Di hari kesepuluh dirawat, Sarita baru diperbolehkan pulang. Keadaannya tidak jauh berbeda dari hari ke hari.Wanita itu hanya bisa duduk lemah di kursi roda. Tubuhnya mulai mengurus. Bicaranya tidak jelas. Wajahnya yang dulu begitu ayu kini berubah tirus dan kuyu.Pagi ini aku sedang menata sarapan. Galang mendekat dengan tampang yang kusut. Semalam sang istri mampir. Seperti biasa aku mendengar keduanya terlibat cekcok. Galang yang tetap teguh ingin berpisah. Sedangkan Nona yang ngotot minta bertahan.Nona sudah tidak tinggal di sini lagi. Hanya sesekali singgah untuk menemui Galang. Namun, kedatangan sang istri bagaikan teror untuk Galang. Pantas kalau pagi ini dia kusut masai.Tidak lama Gading dan Bunga datang menyusul. Putra sulungku terlihat begitu rapi dengan pakaian dinasnya. Sementara Bunga masih santai dengan baju tidurnya. Keduanya tampak berseri."Kalian kelihatan senang banget?" tegurku saat mendapati suami istri itu saling sengol-menyenggol lengan."Iya, Bu, ada aku sam
"Ibuuu!" Nona dan Bunga menjerit histeris. Keduanya syok menyaksikan ibu mereka jatuh berguling-guling hingga ke lantai dasar. Lebih parah lagi kepala Sarita membentur lantai dengan begitu keras. Aku bahkan sampai merinding saat mendengar bunyi gedebum itu. Benar-benar menggetarkan dada. Sehingga aku memilih untuk terpejam sesaat. "Sariii!" Aku membuka mata. Ternyata Mas Arif bergegas menolong sang istri. Lelaki itu membalik tubuh Sarita yang telungkup. Seketika bulu kudukku kembali meremang. Darah segar mengalir dari hidung serta dahi wanita itu. Aku yang memang takut pada darah langsung menyembunyikan wajah di balik punggung Galang. "Ibuuu!" Nona dan Bunga berlari menuruni anak tangga. Aku mengintip untuk melihat apa yang terjadi. Kedua anak Sarita langsung mengerumuni sang ibu. "Astaghfirullah hal adzim, Ibu!" Dari luar masuk asisten rumah tangga Mas Arif. Wanita bertubuh subur itu sampai harus membekap mulutnya. Saking dia kaget melihat kondisi sang nyonya majikan. "Bu, ba
"Cup-cup, Sayang!" Aku menimang-nimang Fawwaz yang masih tidak mau diam. "Ibu kamu cuma sebentar kok nganter utimu."Namanya masih bayi, Fawwaz mana mengerti omonganku. Anak itu terus menangis. Aku dan Simbok memilih masuk. Selain sudah mau maghrib, angin petang juga terasa cukup dingin."Mbok, coba lihat di tasnya Fawwaz. Mungkin Bunga bawa cadangan ASI dalam botol." Aku menyuruh karena tangis Fawwaz tidak juga reda."Nggih, Bu. Saya lihat dulu." Simbok mengangguk patuh.Wanita itu gegas naik ke kamar lama Bunga. Sembari menunggu kedatangan simbok, aku terus mendiamkan Fawwaz dengan sholawatan."Alhamdulillah ... ada niki, Bu." Di tangga simbok berseru girang. Perempuan itu menunjukan botol berisi ASI kemasan kecil."Alhamdulillah!" Aku menerima dengan senang. "Sudah sana gantian sholatnya, Mbok," suruhku pada pelayan Mas Arif itu."Nggih, Bu." Simbok pun berlalu.Fawwaz langsung menyedot susu botol yang kuberi dengan rakus. Aku tersenyum melihatnya. Momen ini mengingatkan kenangan d
"Saya gak bersalah, Pak," rengek Bunga tampak ketakutan."Anda bisa menjelaskannya di kantor," sahut Pak Polisi terdengar bersahabat."Tapi bukan saya yang mendorong ibu. Saya cuma--""Iya, Anda jelaskan semuanya di kantor, ya," sela Pak polisi tegas."Mas Gading ...." Air mata Bunga mulai berurai.Gading memandang istrinya dengan iba. "Mas akan temani kamu, jadi tenanglah," janjinya sembari menggenggam kuat jemari Bunga."Kalo begitu mari kita ke kantor segera!" ajak Pak polisi dengan tangan menyilakan.Gading menggandeng Bunga."Kamu yang tenang," pesanku saat Bunga akan keluar, "pasrah saja sama Gusti Allah, ya." Tanganku mengelus rambut bungsunya Mas Arif.Bunga mengangguk pasrah. Langkahnya berat meninggalkan rumah. Kami semua mengantar kepergian mereka hingga ke halaman depan."Nona, ikut ayah!" titah Mas Arif begitu mobil polisi dan Gading berlalu. Suara Mas Arif yang terdengar tegas membuat nyali Nona terlihat menciut. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya sebentar. Setelah
Aku dan Galang bangkit. Sebelum beranjak pergi, aku menyalami Juragan Amir beserta istrinya. Kedua orang itu berubah baik begitu melihat aku tulus membantu acara tujuh harinya Sarita.Mas Arif mengantar kami hingga depan. Pria itu menyuruh sopirnya untuk mengantar kami. Sebelum kami naik mobil, Mas Arif mengucapkan terima kasih."Kalo tidak ada kamu, entah apa yang terjadi. Pasti semua tidak bisa berjalan dengan baik," ucap Mas Arif terdengar tulus.Aku tersenyum menanggapi. "Sudah menjadi kewajibanku untuk membantu. Lagian mendiang Mbak Sari kan mertuanya anak-anak. Itu sama artinya dengan ibu Gading dan Galang juga.""Bu Rini."Aku menoleh. Tampak Simbok tengah menggendong Fawwaz. Bayi itu menangis hebat."Astaghfirullah hal adzim." Aku mengelus dada, "lha kok ya bisa aku lupa sama Fawwaz."Aku langsung merentangkan kedua tangan. Kuambil Fawwaz dari tangan simbok. "Oh ... Sayang. Cup-cup." Aku berusaha menenangkan bayi itu."Fawwaz biar di sini saja, Rin. Kasihan nanti kamu kecapek
"Ada apa nih? Mukanya pada tegang-tegang begitu?" Galang yang baru keluar dari kamarnya memandang kami dengan heran. Anak itu tampak menenteng sneaker-nya. "Bunga baik-baik saja kan?" Dia bertanya lagi usai duduk di sampingku."Ini bukan tentang Bunga." Gading berkata sambil menaruh ponselnya pada meja."Terus tentang apa?" kejar Galang seraya memakai sepatu berwarna putihnya."Nona."Galang menghentikan tangannya. Dia mendongak untuk menatap sang kakak. "Memang dia kenapa?""Hari ini dia akan menjalani pemeriksaan. Semua bukti dan saksi mengarah padanya, tapi tadi ayah telepon dari semalam dia gak pulang," tutur Gading berhati-hati. Pastinya dia menjaga perasaan Galang. Karena bagaimanapun juga, Nona masih berstatus sebagai istri dari sang adik."Jadi maksudnya Nona kabur?" tanya Galang datar. Sama sekali tidak ada raut kekagetan pada parasnya. Dia dengan santai kembali meneruskan mengikat tali sepatu."Sepertinya begitu. Kamu tahu alamat teman dekatnya dia?""Gak." Galang menggeleng
"Mbak Nona bisa didakwa dengan pasal 359 KUHP atas kelalaiannya yang menyebabkan kematian seseorang. Ancamannya pidana kurungan paling lama satu sampai lima tahun penjara," terang Pak Pengacara lugas.Wajah Mas Arif tampak pias mendengarnya. Pria yang beberapa hari ini terlihat lebih kurus itu menutup wajahnya. Sepertinya dia tengah dilanda kalut."Assalamualaikum!""Nah ... sepertinya itu suara Gading," ujarku begitu mendengar suara salam dan ketukan pintu, "sebentar saya lihat dulu."Aku bangkit dari duduk. Kaki ini melangkah pintu. Benar dugaanku yang datang adalah Gading.Anak itu melempar senyum manis untukku. Wajahnya benar-benar berseri. Dirinya langsung mendekati sang mertua dan pengacara untuk bersalaman."Saya ganti baju dulu, Yah, Pak," pamit Gading santun.Dia buru-buru melangkah ke kamarnya. Tidak sampai sepuluh menit Gading sudah kembali. Lelaki itu telah mengganti seragam cokelatnya dengan kemeja garis-garis vertikal berwarna biru navy."Ayo berangkat, Yah!" ajak Gadin
"Yan, kamu lagi gak guyon toh?" Aku memastikan dengan serius."Lho ... Mbak Rini kok iso ngomong gitu?" Aryanti sepertinya heran dengan maksud pertanyaanku."Gini lho, Yan, Nona ki gak kenal kamu. Lah kok bisa-bisanya nyampe di situ?" tanyaku tidak habis pikir."Oh ... itu." Sepertinya Aryanti langsung paham arah pertanyaanku. "Nona memang gak kenal aku, tapi dia kan kenal Bening," terangnya sambil menyebut nama putri sulungnya."Lah kok iso?" Lagi-lagi aku bingung dibuatnya, "mereka kan gak pernah ketemu ... eh pernah ding, tapi cuma sekali waktu nikahannya Galang kemarin," tuturku meralat omongan sendiri."Nah ... itu, Mbak," sahut Aryanti membenarkan perkataanku, "si Bening juga cerita begitu. Tapi tiga hari yang lalu tiba-tiba mantumu itu hubungi dia, Mbak.""Sebentar-sebentar! Maksudnya pie kok ujug-ujug Nona bisa hubungi Bening? Tahu darimana dia nomor anakmu?""Mereka itu anak muda, Mbak. Pastinya pada main medsos.""Terus?""Kebetulan si Bening kan jualan baju-baju dan hijab s
Apa?" Aku, Mas Arif, dan Nona serempak bertanya."Itu ... eee ... Bunga ... Bunga hamil lagi, Bu, Yah," jawab Gading sedikit ragu. "Sudah delapan minggu.""Owalah mau ngomong itu aja lama bener," ujarku sambil menggeleng heran."Habisnya aku malu, Bu," aku Bunga sedikit menunduk."Malu kenapa?" Lagi-lagi kami bertiga menyahut kompak."Ya itu ... Fawwaz belum juga berumur dua tahun, malah sudah hamil lagi," tutur Bunga terlihat bersalah."Wong hamil punya suami kok malu." Mas Arif menanggapi dengan santai. Pria itu menyerahkan cucunya pada sang ibu. Dia mulai menikmati sarapannya sendiri."Oh ya ... aku juga ada yang mau disampaikan nih," kata Nona tersenyum manis."Apa?" Kami semua menoleh padanya."Jadi gini ...." Nona membasahi bibirnya dengan lidah, "malam Rabu besok Mas Haris akan bawa orang tuanya buat silahturahmi ke sini," terangnya malu-malu."Mbak Nona mau dilamar?" tanya Bunga antusias.Nona hanya mengangguk dengan pipi yang merona."Kamu sudah yakin dengan calonmu?" tanya M
Tidak terasa sudah empat bulan aku menyandang status sebagai Nyonya Arifin. Menjadi pengantin baru di usia yang hampir mendekati setengah abad tidak pernah sekalipun aku membayangkannya. Kadang masih tidak percaya jika Mas Arif sudah menjadi imam dalam hidupku. Sosok yang pernah sangat berarti, lalu karena keadaan kami terpisah jarak dan yang cukup lama. Dua puluh delapan tahun sendiri.Mungkin inilah yang dinamakan jodoh tidak akan lari kemana. Kami pernah membina rumah tangga masing-masing. Lalu karena campur tangan Allah, kami bertemu lagi.Kadang geli sendiri. Mas Arif memang sudah berumur. Dua tahun lagi usianya genap lima puluh tahun. Empat bulan lebih tua dariku. Namun, kelakuannya mirip anak tujuh tahun. Manjaaaa ... sekali.Mas Arif tidak akan pernah mau mandi jika tidak mandi bersamaku. Setiap hari sebelum dapat ciuman hangat, anak muda zaman sekarang bilang morning kiss lelaki itu akan berangkat kerja. Sarapan pun enggan jika belum aku suapi.Geli dan lebay ... memang! Tapi
Sesuai rencana, satu minggu kemudian Gading dan Bunga melangsungkan akad ulang mereka. Keduanya tampak berseri. Mereka mengenakan jas serta kebaya pengantin enam bulan lalu. Walau begitu Gading dan Bunga terlihat bahagia.Jika dulu Gading tampak begitu terpaksa, tidak dengan hari ini. Suaranya yang lirih dulu saat mengikrarkan janji kini terdengar lebih lantang. Bahkan dia melafalkan hanya dengan satu tarikan napas.Sayangnya acara bahagia ini tidak dihadiri oleh Nona. Anak itu baru menjalani masa kurungan selama satu bulan. Tentu saja dirinya tidak diizinkan untuk datang.Walau begitu kebahagiaan ini tidaklah berkurang. Bahkan kian bertambah karena usai ijab qobul Gading dan Bunga, Mas Arif mengajukan lamaran untukku di hadapan tamu. Khususnya Ibu serta keluarga aku."Mak Siti, njenengan tahu kalo saya sama Marini sudah saling suka dari waktu kecil," ujar Mas Arif tenang di hadapan keluargaku dan keluarganya."Yo, tahu," sahut Ibuku juga tidak kalah tenang, "kalian bahkan pernah mau
Bibir Mas Arif masih mengembangkan senyum. Sementara matanya terus menatapku intens. Aku sampai risih dibuatnya."Sudah, Mas, jangan pandangi aku terus. Malu!" tegurku benar-benar jengah, "sudah dimakan itu pesanan kamu!"Mas Arif kian meringis. "Rin, tolong cubit lenganku," pintanya sembari menyodorkan tangan.Alisku bertaut. "Kok minta dicubit?""Enggak ... aku cuma mau memastikan bahwa ini tuh nyata, real. Kamu menerima pinangan aku."Kali ini aku yang tersenyum. "Sudah gak usah lebay gitu, Mas. Ingat kita ini pasangan kakek nenek lho, bukan anak muda lagi!" tuturku mencoba mengingatkan."Kata siapa kita sudah tua?" Mas Arif langsung menukas, "belum juga lima puluh tahun. Kata orang kita lagi di puncak kematangan hidup.""CK ... udah itu bakmine nanti dingin." Aku mengalihkan perhatian dengan menunjuk mangkok berisi bakmie kepunyaan Mas Arif.Mas Arif mulai membubuhkan saos. Setelah itu dia mengaduk makanan panjang itu dengan sumpit. Lelaki itu menyicipi kuahnya dengan sendok.Tiba
Aku tersentak saat mendengar suara kondektur yang menyuruh penumpang turun di terminal daerah Ibu. Hebat! Tiga jam perjalanan aku sama sekali tidak mengantuk. Waktuku habis hanya untuk memikirkan Mas Arif.Turun dari bus aku langsung mencari tukang ojek. Begitu dapat kusuruh lelaki berhelm itu untuk mengantar ke TPU. Hanya butuh waktu sepuluh menit, aku sudah tiba di makam Bapak dan juga kakek.Bunga-bunga yang kubeli di toko tadi, kutaruh pada kedua makam tersebut. Usai memanjat doa dan menyiram air bunga, aku melangkah pergi. Tukang ojek masih menunggu.Pria itu mengantar aku hingga tiba di depan rumah Jani. Ketika aku membayar lebih, lelaki seumuran Pak Kus mengucapkan banyak terima kasih.Jani menyambut kedatanganku dengan senang. Wanita itu menyiapkan makan siang untukku. Kami makan siang bertiga Ibu. Anak-anak Jani dan suaminya belum ada yang pulang."Sebenarnya maksud kedatangan aku ke sini adalah ingin meminta saran dari kalian," ungkapku usai makan siang bersama."Kamu mau ce
"Mas, ini tuh--""Saya kasih kamu waktu untuk berpikir, Rin," sela Mas Arif segera, "silakan berpikir matang-matang agar nanti tidak ada penyesalan di kemudian hari," tuturnya terdengar bijak."Terima kasih banyak, Mas." Aku tersenyum senang."Ya sudah kalo sudah tidak ada lagi yang dibicarakan, saya pamit pulang saja," izin Mas Arif selanjutnya."Tapi, Yah, kita kan belum bahas rencana nikah ulang aku dan Mas Gading." Bunga langsung mencegah kepergian ayahnya."Lho bukannya nanti bareng sekalian sama nikahannya ayah dan Ibu Rini," sahut Mas Arif santai."Cieee!" Gading dan Galang sontak meledek. Membuat pipiku terasa hangat.Bunga tertawa. "Tapi kalo ayah ditolak lagi bagaimana?""Gak papa ... toh setidaknya ayah pernah berusaha keras mengejar cinta pertama ayah." Mas Arif menjawab dengan sok bijak."Cieee!" Lagi-lagi Gading dan Galang menanggapi dengan ledekan."Kalian berdua apa sih dari tadi cie-cie saja?" Aku menegur dengan sedikit gondok. Namun, baik Gading maupun Galang tetap s
Pagi harinya sekitar pukul tujuh pagi Mas Arif sudah bertandang ke rumah. Pria itu hadir bersama Pak Wisnu. Kami akan mengantar Nona untuk memenuhi panggilan.Mas Arif terlihat rapi sekali hari ini. Kemeja biru muda tampak masuk dengan kulitnya yang bersih. Begitu aku mendekat, semerbak parfum aroma kopi tercium begitu menyengat. Sepatu dan sabuk yang ia kenakan menambah kesan maskulin.Sayangnya pria itu bersikap kaku padaku. Dari datang, dalam perjalanan, hingga ke kantor polisi dirinya sama sekali tidak mau mengajakku bicara.Bingung dengan tingkahnya, aku mencoba mengalah. Aku beberapa kali melempar pertanyaan basa-basi padanya. Namun, Mas Arif menjawab dengan seperlunya. Bahkan jika pertanyaan seputar kasus Nona yang menjawab justru Pak Wisnu.Usai melakukan pemeriksaan, Nona ditahan hingga diadakan sidang. Ketika akan pulang, aku menguatkan anak itu."Aku gak papa, Bu," ujar Nona mencoba untuk tersenyum. Walau aku tahu itu senyum yang dipaksakan. "Kalo berkenan tolong besok bawa
Adzan ashar berkumandang. Aku terbangun dari istirahat siang. Segala lelah dan pegal telah lenyap. Rumah tampak sepi. Hanya terdengar suara gemericik air di kamar mandi."Eh Ibu sudah bangun?" sapa Nona ketika keluar dari kamar mandi. Wajah dan anggota tubuh lainnya tampak basah. Dia bukan habis mandi. Sepertinya baru saja bersuci."Pada ke mana? Kok sepi, ya?" tanyaku basa-basi."Galang pergi main futsal. Gading nganter Bunga beli popoknya Fawwaz ke Indoapril.""Fawwaz diajak juga?""Iya.""Oh." Mulutku membulat kecil. Aku pun melangkah masuk ke kamar mandi."Ibu gak tanya ayahku?"Aku balik badan lagi. "Iya, ayahmu di mana?""Ayah pamit balik. Padahal aku dan Bunga sudah bujuk dia buat tidur di sini, tapi ayah gak mau," terang Nona tampak kecewa.Aku tersenyum tipis mendengarnya."Kasihan di rumah ayah pasti kesepian," lanjut Nona kini terlihat sedih."Mungkin ayahmu butuh tempat yang tenang buat beristirahat. Di sini kan rame." Aku memberikan dalih dengan asal."Ayah juga ngajak ak
Selama menjadi menantu dan tinggal di rumahku, anak itu selalu menolak ketika diajak berjamaah. Alasannya adalah ingin ibadah di kamar saja. Usai sholat kami menunggu para bapak-bapak pulang. Aryanti melarang ketika aku ingin membantunya mempersiapkan meja makan."Udah kamu duduk sing manis saja, Mbak. Kamu itu tamu kok, wajar saja kalo kami layani," kilah Aryanti sembari menata piring."Iya, Budhe kan jarang main ke sini," timpal Bening membenarkan omongan ibunya.Aku hanya bisa menurut. Tidak lama kaum pria datang. Kami makan malam bersama. Untung Aryanti punya meja makan yang lumayan besar. Sehingga mampu menampung sepuluh orang dalam waktu yang bersamaan. Kebetulan juga bayi Aryanti sudah tidur sehingga dia bisa ikut makan besar ini.Makan malam ini berlangsung dengan hangat dan penuh kekeluargaan. Tidak kusangka suami Aryanti punya selera humor yang tinggi. Beberapa candaannya pecah hingga mengundang gelak tawa kami semua.Baru pada kali ini aku melihat seorang Nona tertawa den