William mengangkat alisnya sedikit, menatap Max yang terlihat putus asa."Apa hubunganmu dengan Fiona?" tanya William tiba-tiba.Pertanyaan itu membuat Max tersentak. Dia mengerutkan dahi, tidak mengerti arah pembicaraan William. "Apa maksud Anda, Tuan?""Ada hubungan apa antara kau dan Fiona? Kenapa dia ingin menghubungimu?" Suara William terdengar lebih dingin dari biasanya. William terlihat seperti seorang suami yang sedang cemburu pada istrinya, namun dia tidak menyadari suasana hatinya sendiri. Max terdiam sesaat, berusaha mencerna pertanyaan itu. "Tuan, saya tidak punya hubungan apapun dengan Nona Fiona," jawab Max cepat. "Saya hanya mengantarnya ke rumah sakit saja kemari, seperti tugas saya. Saya benar-benar tidak ada hubungan apa pun dengannya."William memandangi Max dengan tatapan yang tidak bisa dibaca, seolah mencoba menilai kejujuran asisten setianya itu. "Jadi, kenapa Fiona ingin menghubungimu semalam?" tanya William lagi, kali ini dengan nada tajam.Max kebingungan,
Fiona terjatuh tepat di pangkuan William. Dia terdiam sejenak, merasa terkejut. William, yang matanya tanpa sengaja melihat bagian yang seharusnya tidak dilihatnya dengan sorot mata yang tak terbaca. Fiona yang baru saja menyadari tatapan William, segera memperbaiki bajunya yang sudah setengah terbuka, mencoba menutup tubuhnya dengan tergesa-gesa.“William, tutup matamu!” Fiona memekik, panik. Dia segera mengulurkan tangan untuk menutup mata William, namun pria itu dengan tenang memegang tangan lembut Fiona, menghentikan gerakannya.William mendekatkan wajahnya ke telinga Fiona dan berbisik, “Aku sudah melihatnya.” Dengan senyum jahil yang tercetak jelas di bibirnya membuat wajah Fiona semakin memerah karena malu.“William, kau sangat menyebalkan!” Fiona berseru dengan marah, wajahnya memerah karena malu bercampur kesal. Dia segera berdiri dan turun dari atas pangkuan William, menjauh secepat mungkin. Bajunya yang rusak segera dia peluk oleh kedua tangannya sambil membelakangi Willia
Saat pagi datang, Fiona menaiki bus yang sudah disediakan oleh sekolah bersama murid lain. Bus tersebut dipenuhi suara riuh dari percakapan para siswa yang begitu semangat membahas tentang perkemahan. Fiona, bersama Adel dan Maya, duduk di tengah bus sambil mengobrol. Mereka tidak banyak tahu tentang tempat itu, selain mengetahui bahwa dulunya tempat tersebut merupakan peninggalan zaman penjajahan yang kini dialihfungsikan sebagai kawasan berkemah.Setelah perjalanan yang cukup panjang dan berliku, bus akhirnya tiba di tempat perkemahan. Mereka disambut oleh suasana yang benar-benar berbeda dari hiruk-pikuk kota. Udara segar pegunungan mengalir dengan lembut, dan di sekitar mereka, pohon-pohon venus dan tanaman lainnya berdiri kokoh, menciptakan kesan hutan yang lebat dan misterius. Suasana dingin mulai meresap ke dalam tubuh Fiona, membuatnya merapatkan jaket yang dia kenakan.Fiona berdiri sejenak di depan bus, memandangi pemandangan indah namun terasa agak menyeramkan di tempat i
Akhirnya, tiba giliran Fiona. Dengan sedikit gelisah, dia maju kedepan, mata Fiona dan Alvaro saling bertemu untuk sejenak, sebelum meraih salah satu gulungan kertas dari wadah kaca itu. Saat dia membuka gulungan kertas tersebut, bibirnya yang semakin cemberut."Kelompok A," baca Fiona pelan, dan tatapannya langsung beralih ke arah Alvaro.Ternyata, Alvaro adalah ketua kelompok A. Fiona masih saja cemberut. Bukan karena dia tidak suka satu kelompok dengan Alvaro, tapi karena dia ingin satu kelompok dengan kedua temannya. Apalagi sekarang, Fiona harus berada dalam kelompok yang mungkin dia sendiri anggota wanita satu-satunya yang ada di kelompok A. Dengan kesal, dia melirik ke arah sahabat-sahabatnya yang memasang wajah sedih.“Alvaro, apa kita bisa bertukar kelompok?” tanya Fiona.Alvaro, yang mendengar keluhan kecil Fiona, hanya menatapnya dingin. "Ini sudah diatur secara acak, Fiona. Kerjasama tim lebih penting daripada siapa yang berada dalam satu kelompok."Fiona hanya mendengus
Sementara itu, Alvaro kembali ke area perkemahan dengan langkah cepat. Sesampainya di sana, wajah para guru langsung berubah penuh kekhawatiran ketika mereka diberitahu oleh Alvaro.Alvaro menghela napas dalam-dalam, berusaha menjaga ketenangannya. "Fiona tersesat di hutan. Kami sudah mencarinya, tapi belum menemukannya.” Semua orang begitu heboh membicarakan hilangnya Fiona. Adel dan Maya berlari mendekati Alvaro dengan air mata yang sudah mengalir di wajah mereka. Adel menatap Alvaro dengan marah, wajahnya memerah emosi. "Bagaimana bisa kamu kehilangan Fiona?! Kau ketua kelompok! Kamu seharusnya menjaganya!" teriak Adel dengan penuh kemarahan dan mencoba mendorong-dorong dada bidang Alvaro.Maya juga tidak bisa menahan amarahnya. "Fiona satu-satunya perempuan di kelompokmu! Bagaimana mungkin kau tidak memperhatikannya?"Alvaro hanya berdiri diam, menerima semua makian yang dilontarkan padanya. Dia tahu, tidak ada gunanya membantah. Tanggung jawab sepenuhnya ada di pundaknya sebag
Fiona terkejut saat seseorang membuka pintu dengan keras. Matanya bertemu dengan mata tajam William yang berada di ambang pintu, wajahnya terlihat datar "Wi... William," gumam Fiona, seperti tak percaya bahwa pria itu sudah berada di ruangannya.Tanpa banyak bicara, William memajukan kursi rodanya ke hadapan Fiona. Dia mendekat dan tanpa aba-aba, tangannya mengangkat dagu Fiona, meneliti wajahnya dengan teliti. Matanya tajam menyusuri setiap inci kulitnya, mencari tanda luka. Ketika pandangannya turun ke kaki Fiona yang bengkak, tangannya mengepal erat.“Apa mereka menyakitimu?” tanya William dengan suara dingin, menggenggam pergelangan kaki Fiona dengan hati-hati.Fiona menggelengkan kepalanya. “Tidak, William. Mereka justru menolongku. Aku terjatuh saat berkemah.”William terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang,“Kita pergi dari sini sekarang,” katanya tegas. Fiona menganggukkan kepalanya lalu merentangkan kedua tangannya saat William akan menaikan Fiona ke atas pangkuannya, te
William, yang baru selesai mandi, terlihat segar dengan rambutnya yang masih basah. Dia menggerakkan kursi rodanya ke tengah kamar, lalu berkata dengan nada dingin seperti biasanya, “Bersiaplah. Kita akan pergi hari ini.”Fiona memandangnya dengan wajah cemberut. “Tapi kakiku masih bengkak.”William menghela napas panjang, dia mendorong kursi rodanya ke arah Fiona, lalu dengan mudah mengangkat tubuhnya ke atas pangkuannya. Fiona terkesiap, tetapi tak mampu melawan selain mengalungkan kedua tangannya di pundak William.“William, aku bisa mencoba berjalan sendiri,” protes Fiona dengan suara kecil.“Terlalu lama,” ja
Keesokan harinya, setelah pulang sekolah Fiona tiba di kantor William untuk memulai pekerjaannya sebagai asisten pribadi. Dia merasa enggan, tetapi tidak punya pilihan lain. Ketika memasuki ruangan William, pria itu sedang sibuk dengan beberapa dokumen di mejanya. “Kau terlambat,” kata William tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas-kertas di depannya. “Aku baru beberapa menit terlambat,” balas Fiona, berusaha membela diri. “Tepat waktu adalah sebuah kedisiplinan bagi semua pekerja, Fiona,” ujar William dengan nada datar. “William, jangan samakan aku dengan mereka. Aku masih sekolah—ada banyak kegiatan sebelum datang kamari,” ucap Fiona. Fiona menatap sekilas ke arah William yang tak menjawab lagi perkataannya. Dia segera berjalan ke arah sofa, duduk sambil memainkan ponsel barunya dengan sebelah kakinya yang sengaja ditumpangkan ke kaki satunya lagi. “Akhir tahun nanti, aku ingin pulang melihat ibuku,” gumam Fiona yang masih terdengar jelas di telinga William. “Kau, bel
Di sisi kiri area taman kampus, tiga mahasiswi berdiri memperhatikan Nessa. Tatapan mereka tajam, menilai dengan sinis. Salah satunya bahkan melipat tangan di dada sambil menyipitkan mata.Nessa melihat mereka. Tapi seperti biasa, dia tidak peduli. Dia hanya berjalan melewati mereka dengan kepala tegak.Sampai satu kalimat bernada racun terdengar jelas di telinganya.“Dari mana lagi kalau bukan hasil jual diri?”Langkah Nessa berhenti. Ia berbalik perlahan dan menatap ketiganya dengan tatapan tajam.Mulutnya sudah hampir terbuka, ingin membalas perkataannya. Namun, suara orang yang memanggilnya membuat Nessa mengurungkan niatnya.“Nessa!"Suaranya nyaring, seorang gadis berambut panjang bergelombang menghampiri Nessa sambil melambaikan tangan.Wajahnya terlihat manis, dia adalah Evelyn—sahabatnya sejak semester pertama kuliah. Nessa segera menoleh dan menyambut Evelyn dengan senyum. Evelyn meraih tangannya dan menariknya menjauh dari tiga gadis tadi tanpa menoleh sekalipun.“Jangan
Air menyambutnya dingin, tapi ia tidak peduli. Matanya menyorot ke dasar kolam, tapi sebelum ia bisa meraih tubuh Nessa. Tawa gadis itu pecah di dekatnya.Nessa muncul ke permukaan, tertawa terbahak-bahak. “HAH! Kena kau!”Dawson terengah, dan menyadari Nessa berenang ke sisinya sambil terkekeh. “Kolamnya dangkal, bodoh! Lihat, aku bisa berdiri!”Wajah Dawson menyatu antara lega, marah, dan malu.“Kau pura-pura tenggelam?” suaranya datar, nyaris tak percaya.“Lihat siapa yang panik!” Nessa masih tertawa, lalu menyiramkan air ke wajah Dawson.Dawson menyeka air dari wajahnya dan menatap Nessa dengan tajam. “Kau pikir ini lucu?”“Lucu sekali,” jawab Nessa santai, menjauh darinya.Dawson menyusul. “Kau pikir kau bisa main-main denganku?”“Aku cuma membalas ciuman tadi,” sahutnya, senyum lebar di wajah Nessa.Tanpa peringatan, Dawson menarik tangannya. Nessa hampir jatuh lagi, tapi Dawson menahannya. Kini mereka kembali dekat, napasnya bersinggungan.“Kau suka bermain-main ternyata, baga
Pada sore hari, Nessa baru saja pulang dari kampus. Sudah beberapa hari ia tidak mengikuti mata kuliah, membuat beberapa tugasnya tertinggal. Biasanya ia tidak terlalu peduli dengan hal semacam itu, tapi kali ini Nessa tidak ingin menyia-nyiakan waktunya. Ia ingin fokus belajar kembali. Ia tidak ingin uang pamannya yang telah membiayai sekolahnya terbuang sia-sia.Sejak kemarin, ia sudah diperbolehkan kembali ke rumahnya setelah Nick memberitahunya bahwa Dawson mengizinkannya pulang. Meski begitu, ia belum juga bertemu dengan pria itu—bahkan hingga sekarang."Ahh!" Nessa berteriak kaget ketika mendapati seseorang sedang duduk santai di dalam kamarnya, membaca buku diary miliknya."Kau?! Kenapa kau ada di sini!" tanyanya panik sambil berjalan cepat mendekat dan menyambar buku dari tangan Dawson.Dawson hanya mendengus kecil. Dengan cepat, ia menarik pergelangan tangan Nessa hingga gadis itu terduduk di atas pangkuannya."Hei! Lepaskan! Apa yang kau lakukan di sini?" serunya, mencoba me
Dawson semakin mendekat, Nessa menjerit kecil lalu berlari tergesa ke dalam kamar mandi dan mengunci pintu. Jantungnya masih berpacu cepat. Ia menyandarkan tubuhnya di balik pintu kayu, mencoba menenangkan diri dari rasa takut dan marah yang bercampur aduk.Di luar, Dawson hanya tersenyum tipis. Dia membiarkan gadis itu bersembunyi dan kembali merebahkan tubuhnya ke ranjang. Pundaknya terasa berat setelah semalaman membereskan beberapa masalah. Tak butuh waktu lama akhirnya ia kembali tertidur, napasnya perlahan menjadi teratur.Waktu berlalu. Nessa baru keluar dari kamar mandi setelah merasa aman. Ia berjalan pelan, lalu berhenti di sisi ranjang saat melihat Dawson tertidur dengan pulas, memperhatikan pria itu yang tidur tanpa beban seolah dunia ini hanya miliknya seorang.‘Tampan, tetapi menjengkelkan,’ pikir Nessa dalam hati.Dengan pelan, ia melangkah ke arah pintu dan mencoba membukanya—namun pintu itu terkunci. Nessa mengerutkan kening. Ia memutar kenopnya beberapa kali, tapi t
Nessa duduk di tepi ranjang, gaun pengantinnya belum ia lepas. Ia menatap kosong ke luar jendela, berharap ada keajaiban yang datang. Namun yang ia dapatkan hanyalah kesunyian.Pintu kamar terbuka. Dawson masuk, menatap Nessa sekilas. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, ia membuka lemari, mengambil jaket, lalu berjalan keluar kamar."Kau mau ke mana?" tanya Nessa dengan suara pelan lalu menggigit bibirnya menyesali perkataannya.Dawson tersenyum tipis, menoleh sebentar. "Ada urusan,” lanjut berkata. “Kenapa? Apa kau sudah tidak sabar ingin aku menidurimu.” Nessa tertawa begitu keras sambil berkata, “Buang jauh-jauh pikiran kotormu itu. Sampai kapanpun, aku tidak akan sudi tidur denganmu.”“Kita lihat saja nanti,” ucap Dawson sebelum pergi. Dawson memacu mobil sport hitamnya menembus jalanan malam. Tak butuh waktu lama hingga ia tiba di depan sebuah rumah mewah yang berdiri megah di tengah pekarangan luas yang dijaga ketat. Begitu mobilnya berhenti, dua orang penjaga segera menghampir
Dawson menarik tubuhnya menjauh dan segera berdiri sambil beranjak pergi dari ruangan itu tanpa berkata apapun, napasnya masih berat. Ia berjalan menuju sebuah ruangan. Tak lama kemudian, salah satu anak buahnya masuk.“Tuan, apa Anda yakin?” pria itu bertanya, suaranya terdengar ragu. Ia tak percaya bahwa tuannya ingin menikahi gadis yang baru saja di temuinya.“Apa kau tidak mendengar apa kataku Nick! Cepat, lakukan saja. Kau atur pernikahanku dengannya. Jangan sampai ada orang lain yang tahu tentang ini selain kau,” ucapnya dengan nada tegas. “Baik, Tuan.” ****Nessa duduk terdiam di atas ranjang, menggenggam erat handuk yang kembali melilit tubuhnya. Napasnya masih tak beraturan, dan jantungnya berdebar kencang.Air matanya menggenang. Ia benar-benar tak menyukai pria yang baru saja keluar dari ruangnya. “Aku harus membawa paman pergi dari sini,” gumam Nessa sambil memikirkan cara untuk melarikan diri. “Tapi, kemana mereka membawanya?” Nessa kembali bergumam. Beberapa menit b
Langkahnya semakin dekat.Tubuh Nessa menegang saat pria itu berhenti tepat di belakangnya. Ia bisa merasakan kehadirannya yang begitu mendominasi. Napasnya tercekat ketika jemari pria itu terulur, hendak menyentuh pundaknya.Tanpa berpikir panjang, Nessa meraih pot bunga kecil yang ada di dekatnya dan melemparkannya ke arah pria itu.Pria itu bereaksi dengan cepat. Ia memiringkan tubuhnya ke samping, menghindari pot bunga yang nyaris mengenainya. Pot itu jatuh ke lantai dengan suara pecahan yang tajam, menyisakan tanah yang berserakan.Nessa tidak menunggu lebih lama. Ia segera menjauh, mengambil jarak sejauh mungkin. Tubuhnya masih gemetar, tetapi tatapan matanya menunjukkan ketakutan yang begitu nyata.Pria itu tetap berdiri tegap, tidak terlihat marah atau terkejut. Bahkan, ada sedikit lengkungan di sudut bibirnya, seolah menikmati ketakutan Nessa."Apa yang ingin kau lakukan?" suara Nessa terdengar tegas namun ada ketakutan di dalamnya.Pria itu tidak segera menjawab. Matanya mem
Nessa Griselda mengerjap-ngerjapkan matanya yang baru saja terbebas dari kain hitam yang menutup wajahnya. Cahaya remang dari lampu di ruangan itu membuatnya menyipit, mencoba menyesuaikan penglihatannya dengan kondisi sekitar. Punggungnya terasa nyeri akibat lemparan kasar yang baru saja dialaminya. Di sebelahnya, seorang pria paruh baya terkulai dengan wajah sedikit berdarah di sudut bibirnya. "Tuan, maafkan saya. Saya tidak bermaksud mencuri uang Anda!" Suara pria itu gemetar, tangannya terikat, tubuhnya bergetar dengan tatapan penuh ketakutan.Nessa menoleh, menatap pria paruh baya itu—pamannya, satu-satunya keluarga yang ia miliki. Tubuh pria itu terguncang saat salah satu anak buah pria yang duduk di sofa menendangnya hingga ia tersungkur.“Ahh… Paman!” teriak Nessa.“Apa yang kalian lakukan—Emmm…” Nessa tidak dapat melanjutkan perkataannya. Salah satu anak buah pria itu segera membungkam mulutnya karena dianggap terlalu berisik.Nessa hanya bisa menangisi pamannya dengan mulu
Setelah insiden tragis yang merenggut nyawa Azalea, suasana di rumah Lauren menjadi begitu hening dan penuh duka. Aroma samar bunga melati yang dipasang di sudut ruangan memenuhi udara, membuat kesedihan semakin terasa mendalam. Lauren duduk di sofa dengan tatapan kosong, menggenggam foto Azalea di tangannya. Fiona yang duduk di sampingnya berusaha menenangkan sang ibu, tetapi hatinya sendiri dipenuhi kesedihan.William berdiri di dekat jendela, memperhatikan Fiona dan Lauren dalam keheningan. Ezra, yang masih terlalu kecil untuk memahami arti kehilangan, duduk di pangkuan Fiona dengan wajah polosnya. Sesekali ia menatap ibunya dan neneknya, seakan bertanya mengapa mereka begitu sedih.“Mama… kenapa nenek menangis?” tanya Ezra dengan suara lembut, membuat Fiona menggigit bibirnya, menahan tangis.Fiona mengusap kepala Ezra dan tersenyum lemah. “Karena nenek kehilangan seseorang yang sangat ia sayangi, sayang.”Ezra menatap Fiona dengan bingung. “Seperti saat aku kehilangan mainanku?”