Tarikan kemudian hembusan nafas berat dilakukan oleh Medina mendengar kalimat Ansel barusan, sesuatu tentang hubungan orang tua dan anak memang begitu manis untuk orang-orang yang saling kasih sayang, tetapi akan begitu pahit dan menyakitkan untuk mereka yang selalu dikasari atau dilukai oleh rumah mereka sendiri itu. Medina mengenal dekat dua pria dengan tentunya ada perbedaan, salah satunya mengenai keluarga. Di keluarga Ya'qub tunangannya, yakni keluarga Al Lathif, Ya'qub dikasihi di sana, dan membuat Ya'qub juga tidak kalah totalitas dalam menyayangi keluarganya. Keluarga Ya'qub yang harmonis sebagai mana keluarganya Medina, meskipun di keluarga Medina juga tidak utuh, tetapi kesamaan itu membuat Medina nyaman dengan keluarganya Ya'qub dan merasa mudah berbaur di sana. Sedangkan Ansel keluarganya tidak sama dengan Ya'qub tampaknya, sehingga membuat Ansel sendiri juga biasa saja dalam menyangkut sayang kepada keluarga, pun bahkan sepertinya keluarga Ansel juga terlihat berantakan
"Tubuh tuh jangan disakitin!" tegur pria berambut ikal berwarna hitam itu begitu melihat tindakan istrinya menghempaskan punggung begitu saja ke sofa. Memang sofa di ruang VVIP rumah sakit ini tentunya lembut sesuai dengan tarif biaya bayaran sewa ruangan ini, tetapi tetap saja Nayyara membanting tubuhnya sendiri itu terbilang menyakiti diri sendiri bagi Ya'qub. "Gue gak nyakitin ih!" bantah Nayyara, tidak sudi diomelin. Setelah itu Ya'qub mendudukkan diri di sofa yang sama dengan Nayyara, yang mana kebetulan sofa tersebut adalah sofa yang panjang, tetapi walaupun begitu Nayyara sedikit dibuat salting gegara posisi mereka lumayan dekat, ketika mereka di mobil tadi jarak mereka berdua tidak sedekat ini, karena sofa mobil yang mereka tempati berbeda. Saat ini di ruangan VVIP nomor tiga rumah sakit Pelita Sehat ada dua pasangan suami istri dengan rentang usia berbeda satu sama lain, yakni pasangan suami istri orang tuanya Ya'qub, dan yang satunya lagi Ya'qub dengan istrinya yakni si N
Gadis bermata blue sapphire itu memutus kegiatan saling tatap dengan menolehkan wajahnya beserta tatapannya ke arah dua kasur yang bersisian, di sana terbaring masing-masing satu insan dengan saling berpandangan. "Mereka punya ruang sendiri untuk berduaan, akan kita tanggapi jika mereka memerlukan," kata Ya'qub menjelaskan situasi kedua orang tuanya. "Ya'qub? Apa abi dan umi mu bisa melakukan sholat sekarang?" Si empu nama yang di panggil itu tentu saja langsung berdiri sebab tahu seseorang yang menyebutkan namanya barusan bukanlah orang sembarangan, karena beliau adalah abi nya sendiri, maka dari itulah tidak seharusnya Ya'qub melambatkan menanggapi panggilan dari beliau dan memberikan jawaban lama jika orang tuanya bertanya."Tunggu dulu," ucap Ya'qub, bukan sebagai jawaban atas pertanyaan abi nya, melainkan berbicara kepada Nayyara, pria itu sampai mencondongkan badannya sebagai kode bahwa memang Nayyara yang dirinya ajak bicara. Setelahnya tanpa menunggu balasan dari orang yan
Gegara Ya'qub meninggalkannya duduk sendirian di sofa, yah walaupun masih seruangan dengan pria itu, tetapi posisi mereka yang berjauhan dan Ya'qub yang punya kesibukan mengurus kedua orang tuanya terlebih dahulu sekarang ini, Nayyara pun dibuat kembali tenggelam ke dunia memori otaknya, segala file-file masa lalunya seperti terbongkar habis tanpa pengecualian, luka-luka itu yang tidak pernah kering terasa kembali basah dan menyakiti, meski sebenarnya tidak ada yang memicu luka tersebut tampak kembali. Nayyara sendiri lah yang kembali datang kepada segala ruangan memori tersebut setelah ia melihat betapa harmonis nya keluarga suaminya. Tidak luput dari pandangannya Nayyara abi dan umi nya Ya'qub saling berpandangan setelah mereka selesai melaksanakan sholat shubuh katanya yang dibantu Ya'qub pula, Nayyara tidak melarang apalagi membatasi Ya'qub untuk mengutamakan keluarganya, silahkan saja, toh Nayyara juga tidak ada keluhan sekarang, dia sudah kenyang dan dirinya bisa kok duduk ante
Meskipun suaranya sangat pelan dan lirih, sekalipun juga kalimat yang keluar dari bibirnya terbata-bata, seakan-akan pria di hadapannya itu tidak akan pernah merasa tuli untuk mendengarnya, selamanya pun pendengarannya terasa tajam untuk mendengar kata apa pun yang terlontar dari bibir mungilnya. "Kok lo bicara gitu?" tanya pria yang mengenakan baju kaos lengan pendek berwarna coklat dengan nada menyelidik itu bercampur keheranan yang ia sembunyikan agar tidak terlalu nampak. Sadar telah melakukan kelalaian dengan tidak sengaja mengucapkan apa yang seharusnya ia ucapkan di dalam hati saja, gadis berambut coklat itu langsung mengalihkan pandangannya ke samping kiri agar tidak bertatapan langsung lagi dengan pria di depannya kini. Bukan masalah karena terlalu dekat, tetapi masalahnya sejauh pengalamannya pria di depannya ini senantiasa biasa membaca isi pikirannya bahkan isi hatinya hanya dengan bertatapan mata dengannya. Mungkin tingkat kemampuan membaca isi pikiran dan hati yang di
Klik... Baru saja suara pintu dikunci itu terdengar, spontan saja seorang pria yang duduk dengan kaki diletakkan lurus di atas meja kaca itu juga bersuara. "Kenapa kamu kunci? Lihatlah! Gadis ini belum kamu keluarkan?!" Sebelah tangan pria paruh baya itu tepatnya tangan kiri terangkat menunjuk seorang gadis yang ada di ruangan ini. "Dia tidak akan keluar, ia akan mendengarkan apa saja yang kita bicarakan," jawab datar pria yang mengunci pintu barusan. Ia duduk di pinggiran kasur rumah sakit ruangan VVIP yang sudah dirinya sewa selama beberapa waktu kedepan, setidaknya sampai kesembuhannya ia temukan. Muhammad Ansel Zarawka, Ahmad Naseh Zarawka, dan Medina Angkara, ketiga insan itulah yang kini berada di ruangan VVIP nomor 2 rumah sakit, hanya mereka bertiga, tidak ada suster, dokter, apalagi para asisten Ansel dan Naseh saja, semuanya tidak ada yang boleh masuk. Setelah berdebat cukup banyak di kantin rumah sakit dengan Ansel yang ngotot ingin membawa Medina ke ruangannya dan men
"Siapa ayah lo?"Dua kata pertanyaan itu terdengar begitu menginterogasi di telinganya Nayyara, ada rasa tidak nyaman yang ia rasa, tetapi kapanpun itu pertanyaan seperti barusan pasti kelak akan ia dengar. Bersyukur nya bagi Nayyara posisi duduknya dengan lawan bicaranya tidak berhadap-hadapan, melainkan bersisian, sehingga mata mereka tidak akan benar-benar bertemu tatap, dan begitu mudah bagi Nayyara untuk mengalihkan pandangan dari tatapannya Ya'qub. Posisi bersisian itu tidak membuat Ya'qub tidak melihat wajah Nayyara, nyatanya pria pemilik rambut hitam bertekstur ikal itu menolehkan wajahnya sempurna ke arah Nayyara. "Lo tidak perlu tahu," jawab Nayyara acuh. "Bukankah kita sudah berjanji di awal untuk saling jujur dan memberikan jawaban yang akurat serta terbuka ketika ditanyai lawan bicaranya? Jika lo melanggar lebih dulu, maka jangan salahkan gue menyampaikan jawaban yang tidak benar juga tatkala lo bertanya nanti," tutur Ya'qub panjang lebar. "Doyam!" sentak Nayyara, ia
Kalimat yang terdengar begitu jelas di telinganya karena orang yang berucap itu berbisik kepadanya seperti berhasil membuat Ya'qub tersetrum petir di siang bolong. Ada sudut hati yang tidak pernah menyangka akan mendengar suatu ungkapan begitu tetapi hari ini detik ini mendengarnya sempurna. Nayyara membenci ayahnya. Suatu kalimat yang terucap dari bibir sang anak langsung yang mengungkapkan perasaannya terhadap orang tuanya. Memiliki sosok ayah seperti abi Yasser yang terkadang dingin terkadang hangat persis seperti sifat yang dimiliki Ya'qub dengan Yusuf, membuat Ya'qub tidak merasa tertekan sama sekali. Dinginnya sifat seseorang menurut Ya'qub tidak membuatnya kepikiran, terlebih lagi jika dingin ataupun cuek orang itu tidak gegara kesalahannya, maka Ya'qub pun santai saja. Pun dirinya juga tidak ngelunjak berharap memiliki sosok ayah yang punya sifat hangat, bagi Ya'qub punya ayah yang penyayang kepada keluarga pun sudah cukup, mengenai bagaimana bersifat, dingin atau hangat it