Dia membisikkan kata-kata di telinga Fiona dengan suara yang rendah dan mengerikan, "Sampai kapan pun, hubungan kita tidak akan berakhir kecuali aku yang mengakhirinya atau aku akan menghancurkan keluargamu.”Fiona merasa darahnya berdesir dengan bisikan itu. Senyum miris terukir di bibirnya. "William, apa kau lupa bahwa keluargaku sudah hancur?" katanya dengan suara pelan, penuh kepahitan. "Kehidupanku juga sudah hancur karena perjanjian ini. Dan bagaimana jika orang-orang tahu hubunganmu dengan Kakakku? Mereka akan menganggap aku merebut suami dari kakakku."Setiap kata yang keluar dari mulut Fiona menambah api kemarahan dalam diri William. Dia mencengkram pipi Fiona membalikkan ke arahnya, menatap Fiona dengan tatapan tajam. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia segera melepaskan cengkeramannya dengan kasar membawa Fiona ke sebuah ruangan di dalam kantornya.Fiona berusaha untuk turun dari kursi rodanya, tetapi dengan cepat William menempatkannya di atas tempat tidur dengan keras. Tubuh
William dengan refleks berdiri dari kursi rodanya seperti orang yang hendak berjalan, menangkap tubuh Fiona yang hampir jatuh ke lantai. Namun, karena tubuh William yang tidak stabil, membuatnya ikut terjatuh secara bersamaan. Dengan cepat, dia menggunakan tangannya untuk menahan kepala Fiona agar tidak terbentur lantai.Sejenak William menatap Fiona yang terpejam. “Fiona!” panggil William panik, mengguncang tubuhnya yang lemas. Dia mencoba membangunkan Fiona, tapi wanita itu tidak merespons. Wajah cantiknya begitu pucat.Rasa bersalah menyelimuti hati William. Dia memeluk Fiona erat, mencoba menenangkan dirinya yang mulai diliputi kepanikan. Dengan tangan gemetar, dia merogoh sakunya dan menelepon Max.Tidak butuh waktu lama, Max datang membantu William membawa Fiona keluar dari ruangan itu. Mereka segera membawanya ke mobil dan meluncur ke rumah sakit terdekat.Di perjalanan, William terus memegang tangan Fiona yang dingin. Tatapannya penuh rasa bersalah. Untuk pertama kalinya dalam
Fiona dengan wajah ceria mengikutinya tanpa diminta, duduk di sebelah Alvaro di ruangan rapat yang dipenuhi anggota OSIS. Ia bahkan bersandar pada bahu Alvaro beberapa kali, membuat suasana menjadi canggung.Juwita yang hatinya sudah hampir gosong karena terbakar api cemburu terus memperhatikan tingkah Fiona dengan mata menyipit. Kesal dengan sikap Fiona yang seakan sengaja membuatnya cemburu, Juwita akhirnya angkat bicara.“Bisakah orang yang tidak berkepentingan di sini keluar saja?” katanya dengan nada sinis.Fiona menatap Juwita dengan senyuman. “Aku hanya menemani Alvaro. Lagipula, aku tidak mengganggu, kan?”Juwita mendengus, jelas tidak terima dengan jawaban Fiona. “Kau mungkin tidak merasa mengganggu, tapi kami yang di sini merasa tidak nyaman.”“Oh, ya… Mungkin hanya kau saja yang terganggu,” ucap Fiona dengan nada seakan sedang mengejek. Alvaro, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Fiona, lebih baik kau pergi dan tunggu saja di kantin.”Mendengar itu, Fiona meras
Setelah sampai di rumah, Fiona turun dari motor tanpa mengucapkan sepatah kata. Alvaro hanya meliriknya sekilas sebelum pergi, meninggalkan Fiona yang berdiri di depan pagar mewah yang telah di buka.Begitu masuk, ia mendapati rumah yang terasa sepi seperti biasa. Dia berjalan menuju kamarnya, setelah tiba dia menatap sekeliling kamar dan tak menemukan William di kamarnya. Dia meletakkan tasnya di sofa kamar dan menghela napas panjang. “Mungkin dia sedang sibuk,” gumam Fiona pelan saat pikirannya tiba-tiba teringat pada William yang tak pernah terlihat berada di rumah.Fiona melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Di bawah pancuran air hangat, ia merenungkan apa yang terjadi hari ini.Hubungannya dengan Alvaro hanyalah pura-pura, tapi mengapa ia merasa tidak nyaman dengan ucapan Alvaro di kafe? Bukankah seharusnya ia tidak peduli?Tanpa sadar Fiona sedang merasa takut, seolah-olah dia sedang berselingkuh dan melakukan kesalahan di belakang suaminya.Setelah selesai mem
‘Oh, jadi dia akhirnya peduli padaku,’ batin Fiona. Fiona menoleh ke arah Alvaro yang masih berdiri di sampingnya.“Aku harus pergi,” katanya sambil tersenyum tipis. “Jangan merindukanku, ya.”Alvaro hanya menatap Fiona tanpa berkata apa-apa. Fiona mengisyaratkan salah satu pria tadi untuk membawa mobilnya, sementara ia berjalan menuju kendaraan lain yang telah disiapkan.Saat Fiona melangkah pergi, Alvaro tetap berdiri di tempatnya. Matanya mengikuti setiap gerakan gadis itu, meskipun ia berusaha untuk tidak terlihat peduli.Dalam hatinya, Alvaro merasa ada sesuatu yang mengganggunya. Ia tidak rela Fiona pergi begitu saja, tetapi ia juga tidak ingin mengakuinya. Kepergian Fiona meninggalkan rasa aneh yang tidak bisa dijelaskan dalam diri Alvaro karena tingkah Fiona sedikit mirip dengan Fianka. Meski Alvaro juga sadar bahwa mereka dua orang yang berbeda dan tak bisa disamakan. Alvaro masih menatap ke arah mobil Fiona yang menjauh. Ia menghela napasnya, mungkin rasa itu masih ada d
Sudah beberapa minggu berlalu, dan bayangan William terus menghantui pikiran Fiona. Dia merasa frustrasi karena tidak tahu keberadaan pria itu. Fiona telah mencoba menghubungi Max, bahkan datang langsung ke kantor William. Namun, setiap kali dia melangkah masuk ke ruangan kantornya, ruangan itu selalu tampak rapi, tidak ada siapa pun di sana. Hari ini, rasa penasaran Fiona sudah mencapai puncaknya. Dia ingin tahu di mana William berada. Dia memutuskan untuk menemui Max lagi, berharap kali ini akan mendapatkan jawaban.Ketika dia tiba di kantor William, Fiona langsung memasuki ruang kerjanya. Max tiba-tiba muncul di belakangnya, memandang Fiona dengan ekspresi bingung. "Nona Fiona, ada perlu apa Anda mencari saya?" tanyanya sopan.Fiona yang sedang duduk di sofa berwarna abu-abu segera berdiri. Tanpa basa-basi dia berkata, "Di mana William? Aku sudah lama tidak melihatnya. Bahkan dia juga tidak meminta maaf padaku. Apa dia sengaja menghindariku karena tidak ingin meminta maaf?" Suara
Fiona masih duduk di kursinya, terengah-engah. Rasa nyeri di kepalanya membuatnya pusing, tetapi ia tetap sadar. Melalui kaca depan yang pecah sebagian, ia melihat asap mengepul dari kap mesin mobilnya. Tangan Fiona meraba ponselnya di kursi penumpang, lalu mengarahkan kamera ke bagian depan mobil yang ringsek.Dengan jari yang gemetar, dia memotret mobilnya dan tersenyum miris. Fiona membuka pesan di ponselnya dan menemukan kontak William. Meski tahu nomor itu sudah lama tidak aktif, namun tetap mengirimkan foto tersebut. Setelah mengirim pesan itu, Fiona merasa tubuhnya semakin lemah. Pandangannya semakin buram, dan rasa sakit di kepalanya semakin tak tertahankan. Akhirnya, dirinya tenggelam dalam kegelapan.Di rumah sakit, Fiona terbaring lemah dengan perban melilit kepalanya. Wajahnya pucat, tetapi napasnya stabil. Max, yang duduk di kursi tunggu di luar kamar, menatap lantai dengan ekspresi cemas.Satu jam yang lalu, ia menerima telepon dari anak buahnya tentang kecelakaan Fio
Saat pagi hari, Fiona terbangun dengan perasaan aneh. Tangan kanannya secara refleks meraba kasur di sebelahnya, yang terasa dingin dan kosong. Mata Fiona perlahan terbuka, mencari sosok William yang semalam menemaninya. Namun, kamar itu tampak sepi. Fiona segera bangun dari tidurnya. Ia menggigit bibirnya pelan, mencoba memahami apa yang terjadi.“Apa tadi malam aku hanya mimpi?” gumamnya pelan.Namun, pintu kamar tiba-tiba terbuka. William masuk dengan kursi roda, membawa mangkuk berisi bubur di tangannya. Matanya menatap Fiona sekilas, sebelum menghentikan kursi rodanya di samping ranjang.Wajah Fiona langsung memerah. Ternyata semalam bukanlah mimpi. William benar-benar ada di hadapannya.“Kau sudah bangun,” ujar William singkat. Ia meletakkan mangkuk bubur di meja dekat ranjang, lalu menatap Fiona dengan ekspresi datar—seolah di antara mereka tidak terjadi apapun tadi malam.Fiona mengerutkan dahi, lalu menggeleng pelan. “Aku tidak ingin makan ... kecuali kau menyuapiku,” katanya
Fiona mengemudi menuju sebuah restoran paling mewah dan terkenal di kota, tempat ia berencana mentraktir teman-temannya untuk merayakan kemenangannya di acara sekolah. Restoran itu terkenal dengan suasana elegan dan hidangannya yang memanjakan lidah, tempat yang sempurna untuk merayakan momen istimewa. Namun, pikirannya terganggu oleh kejadian di tengah jalan.Saat mobilnya berhenti di lampu merah, Fiona secara tak sengaja melihat sosok yang familiar di sebelah mobilnya. Ia melihat Azalea yang sudah lama menghilang. Azalea bersama seorang wanita yang Fiona tidak kenal, tetapi wajahnya tampak familiar. Fiona mengingat wanita itu beberapa kali terlihat bersama William dalam berbagai acara penting.Fiona meremas setir mobilnya, dadanya terasa sesak. Pikiran-pikiran yang tak terhitung mulai memenuhi kepalanya. ‘Apakah William tahu Azalea sudah kembali? Jika William tahu, kenapa dia tidak mengatakan apa-apa padaku?’Ketika lampu berubah hijau, Fiona menarik napas dalam-dalam, berusaha m
Namun, tepat saat itu, pintu aula terbuka, dan Fiona muncul dengan anggun.Dengan mengenakan dress putih yang memancarkan keanggunannya, Fiona berjalan perlahan menuju panggung, membawa gitar pink miliknya, ia ambil dari rumah ayahnya.Semua mata kini tertuju padanya, termasuk teman-teman sekelasnya yang langsung bersorak gembira.“Dia datang!” seru Azka merasa lega, disambut dengan tepuk tangan dari Adel dan Maya di ikuti yang lainnya.Fiona naik ke atas panggung, duduk di kursi yang telah disediakan. Ia menggantungkan gitar di bahunya dan mengambil napas dalam-dalam. Sebelum memulai, ia mengangkat pandangannya ke arah penonton. “Lagu ini … aku persembahkan untuk seseorang,” katanya dengan suara lembut, pada saat itu juga pandangannya terkunci pada sosok yang tidak disangkanya akan hadir di acaranya—William. Pria itu duduk di barisan paling depan dengan kursi rodanya, mengenakan jas hitam yang rapi. Mata mereka bertemu sesaat.Fiona terkejut, tetapi ia segera memalingkan wajahnya. I
Erangan yang lembut terdengar mengalun dalam ruangan, membiarkan perasaan mereka berbicara lebih dari kata-kata. Meski belum ada kata cinta yang terucap langsung di antara mereka. Namun dalam hati mereka sudah memperlihatkan bahwa mereka saling mencintai. Ketika semuanya berakhir, William membaringkan tubuh Fiona di lengannya, membiarkannya bersandar dengan nyaman. Ia mengecup kening istrinya dengan lembut. “Tidurlah,” ucap William pelan, suaranya nyaris seperti bisikan.Fiona tidak menjawab. Ia hanya memejamkan matanya, tetapi senyum kecil terlihat di bibirnya. Dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang berubah di antara mereka. Setelah beberapa saat hening, tiba-tiba Fiona membuka matanya perlahan, mendongak menatap William yang masih memeluknya dengan erat. “William, jadi mulai sekarang aku tidak boleh keluar dari rumah ini?” tanyanya dengan nada datar, tetapi rasa ingin tahu menjalar di pikirannya.William terdiam sejenak, menatap wajah Fiona dengan pandangan lembut yang jarang i
William melepaskan tautannya, menatap wajah Fiona yang semerah tomat. Ia tersenyum sambil mengusap bibir Fiona dengan lembut.Fiona tidak mengerti dengan dirinya sendiri, kenapa ia tidak menolaknya. Akhirnya ia memilih menyandarkan kepalanya di bahu William untuk menyembunyikan rasa malunya, sementara pria itu mempererat pelukannya.Angin yang berhembus lembut seolah menjadi saksi bisu dari kebersamaan mereka, menciptakan kenangan yang tidak akan mudah dilupakan.****Hari ini Fiona ingin pergi menemui teman-temannya. Ia sudah bersiap dengan pakaian kasual yang rapi.Fiona melangkah menuju pintu keluar rumah, tetapi langkah kakinya melambat keti
Dia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah cantik Fiona yang terlihat damai.Ketika Fiona mengerjapkan matanya, William tetap menatapnya, menunggu reaksi pertama yang akan dilihatnya.Fiona membuka matanya perlahan, dan pandangan mereka bertemu. Seketika, rasa terkejut melintas di wajah Fiona.“William … apa yang kau lakukan?” tanya Fiona dengan suara terkejut, mencoba menjauh.Matanya perlahan melihat dada bidang William yang tidak memakai baju. Fiona mengedipkan matanya beberapa kali, membuat William yang melihatnya merasa gemas.Saat ia menyadari dirinya juga tidak mengenakan apa pun di bawah selimut, Fiona langsung berteriak, “Ahh! Bajuku &h
Sudah satu jam berlalu, tetapi Fiona tidak juga keluar dari kamar mandi. William merasa cemas. Akhirnya, ia memutuskan untuk memeriksa keadaannya.Saat membuka pintu kamar mandi, William tertegun. Wajah Fiona tampak pucat, dan air di dalam bak penuh dengan potongan es.Fiona sempat meminta pelayan untuk menambahkan es ke dalam bak mandinya.“Fiona!” seru William, langsung melangkah maju. Ia mengangkat tubuh Fiona dari dalam bak dengan cepat.Fiona membuka matanya sedikit, menatap William dengan lemah. “William … tubuhku masih panas. Meski sudah berendam di air es, aku tetap merasa tidak nyaman. Tapi di dekatmu … aku merasa sedikit lebih baik,” gumamnya sambil menggesekkan pi
“Aku tidak butuh bantuanmu!” Fiona berusaha berjalan menjauh, tetapi tubuhnya hampir terjatuh. Tom dengan cepat menangkapnya, memegang kedua pundaknya dengan erat.“Lihat? Aku benar-benar hanya ingin membantumu berjalan dengan benar,” katanya dengan nada pura-pura ramah. Namun, senyum di wajahnya menunjukkan niat lain.Fiona merasa sedikit nyaman dengan pegangan Tom, tetapi pikirannya tetap waspada. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan tubuhnya yang beraksi seperti itu.“Lepaskan aku,” desaknya sambil berusaha mendorong tubuh Tom.Namun, Tom tidak menyerah. Ia terus membujuk Fiona dengan suara lembut, mencoba membuatnya tetap di tempat.
Fiona memasuki rumah mewah yang sudah cukup lama ditempatinya, ia baru saja pulang dari rumah Adel. Fiona mendudukkan dirinya di ruang tamu sambil memandangi televisi yang menyala. Tiba-tiba dia terkejut dengan kedatangan William, Fiona segera bangkit dan tersenyum padanya. William terlihat begitu datar, seakan tak menganggap Fiona ada di sana.“William, apa kau ingin aku membuatkan teh?” tanyanya dengan nada ceria.“Tidak perlu,” jawab William tanpa ekspresi.Fiona menghela napas, lalu mencoba berjalan ke arahnya. “Kau tahu, hari ini Adel bilang aku terlihat semakin cantik. Apa kau–” belum selesai Fiona berucap, William sudah memotongnya. “Jika kau sudah selesai bicara, aku ingin istirahat.” William berhenti sejenak, menatap Fiona dengan tatapan datar.Fiona terdiam. Kata-kata William terasa seperti tamparan baginya. Ia merasa tidak ada gunanya lagi mencoba berbicara dengan pria itu. Dengan langkah pelan, ia kembali ke kamarnya.Saat Fiona duduk di depan cermin, ia memandangi ba
Fiona merasa ada sesuatu yang salah. Namun, ia tetap mendekati William dengan senyum manis. Ia duduk di atas pangkuan pria itu, melingkarkan kedua tangannya di pundaknya.“William,” ucapnya lembut. “Aku membutuhkan bantuanmu.”William menatap Fiona tajam. “Sudah kuduga. Setiap kali kau bersikap manis, pasti ada sesuatu yang kau inginkan.” Nada suaranya terdengar sinis, membuat Fiona terkejut.“Apa maksudmu?” tanya Fiona bingung.William menyingkirkan tangan Fiona dari pundaknya. “Aku sibuk. Kalau kau butuh bantuan, mintalah pada kekasihmu,” ucapnya dengan dingin.Kata-kata itu membuat Fiona terdiam, sekaligus bingung. Seketika bibirnya tersenyum lebar dan mengira William cemburu padanya. “William, apa kau mulai cemburu padaku?” tanyanya mencoba menggoda.William tidak menjawab. Ia mengangkat tubuh Fiona dari pangkuannya dan menurunkannya ke atas ranjang sedikit kasar. “Aku tidak punya waktu untuk membahas yang tidak penting,” ucapnya sebelum berjalan keluar dari kamar.Fiona hanya bi