"Aku mau kita pisah," putus Galang tanpa ragu.Bukan cuma Nona yang terkejut, tetapi aku dan Bunga juga lumayan terkesiap. Walau sudah menduga kalau hal ini bisa saja terjadi. Namun, kupikir tidak secepat ini."Lang, aku tahu kamu lagi marah, tapi tolong lihat situasi dan kondisi dulu." Nona minta dimaklumi, "aku memang salah karena sudah bohong tentang kehamilan ini. Tapi semua itu aku lakukan demi mempertahankan rumah tangga kita," tuturnya mencoba menghiba.Galang tersenyum miring. "Apah?" Galang menaruh telapak tangannya di kuping. Seolah kurang jelas mendengar. "Tujuan kamu bukan demi rumah tangga kita, tapi demi bisa mencari jalan untuk menghancurkan hubungan Gading dan istrinya," tuding Galang geram."Haaah? Apaaah?" Kali ini Bunga yang tersentak. Dia menghampiri Galang dan sang kakak. "Maksud kamu apa, Lang?" tanya Bunga serius.Galang menatap Bunga lekat. "Jadi, Nga, Embak kamu itu masih mencintai Gading. Masih ngarep bisa bersatu lagi.""Stop, Lang!" Nona berseru, "kamu bol
Bibir Nona mulai terlihat mencebik. Matanya pun tampak berembun. Pikiran negatif-ku mengatakan jika dia tengah menarik simpati."Dari dulu saya dan almarhum suami selalu membebaskan anak-anak untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Sama juga tentang memilih pasangan juga," tuturku selembut mungkin. Ini kulakukan agar Nona bisa mengerti dan tidak sakit hati. "Makanya, walaupun kemarin saya gak setuju Galang nikahi kamu, saya gak melarang. Karena saya pikir itu pilihan hati Galang yang sesungguhnya." "Aku tahu aku salah, Bu. Tapi, aku berhak untuk diberi maaf."Aku menarik napas dalam-dalam. Nona masih saja egois. "Galang juga berhak untuk bahagia, Non.""Gading dulu tidak mencintai Bunga, tapi sekarang dia sudah bisa menerima adik aku. Dan aku akan berusaha keras seperti Bunga untuk meluluhkan hati Galang, Bu," tekad Nona keras kepala."Saya paham kamu tipe wanita yang perfeksionis dan ambisius. Selalu berusaha untuk bisa meraih semua obsesi. Tapi ketahuilah ...." Aku menatap Nona
"Sar, Sariii!" Mas Arif memanggil nama sang istri. Namun, napas Sarita terus saja tersengal."Nyebut, Mbak." Aku berbisik di telinga wanita itu.Sarita tampak menggerakkan mulut. Namun, tidak jelas dia bicara apa. Hanya terdengar seperti racauan belaka."Sar, kamu harus tahan! Harus kuat demi anak-anak," bisik Mas Arif mulai terlihat cemas. Dia menggenggam erat jemari Sarita.Jujur aku pun ngeri lihat pemandangan ini. Rasanya ingin segera hengkang saja. Untung aku teringat call nurse.Aku langsung bergegas mendekat tombol yang terletak dekat headbed ranjang Sarita. Bel yang menempel di dinding itu lekas kupencet.Beberapa selang kemudian, seorang perawat datang dengan tergopoh-gopoh. Perempuan muda berseragam putih itu langsung memeriksa kondisi Sarita. Wajah suster tampak cemas."Saya panggil dokter dulu," pamit perawat itu membuat keputusan. Dirinya terburu-buru keluar lagi.Keadaan Sarita seperti orang sedang sekarat. Aku menjadi takut melihatnya. Lebih tepatnya tidak tega."Suruh
Di hari kesepuluh dirawat, Sarita baru diperbolehkan pulang. Keadaannya tidak jauh berbeda dari hari ke hari.Wanita itu hanya bisa duduk lemah di kursi roda. Tubuhnya mulai mengurus. Bicaranya tidak jelas. Wajahnya yang dulu begitu ayu kini berubah tirus dan kuyu.Pagi ini aku sedang menata sarapan. Galang mendekat dengan tampang yang kusut. Semalam sang istri mampir. Seperti biasa aku mendengar keduanya terlibat cekcok. Galang yang tetap teguh ingin berpisah. Sedangkan Nona yang ngotot minta bertahan.Nona sudah tidak tinggal di sini lagi. Hanya sesekali singgah untuk menemui Galang. Namun, kedatangan sang istri bagaikan teror untuk Galang. Pantas kalau pagi ini dia kusut masai.Tidak lama Gading dan Bunga datang menyusul. Putra sulungku terlihat begitu rapi dengan pakaian dinasnya. Sementara Bunga masih santai dengan baju tidurnya. Keduanya tampak berseri."Kalian kelihatan senang banget?" tegurku saat mendapati suami istri itu saling sengol-menyenggol lengan."Iya, Bu, ada aku sam
"Ibuuu!" Nona dan Bunga menjerit histeris. Keduanya syok menyaksikan ibu mereka jatuh berguling-guling hingga ke lantai dasar. Lebih parah lagi kepala Sarita membentur lantai dengan begitu keras. Aku bahkan sampai merinding saat mendengar bunyi gedebum itu. Benar-benar menggetarkan dada. Sehingga aku memilih untuk terpejam sesaat. "Sariii!" Aku membuka mata. Ternyata Mas Arif bergegas menolong sang istri. Lelaki itu membalik tubuh Sarita yang telungkup. Seketika bulu kudukku kembali meremang. Darah segar mengalir dari hidung serta dahi wanita itu. Aku yang memang takut pada darah langsung menyembunyikan wajah di balik punggung Galang. "Ibuuu!" Nona dan Bunga berlari menuruni anak tangga. Aku mengintip untuk melihat apa yang terjadi. Kedua anak Sarita langsung mengerumuni sang ibu. "Astaghfirullah hal adzim, Ibu!" Dari luar masuk asisten rumah tangga Mas Arif. Wanita bertubuh subur itu sampai harus membekap mulutnya. Saking dia kaget melihat kondisi sang nyonya majikan. "Bu, ba
"Cup-cup, Sayang!" Aku menimang-nimang Fawwaz yang masih tidak mau diam. "Ibu kamu cuma sebentar kok nganter utimu."Namanya masih bayi, Fawwaz mana mengerti omonganku. Anak itu terus menangis. Aku dan Simbok memilih masuk. Selain sudah mau maghrib, angin petang juga terasa cukup dingin."Mbok, coba lihat di tasnya Fawwaz. Mungkin Bunga bawa cadangan ASI dalam botol." Aku menyuruh karena tangis Fawwaz tidak juga reda."Nggih, Bu. Saya lihat dulu." Simbok mengangguk patuh.Wanita itu gegas naik ke kamar lama Bunga. Sembari menunggu kedatangan simbok, aku terus mendiamkan Fawwaz dengan sholawatan."Alhamdulillah ... ada niki, Bu." Di tangga simbok berseru girang. Perempuan itu menunjukan botol berisi ASI kemasan kecil."Alhamdulillah!" Aku menerima dengan senang. "Sudah sana gantian sholatnya, Mbok," suruhku pada pelayan Mas Arif itu."Nggih, Bu." Simbok pun berlalu.Fawwaz langsung menyedot susu botol yang kuberi dengan rakus. Aku tersenyum melihatnya. Momen ini mengingatkan kenangan d
"Saya gak bersalah, Pak," rengek Bunga tampak ketakutan."Anda bisa menjelaskannya di kantor," sahut Pak Polisi terdengar bersahabat."Tapi bukan saya yang mendorong ibu. Saya cuma--""Iya, Anda jelaskan semuanya di kantor, ya," sela Pak polisi tegas."Mas Gading ...." Air mata Bunga mulai berurai.Gading memandang istrinya dengan iba. "Mas akan temani kamu, jadi tenanglah," janjinya sembari menggenggam kuat jemari Bunga."Kalo begitu mari kita ke kantor segera!" ajak Pak polisi dengan tangan menyilakan.Gading menggandeng Bunga."Kamu yang tenang," pesanku saat Bunga akan keluar, "pasrah saja sama Gusti Allah, ya." Tanganku mengelus rambut bungsunya Mas Arif.Bunga mengangguk pasrah. Langkahnya berat meninggalkan rumah. Kami semua mengantar kepergian mereka hingga ke halaman depan."Nona, ikut ayah!" titah Mas Arif begitu mobil polisi dan Gading berlalu. Suara Mas Arif yang terdengar tegas membuat nyali Nona terlihat menciut. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya sebentar. Setelah
Aku dan Galang bangkit. Sebelum beranjak pergi, aku menyalami Juragan Amir beserta istrinya. Kedua orang itu berubah baik begitu melihat aku tulus membantu acara tujuh harinya Sarita.Mas Arif mengantar kami hingga depan. Pria itu menyuruh sopirnya untuk mengantar kami. Sebelum kami naik mobil, Mas Arif mengucapkan terima kasih."Kalo tidak ada kamu, entah apa yang terjadi. Pasti semua tidak bisa berjalan dengan baik," ucap Mas Arif terdengar tulus.Aku tersenyum menanggapi. "Sudah menjadi kewajibanku untuk membantu. Lagian mendiang Mbak Sari kan mertuanya anak-anak. Itu sama artinya dengan ibu Gading dan Galang juga.""Bu Rini."Aku menoleh. Tampak Simbok tengah menggendong Fawwaz. Bayi itu menangis hebat."Astaghfirullah hal adzim." Aku mengelus dada, "lha kok ya bisa aku lupa sama Fawwaz."Aku langsung merentangkan kedua tangan. Kuambil Fawwaz dari tangan simbok. "Oh ... Sayang. Cup-cup." Aku berusaha menenangkan bayi itu."Fawwaz biar di sini saja, Rin. Kasihan nanti kamu kecapek