"Gue mau ngomong ini tapi lupa mulu. Pertama-tama gue mau minta maaf, Nin. Tapi, mau gimana lagi. Di kartu itu ada kontak beberapa kenalan penting gue di Jakarta, makanya terpaksa gue aktifin lagi beberapa waktu terakhir ini. Gue nggak tahu apa orang ini bakal bikin masalah, tapi mudah-mudahan kagak, ya. Lu inget pelanggan super VVIP kita? Dia pernah sekali jadi pelanggan lu, tapi saat dia minta yang kedua kalinya lu tolak mentah-mentah padahal dia berani bayar berapa aja. Akhirnya tiga tahun dia jadi member di Club Sahara cuma buat nonton paling depan lu uget-uget di tiang doang!"Aku mengerutkan kening."Emang ada yang sampe segitunya?" Aku menggaruk kepala yang tak gatal."Etdah, ada, Zubaedah! Kapan, sih lu nyadar kalau diri lu itu bukan cuma sekadar cantik, Nindi. Lu punya daya tarik yang luar biadab.""Masa?""Ish!" Roy tampak geregetan lantas menenggak air sejenak. "Sumpeh, kayaknya dia beneran terobsesi. Padahal udah 4 tahun sejak club ditutup, tapi seminggu sebelum kalian pin
"So, where are our things going?(Loh, barang-barang kita mau dibawa ke mana?)" Aku baru keluar dari kamar setelah salat maghrib dan membersihkan diri saat melihat asisten pribadi dibantu dua lainnya mengemasi barang-barang kami. Belum reda stres karena Vincent mulai berani terang-terangan, di tambah hal ini. Apalagi sampai sekarang Bang Khalid masih belum juga kembali."Your room and facilities have been upgraded madam. Now Mrs and Mr Prasetya can occupy the VVIP room(Kamar dan fasilitas kalian sudah ditingkatkan, Nyonya. Sekarang Nyonya dan Tuan Prasetya bisa menempati kamar VVIP).""Why?" Aku menuntut penjelasan karena memang tak ada pembicaraan tentang hal ini sebelumnya."For more information, madam, just ask the party concerned, we are only carrying out our duties (Untuk informasi selengkapnya bisa nyonya tanyakan saja pada pihak yang bersangkutan, kami hanya menjalankan tugas)." Asisten pribadiku dan Bang Khalid itu tersenyum kecil, lantas pamit pergi.Sepeninggal mereka yang
"Bang, aku mau ngomong sesuatu." Tiba di kamar, setelah kami sama-sama membersihkan diri dan hendak berbaring di ranjang, aku memutuskan untuk menceritakan apa yang akhir-akhir ini mengungsik pikiran setelah mempertaruhkan satu malam yang seharusnya kami lewati dengan panjang sebelum pulang."Aku juga." Bang Khalid mengubah posisi, wajahnya tampak begitu semringah sekarang.Aku menghela napas panjang."Ya udah kamu duluan!" Kupersilakan dia untuk memulai duluan."Vincent udah sepakat buat jadi donatur di SLB kamu.""Apa?" Aku terperangah. "Buat apa? Emang kita kekurangan dana?""Bukan cuma dana, Sayang. Tapi juga tenaga ahli." Bang Khalid meraih tanganku dan menggenggamnya. "Inget waktu kita buka bersama dua tahun lalu? Saat kamu bantu salah satu anak yang tantrum?"Aku mengangguk pelan."Sebelumnya aku sempet ngobrol sama Bu Nur. Karena gratis, nggak banyak tenaga ahli yang bersedia mengabdi. Mereka kewalahan. Udah dua tahun ini banyak guru yang mengundurkan diri karena mereka nggak k
"So ... its Nindi?" Saat masih sibuk mengamati seisi rumah bak istana ini, tiba-tiba wanita paruh baya itu beralih padaku. Matanya memicing seolah mencoba memastikan sesuatu.Tanpa basa-basi aku langsung mengulurkan tangan ke arahnya."Ya, I'm Nindi. Nice to meet you, Mrs. Tjahdjono."Dia terkekeh dan tiba-tiba membawaku dalam pelukan. "Just call me Diane, Honey."Meski canggung aku membalas pelukannya. Cukup lama kami dalam posisi yang sama. Seolah berbagai macam perasaan coba Mrs. Diane sampaikan. Bahkan hingga pelukan dia lepaskan, tatapan itu masih senanar tadi. "Very Pretty.""I'm feeling lonely, Khalid." Matanya tampak berkaca-kaca saat kembali pada Bang Khalid. "This house is very quiet when I live alone. I'm jealous of your parents, because they get to enjoy their old age with cute grandchildren, while I don't even have a son-in-law. Teach my asholle son to fall in love, Khalid. At least once. (Rumah ini sangat sepi bila kutinggali sendiri. Aku cemburu pada orangtuamu, karena m
"Lebih baik saya kehilangan segalanya daripada harus menjadi mainanmu!" Jeritanku tertahan setelah sekian lama keheningan panjang menyelimuti kami."Kamu yakin dengan pilihanmu itu?"Sejenak aku terdiam. Kemudian mencoba meyakinkan diri bahwa kami mampu melewati ini."Ya, saya akan meminta Bang Khalid untuk membatalkan kerja sama kalian. Lebih baik kita berjuang sendiri daripada mendapat bantuan dengan pamrih dari orang gila sepertimu.""Hahaha ...." Dia kembali tertawa."Sudah kuduga tak akan semudah itu menaklukanmu. Berbeda dengan kebanyakan wanita, kamu tak bisa bertekuk lutut di hadapan uang, Nindi. Itulah yang membuatku semakin memujamu. Damn! Sekarang aku mulai h*rny." Vincent membasahi bibirnya, lekat dia menatapku sembari mempersempit jarak di antara kita. "Listen to me! Dunia bisnis itu kejam, kamu yakin setelah Khalid memutus kerja sama kita dia akan mampu berdiri di atas kedua kakinya sendiri? Apa kamu tak menyadari perubahaannya akhir-akhir ini? Tidakkah kamu periksa ramb
Semua tak lagi sama setelah kami pulang dari Singapura. Kegelisahan yang seolah tak ada ujungnya, pekerjaan yang semakin menyita waktunya, juga ketakutan akan kedatangan sosok yang perlahan mulai mengusik rumah tangga.Sudah sebulan berlalu. Namun, bukannya berangsur tenang aku justru semakin bimbang saat menyadari bahwa Vincent tiba-tiba menghilang seperti ditelan bumi setelah melontarkan ancamannya terakhir kali.Apakah dia akhirnya menyerah dan melanjutkan hidupnya? Atau justru mulai melancarkan aksi dengan menyerang titik lengahku suatu saat nanti?"Papa kapan pulang, Ma?" Pertanyaan Fatina menyentak lamunanku. Tak terasa sudah seminggu sejak dia pamit pergi untuk melakukan perjalanan bisnis ke dalam dan luar negeri. Mengajukkan proposal pada beberapa kenalan pengusaha sejenis. Mencari bantuan dari koneksi agar mau berinvestasi untuk menyelamatkan perusahaan kami."Papa bilang lusa baru pulang, Sayang. Yang sabar, ya." Kuelus rambut Fatin yang dikucir tinggi. Lalu memasukkan kota
Setengah jam sebelum waktu makan siang, kuparkirkan mobil di depan pelataran sebuah kafe yang terlihat sepi. Hanya tampak satu mobil BMW mewah yang terparkir di sebelah. Padahal biasanya tempat ini ramai dipadati oleh para karyawan dari berbagai perusahaan untuk menghabiskan waktu istirahat makan siang.Begitu melewati pintu masuk, bukannya pelayan kafe yang menyambut melainkan sosok yang familiar. Lelaki berkacamata dengan penampilan rapi itu nyaris tak berani menatapku."Mari, Bu."Aku tersenyum miring. "Jadi, kamu memilih meninggalkan atasan yang sudah delapan tahun 'memberimu kehidupan', hanya untuk orang gila yang sialnya lebih kaya? Berapa banyak yang dia bayar agar kamu meninggalkan suami saya yang sekarang sedang berjuang menyelamatkan perusahaan, Zul?" Cibiranku berhasil menghentikan langkahnya, tapi tak cukup mampu membuat lelaki jangkung itu membuka mulutnya.Dia terbungkam, tubuhnya menegang. Namun, hanya sesaat Zul berhasil mengendalikan dirinya. Lelaki itu seperti mencob
Akhirnya semua berjalan sesuai yang Vincent inginkan. Dengan uang dan kekuasaan yang dimiliki, dia seolah memegang kunci takdir hidup ini.Hanya dalam waktu sehari setelah aku sepakat menandatangani kontrak, semua masalah yang diperbuat berhasil dia tangani semudah membalikkan telapak tangan.Sifatnya yang manipulatif membuat lelaki itu mudah dipercaya oleh orang di sekitarnya tak terkecuali suamiku sendiri. Sampai larut malam Vincent baru pulang setelah menyelesaikan obrolan panjang yang aku tak mengerti, pun Grace yang turut serta mengikuti acara meeting dadakan mereka. Dalam berbagai kesempatan tak jarang aku melihat dia memutar bola mata atau menunjukkan dengan terang-terangan sikap tak suka. Namun, aku tak peduli, bagiku perempuan gatal itu bukan ancaman selama Bang Khalid masih berpegang teguh dengan komitmen kami.Hanya satu hal yang kusayangkan setelah menyaksikan apa yang terjadi ... sudah sedekat itu jarak dan hubungan suamiku dengan orang sinting itu, dia masih belum cukup