Saat pagi datang, Fiona menaiki bus yang sudah disediakan oleh sekolah bersama murid lain. Bus tersebut dipenuhi suara riuh dari percakapan para siswa yang begitu semangat membahas tentang perkemahan. Fiona, bersama Adel dan Maya, duduk di tengah bus sambil mengobrol. Mereka tidak banyak tahu tentang tempat itu, selain mengetahui bahwa dulunya tempat tersebut merupakan peninggalan zaman penjajahan yang kini dialihfungsikan sebagai kawasan berkemah.Setelah perjalanan yang cukup panjang dan berliku, bus akhirnya tiba di tempat perkemahan. Mereka disambut oleh suasana yang benar-benar berbeda dari hiruk-pikuk kota. Udara segar pegunungan mengalir dengan lembut, dan di sekitar mereka, pohon-pohon venus dan tanaman lainnya berdiri kokoh, menciptakan kesan hutan yang lebat dan misterius. Suasana dingin mulai meresap ke dalam tubuh Fiona, membuatnya merapatkan jaket yang dia kenakan.Fiona berdiri sejenak di depan bus, memandangi pemandangan indah namun terasa agak menyeramkan di tempat i
Akhirnya, tiba giliran Fiona. Dengan sedikit gelisah, dia maju kedepan, mata Fiona dan Alvaro saling bertemu untuk sejenak, sebelum meraih salah satu gulungan kertas dari wadah kaca itu. Saat dia membuka gulungan kertas tersebut, bibirnya yang semakin cemberut."Kelompok A," baca Fiona pelan, dan tatapannya langsung beralih ke arah Alvaro.Ternyata, Alvaro adalah ketua kelompok A. Fiona masih saja cemberut. Bukan karena dia tidak suka satu kelompok dengan Alvaro, tapi karena dia ingin satu kelompok dengan kedua temannya. Apalagi sekarang, Fiona harus berada dalam kelompok yang mungkin dia sendiri anggota wanita satu-satunya yang ada di kelompok A. Dengan kesal, dia melirik ke arah sahabat-sahabatnya yang memasang wajah sedih.“Alvaro, apa kita bisa bertukar kelompok?” tanya Fiona.Alvaro, yang mendengar keluhan kecil Fiona, hanya menatapnya dingin. "Ini sudah diatur secara acak, Fiona. Kerjasama tim lebih penting daripada siapa yang berada dalam satu kelompok."Fiona hanya mendengus
Sementara itu, Alvaro kembali ke area perkemahan dengan langkah cepat. Sesampainya di sana, wajah para guru langsung berubah penuh kekhawatiran ketika mereka diberitahu oleh Alvaro.Alvaro menghela napas dalam-dalam, berusaha menjaga ketenangannya. "Fiona tersesat di hutan. Kami sudah mencarinya, tapi belum menemukannya.” Semua orang begitu heboh membicarakan hilangnya Fiona. Adel dan Maya berlari mendekati Alvaro dengan air mata yang sudah mengalir di wajah mereka. Adel menatap Alvaro dengan marah, wajahnya memerah emosi. "Bagaimana bisa kamu kehilangan Fiona?! Kau ketua kelompok! Kamu seharusnya menjaganya!" teriak Adel dengan penuh kemarahan dan mencoba mendorong-dorong dada bidang Alvaro.Maya juga tidak bisa menahan amarahnya. "Fiona satu-satunya perempuan di kelompokmu! Bagaimana mungkin kau tidak memperhatikannya?"Alvaro hanya berdiri diam, menerima semua makian yang dilontarkan padanya. Dia tahu, tidak ada gunanya membantah. Tanggung jawab sepenuhnya ada di pundaknya sebag
Fiona terkejut saat seseorang membuka pintu dengan keras. Matanya bertemu dengan mata tajam William yang berada di ambang pintu, wajahnya terlihat datar "Wi... William," gumam Fiona, seperti tak percaya bahwa pria itu sudah berada di ruangannya.Tanpa banyak bicara, William memajukan kursi rodanya ke hadapan Fiona. Dia mendekat dan tanpa aba-aba, tangannya mengangkat dagu Fiona, meneliti wajahnya dengan teliti. Matanya tajam menyusuri setiap inci kulitnya, mencari tanda luka. Ketika pandangannya turun ke kaki Fiona yang bengkak, tangannya mengepal erat.“Apa mereka menyakitimu?” tanya William dengan suara dingin, menggenggam pergelangan kaki Fiona dengan hati-hati.Fiona menggelengkan kepalanya. “Tidak, William. Mereka justru menolongku. Aku terjatuh saat berkemah.”William terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang,“Kita pergi dari sini sekarang,” katanya tegas. Fiona menganggukkan kepalanya lalu merentangkan kedua tangannya saat William akan menaikan Fiona ke atas pangkuannya, te
William, yang baru selesai mandi, terlihat segar dengan rambutnya yang masih basah. Dia menggerakkan kursi rodanya ke tengah kamar, lalu berkata dengan nada dingin seperti biasanya, “Bersiaplah. Kita akan pergi hari ini.”Fiona memandangnya dengan wajah cemberut. “Tapi kakiku masih bengkak.”William menghela napas panjang, dia mendorong kursi rodanya ke arah Fiona, lalu dengan mudah mengangkat tubuhnya ke atas pangkuannya. Fiona terkesiap, tetapi tak mampu melawan selain mengalungkan kedua tangannya di pundak William.“William, aku bisa mencoba berjalan sendiri,” protes Fiona dengan suara kecil.“Terlalu lama,” ja
Keesokan harinya, setelah pulang sekolah Fiona tiba di kantor William untuk memulai pekerjaannya sebagai asisten pribadi. Dia merasa enggan, tetapi tidak punya pilihan lain. Ketika memasuki ruangan William, pria itu sedang sibuk dengan beberapa dokumen di mejanya. “Kau terlambat,” kata William tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas-kertas di depannya. “Aku baru beberapa menit terlambat,” balas Fiona, berusaha membela diri. “Tepat waktu adalah sebuah kedisiplinan bagi semua pekerja, Fiona,” ujar William dengan nada datar. “William, jangan samakan aku dengan mereka. Aku masih sekolah—ada banyak kegiatan sebelum datang kamari,” ucap Fiona. Fiona menatap sekilas ke arah William yang tak menjawab lagi perkataannya. Dia segera berjalan ke arah sofa, duduk sambil memainkan ponsel barunya dengan sebelah kakinya yang sengaja ditumpangkan ke kaki satunya lagi. “Akhir tahun nanti, aku ingin pulang melihat ibuku,” gumam Fiona yang masih terdengar jelas di telinga William. “Kau, bel
Ketika Fiona sampai di ruang foto copy, beberapa karyawan yang sedang bekerja di sana langsung memperhatikannya. Bagaimana tidak? Fiona masih mengenakan seragam sekolah, membuatnya tampak mencolok dibandingkan para pegawai yang berpakaian formal."Bukankah gadis itu, istri simpanannya Pak William," bisik salah satu karyawan perempuan. Mereka hanya tahu bahwa Azalea yang menjadi istri William. Meski sudah cukup lama mereka tidak pernah melihatnya datang ke kantor lagi. "Ternyata, dia masih sekolah. Bagaimana bisa menikah dengan bos kita?” “Apa dengan cara merangkak ke atas tempat tidurnya." tambah yang lain, berusaha merendahkan suaranya meski masih cukup terdengar oleh Fiona.Fiona menghentikan langkahnya, menatap tajam ke arah kerumunan karyawan itu. "Ada yang ingin kalian katakan langsung kepadaku?" tanyanya lantang, membuat semua karyawan di sana terdiam dan menunduk pura-pura sibuk.Dengan penuh percaya diri, Fiona mendekati salah satu karyawan laki-laki yang sedang berdiri di
Ketika dia sampai di kelas, dua temannya, Adel dan Maya, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Mereka tampak ragu-ragu, tapi jelas ada sesuatu yang ingin mereka sampaikan."Apa yang kalian lihat?" tanya Fiona, menatap mereka tajam. "Apa ada yang salah dengan wajahku? Kenapa semua orang memandangku seperti itu?"Adel dan Maya saling pandang, lalu Adel menyerahkan ponselnya kepada Fiona tanpa berkata apa-apa. Fiona mengambil ponsel itu dengan alis terangkat, lalu membaca layar dengan cepat.Di sana, terpampang sebuah artikel dengan judul besar:"Seorang Siswi Menjadi Istri Simpanan Pengusaha Kaya William Stefanus Thene!"Mata Fiona membelalak, napasnya tercekat. Foto dirinya dan William yang diambil malam sebelumnya terpampang jelas di bawah judul itu. Gambar itu menunjukkan Fiona mendorong kursi roda William dengan ekspresi yang terlihat tersenyum. Artikel tersebut penuh dengan tindakan mencari keuntungan dengan menggunakan kata-kata murahan tentang hubungan mereka, menguat
William, yang duduk di seberangnya, hanya menoleh dengan wajah yang tetap datar. Wanita yang mengaduh itu adalah orang yang beberapa kali Fiona lihat bersama William. Namun, bukannya merasa bersalah, Fiona malah mendengus kecil, menahan senyumnya, lalu pergi begitu saja tanpa berkata sepatah kata pun.Wanita itu, Aileen Eveline, menatap punggung Fiona yang semakin menjauh dengan tatapan tajam. Ia kemudian beralih menatap William yang tetap tenang di tempatnya.“Kau lihat?” ujar Aileen dengan nada kesal. “Istri kecilmu itu benar-benar tidak tahu sopan santun.”William hanya mengangkat bahu sedikit dan menjawab dengan dingin, “Dia hanya seorang gadis muda.”Aileen mendengus sinis mendengar jawaban itu. “Memangnya aku tidak muda? Aku juga masih muda, William,” protesnya sambil melipat tangan di depan dada.William menatapnya. “Memangnya siapa yang bilang kau sudah tua?” jawabnya dengan nada santai.Aileen belum sempat berbicara, William kembali berkata “Lebih baik kau segera pulang.”Na
Setelah beberapa saat berdansa dengan Alvaro, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Fiona melepaskan tangannya dari genggaman Alvaro dan berjalan menjauh. Alvaro tampak bingung dan mencoba memanggilnya, tetapi Fiona tidak peduli. Ia terus melangkah meninggalkan keramaian dan menuju pintu keluar.Begitu sampai di rumah, Fiona langsung masuk ke kamarnya, membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dengan baju tidur yang nyaman, Fiona merebahkan tubuhnya di atas ranjang.Namun, belum sempat ia memejamkan mata, suara pintu yang terbuka menarik perhatiannya. Fiona menoleh dan mendapati William masuk ke dalam kamar. Pria itu tampak lelah, tetapi ekspresinya tetap datar seperti biasa.“Kau baru pulang?” tanya Fiona sambil duduk di atas ranjang.William hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Keesokan paginya, Fiona bangun dengan tubuh yang masih terasa lelah. Ia mengacak-acak rambutnya yang sudah berantakan, lalu berjalan keluar kamar untuk mengambil air minum. Air di kamarnya tela
Keesokan harinya, Alvaro kembali mencoba mendekati Fiona. Ia menunggunya di parkiran, berharap bisa berbicara dengannya. Namun, Fiona memilih tempat parkiran yang sedikit jauh dari Alvaro dan dengan tergesa-gesa dia berlari menjauh, tidak ingin berbicara dengan Alvaro. Alvaro sama sekali belum menyerah, meski kemarin dia sudah dibuat kecewa oleh gadis itu.“Aku tidak akan menyerah, sampai berhasil mendapatkannya,” gumam Alvaro pada dirinya sendiri.Saat jam pelajaran terakhir, Fiona sedang berjalan sendirian menuju ruang peralatan olahraga, Alvaro berhasil mengejarnya.“Fiona, tolong dengarkan aku,” ucap Alvaro, berdiri di hadapannya.Fiona berhenti, menatapnya dengan ekspresi. “Aku sudah bilang, aku tidak ingin bicara denganmu,” lanjut berkata. “Sekarang minggir.”“Aku tidak akan pergi sampai kau memaafkanku,” kata Alvaro. “Aku tahu aku salah, dan aku menyesal. Tapi aku tidak bisa membiarkan semuanya berakhir seperti ini.”Fiona terdiam sejenak. “Aku butuh waktu, Alvaro,” kata Fiona
William menekan sebuah tombol interkom yang terhubung dengan bawahan kantornya. “Ambilkan satu set pakaian kantor untuk istriku,” perintah William dengan nada tenang.Perkataan itu membuat Fiona sedikit tersenyum geli. Namun, ia segera kembali berkata, “William, kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa menyuruhku datang ke sini?”“Kemari,” ucap William, menyuruh Fiona mendekat, mengabaikan perkataan Fiona. Tanpa ragu, Fiona berjalan mendekatinya. Namun, begitu sampai di hadapan William, ia mengaduh kesakitan.“William! Apa yang kau lakukan? Kenapa kau mencubit perutku?” serunya sambil memegang bagian perutnya yang sebagian terbuka.“Itu hukuman untukmu,” jawab William santai.“Hukuman? Untuk apa?” Fiona menatapnya bingung. “Aku sudah terbiasa memakai pakaian seperti ini. Lagipula, apa salahnya?”“Mulai sekarang, kau tidak boleh berpakaian yang memperlihatkan perutmu,” ucap William dengan nada tegas.Fiona mengernyit. “Astaga, sejak kapan kau menjadi posesif seperti ini?”William terdi
Alvaro sempat terkejut dengan tindakan Fiona yang tiba-tiba. “Fiona, ada apa?” tanya Alvaro, bingung.Fiona melepaskan tangannya. Ia menatap mata Alvaro dengan sedikit mendongak. “Aku ingin mengakhiri hubungan pura-pura kita,” ucapnya pelan. Lagi pula rumor tentangnya sudah tenggelam, jadi tidak ada salahnya jika ia mengakhiri hubungannya secara tiba-tiba.Alvaro tampak terkejut. “Kenapa mendadak? Apa aku melakukan sesuatu yang salah?”Fiona menggeleng. “Kau tidak melakukan kesalahan apa pun, Alvaro. Aku hanya merasa hubungan ini sudah cukup. Aku tidak bisa terus berpura-pura seperti ini. Terima kasih untuk segalanya, tapi aku ingin kita berhenti di sini saja.” Fiona berbalik hendak pergi, tetapi suara Alvaro menghentikan langkahnya. “Aku tidak mau mengakhiri hubungan ini, Fiona.”Fiona menoleh, bingung. “Apa maksudmu?”Alvaro menarik napas dalam-dalam. “Aku tidak ingin hubungan ini berakhir sebagai pura-pura. Aku ingin hubungan kita menjadi serius. Aku benar-benar menyukaimu, Fiona.
Mata Fiona membulat. Di saat ia ingin menarik wajahnya kembali, William menahan tengkuknya dengan lembut, lalu membalas ciuman itu. Detak jantung keduanya kini benar-benar tak beraturan.Setelah beberapa saat, Fiona langsung menarik diri seketika. Wajahnya kini bagai tomat matang.“Kau menyebalkan, William!” serunya sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan. William tertawa, suara tawanya yang jarang terdengar. “Aku hanya memastikan kau menaati aturan.”Fiona mendengus kesal, tetapi hatinya tidak bisa berbohong. Ada sesuatu dalam dirinya yang tak bisa dijelaskan semenjak kepulangan William membuat perasaannya bergejolak. Sikap dinginnya masih sama, tetapi di balik itu, Fiona merasa ada kelembutan yang jarang ia lihat.Dengan wajah merah dan napas yang masih belum stabil, Fiona menatap papan permainan itu dengan tatapan tajam. “William, aku tidak ingin bermain ini lagi. Aku akan tidur,” ucap Fiona, mencoba mencari alasan.William mengangguk setuju. “Ya, sebaiknya kau tidur.”Fiona
Setelah puas memakan buah anggur dari pohonnya, Fiona kembali ke kamarnya.William kembali tenggelam dalam pekerjaannya, sibuk dengan berkas-berkas yang tertata di atas meja. Sementara itu, Fiona duduk di atas ranjang, sesekali melirik ke arah William. Begitu pula William, meski hanya sekilas. Tak ada percakapan di antara mereka.Fiona mulai merasa jenuh. Seharian berada di dalam kamar membuatnya resah. Tiba-tiba, suara notifikasi pesan dari ponsel yang ada di atas nakas menarik perhatiannya. Fiona segera mengambil ponselnya dan membuka pesan tersebut.William, yang sedang fokus pada pekerjaannya, sempat melirik ke arah Fiona sebelum kembali menatap berkas di depannya.Fiona membuka layar ponsel dan menemukan pesan dari Alvaro yang mengajaknya bertemu nanti malam. Namun, bukannya membalas pesan itu, Fiona memilih mengabaikannya. Ia justru membuka kontak Max dan mengirim pesan singkat: "Belikan aku mainan ular tangga. Aku butuh sekarang juga."Beberapa jam kemudian, suara ketukan terde
Saat pagi hari, Fiona terbangun dengan perasaan aneh. Tangan kanannya secara refleks meraba kasur di sebelahnya, yang terasa dingin dan kosong. Mata Fiona perlahan terbuka, mencari sosok William yang semalam menemaninya. Namun, kamar itu tampak sepi. Fiona segera bangun dari tidurnya. Ia menggigit bibirnya pelan, mencoba memahami apa yang terjadi.“Apa tadi malam aku hanya mimpi?” gumamnya pelan.Namun, pintu kamar tiba-tiba terbuka. William masuk dengan kursi roda, membawa mangkuk berisi bubur di tangannya. Matanya menatap Fiona sekilas, sebelum menghentikan kursi rodanya di samping ranjang.Wajah Fiona langsung memerah. Ternyata semalam bukanlah mimpi. William benar-benar ada di hadapannya.“Kau sudah bangun,” ujar William singkat. Ia meletakkan mangkuk bubur di meja dekat ranjang, lalu menatap Fiona dengan ekspresi datar—seolah di antara mereka tidak terjadi apapun tadi malam.Fiona mengerutkan dahi, lalu menggeleng pelan. “Aku tidak ingin makan ... kecuali kau menyuapiku,” katanya
Fiona masih duduk di kursinya, terengah-engah. Rasa nyeri di kepalanya membuatnya pusing, tetapi ia tetap sadar. Melalui kaca depan yang pecah sebagian, ia melihat asap mengepul dari kap mesin mobilnya. Tangan Fiona meraba ponselnya di kursi penumpang, lalu mengarahkan kamera ke bagian depan mobil yang ringsek.Dengan jari yang gemetar, dia memotret mobilnya dan tersenyum miris. Fiona membuka pesan di ponselnya dan menemukan kontak William. Meski tahu nomor itu sudah lama tidak aktif, namun tetap mengirimkan foto tersebut. Setelah mengirim pesan itu, Fiona merasa tubuhnya semakin lemah. Pandangannya semakin buram, dan rasa sakit di kepalanya semakin tak tertahankan. Akhirnya, dirinya tenggelam dalam kegelapan.Di rumah sakit, Fiona terbaring lemah dengan perban melilit kepalanya. Wajahnya pucat, tetapi napasnya stabil. Max, yang duduk di kursi tunggu di luar kamar, menatap lantai dengan ekspresi cemas.Satu jam yang lalu, ia menerima telepon dari anak buahnya tentang kecelakaan Fio