"Anak ayah kan bukan cuma aku saja. Kenapa mesti harus aku yang pulang?" protes Nona terlihat enggan. Ketika tangan Galang menggenggamnya, Nona malah bersandar pada pundak sang suami."Soalnya kan Mbak Nona yang masih bebas. Kalo Mbak Bunga kan sudah repot dengan bayinya." Pelayan Nona memberi alasan yang tepat."Lagian tempat kerja Gading lebih dekat dari sini. Sementara tempat kerja kamu jauh lebih dekat jika kalian tinggal di rumah sana," ujarku ikut menambahkan."Gimana, Lang?" Nona meminta persetujuan dari sang suami."Terserah kamu ... kalo kamu kerasan tinggal di sini kita bisa balik kalo ayahmu udah sembuh," balas Galang terlihat bijak sekaligus penurut sekali."Aku juga ikut kalo pulang ke rumah, Mbak. Mau nginep sehari dua hari di sana," pinta Bunga sambil memangku Fawwaz."Ya sudahlah kita pulang hari ini," putus Nona kemudian. "Kita beres-beres dulu, ya." Usai pamit wanita itu menyeret lengan suaminya menuju kamar."Mas, kamu ikut nginap di rumah ayah gak?" tanya Bunga pad
Hari berlalu. Sudah tujuh hari Galang meninggalkan rumah. Anak itu sama sekali tidak memberikan kabar.Sebagai seorang ibu tentu aku merasakan rindu. Dulu sewaktu masih ngekost kami memang berpisah. Namun, baik aku ataupun Galang akan selalu kirim kabar lewat telepon setiap harinya.Hari ini aku mengalah untuk menghubungi anak itu duluan. Aku melakukan panggilan video. Wajah Galang tampak datar.Tidak ada raut kangen padaku. Ketika kutanyakan kabar, Galang menjawab baik-baik saja. Anak itu terlihat buru-buru mengakhiri percakapan kami. Dan aku tidak dapat mencegah. Apalagi di sampingnya ada Nona yang mengawasi.Tidak disangka dua hari kemudian, Galang muncul di rumah. Anak itu datang seorang diri dengan menaiki ojek. Motornya memang berada di sini, sedangkan mobil Pajero mahar dulu memang sudah hak menjadi milik Nona.Galang tidak banyak cakap. Anak itu memilih diam saat kami makan malam bersama. Baik aku dan Gading tidak mau menegurnya dulu."Ini sudah malam, Lang. Kamu gak pulang ke
"Alhamdulillah." Aku bersyukur lega mendengar kesediaan dari bibir Galang.Padahal kupikir akan ada drama penolakan atau sejenisnya. Ternyata Galang hanya syok saat kubeberkan bukti rekaman percakapan Nona. Air mata yang menetes menjadi pertanda jika Galang teramat sedih dengan kenyataan yang ada."Kamu sudah siap untuk diruqyah Pak Ustad, Lang?" tanyaku memastikan.Galang hanya mengangguk dengan tangan mengelap buliran bening yang membasahi pipinya."Anak saya sudah mau diruqyah, Pak Ustad," laporku pada ustad muda di hadapan."Oh nggih." Ustad muda itu menganguk. "Sekarang sebelum prosesnya dimulai, Mas Galang sebaiknya pergi wudhu dulu, monggoh," suruh ustad mempersilakan."Ayo, Lang!" ajakku lembut.Lagi-lagi Galang hanya mengangguk. Perlahan ia bangkit. Anak itu melangkah lesu menuju kamar mandi di rumah neneknya ini.Kisaran tujuh menit menanti, Galang kembali. Wajah dan beberapa anggota tubuh lainnya tampak basah. Anak itu duduk di sampingku.Kami semua duduk lesehan di lantai.
"Panaaas!" Galang menjerit sembari menutupi kedua daun telinganya.Pak ustad tetap tenang meneruskan bacanya."ARGHHH!" Galang mengerang marah.Dia menyentakan tubuh. Tatapannya begitu garang pada ustad. Seakan ingin menyerang pria itu. Namun, alunan ayat yang terlantun dari bibir sang ustad membuat Galang terus mengerang."Hentikaaan! Hentikaaan!" Kali ini Galang menggulingkan tubuhnya. Dia menyembunyikan wajahnya pada karpet.Ada rasa cemas menyaksikan itu. Jani yang paham kekhawatiranku langsung mengelus lenganku untuk menenangkan. Sementara Ibu terus menatap cucunya dengan wajah sendu.Pak ustad maju mendekati Galang yang masih seperti cacing kepanasan."Siapa kamu?" tanya Pak ustad menyampirkan tangannya pada pundak Galang."ARGHHH! Pergiii!" Galang menghardik garang."Kamu yang harus pergi dari tubuh Mas Galang ini," balas Pak ustad tenang."Gak mau! Saya sudah nyaman di sini ... Arghhh!" Galang terus berteriak."Kalo kamu gak mau pergi, saya akan terus membaca ayat-ayat suci,"
"Sudah jangan terlalu dipikirkan." Aku menipiskan bibir, "sekarang kita temui Pak ustad. Bilang terima kasih pada beliau," suruhku dengan hatinya yang lega."Iya, Bu." Galang mengangguk patuh.Sebelum beranjak, ponsel Galang terdengar berdering kembali. Anak itu mengecek. Dia berdecak malas. Dirinya diam membiarkan saja ponsel itu berbunyi."Nona yang telpon?" Aku menebak yakin."Ho'oh." Galang menyahut singkat."Kenapa gak diangkat.""Aku bingung harus ngomong apa, Bu?" Wajah Galang tampak frustrasi."Hadapi saja dengan tenang. Gak usah takut," saranku lembut."Aku belum siap ngomong sama dia," aku Galang jujur. "Aku silent saja biar nanti beralasan pura-pura gak dengar." Akhirnya Galang menggerakan lagi jempolnya. Setelah itu dia menaruh ponsel itu begitu saja di meja."Ayo, Bu, temui Pak ustad," ajak Galang dengan senyum hangat."Ayo!"Kami berdua menuju ruang tamu. Pak ustad tengah berbincang dengan Ibu dan juga Jani."Eh Mas Galang sudah selesai mandi?" sapa Pak ustad saat meliha
Galang tidak menyahut. Namun, kulihat dia mengangguk pelan. Selanjutnya anak itu menambah kecepatan laju motornya. Kami hanya beristirahat di rest area untuk mengisi perut dan juga mengisi bahan bakar. Hingga waktu dzuhur kami baru tiba di komplek perumahan. Aku agak sedikit tertegunkarena yang membukakan pintu gerbang rumah adalah Nona."Kapan datang, Non?" sapaku begitu turun dari motor. Galang sendiri tidak menyapa. Anak itu berjalan sembari menuntun motornya hingga masuk ke garasi."Aku datang tadi pagi, Bu," jawab Nona datar. "Bagaimana keadaan ayahmu?" tanyaku sambil melangkah masuk ke rumah."Baik, makanya aku pulang ke sini," jawab Nona mengikuti langkahku."Baguslah," ujarku sembari mendaratkan badan pada kursi tamu. Duduk di jok motor hingga lima jam lamanya membuat badan terasa pegal. Sementara Nona tetap berdiri. Matanya terus tertuju pada pintu. Pastinya dia tengah menanti Galang."Bunga mana?" tanyaku lagi."Lagi ngelonin Fawwaz di dalam." Nona mengarahkan dagunya p
Entah apa reaksi Nona, aku tidak peduli. Kaki ini terus mengayun hingga ke kamar. Tidur adalah solusi yang tepat.Aku menutup pintu. Agar lebih privasi kukunci pintu rapat-rapat. Setelah itu baru mulai merehatkan badan.Tubuh yang penat cukup membuat mataku mudah terlelap. Aku tertidur dengan begitu pulasnya. Baru terbangun ketika mendengar suara adzan magrib.Badan ini benar-benar terasa segar. Segala pegal dan lelah telah lenyap. Maklum aku tertidur hingga tiga jam lamanya. Alamat nanti malam jadi susah tidur.Baru saja melangkah keluar kamar sudah terdengar suara keributan.Siapa lagi kalau bukan Nona dan Galang. Keduanya ada di ruang tengah. Galang terlihat tengah menatap layar monitor. Posisi duduknya membelakangi sang istri."Kenapa sih kamu jadi dingin ke aku, Lang?" protes Nona pindah posisi. Dia beralih duduk di hadapan Galang. "Dari semenjak pulang kamu langsung pergi tidur tanpa basa-basi ke aku. Terus sekarang malah asyik mainan laptop." Dia mengomel sembari menatap sebal
"Hiihh! Disayang kok gak mau," gerutu Nona terdengar kesal.Bibir Nona maju beberapa centi. Namun, Galang tidak peduli. Dia asyik menikmati masakanku."Ding," panggilku pelan."Ya, Bu." Gading menyahut masih sambil menyuapkan nasi ke mulut Bunga."Bunga sudah habis masa nifas. Kapan kalian mau menikah ulang?" tanyaku serius.UHUK!Kami semua menoleh ke arah Nona. Wanita itu tersedak. Galang hanya menyodorkan air putih tanpa bicara."Kenapa mereka harus menikah ulang?" tanya Nona setelah baikan."Biar keturunan Gading dan Bunga selanjutnya sah." Kuterangkan dengan pelan."Ahhh ... Paling Gading juga enggan. Kan dulu dia cuma terpaksa menikahi Bunga," ujar Nona sok yakin."Kata siapa?" Gading menukas langsung, "aku sedang berencana mencari tanggal yang tepat untuk akad kedua kami.""Mbak Nona ini sok tahu banget deh." Bunga menimpali, "kayaknya gak seneng lihat kami bahagia. Ingat, kamu juga sudah punya pasangan lho, Mbak," tuturnya sinis."Kalian itu kenapa sih?" Nona mulai bersuara ti