"So, where are our things going?(Loh, barang-barang kita mau dibawa ke mana?)" Aku baru keluar dari kamar setelah salat maghrib dan membersihkan diri saat melihat asisten pribadi dibantu dua lainnya mengemasi barang-barang kami. Belum reda stres karena Vincent mulai berani terang-terangan, di tambah hal ini. Apalagi sampai sekarang Bang Khalid masih belum juga kembali."Your room and facilities have been upgraded madam. Now Mrs and Mr Prasetya can occupy the VVIP room(Kamar dan fasilitas kalian sudah ditingkatkan, Nyonya. Sekarang Nyonya dan Tuan Prasetya bisa menempati kamar VVIP).""Why?" Aku menuntut penjelasan karena memang tak ada pembicaraan tentang hal ini sebelumnya."For more information, madam, just ask the party concerned, we are only carrying out our duties (Untuk informasi selengkapnya bisa nyonya tanyakan saja pada pihak yang bersangkutan, kami hanya menjalankan tugas)." Asisten pribadiku dan Bang Khalid itu tersenyum kecil, lantas pamit pergi.Sepeninggal mereka yang
"Bang, aku mau ngomong sesuatu." Tiba di kamar, setelah kami sama-sama membersihkan diri dan hendak berbaring di ranjang, aku memutuskan untuk menceritakan apa yang akhir-akhir ini mengungsik pikiran setelah mempertaruhkan satu malam yang seharusnya kami lewati dengan panjang sebelum pulang."Aku juga." Bang Khalid mengubah posisi, wajahnya tampak begitu semringah sekarang.Aku menghela napas panjang."Ya udah kamu duluan!" Kupersilakan dia untuk memulai duluan."Vincent udah sepakat buat jadi donatur di SLB kamu.""Apa?" Aku terperangah. "Buat apa? Emang kita kekurangan dana?""Bukan cuma dana, Sayang. Tapi juga tenaga ahli." Bang Khalid meraih tanganku dan menggenggamnya. "Inget waktu kita buka bersama dua tahun lalu? Saat kamu bantu salah satu anak yang tantrum?"Aku mengangguk pelan."Sebelumnya aku sempet ngobrol sama Bu Nur. Karena gratis, nggak banyak tenaga ahli yang bersedia mengabdi. Mereka kewalahan. Udah dua tahun ini banyak guru yang mengundurkan diri karena mereka nggak k
"So ... its Nindi?" Saat masih sibuk mengamati seisi rumah bak istana ini, tiba-tiba wanita paruh baya itu beralih padaku. Matanya memicing seolah mencoba memastikan sesuatu.Tanpa basa-basi aku langsung mengulurkan tangan ke arahnya."Ya, I'm Nindi. Nice to meet you, Mrs. Tjahdjono."Dia terkekeh dan tiba-tiba membawaku dalam pelukan. "Just call me Diane, Honey."Meski canggung aku membalas pelukannya. Cukup lama kami dalam posisi yang sama. Seolah berbagai macam perasaan coba Mrs. Diane sampaikan. Bahkan hingga pelukan dia lepaskan, tatapan itu masih senanar tadi. "Very Pretty.""I'm feeling lonely, Khalid." Matanya tampak berkaca-kaca saat kembali pada Bang Khalid. "This house is very quiet when I live alone. I'm jealous of your parents, because they get to enjoy their old age with cute grandchildren, while I don't even have a son-in-law. Teach my asholle son to fall in love, Khalid. At least once. (Rumah ini sangat sepi bila kutinggali sendiri. Aku cemburu pada orangtuamu, karena m
"Lebih baik saya kehilangan segalanya daripada harus menjadi mainanmu!" Jeritanku tertahan setelah sekian lama keheningan panjang menyelimuti kami."Kamu yakin dengan pilihanmu itu?"Sejenak aku terdiam. Kemudian mencoba meyakinkan diri bahwa kami mampu melewati ini."Ya, saya akan meminta Bang Khalid untuk membatalkan kerja sama kalian. Lebih baik kita berjuang sendiri daripada mendapat bantuan dengan pamrih dari orang gila sepertimu.""Hahaha ...." Dia kembali tertawa."Sudah kuduga tak akan semudah itu menaklukanmu. Berbeda dengan kebanyakan wanita, kamu tak bisa bertekuk lutut di hadapan uang, Nindi. Itulah yang membuatku semakin memujamu. Damn! Sekarang aku mulai h*rny." Vincent membasahi bibirnya, lekat dia menatapku sembari mempersempit jarak di antara kita. "Listen to me! Dunia bisnis itu kejam, kamu yakin setelah Khalid memutus kerja sama kita dia akan mampu berdiri di atas kedua kakinya sendiri? Apa kamu tak menyadari perubahaannya akhir-akhir ini? Tidakkah kamu periksa ramb
Semua tak lagi sama setelah kami pulang dari Singapura. Kegelisahan yang seolah tak ada ujungnya, pekerjaan yang semakin menyita waktunya, juga ketakutan akan kedatangan sosok yang perlahan mulai mengusik rumah tangga.Sudah sebulan berlalu. Namun, bukannya berangsur tenang aku justru semakin bimbang saat menyadari bahwa Vincent tiba-tiba menghilang seperti ditelan bumi setelah melontarkan ancamannya terakhir kali.Apakah dia akhirnya menyerah dan melanjutkan hidupnya? Atau justru mulai melancarkan aksi dengan menyerang titik lengahku suatu saat nanti?"Papa kapan pulang, Ma?" Pertanyaan Fatina menyentak lamunanku. Tak terasa sudah seminggu sejak dia pamit pergi untuk melakukan perjalanan bisnis ke dalam dan luar negeri. Mengajukkan proposal pada beberapa kenalan pengusaha sejenis. Mencari bantuan dari koneksi agar mau berinvestasi untuk menyelamatkan perusahaan kami."Papa bilang lusa baru pulang, Sayang. Yang sabar, ya." Kuelus rambut Fatin yang dikucir tinggi. Lalu memasukkan kota
Setengah jam sebelum waktu makan siang, kuparkirkan mobil di depan pelataran sebuah kafe yang terlihat sepi. Hanya tampak satu mobil BMW mewah yang terparkir di sebelah. Padahal biasanya tempat ini ramai dipadati oleh para karyawan dari berbagai perusahaan untuk menghabiskan waktu istirahat makan siang.Begitu melewati pintu masuk, bukannya pelayan kafe yang menyambut melainkan sosok yang familiar. Lelaki berkacamata dengan penampilan rapi itu nyaris tak berani menatapku."Mari, Bu."Aku tersenyum miring. "Jadi, kamu memilih meninggalkan atasan yang sudah delapan tahun 'memberimu kehidupan', hanya untuk orang gila yang sialnya lebih kaya? Berapa banyak yang dia bayar agar kamu meninggalkan suami saya yang sekarang sedang berjuang menyelamatkan perusahaan, Zul?" Cibiranku berhasil menghentikan langkahnya, tapi tak cukup mampu membuat lelaki jangkung itu membuka mulutnya.Dia terbungkam, tubuhnya menegang. Namun, hanya sesaat Zul berhasil mengendalikan dirinya. Lelaki itu seperti mencob
Akhirnya semua berjalan sesuai yang Vincent inginkan. Dengan uang dan kekuasaan yang dimiliki, dia seolah memegang kunci takdir hidup ini.Hanya dalam waktu sehari setelah aku sepakat menandatangani kontrak, semua masalah yang diperbuat berhasil dia tangani semudah membalikkan telapak tangan.Sifatnya yang manipulatif membuat lelaki itu mudah dipercaya oleh orang di sekitarnya tak terkecuali suamiku sendiri. Sampai larut malam Vincent baru pulang setelah menyelesaikan obrolan panjang yang aku tak mengerti, pun Grace yang turut serta mengikuti acara meeting dadakan mereka. Dalam berbagai kesempatan tak jarang aku melihat dia memutar bola mata atau menunjukkan dengan terang-terangan sikap tak suka. Namun, aku tak peduli, bagiku perempuan gatal itu bukan ancaman selama Bang Khalid masih berpegang teguh dengan komitmen kami.Hanya satu hal yang kusayangkan setelah menyaksikan apa yang terjadi ... sudah sedekat itu jarak dan hubungan suamiku dengan orang sinting itu, dia masih belum cukup
"Dari aku pulang sampai sekarang, kok kamu banyak diam? Ada masalah, Sayang?" Sebuah dagu yang bertumpu di bahu menarik lamunanku dari masalah yang seolah tak sudah.Banyak! Haruskah kuteriakan tepat di telinganya bila sekarang masalahku bertambah setelah kedatangan baby sitter baru yang ternyata anak kandung dari sosok masa laluku?Belum selesai dengan Vincent kenapa aku harus dihadapkan dengan si Bambang?Jujur aku tak pernah peduli dengan pendapat orang seburuk apa pun mereka menilai tentangku. Tapi, aku tak bisa tinggal diam bila hal itu menyangkut masa depan anak-anakku.Tak mungkin juga si Grace mempekerjakan seseorang seperti Bambang bila tak menguntungkan baginya. Sedikit banyaknya dia pasti sudah mengantongi banyak informasi tentang siapa aku dulu.Bagaimana bila Grace mulai mencuci otak anak-anak hanya untuk menyudutkanku?Meski sudah berdamai dengan keadaan, tapi aku tak kuasa bila anak-anakku tahu siapa ibunya di masa lalu."Kamu, kan tahu si Bambang itu siapa, Bang? Kenap
"Silakan diminum dulu, Mas. Mumpung masih hangat." Mulut Khalid terbuka setengah, matanya nyaris tak berkedip saat mengitari seisi rumah mewah ini. Dia bahkan tak menanggapi seorang perempuan bercadar yang tengah hamil besar, sedang menyodorkan minum padanya.Di sebuah rak khusus dia melihat tumpukan brosur catering dan dekorasi, matanya juga tak berhenti menatap foto-foto pernikahan Roy yang terpajang di beberapa titik dalam ruangan. Saat melihatnya ternyata Khalid juga baru ingat kalau 'Berkah catering & decoration' adalah perusahaan WO yang sedang naik daun beberapa tahun belakangan. Jasanya banyak digunakan artis dan orang-orang penting, karena harga, rasa, kualitas, serta pelayanannya yang sama sekali tak mengecewakan."Kenalin, ini istri saya Ainun!" Ucapan Roy membuat Khalid kembali tersadar. Dia menatap pria yang tak percaya akan menyambutnya selayaknya tamu, setelah apa yang terjadi pada sahabat baiknya sewindu lalu.Namun, tak bisa dipungkiri. Tatapan Roy terlihat begitu taj
Roy berdiri terpaku di dekat brankar yang ditempati Nindi pasca persalinan yang perempuan itu jalani. Kedua tangannya terkepal, sementara air matanya terus mengalir memerhatikan perempuan yang berkaca-kaca menatap kedua bayi kembarnya dalam gendongan.Seolah masih lekat dalam ingatan Roy fakta demi fakta yang Nindi ungkapkan seiring dengan perutnya yang semakin membuncit"Setelah keguguran gue dan Bang Khalid pisah ranjang kurang lebih satu bulan, jadi sebelum sidang putusan cerai gue bisa dengan mudah mengidentifikasi dari mana benih yang mulai tumbuh di rahim gue berasal. Lucunya hidup ini ketika akhirnya gue sadar tengah mengandung anak dari keparat yang udah gue enyahkan. Kebetulan di hari yang sama saat tragedi itu terjadi, ternyata gue lagi ovulasi." Nindi menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Entah anugerah atau kutukan ketika Tuhan memberikan gue kesuburan, meski hanya dengan satu atau dua kali penetrasi ... benih-benih janin yang tak diinginkan tumbuh dengan mudah di r
Di sebuah desa kecil yang terselip di antara gemerlap hijaunya alam, anak-anak kecil berlarian di bawah langit senja, gembira dan bersemangat mengikuti tradisi yang telah diteruskan dari generasi ke generasi. Mereka melantunkan sholawat sembari menyusuri jalan berkerikil dengan langkah kecil yang penuh semangat menuju masjid terdekat.Di sela-sela ladang hijau yang melambai-lambai sejalan dengan angin, para petani yang menjadi mata pencaharian utama di desa, juga terlihat berbondong-bondong pulang dari ladang membawa hasil panen yang diangkut menggunakan kendaraan roda dua, roda empat, maupun gerobak melewati jalan utama. Peluh, lapar, serta dahaga tak lagi dirasa mengingat ada sebuah keluarga yang menunggu untuk disambung hidupnya."Mas Roy! Wes mandi langsung ke masjid ae, ya! Ditunggu karo Budhe Lala buat buka puasa bersama!"Salah satu petani yang mengangkut hasil panennya menggunakan mobil bak terbuka langsung menyenggol sang sopir untuk menghentikkan laju kendaraannya."Sek, sek!
Konflik rumah tangga antara Khalid dan Nindi berakhir di meja pengadilan agama. Setelah tiga bulan serangkaian proses berjalan, kedu belah pihak tetap tak menemukan titik terang. Mereka sudah sepakat berpisah. Hari ini, 15 Desember waktu setempat, sidang putusan perceraian mereka berlangsung di Pengadilan Agama Batam. Pengunjung yang menghadiri kebanyakan didominasi oleh pihak keluarga penggugat. Semua orang yang memenuhi ruang sidang seolah tak bisa memalingkan pandangan dari kedua pasangan yang duduk di depan meja hakim. Pasangan suami istri yang pernah saling memiliki itu terlihat menunjukkan ekspresi yang berlawanan.Nindi duduk dengan tenang di sisi kanan, wajahnya menunjukkan ekspresi datar yang sulit diartikan. Namun, mata bulatnya seolah memancarkan kepedihan mendalam yang dengan sempurna dia tutupi dalam kebungkaman.Sementara di sisi kiri, Khalid duduk dengan tegang, di tempatnya dia tampak gelisah, bahkan tak henti menoleh pada sosok di sebelahnya. Rahang kokoh itu mengeta
Sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami-istri dan dua anak itu tengah menatap api unggun yang berkobar di depan tenda mereka. Warnanya berubah-ubah dari merah, putih, hingga oranye dengan menyebarkan kehangatan untuk orang-orang di sekelilingnya. Mereka terlihat bersuka-cita menghabiskan waktu akhir pekannya, meski hanya berkemah di belakang rumah.Suara riang sepasang anak yang hanya selisih kurang dari setahun itu memecah keheningan malam. Keduanya tampak bercanda dan berlari kecil mengelilingi api unggun. Derai tawa menggelora, kebahagiaan sederhana itu dirasakan mereka saat mengejar api kecil yang melompat-lompat dari perapian."Sayang, ya si Neli nggak ada di sini." Nindi menyenggol lengan Khalid saat keduanya tengah memerhatikan anak-anak yang asik bermain, sembari menusuki marshmallow yang siap dibakar."Bukannya lebih bagus kalau nggak ada Neli? Jadi, kita bisa bebas ngapain aja tanpa perlu denger sindirannya yang kadang bikin risi?" Khalid terkekeh sembari melingkark
Langit mendung menyelimuti kota Batam. Sebuah pemakaman yang tak biasa digelar, dihadiri oleh banyak kolega, teman-teman, bahkan sampai awak media. Mereka semua berkumpul untuk mengucapkan selamat jalan pada Vincent Benedict Tjahjono, pengusaha juga anak konglomerat yang telah berpulang akibat sebuah tragedi.Di tengah kerumunan, Khalid hadir, meski dia harus menjaga jarak dari keluarga mendiang. Dia tahu bahwa kedatangannya di sini adalah sebuah tindakan yang berani, mengingat situasi yang tengah dihadapinya. Namun, mengingat hubungannya dengan keluarga Vincent selama ini telah berjalan cukup baik, dia merasa perlu memberikan penghormatan terakhir.Mrs. Diane yang menyadari kehadiran Khalid di tengah kerumunan, mencoba menutupi kesedihan dan berniat menghampirinya dengan hati-hati agar tak disadari oleh sang suami.Begitu wanita paruh baya itu sampai di hadapan, Khalid langsung meraih tangannya."Bu, saya sangat menyesal atas apa yang terjadi," ucapnya dengan suara lirih dan Bahasa In
Hampir sebulan berlalu, proses visum sudah Nindi jalani setelah dia berhasil memberi keterangan yang meyakinkan pada pihak penyidik. Kemungkinan akan diadakan mediasi bila Vincent berhasil sadarkan diri.Hari-hari yang Nindi lewati tak berjalan semestinya. Nasibnya tak pasti, dia seperti ada di tepi jurang yang siap dilompati bisa seseorang dengan sengaja mendorongnya dari belakang. Perempuan itu seolah sudah pasrah dengan keadaan. Untuk sekarang Nindi hanya merindukan anak-anaknya, teman-teman juga waktu kebersamaan yang tak yakin bisa kembali dia lalui."Mbak, liat, Mbak!" Neli menepuk bahu Nindi. Dari balik jendela dia melihat sebuah mobil memasuki pelataran.Seketika semangat Nindi kembali saat melihat Khalid pulang setelah hampir dua minggu suaminya nyaris tak ada kabar. Nindi tak tahu apa yang sudah lelaki itu lewati selama dua pekan terakhir ini.Nindi langsung memeluk Khalid begitu lelaki itu memasuki ruangan. Dia kesampingkan ego dan menelan bulat-bulat rasa kecewanya sendir
Perempuan dengan pakaian serampangan dan hanya kerudung yang disampirkan itu duduk di salah satu bangku ruang tunggu sebuah rumah sakit ternama di kota Batam. Satu setengah jam lalu ambulans mengantar lelaki yang terkapar tak sadar dengan luka serius di kepala. Ruangan itu dipenuhi dengan atmosfer tegang, dan perempuan berusia 31 tahun tersebut justru tenggelam dalam kecamuk pikirannya yang kacau.Beberapa kali dia meremas kedua tangan, tubuhnya gemetar. Ibu dua anak itu tertunduk dalam memerhatikan pijakkan, mencoba menenangkan diri dan perasaan yang sulit dideskripsikan.Dia berharap semua yang terjadi hanya mimpi. Mulai dari pertemuan kembali dengan sosok dari masa lalu yang membangkitkan kenangan kelam yang coba dia kubur dalam, lalu kontrak tak masuk akal yang terpaksa ditandatangani, hingga kesepakatan yang seharusnya tak pernah terjadi. Dia merasa seperti telah terjebak dalam perjanjian yang menjadi pemicu keretakan rumah tangganya dengan sang suami.Imbas dari semua yang terja
Suara hujan yang lembut mengalir di luar jendela, seperti melodi kenangan yang berputar di kepala. Di ruang tengah aku duduk sendiri, menatap benda persegi yang membawa kembali ingatan akan momen-momen tak terlupakan dalam empat tahun kebersamaan kami di Lumajang. Kusaksikan kembali tubuh kembang Alid dari mulai tengkurap, merangkak, berjalan, sampai berlari. Begitu juga dengan proses hijrahku yang dibimbing oleh orang-orang ahli yang sukarela mengajari tanpa menghakimi.Seolah masih lekat dalam ingatan saat aku dengannya berbagi tawa dan tangis dalam setiap lembar cerita. Kala itu, hidupku terasa begitu ringan, meski beban yang kupikul sangatlah berat. Kami optimis mampu mewujudkan mimpi dan harapan di tengah terpaan cobaan.Namun, kini aku duduk di sini, dengan rasa berat di dada. Hidup telah membawaku ke dalam peran yang jauh dari apa yang kumimpikan. Pernikahan yang diawali dengan cinta, kini terasa seperti penjara yang mengekangku dalam dilema. Harapan-harapan yang dulu begitu ce