkuannya, "Saya gak ada selimut. Kamu pakai ini dulu ya."
Nila menerima itu dengan tersenyum, "Tuh! Kamu perhatian, aku makin serius ngajakin kamu nikah nih."
Biru menggeleng dan ikut tersenyum, "Saya kagum kamu masih kekeuh ngajak nikah padahal beberapa menit yang lalu, kamu bahkan lupa nama saya."
Nila tertawa mendengar sindiran Biru, menurutnya Biru gampang untuk diajak berbicara. Poin plus lainnya untuk Biru di mata Nila.
"Bukan bagian aku untuk menghapalkan nama di ijab qabul nanti." Kilah Nila, "Lain kali gak akan lupa deh." Janjinya membuat Biru tersenyum tipis.
"Jadi, mau diantar kemana?"
"Ke Mall!" Seru Nila semangat, "Mau beli pakaian soalnya habis ini ada rapat."
"Kamu kan habis kehujanan, gak mau langsung pulang aja? Saya takut kamu demam."
Nila tertawa geli, " Biru, kamu yakin Gay?"
Biru sedikit tersentak ketika mendengar secara langsung ada yang menyebutnya Gay. "Kenapa?" Tanyanya.
"Perlakuan kamu malah bikin aku mikir, kalau kamu itu Playboy bukannya Gay. Soalnya tingkah kamu terlalu manis."
Biru langsung tersenyum, sepertinya senyum Nila gampang menular.
Dan Biru tak masalah untuk tertular.
Tbc
"Nila, kita ke rumah sakit dulu." Mobil yang tadinya mengarah ke kantor Nila berubah haluan, Nila melirik ke arah Biru yang kelihatan panik dan cemas. Mau tanya, tapi takut dibilang kepo. Akhirnya Nila hanya bisa untuk mengingatkan Biru soal keselamatan mereka berdua. "Jangan ngebut, nanti kita kesana malah jadi pasien." Biru tersentak, mungkin baru sadar kalau sekarang ia tengah membawa orang lain di sebelahnya. "Maaf, nanti setelah sampai disana kamu bakalan saya antar." Nila menggeleng, "Gak masalah, aku baru aja minta izin." "Kamu sakit?" Nila tertawa geli bisa-bisanya setelah kepanikan tadi, Biru malah mengkhawatirkan dirinya. "Nggak, mau nemenin kamu." "Nemenin?" "Di izinkan kok, kan nemenin calon suami." Biru tersenyum, tampaknya sudah terbiasa dengan segala hal tak terduga yang terdengar dari bibir mungil gadis itu. "Maaf ya." Nila menggelengkan kepalanya terlihat bosan, "Biru! Sekali la
"Nila.." suara Biru langsung terdengar ketika Nila membuka pintu mobilnya, "Ya?""Soal yang tadi."Nila menggeleng, merasa gemas karna Biru tampak sekali memikirkan soal pembicaraan mereka sebelumnya. "Kamu pikirkan dulu aja baik-baik. Tapi, aku nunggu kabar baiknya.""Kamu bahkan gak percay—"Nila menggeleng membuat Biru menghentikan ucapannya, "Sebaiknya kamu pulang dulu deh. Pasti kabar soal Papa kamu yang masuk Rumah sakit udah menyita pikiran kamu banget. Jadi, kesampingkan aja dulu masalah yang tadi.""Tap—"Nila kembali menggeleng membuat Biru terpaksa mengangguk dan menyetujui saran Nila. "Bisa kita bicarakan besok?"Nila tersenyum jahil, "Bahkan belum ada sepuluh detik aku berdiri dari kursi penumpang dan kamu udah kangen aja sama aku. Wah, aku gak tahu kalau efekku segininya buat kamu."Biru akhirnya menarik sudut bibir membentuk senyuman, Nila meletakkan lengannya di jendela mobil Biru. "Kamu leb
"Gimana caranya jadi Hetero?" Mungkin kalau Abas lagi minum airnya bakalan muncrat. Untunglah sekarang Abas cuma duduk sambil menatap Biru yang kelihatan beneran serius dengan pertanyaan tadi. "Gue kena prank?"Biru menghela nafasnya sebelum kembali berkata. "Saya mau nikah."Lagi-lagi Abas melongo - dengan tak indahnya. Rahangnya terbuka lebar dengan tatapan mata yang tak kalah lebarnya. Butuh beberapa menit sampai Abas bisa merespon. "Lo serius?"Dan anggukan Biru tak membuat kekagetan Abas sirna. "KOK BISA?" Tanyanya tak santai yang langsung mendapat tatapan kesal pengunjung café. Mereka memang sengaja mampir setelah pulang kerja."Kemarin Nila ketemu sama orang tua saya, dan mereka nanya soal statu-""Nila? Cewek? Lo mau nikah sama cewek?"Untungnya kali ini Abas bisa mengont
“Kapan saya bisa bertemu orang tua kamu?”Nila langsung nyengir mendengar pertanyaan Biru. “Kamu sebenarnya langsung lulus kualifikasi Bunda.”Biru mengernyitkan keningnya, “Maksudnya?”“Bunda itu suka sama yang tampan, kamu kan tampan.” Nila menyeringai, “Pake – banget.” Tambahnya.Biru tersenyum geli, sebenarnya selalu merasa takjub bagaimana santai-nya Nila menanggapi segala hal. Seakan tak ada satupun masalah dalam kehidupan gadis itu. “Jadi, kapan?”“Astaga, Biru kamu barusan kedengaran ngebet banget.” Nila menatap Biru dengan tatapan jenaka, “Jangan bilang, sekarang kamu udah naksir aku? Tunggu – seingatku, jenis kelaminku masih perempuan.”Biru mendengus, h
Nila tersenyum lebar, tadi bahkan Cakra sudah mengejeknya dengan mengatakan bahwa Nila orang gila. Tapi, Nila gak perduli. Toh, dia kan Adiknya Cakra jadi otomatis Cakra juga ikutan gak waras.Alasan Nila bahagia? Tentu saja gak jauh-jauh dari Biru yang pagi ini udah duduk manis di ruang tamu kediamannya. Soal restu? Aman! Bunda bahkan langsung menawari Biru untuk menikahi Nila secara Siri kalau Biru malu. Memang Bundanya agak mirip germo, rela aja ngejual anaknya asal calonnya cakep.Jadi, pagi ini Biru menjemput Nila untuk jalan alias nge-date. Kata Biru sih supaya saling mengenal, tapi dipikiran Nila udah tersusun rapi segala jenis makanan yang mau dia cicipi.“Kita mau kemana?” Nila langsung bertanya padahal dia baru aja duduk di mobil Biru. Biru senyum, kayanya emang tipe cow
Biru masih mengikuti langkah gadis didepannya. Hari ini Nila terlihat santai dengan dress yang dikenakannya, gadis itu bahkan berkali-kali melompat kecil membuat Biru jadi gemas sendiri. “Mas, calon istrinya kelihatan seneng ya?” Chef yang ditunjuk Mama Biru untuk menjadi juru masak pada pernikahan mereka tersenyum membuat Biru menggeleng. “Saya jauh lebih senang karna nikah sama dia, Pak.” Chef itu mendengus, “Biasanya yang dateng kesini selalu ribut. Berantem untuk milih makanan yang cocok disajikan pas acara, eh Mas sama pasangannya kelihatan anteng.” “Saya percaya kalau dia adalah pilihan terbaik untuk jadi istri saya. Jadi, saya juga bakalan percaya apapun pilihan dia.” Nila yang tak sengaja mendengar perkataan Biru langsung mendengus, “Kamu malah kelihatan kaya bucin.”
Rumah Nila hari ini penuh, karna nanti malam akan ada acara makan malam untuk kerabat dekat dan teman. Kara sama Bita udah membantu sejak pagi, Bita bahkan rela menutup cafe miliknya demi hari ini. “Nila mana sih?” Kara cukup kesulitan membantu dengan perutnya yang makin besar, Bita yang berada disebelahnya menggeleng. “Masih tidur, mungkin.” Kara langsung mendelik, “Kita rela-relain datang pagi tapi yang punya rumah malah molor? Keterlaluan!” Wanita itu baru berniat memanggil Nila tapi sapaan dari pintu membuatnya berhenti. “Permisi! Pagi!” Bita menatap dua orang wanita yang berada di depan pintu dengan tersenyum. “Cari siapa ya?” Bunda memang tengah pergi berbelanja jadi di rumah ini hanya ada Bita, Kara dan Nila – yang masih tidur. Salah satu wanita tersenyum ke arah Bita, “Ini benar rumahnya Nila?”
Biru berjalan menuju kebun yang berada disebelah kiri rumah, didepannya ada Cakra yang memang meminta Biru untuk mengikutinya. “Kenapa Mas?” Cakra memandang Biru dengan seksama sebelum berdecak, “Tsk! Mas gak tahu apa yang sebenarnya kalian berdua rencanakan.” Biru menegang di posisi duduknya. Dia kira Cakra tidak akan sepeka ini. “Maksud Mas?” Biru mempertahankan sikap pura-puranya. “Biru, Mas ini Abangnya Nila. Mas yang berdiri di samping Bunda ketika Nila lahir pertama kali ke dunia ini. Mas tahu, gimana dan apa aja pikiran Adik Mas.” Cakra menggeleng lemah, “Mas tahu, kalau kalian menikah tanpa rasa. Tapi, Mas juga tahu kalau kalian akan berhasil.” Biru menatap Cakra bingung, dia kira Cakra akan menyuruhnya untuk menghentikan rencana pernikahan ini. Cakra mendengus, “Mas memang gak suka pernikahan ta
"Biruuuu..." Laki-laki itu meringis melihat wajah kelelahan gadis disebelahnya. "Mau minum? Saya ambilin ya?" Tawarnya tapi langsung dibalas gelengan Nila. "Capek, lama banget selesainya." Biru dan Nila memang sedang melaksanakan resepsi pernikahan mereka, niatnya hanya mengundang orang terdekat tapi para orang tua rupanya punya rencana lain. Alhasil, sampai jam menunjukkan pukul 22.00 tamu juga masih berdatangan. "Sini," Biru menarik kepala Nila agar bersandar di bahunya, "Gak bikin capek kamu hilang. Tapi, kamu bisa istirahat sebentar." Nila langsung tersenyum dan memejamkan matanya. Dia cukup lelah sampai tak sanggup menggoda seperti biasa. "Heh, pengantin baru! Masih banyak tamu, gak usah sok mesra!" Nila membuka matanya dan mendengus kesal ke arah Karis yang datang bersama pasangannya. Mata gadis itu menyipit ketika
Biru berjalan menuju kebun yang berada disebelah kiri rumah, didepannya ada Cakra yang memang meminta Biru untuk mengikutinya. “Kenapa Mas?” Cakra memandang Biru dengan seksama sebelum berdecak, “Tsk! Mas gak tahu apa yang sebenarnya kalian berdua rencanakan.” Biru menegang di posisi duduknya. Dia kira Cakra tidak akan sepeka ini. “Maksud Mas?” Biru mempertahankan sikap pura-puranya. “Biru, Mas ini Abangnya Nila. Mas yang berdiri di samping Bunda ketika Nila lahir pertama kali ke dunia ini. Mas tahu, gimana dan apa aja pikiran Adik Mas.” Cakra menggeleng lemah, “Mas tahu, kalau kalian menikah tanpa rasa. Tapi, Mas juga tahu kalau kalian akan berhasil.” Biru menatap Cakra bingung, dia kira Cakra akan menyuruhnya untuk menghentikan rencana pernikahan ini. Cakra mendengus, “Mas memang gak suka pernikahan ta
Rumah Nila hari ini penuh, karna nanti malam akan ada acara makan malam untuk kerabat dekat dan teman. Kara sama Bita udah membantu sejak pagi, Bita bahkan rela menutup cafe miliknya demi hari ini. “Nila mana sih?” Kara cukup kesulitan membantu dengan perutnya yang makin besar, Bita yang berada disebelahnya menggeleng. “Masih tidur, mungkin.” Kara langsung mendelik, “Kita rela-relain datang pagi tapi yang punya rumah malah molor? Keterlaluan!” Wanita itu baru berniat memanggil Nila tapi sapaan dari pintu membuatnya berhenti. “Permisi! Pagi!” Bita menatap dua orang wanita yang berada di depan pintu dengan tersenyum. “Cari siapa ya?” Bunda memang tengah pergi berbelanja jadi di rumah ini hanya ada Bita, Kara dan Nila – yang masih tidur. Salah satu wanita tersenyum ke arah Bita, “Ini benar rumahnya Nila?”
Biru masih mengikuti langkah gadis didepannya. Hari ini Nila terlihat santai dengan dress yang dikenakannya, gadis itu bahkan berkali-kali melompat kecil membuat Biru jadi gemas sendiri. “Mas, calon istrinya kelihatan seneng ya?” Chef yang ditunjuk Mama Biru untuk menjadi juru masak pada pernikahan mereka tersenyum membuat Biru menggeleng. “Saya jauh lebih senang karna nikah sama dia, Pak.” Chef itu mendengus, “Biasanya yang dateng kesini selalu ribut. Berantem untuk milih makanan yang cocok disajikan pas acara, eh Mas sama pasangannya kelihatan anteng.” “Saya percaya kalau dia adalah pilihan terbaik untuk jadi istri saya. Jadi, saya juga bakalan percaya apapun pilihan dia.” Nila yang tak sengaja mendengar perkataan Biru langsung mendengus, “Kamu malah kelihatan kaya bucin.”
Nila tersenyum lebar, tadi bahkan Cakra sudah mengejeknya dengan mengatakan bahwa Nila orang gila. Tapi, Nila gak perduli. Toh, dia kan Adiknya Cakra jadi otomatis Cakra juga ikutan gak waras.Alasan Nila bahagia? Tentu saja gak jauh-jauh dari Biru yang pagi ini udah duduk manis di ruang tamu kediamannya. Soal restu? Aman! Bunda bahkan langsung menawari Biru untuk menikahi Nila secara Siri kalau Biru malu. Memang Bundanya agak mirip germo, rela aja ngejual anaknya asal calonnya cakep.Jadi, pagi ini Biru menjemput Nila untuk jalan alias nge-date. Kata Biru sih supaya saling mengenal, tapi dipikiran Nila udah tersusun rapi segala jenis makanan yang mau dia cicipi.“Kita mau kemana?” Nila langsung bertanya padahal dia baru aja duduk di mobil Biru. Biru senyum, kayanya emang tipe cow
“Kapan saya bisa bertemu orang tua kamu?”Nila langsung nyengir mendengar pertanyaan Biru. “Kamu sebenarnya langsung lulus kualifikasi Bunda.”Biru mengernyitkan keningnya, “Maksudnya?”“Bunda itu suka sama yang tampan, kamu kan tampan.” Nila menyeringai, “Pake – banget.” Tambahnya.Biru tersenyum geli, sebenarnya selalu merasa takjub bagaimana santai-nya Nila menanggapi segala hal. Seakan tak ada satupun masalah dalam kehidupan gadis itu. “Jadi, kapan?”“Astaga, Biru kamu barusan kedengaran ngebet banget.” Nila menatap Biru dengan tatapan jenaka, “Jangan bilang, sekarang kamu udah naksir aku? Tunggu – seingatku, jenis kelaminku masih perempuan.”Biru mendengus, h
"Gimana caranya jadi Hetero?" Mungkin kalau Abas lagi minum airnya bakalan muncrat. Untunglah sekarang Abas cuma duduk sambil menatap Biru yang kelihatan beneran serius dengan pertanyaan tadi. "Gue kena prank?"Biru menghela nafasnya sebelum kembali berkata. "Saya mau nikah."Lagi-lagi Abas melongo - dengan tak indahnya. Rahangnya terbuka lebar dengan tatapan mata yang tak kalah lebarnya. Butuh beberapa menit sampai Abas bisa merespon. "Lo serius?"Dan anggukan Biru tak membuat kekagetan Abas sirna. "KOK BISA?" Tanyanya tak santai yang langsung mendapat tatapan kesal pengunjung café. Mereka memang sengaja mampir setelah pulang kerja."Kemarin Nila ketemu sama orang tua saya, dan mereka nanya soal statu-""Nila? Cewek? Lo mau nikah sama cewek?"Untungnya kali ini Abas bisa mengont
"Nila.." suara Biru langsung terdengar ketika Nila membuka pintu mobilnya, "Ya?""Soal yang tadi."Nila menggeleng, merasa gemas karna Biru tampak sekali memikirkan soal pembicaraan mereka sebelumnya. "Kamu pikirkan dulu aja baik-baik. Tapi, aku nunggu kabar baiknya.""Kamu bahkan gak percay—"Nila menggeleng membuat Biru menghentikan ucapannya, "Sebaiknya kamu pulang dulu deh. Pasti kabar soal Papa kamu yang masuk Rumah sakit udah menyita pikiran kamu banget. Jadi, kesampingkan aja dulu masalah yang tadi.""Tap—"Nila kembali menggeleng membuat Biru terpaksa mengangguk dan menyetujui saran Nila. "Bisa kita bicarakan besok?"Nila tersenyum jahil, "Bahkan belum ada sepuluh detik aku berdiri dari kursi penumpang dan kamu udah kangen aja sama aku. Wah, aku gak tahu kalau efekku segininya buat kamu."Biru akhirnya menarik sudut bibir membentuk senyuman, Nila meletakkan lengannya di jendela mobil Biru. "Kamu leb
"Nila, kita ke rumah sakit dulu." Mobil yang tadinya mengarah ke kantor Nila berubah haluan, Nila melirik ke arah Biru yang kelihatan panik dan cemas. Mau tanya, tapi takut dibilang kepo. Akhirnya Nila hanya bisa untuk mengingatkan Biru soal keselamatan mereka berdua. "Jangan ngebut, nanti kita kesana malah jadi pasien." Biru tersentak, mungkin baru sadar kalau sekarang ia tengah membawa orang lain di sebelahnya. "Maaf, nanti setelah sampai disana kamu bakalan saya antar." Nila menggeleng, "Gak masalah, aku baru aja minta izin." "Kamu sakit?" Nila tertawa geli bisa-bisanya setelah kepanikan tadi, Biru malah mengkhawatirkan dirinya. "Nggak, mau nemenin kamu." "Nemenin?" "Di izinkan kok, kan nemenin calon suami." Biru tersenyum, tampaknya sudah terbiasa dengan segala hal tak terduga yang terdengar dari bibir mungil gadis itu. "Maaf ya." Nila menggelengkan kepalanya terlihat bosan, "Biru! Sekali la