Hari berlalu. Sudah tujuh hari Galang meninggalkan rumah. Anak itu sama sekali tidak memberikan kabar.Sebagai seorang ibu tentu aku merasakan rindu. Dulu sewaktu masih ngekost kami memang berpisah. Namun, baik aku ataupun Galang akan selalu kirim kabar lewat telepon setiap harinya.Hari ini aku mengalah untuk menghubungi anak itu duluan. Aku melakukan panggilan video. Wajah Galang tampak datar.Tidak ada raut kangen padaku. Ketika kutanyakan kabar, Galang menjawab baik-baik saja. Anak itu terlihat buru-buru mengakhiri percakapan kami. Dan aku tidak dapat mencegah. Apalagi di sampingnya ada Nona yang mengawasi.Tidak disangka dua hari kemudian, Galang muncul di rumah. Anak itu datang seorang diri dengan menaiki ojek. Motornya memang berada di sini, sedangkan mobil Pajero mahar dulu memang sudah hak menjadi milik Nona.Galang tidak banyak cakap. Anak itu memilih diam saat kami makan malam bersama. Baik aku dan Gading tidak mau menegurnya dulu."Ini sudah malam, Lang. Kamu gak pulang ke
"Alhamdulillah." Aku bersyukur lega mendengar kesediaan dari bibir Galang.Padahal kupikir akan ada drama penolakan atau sejenisnya. Ternyata Galang hanya syok saat kubeberkan bukti rekaman percakapan Nona. Air mata yang menetes menjadi pertanda jika Galang teramat sedih dengan kenyataan yang ada."Kamu sudah siap untuk diruqyah Pak Ustad, Lang?" tanyaku memastikan.Galang hanya mengangguk dengan tangan mengelap buliran bening yang membasahi pipinya."Anak saya sudah mau diruqyah, Pak Ustad," laporku pada ustad muda di hadapan."Oh nggih." Ustad muda itu menganguk. "Sekarang sebelum prosesnya dimulai, Mas Galang sebaiknya pergi wudhu dulu, monggoh," suruh ustad mempersilakan."Ayo, Lang!" ajakku lembut.Lagi-lagi Galang hanya mengangguk. Perlahan ia bangkit. Anak itu melangkah lesu menuju kamar mandi di rumah neneknya ini.Kisaran tujuh menit menanti, Galang kembali. Wajah dan beberapa anggota tubuh lainnya tampak basah. Anak itu duduk di sampingku.Kami semua duduk lesehan di lantai.
"Panaaas!" Galang menjerit sembari menutupi kedua daun telinganya.Pak ustad tetap tenang meneruskan bacanya."ARGHHH!" Galang mengerang marah.Dia menyentakan tubuh. Tatapannya begitu garang pada ustad. Seakan ingin menyerang pria itu. Namun, alunan ayat yang terlantun dari bibir sang ustad membuat Galang terus mengerang."Hentikaaan! Hentikaaan!" Kali ini Galang menggulingkan tubuhnya. Dia menyembunyikan wajahnya pada karpet.Ada rasa cemas menyaksikan itu. Jani yang paham kekhawatiranku langsung mengelus lenganku untuk menenangkan. Sementara Ibu terus menatap cucunya dengan wajah sendu.Pak ustad maju mendekati Galang yang masih seperti cacing kepanasan."Siapa kamu?" tanya Pak ustad menyampirkan tangannya pada pundak Galang."ARGHHH! Pergiii!" Galang menghardik garang."Kamu yang harus pergi dari tubuh Mas Galang ini," balas Pak ustad tenang."Gak mau! Saya sudah nyaman di sini ... Arghhh!" Galang terus berteriak."Kalo kamu gak mau pergi, saya akan terus membaca ayat-ayat suci,"
"Sudah jangan terlalu dipikirkan." Aku menipiskan bibir, "sekarang kita temui Pak ustad. Bilang terima kasih pada beliau," suruhku dengan hatinya yang lega."Iya, Bu." Galang mengangguk patuh.Sebelum beranjak, ponsel Galang terdengar berdering kembali. Anak itu mengecek. Dia berdecak malas. Dirinya diam membiarkan saja ponsel itu berbunyi."Nona yang telpon?" Aku menebak yakin."Ho'oh." Galang menyahut singkat."Kenapa gak diangkat.""Aku bingung harus ngomong apa, Bu?" Wajah Galang tampak frustrasi."Hadapi saja dengan tenang. Gak usah takut," saranku lembut."Aku belum siap ngomong sama dia," aku Galang jujur. "Aku silent saja biar nanti beralasan pura-pura gak dengar." Akhirnya Galang menggerakan lagi jempolnya. Setelah itu dia menaruh ponsel itu begitu saja di meja."Ayo, Bu, temui Pak ustad," ajak Galang dengan senyum hangat."Ayo!"Kami berdua menuju ruang tamu. Pak ustad tengah berbincang dengan Ibu dan juga Jani."Eh Mas Galang sudah selesai mandi?" sapa Pak ustad saat meliha
Galang tidak menyahut. Namun, kulihat dia mengangguk pelan. Selanjutnya anak itu menambah kecepatan laju motornya. Kami hanya beristirahat di rest area untuk mengisi perut dan juga mengisi bahan bakar. Hingga waktu dzuhur kami baru tiba di komplek perumahan. Aku agak sedikit tertegunkarena yang membukakan pintu gerbang rumah adalah Nona."Kapan datang, Non?" sapaku begitu turun dari motor. Galang sendiri tidak menyapa. Anak itu berjalan sembari menuntun motornya hingga masuk ke garasi."Aku datang tadi pagi, Bu," jawab Nona datar. "Bagaimana keadaan ayahmu?" tanyaku sambil melangkah masuk ke rumah."Baik, makanya aku pulang ke sini," jawab Nona mengikuti langkahku."Baguslah," ujarku sembari mendaratkan badan pada kursi tamu. Duduk di jok motor hingga lima jam lamanya membuat badan terasa pegal. Sementara Nona tetap berdiri. Matanya terus tertuju pada pintu. Pastinya dia tengah menanti Galang."Bunga mana?" tanyaku lagi."Lagi ngelonin Fawwaz di dalam." Nona mengarahkan dagunya p
Entah apa reaksi Nona, aku tidak peduli. Kaki ini terus mengayun hingga ke kamar. Tidur adalah solusi yang tepat.Aku menutup pintu. Agar lebih privasi kukunci pintu rapat-rapat. Setelah itu baru mulai merehatkan badan.Tubuh yang penat cukup membuat mataku mudah terlelap. Aku tertidur dengan begitu pulasnya. Baru terbangun ketika mendengar suara adzan magrib.Badan ini benar-benar terasa segar. Segala pegal dan lelah telah lenyap. Maklum aku tertidur hingga tiga jam lamanya. Alamat nanti malam jadi susah tidur.Baru saja melangkah keluar kamar sudah terdengar suara keributan.Siapa lagi kalau bukan Nona dan Galang. Keduanya ada di ruang tengah. Galang terlihat tengah menatap layar monitor. Posisi duduknya membelakangi sang istri."Kenapa sih kamu jadi dingin ke aku, Lang?" protes Nona pindah posisi. Dia beralih duduk di hadapan Galang. "Dari semenjak pulang kamu langsung pergi tidur tanpa basa-basi ke aku. Terus sekarang malah asyik mainan laptop." Dia mengomel sembari menatap sebal
"Hiihh! Disayang kok gak mau," gerutu Nona terdengar kesal.Bibir Nona maju beberapa centi. Namun, Galang tidak peduli. Dia asyik menikmati masakanku."Ding," panggilku pelan."Ya, Bu." Gading menyahut masih sambil menyuapkan nasi ke mulut Bunga."Bunga sudah habis masa nifas. Kapan kalian mau menikah ulang?" tanyaku serius.UHUK!Kami semua menoleh ke arah Nona. Wanita itu tersedak. Galang hanya menyodorkan air putih tanpa bicara."Kenapa mereka harus menikah ulang?" tanya Nona setelah baikan."Biar keturunan Gading dan Bunga selanjutnya sah." Kuterangkan dengan pelan."Ahhh ... Paling Gading juga enggan. Kan dulu dia cuma terpaksa menikahi Bunga," ujar Nona sok yakin."Kata siapa?" Gading menukas langsung, "aku sedang berencana mencari tanggal yang tepat untuk akad kedua kami.""Mbak Nona ini sok tahu banget deh." Bunga menimpali, "kayaknya gak seneng lihat kami bahagia. Ingat, kamu juga sudah punya pasangan lho, Mbak," tuturnya sinis."Kalian itu kenapa sih?" Nona mulai bersuara ti
Nona hamil?Aku bergeming untuk beberapa saat. Di seberang sana, Sarita masih menyerocos panjang lebar. Tentu omelannya berkisar antara aku dan juga Galang."Wes pokoke kamu hubungi anakmu Galang itu! Suruh dia langsung ke rumahku sehabis dari kampusnya," pungkas Sarita penuh perintah."Ya, Mbak, nanti aku coba hubungi nomer Galang," responku tenang."Yo wis kalo gitu, kami tunggu! Assalamualaikum." "Walaikum salam." Kututup telepon, lantas menaruhnya di atas meja kerja.Aku menghembus napas. Masih agak tidak percaya kalau Nona sedang hamil. Entahlah ... ada rasa semacam tidak senang mendengar kabar gembira ini.Dua kali sudah aku mendengar berita kehamilan dari istrinya anak-anak. Namun, dua kali pula hati ini tidak merasakan luapan kebahagian. Jika dulu tidak senang bahkan agak sedih karena kehamilan istri Gading adalah sebab kecelakaan.Sementara yang sekarang ... anak yang dikandung Nona adalah anak sah. Tumbuh di rahim yang sudah halal. Tetapi pada saat menggauli Nona, Galang d
Apa?" Aku, Mas Arif, dan Nona serempak bertanya."Itu ... eee ... Bunga ... Bunga hamil lagi, Bu, Yah," jawab Gading sedikit ragu. "Sudah delapan minggu.""Owalah mau ngomong itu aja lama bener," ujarku sambil menggeleng heran."Habisnya aku malu, Bu," aku Bunga sedikit menunduk."Malu kenapa?" Lagi-lagi kami bertiga menyahut kompak."Ya itu ... Fawwaz belum juga berumur dua tahun, malah sudah hamil lagi," tutur Bunga terlihat bersalah."Wong hamil punya suami kok malu." Mas Arif menanggapi dengan santai. Pria itu menyerahkan cucunya pada sang ibu. Dia mulai menikmati sarapannya sendiri."Oh ya ... aku juga ada yang mau disampaikan nih," kata Nona tersenyum manis."Apa?" Kami semua menoleh padanya."Jadi gini ...." Nona membasahi bibirnya dengan lidah, "malam Rabu besok Mas Haris akan bawa orang tuanya buat silahturahmi ke sini," terangnya malu-malu."Mbak Nona mau dilamar?" tanya Bunga antusias.Nona hanya mengangguk dengan pipi yang merona."Kamu sudah yakin dengan calonmu?" tanya M
Tidak terasa sudah empat bulan aku menyandang status sebagai Nyonya Arifin. Menjadi pengantin baru di usia yang hampir mendekati setengah abad tidak pernah sekalipun aku membayangkannya. Kadang masih tidak percaya jika Mas Arif sudah menjadi imam dalam hidupku. Sosok yang pernah sangat berarti, lalu karena keadaan kami terpisah jarak dan yang cukup lama. Dua puluh delapan tahun sendiri.Mungkin inilah yang dinamakan jodoh tidak akan lari kemana. Kami pernah membina rumah tangga masing-masing. Lalu karena campur tangan Allah, kami bertemu lagi.Kadang geli sendiri. Mas Arif memang sudah berumur. Dua tahun lagi usianya genap lima puluh tahun. Empat bulan lebih tua dariku. Namun, kelakuannya mirip anak tujuh tahun. Manjaaaa ... sekali.Mas Arif tidak akan pernah mau mandi jika tidak mandi bersamaku. Setiap hari sebelum dapat ciuman hangat, anak muda zaman sekarang bilang morning kiss lelaki itu akan berangkat kerja. Sarapan pun enggan jika belum aku suapi.Geli dan lebay ... memang! Tapi
Sesuai rencana, satu minggu kemudian Gading dan Bunga melangsungkan akad ulang mereka. Keduanya tampak berseri. Mereka mengenakan jas serta kebaya pengantin enam bulan lalu. Walau begitu Gading dan Bunga terlihat bahagia.Jika dulu Gading tampak begitu terpaksa, tidak dengan hari ini. Suaranya yang lirih dulu saat mengikrarkan janji kini terdengar lebih lantang. Bahkan dia melafalkan hanya dengan satu tarikan napas.Sayangnya acara bahagia ini tidak dihadiri oleh Nona. Anak itu baru menjalani masa kurungan selama satu bulan. Tentu saja dirinya tidak diizinkan untuk datang.Walau begitu kebahagiaan ini tidaklah berkurang. Bahkan kian bertambah karena usai ijab qobul Gading dan Bunga, Mas Arif mengajukan lamaran untukku di hadapan tamu. Khususnya Ibu serta keluarga aku."Mak Siti, njenengan tahu kalo saya sama Marini sudah saling suka dari waktu kecil," ujar Mas Arif tenang di hadapan keluargaku dan keluarganya."Yo, tahu," sahut Ibuku juga tidak kalah tenang, "kalian bahkan pernah mau
Bibir Mas Arif masih mengembangkan senyum. Sementara matanya terus menatapku intens. Aku sampai risih dibuatnya."Sudah, Mas, jangan pandangi aku terus. Malu!" tegurku benar-benar jengah, "sudah dimakan itu pesanan kamu!"Mas Arif kian meringis. "Rin, tolong cubit lenganku," pintanya sembari menyodorkan tangan.Alisku bertaut. "Kok minta dicubit?""Enggak ... aku cuma mau memastikan bahwa ini tuh nyata, real. Kamu menerima pinangan aku."Kali ini aku yang tersenyum. "Sudah gak usah lebay gitu, Mas. Ingat kita ini pasangan kakek nenek lho, bukan anak muda lagi!" tuturku mencoba mengingatkan."Kata siapa kita sudah tua?" Mas Arif langsung menukas, "belum juga lima puluh tahun. Kata orang kita lagi di puncak kematangan hidup.""CK ... udah itu bakmine nanti dingin." Aku mengalihkan perhatian dengan menunjuk mangkok berisi bakmie kepunyaan Mas Arif.Mas Arif mulai membubuhkan saos. Setelah itu dia mengaduk makanan panjang itu dengan sumpit. Lelaki itu menyicipi kuahnya dengan sendok.Tiba
Aku tersentak saat mendengar suara kondektur yang menyuruh penumpang turun di terminal daerah Ibu. Hebat! Tiga jam perjalanan aku sama sekali tidak mengantuk. Waktuku habis hanya untuk memikirkan Mas Arif.Turun dari bus aku langsung mencari tukang ojek. Begitu dapat kusuruh lelaki berhelm itu untuk mengantar ke TPU. Hanya butuh waktu sepuluh menit, aku sudah tiba di makam Bapak dan juga kakek.Bunga-bunga yang kubeli di toko tadi, kutaruh pada kedua makam tersebut. Usai memanjat doa dan menyiram air bunga, aku melangkah pergi. Tukang ojek masih menunggu.Pria itu mengantar aku hingga tiba di depan rumah Jani. Ketika aku membayar lebih, lelaki seumuran Pak Kus mengucapkan banyak terima kasih.Jani menyambut kedatanganku dengan senang. Wanita itu menyiapkan makan siang untukku. Kami makan siang bertiga Ibu. Anak-anak Jani dan suaminya belum ada yang pulang."Sebenarnya maksud kedatangan aku ke sini adalah ingin meminta saran dari kalian," ungkapku usai makan siang bersama."Kamu mau ce
"Mas, ini tuh--""Saya kasih kamu waktu untuk berpikir, Rin," sela Mas Arif segera, "silakan berpikir matang-matang agar nanti tidak ada penyesalan di kemudian hari," tuturnya terdengar bijak."Terima kasih banyak, Mas." Aku tersenyum senang."Ya sudah kalo sudah tidak ada lagi yang dibicarakan, saya pamit pulang saja," izin Mas Arif selanjutnya."Tapi, Yah, kita kan belum bahas rencana nikah ulang aku dan Mas Gading." Bunga langsung mencegah kepergian ayahnya."Lho bukannya nanti bareng sekalian sama nikahannya ayah dan Ibu Rini," sahut Mas Arif santai."Cieee!" Gading dan Galang sontak meledek. Membuat pipiku terasa hangat.Bunga tertawa. "Tapi kalo ayah ditolak lagi bagaimana?""Gak papa ... toh setidaknya ayah pernah berusaha keras mengejar cinta pertama ayah." Mas Arif menjawab dengan sok bijak."Cieee!" Lagi-lagi Gading dan Galang menanggapi dengan ledekan."Kalian berdua apa sih dari tadi cie-cie saja?" Aku menegur dengan sedikit gondok. Namun, baik Gading maupun Galang tetap s
Pagi harinya sekitar pukul tujuh pagi Mas Arif sudah bertandang ke rumah. Pria itu hadir bersama Pak Wisnu. Kami akan mengantar Nona untuk memenuhi panggilan.Mas Arif terlihat rapi sekali hari ini. Kemeja biru muda tampak masuk dengan kulitnya yang bersih. Begitu aku mendekat, semerbak parfum aroma kopi tercium begitu menyengat. Sepatu dan sabuk yang ia kenakan menambah kesan maskulin.Sayangnya pria itu bersikap kaku padaku. Dari datang, dalam perjalanan, hingga ke kantor polisi dirinya sama sekali tidak mau mengajakku bicara.Bingung dengan tingkahnya, aku mencoba mengalah. Aku beberapa kali melempar pertanyaan basa-basi padanya. Namun, Mas Arif menjawab dengan seperlunya. Bahkan jika pertanyaan seputar kasus Nona yang menjawab justru Pak Wisnu.Usai melakukan pemeriksaan, Nona ditahan hingga diadakan sidang. Ketika akan pulang, aku menguatkan anak itu."Aku gak papa, Bu," ujar Nona mencoba untuk tersenyum. Walau aku tahu itu senyum yang dipaksakan. "Kalo berkenan tolong besok bawa
Adzan ashar berkumandang. Aku terbangun dari istirahat siang. Segala lelah dan pegal telah lenyap. Rumah tampak sepi. Hanya terdengar suara gemericik air di kamar mandi."Eh Ibu sudah bangun?" sapa Nona ketika keluar dari kamar mandi. Wajah dan anggota tubuh lainnya tampak basah. Dia bukan habis mandi. Sepertinya baru saja bersuci."Pada ke mana? Kok sepi, ya?" tanyaku basa-basi."Galang pergi main futsal. Gading nganter Bunga beli popoknya Fawwaz ke Indoapril.""Fawwaz diajak juga?""Iya.""Oh." Mulutku membulat kecil. Aku pun melangkah masuk ke kamar mandi."Ibu gak tanya ayahku?"Aku balik badan lagi. "Iya, ayahmu di mana?""Ayah pamit balik. Padahal aku dan Bunga sudah bujuk dia buat tidur di sini, tapi ayah gak mau," terang Nona tampak kecewa.Aku tersenyum tipis mendengarnya."Kasihan di rumah ayah pasti kesepian," lanjut Nona kini terlihat sedih."Mungkin ayahmu butuh tempat yang tenang buat beristirahat. Di sini kan rame." Aku memberikan dalih dengan asal."Ayah juga ngajak ak
Selama menjadi menantu dan tinggal di rumahku, anak itu selalu menolak ketika diajak berjamaah. Alasannya adalah ingin ibadah di kamar saja. Usai sholat kami menunggu para bapak-bapak pulang. Aryanti melarang ketika aku ingin membantunya mempersiapkan meja makan."Udah kamu duduk sing manis saja, Mbak. Kamu itu tamu kok, wajar saja kalo kami layani," kilah Aryanti sembari menata piring."Iya, Budhe kan jarang main ke sini," timpal Bening membenarkan omongan ibunya.Aku hanya bisa menurut. Tidak lama kaum pria datang. Kami makan malam bersama. Untung Aryanti punya meja makan yang lumayan besar. Sehingga mampu menampung sepuluh orang dalam waktu yang bersamaan. Kebetulan juga bayi Aryanti sudah tidur sehingga dia bisa ikut makan besar ini.Makan malam ini berlangsung dengan hangat dan penuh kekeluargaan. Tidak kusangka suami Aryanti punya selera humor yang tinggi. Beberapa candaannya pecah hingga mengundang gelak tawa kami semua.Baru pada kali ini aku melihat seorang Nona tertawa den