William, yang baru selesai mandi, terlihat segar dengan rambutnya yang masih basah. Dia menggerakkan kursi rodanya ke tengah kamar, lalu berkata dengan nada dingin seperti biasanya, “Bersiaplah. Kita akan pergi hari ini.”
Fiona memandangnya dengan wajah cemberut. “Tapi kakiku masih bengkak.”
William menghela napas panjang, dia mendorong kursi rodanya ke arah Fiona, lalu dengan mudah mengangkat tubuhnya ke atas pangkuannya. Fiona terkesiap, tetapi tak mampu melawan selain mengalungkan kedua tangannya di pundak William.
“William, aku bisa mencoba berjalan sendiri,” protes Fiona dengan suara kecil.
“Terlalu lama,” ja
Keesokan harinya, setelah pulang sekolah Fiona tiba di kantor William untuk memulai pekerjaannya sebagai asisten pribadi. Dia merasa enggan, tetapi tidak punya pilihan lain. Ketika memasuki ruangan William, pria itu sedang sibuk dengan beberapa dokumen di mejanya. “Kau terlambat,” kata William tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas-kertas di depannya. “Aku baru beberapa menit terlambat,” balas Fiona, berusaha membela diri. “Tepat waktu adalah sebuah kedisiplinan bagi semua pekerja, Fiona,” ujar William dengan nada datar. “William, jangan samakan aku dengan mereka. Aku masih sekolah—ada banyak kegiatan sebelum datang kamari,” ucap Fiona. Fiona menatap sekilas ke arah William yang tak menjawab lagi perkataannya. Dia segera berjalan ke arah sofa, duduk sambil memainkan ponsel barunya dengan sebelah kakinya yang sengaja ditumpangkan ke kaki satunya lagi. “Akhir tahun nanti, aku ingin pulang melihat ibuku,” gumam Fiona yang masih terdengar jelas di telinga William. “Kau, bel
Ketika Fiona sampai di ruang foto copy, beberapa karyawan yang sedang bekerja di sana langsung memperhatikannya. Bagaimana tidak? Fiona masih mengenakan seragam sekolah, membuatnya tampak mencolok dibandingkan para pegawai yang berpakaian formal."Bukankah gadis itu, istri simpanannya Pak William," bisik salah satu karyawan perempuan. Mereka hanya tahu bahwa Azalea yang menjadi istri William. Meski sudah cukup lama mereka tidak pernah melihatnya datang ke kantor lagi. "Ternyata, dia masih sekolah. Bagaimana bisa menikah dengan bos kita?” “Apa dengan cara merangkak ke atas tempat tidurnya." tambah yang lain, berusaha merendahkan suaranya meski masih cukup terdengar oleh Fiona.Fiona menghentikan langkahnya, menatap tajam ke arah kerumunan karyawan itu. "Ada yang ingin kalian katakan langsung kepadaku?" tanyanya lantang, membuat semua karyawan di sana terdiam dan menunduk pura-pura sibuk.Dengan penuh percaya diri, Fiona mendekati salah satu karyawan laki-laki yang sedang berdiri di
Ketika dia sampai di kelas, dua temannya, Adel dan Maya, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Mereka tampak ragu-ragu, tapi jelas ada sesuatu yang ingin mereka sampaikan."Apa yang kalian lihat?" tanya Fiona, menatap mereka tajam. "Apa ada yang salah dengan wajahku? Kenapa semua orang memandangku seperti itu?"Adel dan Maya saling pandang, lalu Adel menyerahkan ponselnya kepada Fiona tanpa berkata apa-apa. Fiona mengambil ponsel itu dengan alis terangkat, lalu membaca layar dengan cepat.Di sana, terpampang sebuah artikel dengan judul besar:"Seorang Siswi Menjadi Istri Simpanan Pengusaha Kaya William Stefanus Thene!"Mata Fiona membelalak, napasnya tercekat. Foto dirinya dan William yang diambil malam sebelumnya terpampang jelas di bawah judul itu. Gambar itu menunjukkan Fiona mendorong kursi roda William dengan ekspresi yang terlihat tersenyum. Artikel tersebut penuh dengan tindakan mencari keuntungan dengan menggunakan kata-kata murahan tentang hubungan mereka, menguat
Dia membisikkan kata-kata di telinga Fiona dengan suara yang rendah dan mengerikan, "Sampai kapan pun, hubungan kita tidak akan berakhir kecuali aku yang mengakhirinya atau aku akan menghancurkan keluargamu.”Fiona merasa darahnya berdesir dengan bisikan itu. Senyum miris terukir di bibirnya. "William, apa kau lupa bahwa keluargaku sudah hancur?" katanya dengan suara pelan, penuh kepahitan. "Kehidupanku juga sudah hancur karena perjanjian ini. Dan bagaimana jika orang-orang tahu hubunganmu dengan Kakakku? Mereka akan menganggap aku merebut suami dari kakakku."Setiap kata yang keluar dari mulut Fiona menambah api kemarahan dalam diri William. Dia mencengkram pipi Fiona membalikkan ke arahnya, menatap Fiona dengan tatapan tajam. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia segera melepaskan cengkeramannya dengan kasar membawa Fiona ke sebuah ruangan di dalam kantornya.Fiona berusaha untuk turun dari kursi rodanya, tetapi dengan cepat William menempatkannya di atas tempat tidur dengan keras. Tubuh
William dengan refleks berdiri dari kursi rodanya seperti orang yang hendak berjalan, menangkap tubuh Fiona yang hampir jatuh ke lantai. Namun, karena tubuh William yang tidak stabil, membuatnya ikut terjatuh secara bersamaan. Dengan cepat, dia menggunakan tangannya untuk menahan kepala Fiona agar tidak terbentur lantai.Sejenak William menatap Fiona yang terpejam. “Fiona!” panggil William panik, mengguncang tubuhnya yang lemas. Dia mencoba membangunkan Fiona, tapi wanita itu tidak merespons. Wajah cantiknya begitu pucat.Rasa bersalah menyelimuti hati William. Dia memeluk Fiona erat, mencoba menenangkan dirinya yang mulai diliputi kepanikan. Dengan tangan gemetar, dia merogoh sakunya dan menelepon Max.Tidak butuh waktu lama, Max datang membantu William membawa Fiona keluar dari ruangan itu. Mereka segera membawanya ke mobil dan meluncur ke rumah sakit terdekat.Di perjalanan, William terus memegang tangan Fiona yang dingin. Tatapannya penuh rasa bersalah. Untuk pertama kalinya dalam
Fiona dengan wajah ceria mengikutinya tanpa diminta, duduk di sebelah Alvaro di ruangan rapat yang dipenuhi anggota OSIS. Ia bahkan bersandar pada bahu Alvaro beberapa kali, membuat suasana menjadi canggung.Juwita yang hatinya sudah hampir gosong karena terbakar api cemburu terus memperhatikan tingkah Fiona dengan mata menyipit. Kesal dengan sikap Fiona yang seakan sengaja membuatnya cemburu, Juwita akhirnya angkat bicara.“Bisakah orang yang tidak berkepentingan di sini keluar saja?” katanya dengan nada sinis.Fiona menatap Juwita dengan senyuman. “Aku hanya menemani Alvaro. Lagipula, aku tidak mengganggu, kan?”Juwita mendengus, jelas tidak terima dengan jawaban Fiona. “Kau mungkin tidak merasa mengganggu, tapi kami yang di sini merasa tidak nyaman.”“Oh, ya… Mungkin hanya kau saja yang terganggu,” ucap Fiona dengan nada seakan sedang mengejek. Alvaro, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Fiona, lebih baik kau pergi dan tunggu saja di kantin.”Mendengar itu, Fiona meras
Setelah sampai di rumah, Fiona turun dari motor tanpa mengucapkan sepatah kata. Alvaro hanya meliriknya sekilas sebelum pergi, meninggalkan Fiona yang berdiri di depan pagar mewah yang telah di buka.Begitu masuk, ia mendapati rumah yang terasa sepi seperti biasa. Dia berjalan menuju kamarnya, setelah tiba dia menatap sekeliling kamar dan tak menemukan William di kamarnya. Dia meletakkan tasnya di sofa kamar dan menghela napas panjang. “Mungkin dia sedang sibuk,” gumam Fiona pelan saat pikirannya tiba-tiba teringat pada William yang tak pernah terlihat berada di rumah.Fiona melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Di bawah pancuran air hangat, ia merenungkan apa yang terjadi hari ini.Hubungannya dengan Alvaro hanyalah pura-pura, tapi mengapa ia merasa tidak nyaman dengan ucapan Alvaro di kafe? Bukankah seharusnya ia tidak peduli?Tanpa sadar Fiona sedang merasa takut, seolah-olah dia sedang berselingkuh dan melakukan kesalahan di belakang suaminya.Setelah selesai mem
‘Oh, jadi dia akhirnya peduli padaku,’ batin Fiona. Fiona menoleh ke arah Alvaro yang masih berdiri di sampingnya.“Aku harus pergi,” katanya sambil tersenyum tipis. “Jangan merindukanku, ya.”Alvaro hanya menatap Fiona tanpa berkata apa-apa. Fiona mengisyaratkan salah satu pria tadi untuk membawa mobilnya, sementara ia berjalan menuju kendaraan lain yang telah disiapkan.Saat Fiona melangkah pergi, Alvaro tetap berdiri di tempatnya. Matanya mengikuti setiap gerakan gadis itu, meskipun ia berusaha untuk tidak terlihat peduli.Dalam hatinya, Alvaro merasa ada sesuatu yang mengganggunya. Ia tidak rela Fiona pergi begitu saja, tetapi ia juga tidak ingin mengakuinya. Kepergian Fiona meninggalkan rasa aneh yang tidak bisa dijelaskan dalam diri Alvaro karena tingkah Fiona sedikit mirip dengan Fianka. Meski Alvaro juga sadar bahwa mereka dua orang yang berbeda dan tak bisa disamakan. Alvaro masih menatap ke arah mobil Fiona yang menjauh. Ia menghela napasnya, mungkin rasa itu masih ada d
Nessa Griselda mengerjap-ngerjapkan matanya yang baru saja terbebas dari kain hitam yang menutup wajahnya. Cahaya remang dari lampu di ruangan itu membuatnya menyipit, mencoba menyesuaikan penglihatannya dengan kondisi sekitar. Punggungnya terasa nyeri akibat lemparan kasar yang baru saja dialaminya. Di sebelahnya, seorang pria paruh baya terkulai dengan wajah sedikit berdarah di sudut bibirnya. "Tuan, maafkan saya. Saya tidak bermaksud mencuri uang Anda!" Suara pria itu gemetar, tangannya terikat, tubuhnya bergetar dengan tatapan penuh ketakutan.Nessa menoleh, menatap pria paruh baya itu—pamannya, satu-satunya keluarga yang ia miliki. Tubuh pria itu terguncang saat salah satu anak buah pria yang duduk di sofa menendangnya hingga ia tersungkur.“Ahh… Paman!” teriak Nessa.“Apa yang kalian lakukan—Emmm…” Nessa tidak dapat melanjutkan perkataannya. Salah satu anak buah pria itu segera membungkam mulutnya karena dianggap terlalu berisik.Nessa hanya bisa menangisi pamannya dengan mulu
Setelah insiden tragis yang merenggut nyawa Azalea, suasana di rumah Lauren menjadi begitu hening dan penuh duka. Aroma samar bunga melati yang dipasang di sudut ruangan memenuhi udara, membuat kesedihan semakin terasa mendalam. Lauren duduk di sofa dengan tatapan kosong, menggenggam foto Azalea di tangannya. Fiona yang duduk di sampingnya berusaha menenangkan sang ibu, tetapi hatinya sendiri dipenuhi kesedihan.William berdiri di dekat jendela, memperhatikan Fiona dan Lauren dalam keheningan. Ezra, yang masih terlalu kecil untuk memahami arti kehilangan, duduk di pangkuan Fiona dengan wajah polosnya. Sesekali ia menatap ibunya dan neneknya, seakan bertanya mengapa mereka begitu sedih.“Mama… kenapa nenek menangis?” tanya Ezra dengan suara lembut, membuat Fiona menggigit bibirnya, menahan tangis.Fiona mengusap kepala Ezra dan tersenyum lemah. “Karena nenek kehilangan seseorang yang sangat ia sayangi, sayang.”Ezra menatap Fiona dengan bingung. “Seperti saat aku kehilangan mainanku?”
Lauren yang masih terkejut dengan pengakuan Fiona menunjuk ke dalam rumah. "Dia ada di kamarnya."Tanpa membuang waktu, Fiona segera menarik tangan William dan membawanya masuk. Mereka berjalan dengan cepat melewati ruang tamu menuju kamar Ezra. Fiona merasa jantungnya berdebar kencang, dia ingin segera mempertemukan William dengan anaknya.Namun, ketika Fiona membuka pintu kamar Ezra, matanya langsung membesar. Ruangan itu kosong.Tidak ada Ezra di tempat tidur, tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Selimut yang biasanya tersusun rapi kini berantakan, dan jendela kamar terbuka sedikit."Ezra?" Fiona memanggil panik.William yang berdiri di belakangnya merasa ada sesuatu yang janggal. Namun, sebelum dia bisa ikut mencari, tangannya terangkat dan menggenggam pergelangan tangan Fiona, menghentikan gerakannya."Fiona, apa maksudmu tadi?" William bertanya dengan nada tajam. "Bukankah pria yang bernama Ezra adalah kekasihmu? Lalu sekarang kau bilang dia anakku?"Fiona menutup matanya, berusa
Fiona menutup matanya dan menyentuhkan bibirnya pada bibir William. Seketika William membalas ciuman itu semakin dalam. William merengkuh pinggang Fiona, mendekapnya erat seakan tak ingin melepaskannya lagi. Tangan pria itu meraba punggung Fiona, merasakan kehangatan tubuh istrinya yang begitu ia rindukan."Aku juga mencintaimu, William,” gumam Fiona di sela ciuman mereka. Pengakuan itu membuat William semakin kehilangan kendali. Ia menindihnya dengan penuh hasrat.Fiona yang semula masih menolak, kini tidak bisa menahan diri lagi. Dia membiarkan William menyentuhnya, membiarkan pria itu mengklaimnya kembali. Mereka larut dalam gairah, seakan ingin melupakan segala masalah yang ada di antara mereka. ****Di tempat lain, di sebuah kios es krim, Lauren duduk dengan gelisah. Ia sesekali melirik ke arah jam tangan, lalu melihat Ezra yang duduk di sampingnya dengan ekspresi bosan. Anak itu menggoyangkan kakinya dengan tidak sabar."Nenek, kenapa Ibu belum datang juga? Aku ingin pulang,"
Ciuman itu begitu menuntut, seolah William ingin menyalurkan semua emosi yang telah lama ia pendam. Rindu yang bertahun-tahun tertahan, kemarahan karena kepergian Fiona, dan cinta yang tak pernah benar-benar hilang—semuanya meledak dalam satu ciuman yang membius.Fiona mulai kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri. Jemarinya yang awalnya ingin mendorong William kini justru mencengkeram kemeja pria itu, gemetar di antara genggamannya. Namun, saat pikirannya mulai hanyut dalam perasaan yang bercampur aduk, kesadarannya kembali.Dengan sekuat tenaga, Fiona memukul dada William, memaksa pria itu untuk melepaskan ciumannya."Jangan!" serunya dengan napas memburu.William akhirnya melepaskan Fiona, tetapi tangannya tetap menahan pinggang wanita itu, seakan tidak rela berpisah. Mata mereka bertemu dalam keheningan yang mendebarkan."Dasar mesum," bisik Fiona, matanya berkaca-kaca.William tersenyum miring, jari-jarinya menyentuh bibirnya sendiri, merasakan jejak ciuman mereka. "Benarkah?" t
Setelah lama saling melepas rindu dengan ibunya, Fiona kini berdiri di depan jendela kamar, menatap ke luar dengan pandangan kosong. Kata-kata ibunya masih terngiang di telinganya."Ada banyak orang yang terus mencarimu."Fiona menggigit kuku ibu jarinya, kebiasaan lamanya saat merasa cemas. Dalam hatinya, muncul pertanyaan yang selama ini ia hindari."Apakah William mencariku?"Pikiran itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Bagaimana jika William benar-benar mencarinya? Bagaimana jika dia tahu tentang Ezra? Apakah William akan mencoba mengambil Ezra darinya?Fiona menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran itu. Namun, jauh di dalam hatinya, Fiona tidak bisa menutupi rasa rindunya pada pria itu.Keesok harinya Fiona dan ibunya, Lauren, memutuskan untuk menghabiskan hari dengan berjalan-jalan ke mal. Setelah bertahun-tahun tidak bertemu, Lauren ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan putrinya dan cucunya, Ezra. Sementara itu, di tempat lain, William akhirnya tiba di
Limat tahun kemudian di bandara Italia, Fiona turun dari pesawat dengan seorang anak laki-laki berusia sekitar empat tahun di sampingnya. Wajahnya berseri-seri saat dia menggandeng tangan anaknya, Ezra. Meski sudah menjadi seorang ibu, Fiona masih tampak muda dan cantik, seolah waktu tidak mengubahnya sedikit pun. Bahkan, jika dilihat sekilas, orang mungkin akan mengira Ezra adalah adiknya, bukan anaknya.Fiona dan Ezra berjalan dengan langkah ringan menuju area kedatangan. Perjalanan Fiona ke Italia adalah untuk menemui ibunya, Lauren, yang sudah lama tidak ditemuinya. Fiona merasa sedikit gugup, tapi juga bahagia. Dia ingin memperkenalkan Ezra kepada neneknya dan berharap ibunya bisa menerima mereka dengan hangat, setelah bertahun-tahun tanpa kabar.Saat mereka berjalan di trotoar dekat rumah ibunya, Fiona tiba-tiba melihat sosok Lauren yang baru saja pulang dari suatu tempat, ibunya terlihat sudah mulai menua. Dengan cepat, dia berlutut di samping Ezra dan tersenyum lembut. “Sayan
Alvaro berjalan memasuki kantor William dengan ekspresi serius. Begitu dia sampai di lobi, seorang resepsionis mencoba menahannya, tetapi dia hanya melirik tajam sebelum melanjutkan langkahnya. Hari ini, Alvaro datang bukan untuk urusan bisnis, melainkan untuk sesuatu yang jauh lebih penting. Sesampainya di ruang kantor William yang luas dan mewah, Alvaro duduk di sofa sambil menunggu. Dia menatap sekeliling, memperhatikan desain interior yang elegan dan mahal. Ruangan itu begitu tenang, hanya suara jam dinding yang terdengar samar. Alvaro menghela napas, pikirannya dipenuhi dengan banyak pertanyaan tentang Fiona yang sudah lama tidak dilihatnya di sekolah. Ia baru mengetahuinya jika gadis itu pergi setelah pulang dari rumah sakit. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka. William melangkah masuk dengan setelan jasnya yang rapi, menunjukkan bahwa dia baru saja selesai rapat. Begitu melihat Alvaro, dia mengerutkan kening. "Apa yang membawamu ke sini?" tanyanya, langsung ke intinya sam
William memijat pelipisnya yang berdenyut setelah Azalea pergi dari ruangannya. Ia segera memerintahkan seseorang untuk mengawasi pergerakan Azalea, berharap wanita itu mengetahui keberadaan Fiona.Baru saja ia hendak kembali fokus pada pekerjaannya, ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya."Masuk," ucapnya tanpa mengangkat kepala.Pintu terbuka perlahan, menampilkan seorang wanita yang penampilannya tak jauh berbeda dari Azalea."William, aku dengar istrimu pergi?" Aileen langsung bertanya tanpa basa-basi.William menoleh sekilas dan menatapnya dingin. "Lalu? Apa urusannya denganmu?" ucapnya tajam, membuat Aileen merasa tersinggung."Hm... Aku hanya mengkhawatirkanmu," jawabnya santai. "Aku baru pulang dari luar negeri dan mendengar kabar ini."William tertawa kecil, terdengar meremehkan. "Apa kalian berdua sedang bermain sandiwara? Kau datang ke sini setelah Azalea pergi, seolah ingin membujukku."Aileen mengerutkan kening, tidak mengerti maksud perkataan William. "Apa maksudmu?"